Thursday, December 30, 2010

Putri Sulung Bangsa Papua

FORUM DEMOKRASI Rakyat Papua Bersatu memberikan gelar "Putri Sulung Bangsa Papua" kepada aktivis hak asasi manusia Carmel Budiardjo dari London pada 28 Desember 2010 di Bali. Acara dihadiri beberapa tokoh Papua, termasuk Mama Yosepha Alomang dari Timika, Pendeta Benny Giay dari STT Walter Post, Federika Korain dan Salmon Yumame dari Forum Demokrasi. 

Acara diselenggarakan di Bali karena Budiardjo, sebagai non-warga Indonesia, memerlukan "surat jalan" bila hendak masuk ke Papua. Aturan tersebut dipakai oleh Indonesia untuk menghalangi aktivis, wartawan maupun diplomat internasional, datang ke Papua.

Menurut siaran pers Forum Demokrasi, "Ibu Carmel Budiardjo, yang saat ini telah berusia 85 tahun, menunjukkan komitmen untuk berjuang bersama bangsa Papua agar menemukan jati diri dan kebebasan hakiki yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa Papua." Dia dinilai "terbukti gigih" dalam memperjuangkan "harkat dan martabat" bangsa Papua sejak 1970an. 

Budiardjo dibaptis dengan nama: Papuaumau (bahasa Mee) atau Venia Ati (bahasa Maybrat) atau Bin Syowi (bahasa Biak). Semua kata tersebut berarti "putri sulung" dalam tiga bahasa di Papua. 

Benny Giay mengatakan "Ibu Carmel" adalah "orang asli Papua" karena perjuangan dan komitmen terhadap hak asasi manusia. Prosesi pengukuhan ditandai dengan prosesi tarian adat oleh mahasiswa dan mahasiswi di Bali. 

Mereka mengantar Mama Yosepha, yang memikul noken berisi gambar Carmel Budiardjo. Lukisan kayu ini menggambarkan Budiardjo dengan salah satu tangan menantang Pulau Papua dan manusia Papua. Sekaligus tertulis juga nama Papua Carmel Budiardjo: Papuaumau atau Venia Ati atau Bin Syowi.
   
Gambar kulit kayu Putri Sulung Bangsa Papua ©2010 Salmon Yumame

Dalam pidatonya, Carmel Budiardjo mengatakan dia terharu dan berterimakasih kepada Forum Demokrasi. Dia menyatakan akan tetap bikin kampanye soal hak asasi manusia bangsa Papua. 

Carmel Budiardjo kelahiran London pada 1925. Dia lulus dari University of London pada 1946. Dia bertemu dengan Suwondo Budiardjo, seorang pegawai Indonesia, ketika mereka ada di Praha. Mereka menikah dan pindah ke Jawa pada 1952. Carmel bekerja untuk Departemen Luar Negeri. 

Pada 1965, Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan serta memenjarakan ribuan kaum komunis Indonesia, termasuk Suwondo selama 12 tahun. Carmel sendiri, sebagai ekonom kiri, dipenjara tiga tahun, dibebaskan karena dia warga negara Inggris, dan dideportasi dari Indonesia pada 1971. 

Di London, Carmel Budiardjo mendirikan Tapol, singkatan dari "tahanan politik," guna kampanye pembebasan para tapol di Indonesia. Tapol lantas memperluas kampanye mereka dengan riset tentang kegiatan militer Indonesia dan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, Aceh dan Papua. 

Buletin Tapol merupakan referensi penting soal hak asasi manusia di Indonesia pada 1970an hingga 1990an. Pada 1983, Tapol menerbitkan buku West Papua: The Obliteration of a People

Dia menulis otobiografi Surviving Indonesia’s Gulag soal kekejaman militer Indonesia terhadap para tapol komunis. 

Kerja Budiardjo di bidang hak asasi manusia mendapat penghargaan di berbagai tempat. Pada 1995, Carmel Budiardjo menerima penghargaan Right Livelihood Award dari Stockholm. 

