Sunday, December 18, 1988

Membela Musik Dangdut

Andreas Harsono
Suara Merdeka


Dimana-mana diatas dunia,
banyak orang bermain musik, 
dari pop sampai yang klasik,
Bagi pemusik yang anti Melayu, 
boleh benci jangan mengganggu… 

“Musik” karya Rhoma Irama

Waktu itu asas tunggal baru mulai disebut-sebut, Partai Persatuan Pembangunan masih dikenal sebagai partai Islam, dan salah seorang juru kampanye andalan partai itu adalah Rhoma Irama, seorang pemusik dangdut, penyanyi, komponis dan superstar dalam arti yang sesungguhnya. Saat itu pula seorang doktor di bidang sosiologi dari Universitas Ohio (Amerika Serikat), perlu-perlu datang melihat sendiri bagaimana “ksatria bergitar” memukau massa, berkampanye untuk partai Islam, menyampaikan dakwah sambil bergumam, “Sampaikan walau satu ayat.”

William H. Frederick, demikian nama sosiolog itu, kemudian dikenal sebagai ilmuwan yang tertarik meneliti musik dangdut. Dan juga sebagai ilmuwan yang kemudian terheran-heran bagaimana mungkin musik dengan penggemar terbesar di Indonesia itu diacuhkan begitu saja. Bukan hanya diacuhkan tapi dilecehkan. Dicap imitasi, tanpa identitas, tidak bermutu dan lainnya. Musik yang paling mengena di hati rakyat kecil, tapi tanpa ada satu pun kritikus musik, sosiolog lokal atau ilmuwan lainnya, yang punya cukup minat untuk mengkajinya. 

Memang begitulah dangdut. Remy Silado pernah mencap “musik dangdut sebagai “musik tahi anjing” atau Jack Lasmana misalnya, menganggap musik jazz sebagai “bistik” sedangkan musik dangdut “gado-gado”. Begitu banyak kecaman, begitu banyak diskriminasi. Sampai Rhoma Irama khusus menciptakan lagu, untuk katakanlah membela diri, berjudul “Musik”. 
***

Pesan lagu berjudul “Musik” itu jelas sekali. Selera orang memang berbeda-beda. Boleh merasa tidak senang. Boleh menilai tidak bermutu. Tapi jangan karena tidak senang lalu mengganggu. Dan pesan-pesan semacam itulah yang kemudian banyak mewarnai lagu-lagu Rhoma Irama. “Ksatria Bergitar” kemudian menjadi juru dakwah. Berdakwah dengan media yang luar biasa ampuh, yakni musik dangdut. Berkisah tentang perjuangan, tentang bahaya judi, hak asasi manusia, jurang ekonomi, yang miskin makin miskin yang kaya makin kaya dan sebagainya.

Memang musik dangdut bukan hanya Rhoma Irama. Masih ada Colak-colek-nya Camelia Malik, atau pun Gubuk Derita-nya Muchtar B. Dangdut selain yang berwajah perkasa macam itu, masih punya sisi yang lain. Sisi yang kelam dari pemusik-pemusik dangdut, yang main dari kota ke kota, dari Sekaten ke pasar malam yang lain, dengan honor beberapa ribu rupiah semalam. Dangdut memang bukan hanya Rhoma Irama. Namun berbicara musik dangdut tanpa menyinggung Rhoma, adalah kekeliruan.

Rhoma secara tegas membela musik dangdut. Rhoma meramu dangdut-dangdut hard rock yang kental. Rhoma pula yang memberi nafas Islam yang kuat sekali pada musik-musiknya. Dan dari dangdut pula, pesan-pesan Rhoma disampaikan dengan cara khas. Memang pesannya sangat sederhana, bertema agama, kemanusiaan ataupun moral, disampaikan secara hitam-putih. Kebajikan selalu memenangkan kejahatan. Tapi begitulah musik penyanyi kelahiran Tasikmalaya ini. Karena memang itulah yang dibutuhkan. Sebuah kenyataan yang kecil, tekanan ekonomi hidup sehari-hari dan sekedar mengingatkan bahwa masih ada jalan keluar. Itu musik berdakwah.
***

Dari media maupun pesan-pesannya jelas sekali keterampilan Rhoma Irama. Dia berpihak kepada lapisan masyarakat yang, keseniannya pun tidak begitu dihargai, lapisan masyarakat bawah, yang tertindas beban kehidupan ekonomi. Lapisan masyarakat yang masih hidup dalam angan-angan nyaris hampa. Masyarakat yang tidak memiliki kritikus musik. Masyarakat yang tidak bisa mengerti bahasa Inggrisnya musik rock. Lapisan masyarakatnya suaranya lebih sering “diwakili” dan “dibela” daripada “mewakili ataupun “membela”. Dangdut memang identik dengan rakyat kecil.

Kalau kemudian dangdut kurang begitu diacuhkan terutama oleh kritikus musik, kaum intelektual sosiolog, media massa dan lainnya, itulah representasi kehidupan masyarakat negeri ini. Karena elite negeri ini memang berniat membantu golongan yang lemah, menderita dan tertindas. Tapi dalam kadar yang paling pekat, tidak bisa benar-benar memahami penderitaan orang kecil. Rakyat kecil memang perlu dibela. Perlu diperjuangkan. Tapi tidak dengan cara memiskinkan diri bukan?

