Monday, August 20, 2007

Surat Pengaduan Komisi Perlindungan Anak


Jakarta, 20 Agustus 2007

Kepada yang terhormat:
Ketua Pengaduan dan Fasilitas Pelayanan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Jl. Teuku Umar 10-12
Jakarta


Dengan hormat,

Kami mengajukan surat ini untuk mohon bantuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia membantu anak kami, Norman Harsono, mendapatkan masa pertumbuhan yang sehat dan bahagia. Intinya, kami ingin mendapatkan hak mengasuh Norman dari tangan ibu kandungnya, Retno Wardani.

Norman (10 tahun) lahir pada 25 Januari 1997 dari perkawinan Andreas Harsono dan Retno Wardani. Perkawinan ini berakhir dengan perceraian pada 15 Desember 2003 lewat pengadilan Jakarta. Hak pengasuhan anak disepakati 2x24 jam dengan kami dan 5x24 jam dalam seminggu dengan Retno. Pengadilan memutuskan kami bertanggungjawab atas biaya pendidikan, kesehatan dan pemeliharaan Norman. Norman kini sekolah kelas enam di Gandhi Memorial International School, Kemayoran. Semua tanggungjawab ini kami lakukan.

Namun Norman secara psikologis merasa tertekan. Ini sering tampak bila dia akan pindah dari rumah kami di Senayan, ke rumah Retno di Pondok Indah. Norman kerap marah sendiri. Ketika sampai di depan rumah Retno, diantar papanya, Norman seperti terburu-buru dan takut bicara dengan papanya. Retno sering mencabut kabel telepon agar Andreas tak bisa menelepon Norman. Retno juga mengunci teleponnya sesudah Norman ketahuan sering pakai telepon untuk bicara dengan papanya.

Retno seorang pemarah –Norman bilang, “closed minded”-- yang sering membuat Norman takut dan menangis. “It is like going to hell,” kata Norman, saat hendak ke Pondok Indah. Ketika usianya lebih muda, Norman sering sembunyi di bawah kolong tempat tidur di kamarnya di Senayan, bila waktu pindah tiba. Jadi, secara psikologis Norman merasa tertekan dan ketakutan. Jika tekanan psikologis berlangsung terus, kami khawatir ia akan menggangu pertumbuhan anak.

Jumat 17 Agustus lalu, misalnya, Retno memaksa Norman ke ke Pondok Indah, karena sesuai jadual. Norman, menangis dan ingin tinggal semalam lagi di Senayan. Retno menelepon Norman dan menyuruhnya “pulang.” Saat itu, Norman sempat menelepon ibu Magdalena Sitorus dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Norman juga sering mengeluh, “Why Mama likes to make things worse?

Masalah kedua adalah penanganan kesehatan. Sejak September 2005, Norman terbukti penderita asma. Dia alergi terutama terhadap tungau debu rumah (house dustmite). Bila tidur, dokter menyuruh pakai terpal, agar debu tak terhirup hidungnya. Kami di rumah punya alat-alat inhaling. Kamarnya di Senayan juga ganti karpet dengan keramik, tanpa buku tua, bersih total dan ranjang memakai terpal seratus persen.

Entah bagaimana, Retno tak percaya Norman kena asma. Dia sering menyembunyikan terpal di Pondok Indah. Norman jadi sering kumat asmanya. Dia bolak-balik ke klinik asma. Kami secara finansial yang menanggung keperluan Norman, dari uang makan sehari-hari, sekolah dan kesehatan. Ketidakpatuhan Retno membuat kami harus banyak keluar uang.

Minggu, 19 Agustus 2007, Retno memberi tahu via SMS bahwa rumah Pondok Indah akan dikontrakkan dan dia akan tinggal bersama ibunya di Bintaro. Retno mengatakan ini hanya pemberitahuan. Dia merasa tak perlu minta persetujuan Andreas. Bayangkan berapa waktu yang akan dipakai seorang anak untuk pergi ke sekolah, dari Bintaro, yang terkenal macet, ke Kemayoran?

Urusan mengantar dan menjemput Norman, tentu saja, jadi tanggungjawab Andreas. Kini setiap pagi, Andreas bangun pukul 5:00 dan menjemput Norman untuk sekolah di Kemayoran (bus sekolah berhenti operasi sejak Juli 2007). Siangnya, Andreas menjemput pukul 14:10 dan mengantar ke Pondok Indah. Bagaimana bila Norman pindah ke Bintaro? Bagaimana dengan waktu belajar dan istirahatnya?

Andreas punya hubungan hangat dengan Norman. Mereka sering bepergian bersama: melihat penyu di Sukamade, jalan-jalan di Colombo, Srilanka, tracking hutan Papua, berlayar dengan phinisi di kepulauan Wakatobi, berenang bersama. Andreas sering menulis cerita-cerita ini di blog. Ada juga beberapa rekannya, antara lain novelis Linda Christanty, menulis esai soal hubungan ayah-anak ini.

Parents Fear for Their Children Milk (1998)
Penyu, Sukamade dan Meru Betiri (2005)
Norman's First Text Message (2005)
Singapura dan Norman (2005)
Norman's Birthday Party (2006)
Kepulauan Wakatobi (2006)
Sebentuk Cinta yang Tak Tergantikan (2006)
Surat dari Ende (2007)
Norman's Birthday at School (2007)
Norman Operasi Mata (2007)

Kini sudah saatnya mengupayakan perbaikan. Kami mohon bantuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk melindungi Norman. Dia sendiri usul dia tinggal lima hari bersama kami dan dua malam dengan Retno (Sabtu siang hingga Senin pagi).

Kami mengucapkan terima kasih sebelumnya.


Hormat kami,


Andreas Harsono dan Sapariah Saturi-Harsono

Lampiran
Kronologi Pengasuhan Norman Harsono serta dokumen perceraian
Tembusan
Magdalena Sitorus, Ketua Pokja Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan

3 comments:

Anonymous said...

Saya terharu melihat perjuangan Mas Andreas. Saya hanya bisa bantu doa. Semoga Mas Andreas dan Norman mendapat solusi terbaik.

naim muhammad said...

Jalan yang dilalui tidak selalu mulus mas. Semoga perjuangan mas mendapat hasil dan Norman mendapatkan bahagia.

zamroniproject said...

Saya lawyer pada kantor saya sendiri "M. Zamroni & Associates" law office menyampaikan pendapat, bahwa bila perkawinan mas andreas dan mbak retno dilangsungkan menurut agama Islam, maka seiring waktu Norman akan memasuki masa mumayyiz (aqil baligh & rasional)atau berusia 12 tahun, dimana Norman dapat memilih tinggal bersama siapa. Bila perkawinan tidak dilangsungkan secara Islam, ps 47 UU 1/1974 menentukan usia 18 atau belum menikah ada pada kekuasaan orang tua, apakah perjanjian yang telah dibuat ttg pengasuhan anak dimasukkan dalam putusan pengadilan mengenai perceraian ?, sampai Norman usia berapa perjanjian itu berlaku ?. Muungkin pendapat dan pertanyaan ini dapat membuka solusi yang terbaik bagi Norman.