Pada 1999, International Forum for Aceh, yang berpusat di New York, memberi gelar khas perempuan Aceh kepada "Tjut Carmel Budiardjo." 

Menurut M. Nur Djuli dari International Forum for Aceh, "Kami juga memberinya sebuah plaque bertuliskan poem bahasa Aceh, bunyinya: Reudôk di glé ujeuën muprœt-prœt, aneuëk guda rœt ôn naleuëng paya. Meunyo lôn ingat budi gata gœt bak tiep simpang rœt lôn rô ië mata." 

Makna puisi dalam bahasa Aceh tersebut: Thunder on the mountain, showering rains, A filly grazing swamp grass, Whenever I recall your good deeds, At every street corners Tears drop from my eyes

Carmel Budiardjo memang banyak bekerja untuk masyarakat yang mengalami penindasan --meminjam terminologi Hasan di Tiro-- oleh "bangsa Indonesia Jawa." Hasan di Tiro adalah pendiri Acheh/Sumatra National Liberation Front

Tahun lalu Presiden Timor Leste Jose-Ramos Horta memberi Bintang Timor Leste kepada Budiardjo karena "impressive contribution to peace, to the Timorese people and to humanity." 

Di Bali, acara ditutup dengan jamuan khas Papua berupa papeda, kuah ikan, petatas, keladi dan daun kasbi. Budiardjo didampingi putra dan putri dia dalam upacara tersebut.

Tuesday, December 28, 2010

Merayakan Natal 2010 di Polda Papua


Ricky Dajoh seorang photographer Minahasa yang besar di Jayapura, bezoek Filep Karma dan Buchtar Tabuni di tahanan Polda Papua. Dia mengambil gambar mereka ketika para tahanan sedang merayakan Natal pada 25 Desember 2010. Karma dan Tabuni adalah tahanan politik. Mereka dihukum penjara oleh pengadilan Indonesia karena menyatakan aspirasi politik mereka secara damai.

Sebuah Teratak di Stadthuys


Teratak Munsyi di Stadthuys ©2010 Sapariah Saturi

KETIKA jalan-jalan lihat Stadthuys, sebuah benteng dan bekas kantor Vereenigde Oost-Indische Compagnie di Melaka, kini dijadikan beberapa museum, saya lihat ada "teratak munsyi." Munsyi adalah terminologi untuk ahli bahasa, penterjemah, sastrawan maupun guru. Di museum pendidikan Stadthuys, munsyi yang dijadikan contoh adalah Abdullah bin Abdul Kadir (1796–1854), seorang guru Melayu keturunan Hadramaut, Melayu dan Tamil, biasa mengajar pengajian al Qur'an.

Dalam antologi Agama Saya Adalah Jurnalisme, saya juga memakai istilah "munsyi" untuk Noam Chomsky, profesor dari Massachusetts Institute of Technology di Cambridge. Menurut Arts and Humanities Citation Index, Chomsky adalah penulis yang paling sering dikutip di seluruh dunia akademik untuk periode 1980–1992.

Dalam Bahasa Malaysia, kata "munsyi" sering dipakai namun ia jarang digunakan dalam Bahasa Indonesia. Entah kenapa. Novelis Remy Sylado alias Yapi Tambayong suka memakai kata ini. Dia menyebut dirinya sendiri seorang munsyi. Remy Sylado, memang seorang munsyi, antara lain berkat buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing.

Dalam bahasa Urdu, "munshi" berarti seorang penulis atau sekretaris. Kata ini lantas dipakai di British India serta British Malaya dimana Abdullah bin Abdul Kadir bekerja. Dalam bahasa Persia, kata منش (munshi) adalah gelar kehormatan untuk orang yang menguasai beberapa bahasa.

Saya minta isteri saya, Sapariah, memotret teratak munsyi --tempat belajar bahasa serta mengaji al Quran dekat museum tsb. Saya suka dengan ide orang belajar di tempat kecil dan tempat terbuka macam teratak ini.

Tuesday, December 14, 2010

Kebebasan pers pasca-Soeharto, adakah?


