Wednesday, March 31, 2010

Macintosh Photograph


We just bought a new Macintosh laptop. It has a photo booth facility. The result is not bad ... huh? Well me looked pretty bad. But I am talking about the resolution, focus etc.

Indonesia in Bad Company Defending North Korean Rights Abuses

Kay Seok & Andreas Harsono

The venue for the Human Rights Council at the European headquarters of the United Nations in Geneva. © 2009 Reuters


The Jakarta Globe

When the UN Human Rights Council met in Geneva last Friday to discuss North Korea, Indonesia stood out as part of a small and shrinking group. It voted against a resolution condemning human-rights violations in the world’s most closed country. Indonesia’s partners in voting no? China, Russia, Cuba and Egypt.

A look at the situation in North Korea tells you everything you need to know about whether the government of Kim Jong-il should be condemned. North Korea does not allow religious freedom, for example. Indonesians might be sympathetic to the plight of North Koreans, who are subject to arrest and imprisonment, even for life, if they practice Islam, Buddhism, Christianity or any other religious belief.

North Korea executes people for even nonviolent crimes such as theft of state property — in a country where the authorities can claim virtually everything as state property. When they carry out such executions, usually by shooting, they force the family of the condemned to stand in the front row to watch their loved ones die.

North Korea also runs large labor camps where an estimated 150,000 to 200,000 people are imprisoned, almost 1 percent of the population. The reason they have so many prisoners is that they lock up not only the people accused of political offenses but their entire families, including young children. Worse still, when babies are born inside such camps, they inherit their parents’ prisoner status. Such children grow up inside the camps and are subjected to forced labor at an early age, with little hope that they will ever be released. The inmates in these camps resemble slaves as well as political prisoners.

Criminal-defamation complaints by powerful figures may be among the biggest threat to journalists in Indonesia, but North Koreans face even worse. It has no press freedom.

All media are state-owned and state-censored. North Koreans are not allowed to watch foreign TV or listen to foreign radio. North Korea is one of the very few countries where the vast majority of citizens are not allowed to access the Internet, not even in a monitored, restricted way as in China. Bloggers simply don’t exist.

Members of Jakarta’s diverse and vibrant media, including reporters and photographers, members of the Alliance of Independent Journalists, established in Jakarta during the repressive Suharto era, should ask Foreign Minister Marty Natalegawa and his diplomats why they don’t demand that North Korea allow independent media.

Many people in Java still remember the devastating hunger during the Japanese occupation. In North Korea, a famine killed about a million people, roughly 5 percent of the population, in the 1990s. Although it recovered with generous international support, hunger persists, and young children, the elderly, the disabled, and pregnant and nursing women remain vulnerable.

But in recent years, much of the humanitarian aid dried up as North Korea continued its severe restrictions on monitoring aid distribution. Donors are concerned that food aid may go to the military or be sold in markets for profit, instead of reaching the needy.

What is obvious to everyone in Geneva and beyond, but apparently not to the Indonesian government, is that Jakarta is in bad company when it votes against a resolution that calls for North Korea to stop its abuses.

In Geneva, some diplomats shrugged and confided to us that getting Indonesia to change its stance at the Human Rights Council might be a lost cause. But why would an emerging democracy try to protect one of the world’s most brutal dictatorships from international condemnation? Why wouldn’t Indonesia back a call to let United Nations human-rights monitors into the country? Is it to preserve diplomatic relations with North Korea? But many countries that have diplomatic relations with Pyongyang still join the rest of the world in condemning its abuses against its own people, so this isn’t a credible argument.

Is it that Indonesia prefers cooperation to confrontation? But Indonesia’s own past foreign affairs ministers, including Alwi Shihab and Hassan Wirajuda, have been very critical of the Burmese military government, and Burma is a fellow member of the Association of Southeast Asian Nations.

Indonesians should ask their government why they are defending the government in Pyongyang. This kind of behavior harms Indonesia’s reputation within the international community.

Having experienced decades of dictatorship and as an emerging democracy and a regional leader, Indonesia should be leading efforts to promote and protect human rights in the world’s darkest corners.


Kay Seok and Andreas Harsono work for Human Rights Watch respectively from Seoul and Jakarta.