William Frederick memperkirakan para pengamat Indonesia enggan menjelajahi musik dengan penggemar jutaan orang itu. Bisa jadi sebagai kasus pengaruh pendidikan Barat. Kaum terpelajar pengamat kebudayaan di negara-negara berkembang biasanya lebih tertarik dengan apa yang dikategorikan sebagai “kebudayaan rakyat,” dari pada   kebudayaan pop”. Sastra dan seni rupa” daripada “musik”. 

Dari kategori ini jelas sekali, dangdut memenuhi syarat, untuk tidak diperhatikan. 

Kalau mengacu perkembangan terakhir dalam “dunia kebudayaan” di Indonesia dalam tahun delapan puluhan, ada semacam pandangan humanisme universal yang begitu mendominasi para budayawan Indonesia. Seni dipandang lepas dari konteks masyarakat dimana seni itu berada. Seni dilepas dari konsep ruang dan waktu. Nilai budaya yang dianggap bagus di Eropa Barat harus tetap bagus di Jawa Tengah. Apa yang bagus di abad delapanbelas, harus tetap bagus di abad duapuluh. 

Pendapat humanisme universal ini kemudian dikoreksi oleh pendapat, yang kemudian dikenal dengan kebudayaan kontekstual. Dimana pada intinya menolak nilai-nilai kesenian yang bersifat universal. Apa yang bagus di Austria, pada Renaissance, belum tentu bagus untuk ukuran Jakarta tahun 1988. Musik waltz belum tentu bisa diterima oleh telinga Melayu.

Demikian hanya dengan dangdut. Dari begitu banyak aliran musik, tampaknya dangdut yang paling tidak diperhatikan. Dangdut dipandang tidak memenuhi ukuran-ukuran keindahan dan estetika seni musik, yang telah ditentukan lebih dulu oleh misalnya seni musik klasik. Atau pun ukuran yang disandang oleh njelimentnya harmoni musik jazz. Pendek kata, dari kacamata humanisme universal yang ditularkan oleh pendidikan Barat kepada para pengamat budaya negeri ini, dangdut tidak laku!

Padahal dangdut adalah musik dan kebudayaan yang luar biasa. Belakangan ini masyarakat terkesiap ketika Rhoma Irama yang sudah absen dari layar televisi selama 11 tahun, muncul kembali Jumat 6 Mei yang lalu. Dan esok siangnya seperti yang dilaporkan Tempo, album terbarunya “Judi” sudah didapatkan di toko-toko. Lantas tanggal 27 dan 28 Mei, penyanyi berusia 41 itu, menggebrak Jakarta di Taman Ismail Marzuki di hadapan puluhan ribu penonton, mengawali tournya di 50 kota di Indonesia.  Bayangkan 50 kota! Bukan main-main. 

Inilah dangdut yang selalu dilecehkan. Ternyata mampu bikin begitu banyak kejutan minimal sebanding dengan Krakatau. Misalnya cukup menggigit dibanding God Bless misalnya atau Orkes Simfoni Jakarta. Dangdut seharusnya memang begitu. Banyak yang bicara prestasi group-group jazz Indonesia di North Sea Jazz Festival di Den Haag atau Light Music Contest di Tokyo. Atau menyoroti tour God Bless di sembilan kota di Jawa, atau konser-konsernya Adidharma, tapi kenapa tidak dengan dangdut? 
***

Dangdut bukan saja enak dinikmati sebagai musik. Tapi keperkasaan dangdut juga merupakan prisma yang luar bisa jelas untuk menyoroti kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahasa menunjukkan bangsa. Dangdut adalah “bahasa” yang sudah melekat dengan rakyat kecil (baca: masyarakat penduduk) negeri ini. Maka mempelajari dangdut berarti mempelajari bangsa Indonesia. Dan belajar mengenal diri sendiri adalah langkah pertama untuk memulai perkembangan dan pertumbuhan bangsa ini.

Dangdut memang bukan sekedar musik itu sendiri. Dangdut adalah gejala sosial menyetir ucapan Marshall MaxLuhan, “The medium is the message.” Media musik dangdut adalah “pesan” itu sendiri. Dengan dangdut, orang bisa menyampaikan pesan apa saja, dan pesan itu juga tercermin, terdapat dan termanifestasi dalam musiknya. Karena itulah, come back Rhoma Irama pada acara Kamera Ria (oleh pusat penerangan ABRI) dengan lagu “Judi”, adalah gejala betapa menariknya musik dangdut. Di satu sisi Porkas dihalalkan oleh pemerintah, tapi ada seorang superstar berdakwah, yang terang-terangan anti judi. Muncul, membawa gitar, menyanyi dan bernada anti judi. Bukankah gejala ini menarik untuk ditelusuri? 
***

Andreas Harsono, mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, aktifis pada Yayasan Geni, Salatiga.