OLEH ANDREAS HARSONO
Bisnis Indonesia

BULAN lalu saya berdiskusi dengan Atmakusumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers dan pemenang Ramon Magsaysay Award for Journalism. "Pak Atma" wartawan terhormat. Pada 1960-an, dia bekerja sebagai wartawan harian Indonesia Raya hingga diberedel Orde Baru pada 1974. Dia lalu bekerja di United States Information Service, Jakarta. Pada 1990-an, sebagai reporter kurcaci, saya mulai mengenalnya sebagai instruktur di Lembaga Pers Dr. Soetomo. Tugasnya, mengajar hukum dan etika pers untuk wartawan. Sesudah Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998, Astraatmadja jadi Ketua Dewan Pers (2000-2003).

Tema diskusi kami sederhana saja. Bagaimana menilai mutu jurnalisme di Pulau Jawa satu dekade sesudah Soeharto mundur? Banyak orang bilang sekarang media di Indonesia sudah bebas. Sudah tidak ada pemberedelan suratkabar. Pada zaman Soeharto, to be fair juga zaman Soekarno, banyak suratkabar diberedel. Banyak wartawan diancam. Mutu jurnalisme sulit dibilang baik. Wartawan tak bisa bekerja bila mereka berada dalam ketakutan.

Ada dua acuan dalam diskusi tersebut. Astraatmadja mengacu pada Press Freedom Index dari Reporters Sans Frontieres, organisasi kebebasan pers berpusat di Paris. Setiap tahun, sejak 2002, mereka mengeluarkan indeks kebebasan pers internasional.

Pada 2002, Indonesia masuk peringkat 57 dari 139 negara. Pada 2006, peringkat Indonesia turun menjadi 103 dari 168 negara. Tahun ini, peringkat kebebasan pers di Indonesia turun lagi menjadi 117 dari 178. Artinya, sejenak sesudah kejatuhan Soeharto, kebebasan pers naik kencang, tapi ia turun, terus-menerus turun, dalam 8 tahun terakhir. Di Indonesia, makin banyak wartawan diancam, dipukul, diadili dan beberapa dibunuh. Makin banyak jerat hukum kepada media.

Saya mengacu pada laporan Human Rights Watch berjudul, Turning Critics into Criminals: The Human Rights Consequences of Criminal Defamation Law in Indonesia, terbitan Mei 2010. Lembaga itu cemas melihat trend penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik oleh pejabat pemerintah maupun perusahaan besar, guna menjerat orang kritis, termasuk wartawan, aktivis maupun warga negara biasa.

Ibu rumah tangga Prita Mulyasari ditahan 3 minggu, terpisah dengan anaknya, dan menghadapi tuntutan penjara 6 tahun, hanya karena mengirim email dan mengeluh layanan medis rumah sakit Omni International. Bersihar Lubis, kolumnis Koran Tempo, divonis pencemaran nama baik dan dijatuhi hukuman percobaan karena mengkritik keputusan Kejaksaan Agung melarang buku pelajaran sejarah diedarkan ke sekolah-sekolah. Lubis memakai istilah "jaksa dungu" dan kena vonis 6 bulan percobaan di pengadilan Depok.

Astraatmadja mengatakan dari segi desain, kerapian ejaan, jumlah wartawan maupun teknologi media, banyak kemajuan dijangkau dalam 50 tahun terakhir. Dulu tak bisa dibayangkan desain surat kabar serapi majalah Tempo atau Gatra, harian Kompas, Media Indonesia, Bisnis Indonesia dan sebagainya.

Dia bercerita bagaimana pada 1950-an, ketika masih muda, dia acapkali mengetik surat untuk bapaknya, seorang pejabat di daerah Bekasi, lantas rajin menulis di suratkabar.

"Dulu ejaan itu minta ampun!"

Parameter lain adalah perangkat hukum. Pada 1918, parlemen Kerajaan Belanda di Den Haag meloloskan, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies. Dalam kitab itu ada 35 pasal, yang bisa dipakai untuk mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. Hukumannya, maksimal penjara 7 tahun. Korbannya, cukup banyak, termasuk aktivis macam Soekarno, Mohammad Hatta maupun wartawan seperti Kwee Thiam Tjing alias si Tjamboek Berdoeri.