Sunday, March 21, 2010

Diskusi Buku Richard Lloyd Parry


Richard Lloyd Parry mengatakan dia memerlukan empat tahun, bolak-balik dari Tokyo, kota kedudukannya, pergi ke Jakarta, Dili dan Pontianak, guna mengumpulkan bahan-bahan buku In the Time of Madness. Total dia ada sembilan bulan di lapangan. Dia memerlukan beberapa bulan lagi guna menulis dan buku terbit pada 2005. Ketika itu, Parry masih single, masih kuatir dianggap tidak berani, memandang nasionalisme Indonesia dengan pesimis, mengira bahwa Indonesia akan pecah macam Yugoslavia.

Sepuluh tahun berlalu, dia kembali ke Jakarta. Dia bilang dia senang melihat Jalan Gadjah Mada, kawasan Kota, yang macet lagi, yang hidup lagi. Bukan terbakar hitam, penuh ketakutan, macam Mei 1998 dimana dia menggambarkan penjarahan toko-toko milik orang Tionghoa dengan pesimisme mendalam terhadap Indonesia dalam In the Time of Madness.

Menurutnya, sepuluh tahun lalu, untuk Asia Tenggara, orang luar pesimis pada Indonesia dan optimis pada Thailand. Siapa sangka sekarang Thailand justru ribut terus? Antara pendukung Thaksin Sinawatra dan pemerintah Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Indonesia justru mengalami "national rebirth." Parry berpendapat Indonesia justru menjadi nation-state yang lebih baik sesudah pembunuhan besar-besaran di Timor Leste, Aceh, Sambas, Jawa, Maluku maupun Poso, sesudah jatuhnya diktator Soeharto pada Mei 1998. Indonesia menjadi lebih baik tanpa Timor Leste.

Dia berpendapat pada akhir abad XX, sangat jarang ada kanibalisme, sangat jarang ada diktator jatuh, sangat jarang ada negara-bangsa baru muncul. Tiga hal tersebut ditemuinya di Indonesia. Kalimantan ada kanibalisme. Jawa ada diktator jatuh. Timor Leste jadi negara-bangsa baru. Itulah ramuan untuk In the Time of Madness.

Yayasan Pantau mengadakan diskusi kecil dengan Parry Sabtu kemarin di Cafe Batavia, kawasan Kota. Parry kebetulan datang ke Jakarta guna meliput kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama 23-26 Maret 2010. Namun Obama membatalkan kunjungan pada Kamis 18 Maret. Parry punya waktu luang dan saya minta dia bicara untuk khalayak Pantau. Kami kenalan lama sejak zaman Soeharto ketika masih sama-sama muda. Kini Parry sudah berkeluarga dan punya anak. Dia sekarang tak kuatir dibilang "coward."

Anugerah Perkasa, salah satu peserta diskusi, juga wartawan Bisnis Indonesia, mengatakan dalam Facebook, "Saya suka saat Richard bicara soal beban dia sebagai reporter kala menulis buku In the Time of Madness. Tetap menulis untuk harian" Parry adalah koresponden harian The Times (London) untuk biro Tokyo-- "tapi juga harus mencari waktu untuk bekerja sendiri demi bukunya. Waktu memang sesuatu yang mewah!"

Saya pribadi berpendapat buku In the Time of Madness adalah salah satu buku paling dahsyat menggambarkan chaos masa pasca Soeharto. Entah berapa halaman dipakai oleh Parry untuk mendeskripsikan pembunuhan di Sambas, Jawa maupun Timor Leste. Dia juga cerita adegan dimana dia ditawari makan sate daging manusia, yes, sate manusia di Sambas. Menariknya, Parry mengesankan saya sebagai English gentleman: sopan, rendah hati dan hati-hati dengan kata-katanya.

Beberapa wartawan, termasuk Agus Srimudin, Anugerah Perkasa, Budi Setiyono, Fahri Salam, Imam Shofwan, Sapariah Saturi maupun aktivis Siti Maemunah dan Zeng Wei Jian, serta peserta kursus narasi Yayasan Pantau, ikut dalam diskusi buku Richard Lloyd Parry. Ada belasan peserta datang termasuk Arifuddin Patunru, Jeanny Hardono, FX Ridwan Handoyo, Ina Murwani. © 2010 Sapariah Saturi

Para peserta diskusi bergaya di tangga Cafe Batavia bersama Richard Lloyd Parry. Kami sengaja memilih kawasan Kota guna diskusi karena para peserta kursus Pantau diajak Budi Setiyono, salah satu instruktur kursus, bikin liputan di daerah Kota. Cafe Batavia juga tempat yang bisa mengingatkan orang pada zaman Hindia Belanda. © 2010 Ridwan Handoyo

In the Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos diterjemahkan ke bahasa Melayu Indonesia pada 2008 oleh Serambi dengan judul Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan. © 2010 Sapariah Saturi