Benedict Anderson dari Universitas Cornell, dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api karangan Tjamboek Berdoeri, menulis bahwa pada awal abad XX, mutu jurnalisme lebih bagus. Kerajaan Belanda memang menjatuhkan hukuman, terutama penjara dan pengasingan, tapi tak ada kabar aktivis anti-Belanda disetrum, dipukul apalagi diberi makan arsenik.

Pada 1949, ketika negara Indonesia menggantikan Hindia Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia. Pada zaman Soeharto, KUHP direvisi, pasal-pasal soal kebebasan berpendapat dinaikkan jumlahnya dari 35 pasal menjadi 42 pasal. Hukuman maksimal naik dari 7 tahun menjadi seumur hidup. Ada pasal-pasal anti-Pancasila, Marxisme dan Leninisme.

Soeharto turun Mei 1998. Perubahan muncul lagi ketika Yusril Ihza Mahendra, mantan penulis pidato Soeharto, menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal kebebasan berpendapat direvisi. Hukumannya, turun dari seumur hidup jadi 20 tahun. Pasalnya tambah dari 42 jadi 49 pasal.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, dia mengangkat Hamid Awaluddin, seorang sarjana hukum asal Makassar, menggantikan Mahendra. Awaluddin pernah jadi koresponden majalah Gatra. Kali ini KUHP direvisi lagi. Pasal-pasal kebebasan berpendapat, yang bisa dipakai menjerat wartawan macam Bersihar Lubis, ternyata naik lagi.

"Saya belum menghitung sendiri. Dalam diskusi-diskusi sering disebut 60-an," kata Astraatmadja.

"Bagaimana para pemimpin kita, makin ke sini kok makin mengerikan? Makin tidak berorientasi pada rakyat?"

Dalam indeks Reporters Sans Frontieres, peringkat kebebasan pers Indonesia jauh di bawah Kerajaan Belanda, negara yang sering disebut sebagai bekas penjajah Indonesia. Ironisnya, peringkat Indonesia juga kalah dari Timor Leste, negara bekas jajahan.

Selama satu dekade ini, kerajaan-kerajaan media di Pulau Jawa, beserta anak-anak perusahaan mereka di luar Jawa, tetap menjalankan bisnis dengan gaya lama. Janet Steele dari Universitas George Washington, yang menulis buku Wars Within soal majalah Tempo, mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan ini tumbuh besar dan kaya pada zaman Soeharto. Buat apa mereka sekarang harus berubah?

Self-censorship, salah satu gaya lama zaman Soekarno dan Soeharto, juga dijalankan terus. Saya pernah menegur Maluku Media Center di Ambon, karena anggota-anggota mereka tak mau memberitakan berbagai kegiatan aktivis Republik Maluku Selatan di Ambon, Saparua dan sekitarnya, yang jauh dari kekerasan, seperti menari cakalele, angkat bendera RMS, dan menaikkan balon. Namun mereka disiksa polisi dan dipenjara antara tujuh hingga 20 tahun. Beberapa orang diduga mati karena siksaan polisi.

Media mainstream di Jawa, dan keturunan mereka di Maluku, tak memberitakan karena ketidaksenangan mereka terhadap RMS. Mereka baru kaget ketika Presiden Yudhoyono tiba-tiba digugat RMS di Den Haag, lantas batal ke Belanda. Bukankah ini bias atau self-censorship?

Filep Karma, seorang tapol di penjara Abepura, Papua, sering mengeluh bias media Indonesia dalam meliput Papua. Sering terjadi ketidakakuratan, tidak cover both sides. Warga Papua diberitakan seolah-olah bangsa primitif, bodoh dan miskin. Praktis tak ada satu pun media Indonesia, yang menulis serius soal genocide terhadap bangsa Papua. Karma dihukum 15 tahun penjara karena pidato pada 1 Desember 2004 soal kemungkinan rakyat Papua kehilangan kebudayaan dan identitas mereka.

"Saya prihatin kalau baca berita soal Papua. Gimana ya?" tanya Astraatmadja.

Saya tak tahu harus menjawab apa. Hukum Hindia Belanda temyata lebih murah hati daripada hukum Indonesia menghadapi pers. Saya bergurau dengan mengatakan jangan-jangan Indonesia bergerak mundur ke zaman Majapahit, pada abad XII, ketika belum ada jurnalisme. Zaman Majapahit ... hanya ada propaganda.

Andreas Harsono ketua Yayasan Pantau, menulis antologi
Agama Saya Adalah Jurnalisme. Esai ini diterbitkan harian Bisnis Indonesia guna merayakan ulang tahun ke-25 pada Desember 2010.

Buku "Agama" Saya Adalah Jurnalisme


***

“Jurnalisme masa kini sudah berubah dari jurnalisme masa lampau. Buku ini mengindikasikan perubahan lebih jauh pada masa depan.”

Atmakusumah Astraatmadja Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta, penerima Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts

Antologi ini terbagi empat bagian: (1) Laku wartawan; (2) Penulisan; (3) Dinamika Ruang Redaksi; (4) Peliputan. Ia merupakan buku-bukuan dari 34 naskah saya terbitan antara 1999 dan 2010. Banyak berasal dari blog saya khusus bagian media dan jurnalisme. ©2010 Andreas Harsono

HARI ini saya menerima buku "Agama" Saya Adalah Jurnalisme dari Kanisius. Senang lihat ini. Cover warna merah darah namun terang di bagian tengah. Disain juga rapi. Saya harap buku ini sudah mulai menyebar ke toko-toko buku di Pulau Jawa.

Kanisius punya gudang di Jogjakarta, Jakarta, Surabaya, Bandung dan Palembang. Saya duga toko-toko yang berdekatan dengan lima kota tersebut akan menerima supply paling awal, termasuk Gramedia dan Gunung Agung. Kanisius (Jogjakarta) dan Yayasan Pantau (Jakarta) menerbitkan buku ini bersama. Pantau sebuah NGO kecil bergerak dalam bidang pelatihan menulis.

Buku dijual seharga Rp 50,000 per eksemplar. Kanisius dan Pantau bekerja sama dengan berbagai pihak guna promosi dan bedah buku ini. Peluncuran akan dilakukan bersama Bahana Mahasiswa, Universitas Riau, di Pekanbaru pada 3 Februari 2011. Laba dari penjualan buku diberikan kepada Yayasan Pantau.

Bila Anda hendak pesan khusus, silahkan berhubungan dengan Khoiruddien dari Yayasan Pantau 021-7221031. Pantau menjual buku dengan harga sama Rp 50,000 namun mereka akan minta saya menandatangani setiap buku yang dijual lewat Pantau. Anda tentu bisa minta saya mencantumkan nama Anda. Pembayaran lewat rekening Yayasan Pantau sesuai jumlah buku dan ongkos kirim:

Yayasan Pantau
Jl. Raya Kebayoran Lama 18 CD
Jakarta 12220
Bank Mandiri AC. 128 00046 35790

Khoiruddien mengatakan bila hendak membeli banyak, sebaiknya dalam kelipatan tiga eksemplar agar efisien dalam biaya kirim. Tiga eksemplar buku beratnya satu kilogram. "Kalau beli 10 dihitung empat kilogram. Kalau perlu 10 lebih baik 12 langsung," katanya.

Imam Shofwan dari Yayasan Pantau mengatakan sengaja peluncuran buku dilakukan di Pekanbaru, Pulau Sumatera, sebagai protes terhadap mutu jurnalisme kebanyakan media di Jakarta dan Surabaya. Isi buku ini memang banyak kritik terhadap establishment media di Pulau Jawa, tentu saja, dan keturunan mereka, di seluruh Indonesia.

E-book antologi ini juga dijual oleh Booku.com seharga US$2.4.