Friday, March 19, 2010

Antara Obama, Hamster dan Photo Booth


Selama dua minggu terakhir ini, saya menerima tawaran untuk meliput kunjungan Presiden Barack Obama. Ada seorang kenalan dari perusahaan public relation, sewaan Kedutaan Amerika Serikat, kirim email. Dia menawari apakah bersedia meliput. Ini tawaran sebagai seorang blogger dan wartawan. Hari Kamis ada juga satu kenalan dari sebuah lembaga dana minta data. Mereka hendak mengundang saya ikut pertemuan civil society organization bersama Obama di Bali. Seorang pejabat dari State Department juga tanya siapa wartawan maupun aktivis, yang bisa mereka undang dan bertemu Obama. Saya beri beberapa nama.

Namun untuk diri sendiri? Mulanya ragu. Bertemu dengan Presiden Obama, saya bayangkan, pasti disuruh mendengar dia bicara.

Buat apa? Hanya menghabiskan waktu.

Sejak dulu saya memang enggan bertemu dengan pejabat-pejabat. Namun mereka tampaknya terkesan dengan sebuah op-ed saya "Obama Has the Power to Help Papua, the 'Weak Man' under Indonesian Rule" di harian Jakarta Globe.

Kemarin saya memutuskan menerima tawaran tersebut.

Saya diminta kirim nomor KTP dan tanggal lahir. Ini untuk security check. Minimal saya bisa punya pass masuk ke acara-acara Obama. Entah di Jakarta atau Nusa Dua, Bali. Saya juga bisa bertemu banyak wartawan, aktivis dan orang-orang menarik. Anyway, nothing to lose. Paling saya hanya kehabisan waktu.

Maka saya menyiapkan diri. Mulai dari baca-baca juga berpikir.

Tadi malam menerima email dari Washington DC, pemberitahuan bahwa Obama menunda kedatangan hingga Juni. "The president regrets the delay," kata Roberts Gibbs dari White House. Tiba-tiba saya merasa punya waktu luang.

Pagi ini kasih makan hamster milik Norman. Senang lihat dia lucu jalan-jalan dalam roda. Hamster ini pemberian engkongnya Norman. Tiap hari, Norman asyik bermain dengan si hamster, terkadang, diajaknya main helikopter kecil. Dan hamster suka makan wortel dan jagung. Kami sering geli lihat dia memindahkan barang-barang dalam kandang miliknya. Malam hari ia suka main lingkaran berputar.

Saya juga iseng-iseng main komputer Norman, program Photo Booth. Komputer Norman, sebuah Mac mutakhir, jauh lebih canggih daripada komputer saya.Ini hadiah ulang tahun ke-13. Norman memang lebih suka Mac daripada PC. Dia lagi senang main video.

Bagaimana komentar Anda terhadap potret diri saya?

Monday, March 15, 2010

Belajar Menulis BP Migas


Selama tiga hari, dua malam, akhir pekan kemarin, saya mengajar 18 karyawan BP Migas belajar menulis di Hotel Novotel, Bogor. BP Migas atau Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas adalah organisasi pemerintah Indonesia. Tugasnya, mengawasi dan mengatur kerja perusahaan-perusahaan minyak dan gas.

BP Migas mengontrak PT Kairos Komunikasi Utama, sebuah perseroan baru, guna mengatur acara ini. Simon Panggabean dari Kairos minta saya mengajar baru seminggu sebelum acara. Mulanya saya enggan karena persiapan mendadak sekali. Belakangan saya senang karena para peserta kebanyakan orang awam dalam jurnalisme namun mereka antusias belajar menulis.

Misalnya, Dessy Anggraini, seorang sekretaris senior, tak menginap di hotel. Dia biarkan kamar hotel tak dipakai. Setiap malam "Mbak Echi" memutuskan pulang ke Jakarta, satu jam naik mobil, bertemu suami, cerita panjang lebar, tidur larut malam. Paginya, Mbak Echi tak pernah terlambat, sudah ada di Novotel. Padahal acara kami biasa selesai pukul 23:00 dan pagi mulai pukul 8:00.


Sebagian peserta Hotel Novotel termasuk Susana Kurniasih, Budi Handoko, Febrian Dama Asmara, Noer Fajhrie Ansyah, Mindarsih, F. Morita Dian Julianti, Koriana Triyuniayanti (Staf Perwakilan Sumatera Bagian Selatan dari Palembang) dan Jonih Rahmat. Simon Panggabean dan dua rekannya dari PT Kairos Komunikasi Utama ikut menemani acara dari awal hingga akhir.