Wednesday, November 24, 2010

Itu putera2 Atjeh berontak karena mau merdeka, sebab didjadjah tidak enak. Belanda sendiri mengakui tidak enaknja itu. Buktinya dalam buku hikajatnja ada disebut pasal tachtig jarige oorlog buat lepaskan dirinja dari belenggu pendjadjahan."

Kwee Thiam Tjing wartawan Soeara Publiek di Surabaya
pada 1925 ketika melawan opini harian
Soerabajasch Handelsblad dan
Indische Courant yang minta
pemerintah tembak mati
orang Aceh yang melawan
kolonialisme Belanda.

Sesudah proses editing, disain dan proof reading, selama setahun, akhirnya antologi Agama Saya Adalah Jurnalisme sudah naik cetak. Kini saatnya promosi buku. Ia akan secara bertahap masuk ke toko buku di Jawa dan Sumatra bulan Desember 2010. Bulan Januari akan mulai diadakan tour buku mula-mula di Pekanbaru. Harga buku Rp 50,000. ©2010 Andreas Harsono

Tunaliwor Kiwo Torture
Indonesian soldiers allegedlly arrested and tortured Papuan farmer Tunaliwor Kiwo on May 30-June 2, 2010. Why the soldiers are still free?

Kriminalisasi Aspirasi Politik
Mereka menaikkan bendera RMS atau bendera Bintang Kejora. Mereka ditangkap, disiksa, dihukum dengan proses peradilan yang buruk dan kini dipenjara tahunan.

Warisan Kata
Muhammad Fauzi bicara soal warisan kata: Pulitzer Prize, Nieman Fellowship di Harvard atau Knight Fellowship di Stanford.

Obama Has the Power to Help Papua
Young Barack Obama noticed his stepfather’s great unease and silence about his one-year military service in New Guinea. Obama has the power to "the weak man."

Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia
Selama satu dekade warga Ahmadiyah di Pulau Lombok diusir dari satu desa ke desa lain. Bagaimana melihat pelanggaran hak asasi manusia ini dari kenegaraan Indonesia?

Monumen Munir di Batu
Munir bin Said Thalib, pejuang hak asasi manusia dari Batu, dimakamkan di kuburan sederhana. Bagaimana dengan ide bikin monumen hak asasi manusia di Batu?

Tokoh Papua Filep Karma menjalani perawatan prostate di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, selama 11 hari. Seorang perawat mengecek tekanan darah Karma sesudah operasi. ©2010 Ricky Dajoh

Kekerasan Berakar di Kalimantan Barat
Lebih dari 70 warga Pontianak dan Singkawang mengeluarkan Seruan Pontianak, minta agar warga berhati-hati dengan tradisi kekerasan di Kalimantan Barat.

Clinton's Chance to Push Beyond Cliche
Hillary Clinton should be careful not to say that Muslims in Indonesia are “moderate” as for members of persecuted religious groups in Indonesia, it is a useless and inaccurate cliche.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Struktur Negara Federasi
Rahman Tolleng bicara soal struktur federasi di Indonesia. Kuncinya, kekuasaan ditaruh di tangan daerah-daerah lalu diberikan sebagian ke pusat. Bukan sebaliknya, ditaruh di pusat lalu diberikan ke daerah: otonomi. Bagaimana Republik Indonesia Serikat?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Sunday, November 21, 2010

Tunaliwor Kiwo Torture


Papuan farmer Tunaliwor Kiwo recounts the details of his torture by Indonesian soldiers on May 30 2010 in Tingginambut area. The soldiers arrested Kiwo and his neighbor Telangga Gire when they were travelling in a motorbike from Tingginambut, their hometown to Mulia, the capital of Puncak Jaya regency. Initially, the soldiers just asked for their ID cards. But they pushed them to the back of the military post. Kiwo was tortured till he escaped on June 2.

The torture video was first mentioned to the public on Oct. 18 by the Sydney Morning Herald and Al Jazeera. Later ABC Australia and CNN also broadcasted the brutal torture video. They prompted President Susilo Bambang Yudhoyono to hold a cabinet meeting in which he ordered his defence minister and his generals to arrest the perpetrators and to bring them to justice.

But they're not arrested nor tried till today. Kiwo went into hiding. This video was shot on October 23, 2010 and released by the Papuan Customary Council. Kiwo describes the torture he suffered before escaping from the soldiers on June 2.

Tunaliwor Kiwo testified about his torture inside Indonesian soldiers' military post in Yogorini village, Puncak Jaya, Papua. ©2010 Papuan Customary Council via Engage Media

Thursday, November 11, 2010

Dummy Buku soal Jurnalisme



SESUDAH lewat proses editing, disain dan proof reading, selama setahun, akhirnya antologi Agama Saya Adalah Jurnalisme sudah siap naik cetak. Kini saatnya promosi buku. Saya sedang menyusun cara promosi bersama Kanisius, Jogjakarta.

Buku ini semacam buku panduan. Pembacanya diharapkan mahasiswa, terutama ilmu komunikasi, wartawan muda serta warga umumnya, yang ingin tahu bagaimana (seharusnya) jurnalisme bekerja. Ia punya konteks dengan persoalan-persoalan terkait jurnalisme di Indonesia. Artinya, antologi ini, ditulis antara 1999 dan 2010, bisa diperlukan di Aceh, Jawa, Kalimantan, Papua maupun Timor dan Flores.

Warga tentunya punya harapan terhadap media massa mereka, tapi juga belum tentu tahu standar baku dalam praktik jurnalisme. Buku ini memberi tahu apa-apa yang kurang dalam jurnalisme di Indonesia, sekaligus menuntun apa yang sebaiknya dilakukan. Esensinya, sistem demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto, membutuhkan jurnalisme yang bermutu. Makin bermutu jurnalisme, makin maju masyarakat.

Buku ini bisa juga dibaca sebagai kritik. Bisa juga sikap mengingatkan. Bisa pula sikap mengamati tanpa perlu terlibat di dalamnya. Ia bentuk dari apa yang mesti diketahui orang ramai, yang merasa bagian audiens dari media massa, dan tergerak untuk bertanya soal kekurangan media.

Ada beberapa endorsement terhadap antologi ini. Ia datang dari beberapa wartawan terhormat: Atmakusumah Astraatmadja (Jakarta), Bill Kovach (Washington DC), Benny Giay (Port Numbay), Otto Syamsuddin Ishak dan (Banda Aceh) dan Lily Yulianti Farid (Makassar).


“Jurnalisme masa kini sudah berubah dari jurnalisme masa lampau. Buku ini mengindikasikan perubahan lebih jauh pada masa depan.”

Atmakusumah Astraatmadja Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta, penerima Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts

"This book can help journalists and citizens alike understand the importance of independent journalism to democracy."

Bill Kovach chairman Committee of Concerned Journalists, Washington DC

“Andreas … Dorang bahas dan persoalkan barang-barang yang disembunyikan.”

Benny Giay Sekolah Tinggi Theologia Walter Post, Sentani, Papua

"Seumpama kitab hadih maja yang mengandung petuah. Andai sudah selaiknya beragama, lampoh jerat digadaikan, begitu kukuh tekadnya berjurnalistik.”

Otto Syamsuddin Ishak Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

"Ancaman jurnalisme, setara dengan peluru atau sensor, adalah bisnis media yang memompa laba, memangkas biaya redaksi serta menutup kesempatan peningkatan mutu. Andreas Harsono mengajak kita bersiap hadapi ancaman."

Lily Yulianti Farid www.panyingkul.com Makassar


UPDATE 24 November 2010
Kanisius sudah menentukan harga buku Rp 50,000. Buku akan mulai distribusi bulan Desember. Kanisius memiliki kantor dan gudang di Jogjakarta, Jakarta, Surabaya, Bandung dan Palembang. Mereka akan distribusikan buku lewat toko buku Gramedia dan Gunung Agung maupun toko-toko kecil yang sering dikunjungi mahasiswa. Mulai bulan Januari, kami juga hendak rancang serangkaian bedah buku di beberapa kota Sumatra, Jawa, Pontianak (Borneo), Manado dan Makassar (Sulawesi) serta Port Numbay (Papua).