Walau tidak wajib, namun Mbak Echi selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal mereka diikutkan workshop karena permintaan BP Migas. Ini beda dengan workshop lain yang biasa saya ampu dimana peserta, mayoritas wartawan dan aktivis, memang ikut workshop karena mereka ingin belajar menulis. Saya kira tak ada yang membahagiakan seorang instruktur macam saya daripada melihat peserta macam Mbak Echi.

Susana Kurniasih, mantan wartawan Suara Pembaruan dan kini Kepala Sub Dinas Komunikasi BP Migas, mengatakan, "Saya senang dan lega, teman-teman bisa merasakan manfaat pelatihan. Mas berhasil menumbuhkan kesadaran bahwa menulis itu perlu dan membangkitkan minat mereka untuk belajar menulis. Sebuah titik awal yang baik untuk pengembangan humas BP Migas."

Saya berharap pelatihan singkat ini berguna untuk mereka. Kami sudah belajar soal dasar jurnalisme, struktur naskah serta perkakas menulis. Mereka perlu berlatih menulis dalam bentuk piramida terbalik, misalnya, siaran pers. Mereka juga perlu menulis surat dengan lebih bertenaga. Saya juga mengajak mereka menghormati wartawan dengan memberikan informasi lengkap dan jujur --tak perlu menyediakan amplop. Ada debat kecil soal bagaimana hadapi wartawan. Saya senang mereka menerima argumentasi saya.

Friday, March 12, 2010

Warisan Kata


Warisan kata: karena tak semua orang berani mewarisi sesuatu dan sungguh sedikit yang berani.

Oleh Muhammad Fauzi

Muhammad Fauzi duduk bersama rekan-rekannya di Sei Rokan, sebuah tempat pelatihan dalam perkebunan kelapa sawit PT Ivo Mas Tunggal, sekitar dua jam dari Pekanbaru, Riau.

Ada banyak warisan penutup riwayat hidup. Dan ada satu yang hampir selalu berulang: warisan cita-cita pada generasi muda, dalam bentuk kata-kata.

Malam itu, pukul 21.30, dalam acara penutupan workshop jurnalisme narasi, Andreas Harsono mewariskan kata-kata: "Cita-citaku cuma dua. Mendirikan sekolah wartawan, macam graduate school, yang ditempuh dalam waktu satu tahun untuk mengembangkan mutu wartawan di Indopahit ini. Yang kedua, aku ingin salah satu orang yang ikut pelatihan aku, mendapatkan Pulitzer Prize, atau paling tidak, mendapatkan Nieman Fellowship di Harvard atau Knight Fellowship di Stanford. Jadi, aku harap kalian tidak hanya bercita-cita sampai sekelas Kompas atau Tempo ... Besok, aku akan meninggal dengan tenang, jika salah satu dari kalian mendapatkan hadiah Pulitzer."

Nada suara penuh pengharapan, juga ada semacam kecemasan, meski tenang. Ah, semua orang yang sudah merasa tua, paham, dan penuh cita, akan selalu melakukan dan mengatakan hal serupa: mewariskan cita-cita. Hal serupa juga dilakukan oleh dokter Jawa zaman Belanda itu, dokter Wahidin, yang jadi ikon di Indonesia.

Dalam hatiku, aku bertanya-tanya: kenapa dia seakan putus asa pada dirinya sendiri, terutama saat dia mengatakan bahwa dirinya takkan mendapatkan Pulitzer. Ah, itu juga perasaan yang dialami dokter Jawa itu, juga beribu-beribu pewaris cita-cita. Yakin akan disambut oleh yang lebih muda, dan sudah sadar diri tidak akan bisa menggapai cita-cita itu.

Aku tidak tahu, sudah berapa kali dia mengatakan hal serupa, dalam pelatihan di mana dia jadi instruktur.

Untuk yang pertama, aku yakin dia bisa mewujudkannya di Indonesia. Entah kapan. Aku harap dalam waktu dekat, ada orang atau lembaga, yang bersedia membiayainya. Tapi, untuk yang kedua itu, hadiah Pulitzer, duh ... entah kapan akan terwujud.

Saat mendengarkan warisan kata itu, aku terdiam. Lalu, aku mencoba menggugat hatiku: siapa yang berani mengambil warisan ini? Apakah aku berani? Warisan kata selalu lebih merepotkan, lebih rumit, dan lebih merugikan, secara psikis, dibandingkan warisan harta. Warisan kata hampir tidak ada yang mau merebutnya. Meng-iya-kan saja wegah.

Seandainya aku berani mengambil warisan itu, berarti aku harus berani belajar, belajar, dan belajar, lebih intens, lebih serius, dan, tentu saja, lebih ambisius. Paling tidak, aku harus melebihi dia dalam belajar, membaca buku-buku, mengasah kemampuan jurnalistik, membuat jaringan, dan sebagainya. Jadi, warisan kata menyiksa; warisan harta membawa nikmat.

Tapi, aku yakin siapapun orang yang berani mengambil warisan kata itu, dia adalah orang yang sangat berbakti pada guru, orang yang sangat mengerti tentang arti perjuangan.

Beranikah aku? Kamu? Siapa yang berani mewarisi kata?


Ditulis di Sei Rokan Training Centre, Riau, 6 Maret 2010
Diketik di Surakarta, 12 Maret 2010


Muhammad Fauzi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, mengikuti workshop penulisan, yang diadakan Eka Tjipta Foundation dan Bahana Mahasiswa, Universitas Riau, di Sei Rokan, Riau, Maret 2010.

Sunday, March 07, 2010

Workshop Sei Rokan


Selama seminggu, 1-6 Maret 2010, Chik Rini dan aku mengampu sebuah kelas penulisan di Sei Rokan, sebuah perkebunan kelapa sawit PT Ivo Mas Tunggal, sekitar tiga jam dari Pekanbaru. Peserta datang dari Riau, Minangkabau, Jawa dan Madura. Kami berlatih interview serta bikin bikin deskripsi, dialog dan monolog di sebuah desa transmigrasi, Bringin Lestari, dekat perkebunan.

Chik Rini seorang wartawan Aceh, tinggal di Banda Aceh, pernah menulis beberapa narasi, "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" atau "Surat dari Geudong." Kami sama-sama pernah bekerja untuk majalah Pantau.

Menurut Chik Rini dalam Facebook, "Mas Andreas kehilangan lemak 5 ons karena membonceng Kak Chik hehehe .... Ternyata kami guru yang kompak. Membayangkan kalau tiap hari naik sepeda ontel ini ke sekolahan di SP 3? Kami mirip guru daerah terpencil ya?"

Susahnya, selama seminggu ini pula kami terputus dari dunia luar. Sei Rokan tak ada internet, tak ada sinyal cell phone. Bila hendak cari internet, kami harus pergi ke kota terdekat, Kandis, sekitar setengah jam naik mobil. Ini sudah kami lakukan karena selama jam kerja, kami harus mengajar para mahasiswa.

Aku biasa memakai cell phone Matrix. PT Indosat, perusahaan yang mengelola Matrix, tampaknya belum bisa membuat sinyal Matrix tertangkap di Sei Rokan. Namun Telkomsel, rival Matrix, juga belum sepenuhnya bisa ditangkap di Sei Rokan. Bedanya, Telkomsel ada dua strip, Matrix nol strip. Praktis selama seminggu aku tak tahu apa-apa soal dunia luar selain nonton televisi Jakarta.

Setiap hari, bila bepergian, kami memakai sepeda kumbang. Ini sebuah kebiasaan dari zaman perkebunan Hindia Belanda dimana petugas kebun memakai sepeda guna memeriksa pekerjaan buruh kebun. Sekarang sudah jarang dipakai sepeda. Orang pakai four wheel drive atau sepeda motor. Namun sepeda masih disediakan. Aku membonceng Meiriza Paramita, seorang peserta dari Padang, kini magang di kantor berita Antara.

Aku tak tahu apakah bacaan dalam workshop ini terlalu banyak sehingga Andika Khagen, peserta dari Minangkabau, membaca buku Jurnalisme Sastrawi bahkan di tempat parkir sepeda? Secara umum workshop ini memberi kesempatan kepada peserta untuk banyak membaca, serta merenung, dan mengerjakan pekerjaan individu. Aku rasa waktu lima hari relatif pendek. Aku ingin bisa merancang workshop dengan waktu lebih lama.

Kami juga mengunjungi pabrik kelapa sawit PT Ivo Mas Tunggal. Ada 12 station dalam pabrik ini. Mulai dari tempat penimbangan truk sawit hingga penyimpanan crude palm oil. Made Ali dari Bahana Mahasiswa termasuk peserta yang banyak bergurau. Dia orang Bugis asal Bone, kuliah hukum di Universitas Riau.