Monday, November 01, 2010

Asmara Victor Michael Nababan


Peti jenasah Asmara Victor Nababan disemayamkan di Komnas HAM pada 1 November 2010. Berpakaian hitam, duduk dekat peti, adalah keluarga Nababan (dari kiri ke kanan): Aviva Selma Bulan Nababan (putri bungsu), Natasha Ruth Mariana Nababan (putri tengah), Juanita Miryam Hotmaida Nababan (putri sulung), Magdalena Sitorus (isteri), SAE Nababan dan isteri (abang serta kakak ipar), Sarina Attaliotis (menantu) dan Yehonathan Uli Asi Nababan (putra).


PADA akhir 1993, saya meliput sebuah pemogokan buruh pabrik garment dan mereka mengadu ke Komnas HAM. Lembaga ini belum punya kantor. Ia menumpang di kantor Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dekat Istana Merdeka. Saya sudah mulai dengar reputasi Komnas HAM namun belum yakin apakah lembaga ini bukan sekedar pemanis rezim Presiden Soeharto, yang terkenal bengis dalam menginjak-injak hak asasi manusia, dari Aceh hingga Papua, dari Jawa hingga Timor Timur.

Ketika para buruh sedang mengadu bersama Sekretaris Jenderal Komnas HAM Baharuddin Lopa, masuklah seorang lelaki, rambut gondrong ikal, menyandang tas kain dan pakai sandal. Dia memberikan hormat dengan kedua telapak tangan ditaruh di dada. Itulah perkenalan saya pertama dengan Asmara Nababan.

Seiring waktu, saya bekerja sebagai wartawan, saya on and off, meliput kiprah Nababan. Saya juga lantas kenal dengan abang-abangnya, SAE Nababan, Indra Nababan dan Panda Nababan. Saya juga suatu hari dapat tumpangan mobil serta diperkenalkan kepada isterinya, Magdalena Sitorus, yang setir mobil.

Selama mengenal Nababan, saya kira pelan-pelan mulai percaya pada kerendahan hati, kejujuran dan keberanian dia. Nababan salah satu aktivis hak asasi manusia paling bermutu di Indonesia. Dia pernah jadi anggota beberapa Tim Pencari Fakta, antara lain, pada kasus kerusuhan Juli 1996, kerusuhan Mei 1998 maupun Timor Timur 1999. Dia juga ikut menyelidiki kasus pembunuhan Munir pada 2004.

Dia bukan hanya aktif di Komnas HAM namun ikut mendirikan atau mengurus berbagai macam organisasi masyarakat sipil, termasuk Kontras, Elsam, Demos, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, Infid, Perkumpulan HAK di Dili maupun Human Rights Resource Center for Asean.

Nababan meninggal dunia akibat sakit kanker paru-paru. Ia meninggal di rumah sakit Fuda, Guangzhou, pada 28 Oktober 2010 pukul 12.30. Nababan kelahiran Siborong-Borong, Tapanuli Utara, pada 2 September 1946.

Thursday, October 28, 2010

Chik Rini di Padang Halaban


PADA Oktober 2010, Chik Rini dan saya mengampu sebuah kelas penulisan untuk mahasiswa bekerja sama dengan Suara USU, penerbitan kampus dari Universitas Sumatera Utara, dengan sponsor Eka Tjipta Foundation. Pelatihan diadakan di sebuah fasilitas training di perkebunan Padang Halaban.

Chik Rini sekarang bekerja di Yayasan Leuser, sebuah NGO lingkungan hidup di Banda Aceh. Dulu dia pernah bekerja untuk harian Analisa (Medan) serta Pantau (Jakarta). Dia dikenal karena karya panjang, termasuk Sebuah Kegilaan dari Simpang Kraft serta Surat dari Geudong.

Sudah beberapa kali saya sparing partner dengan Chik Rini. Dia pelatih yang sabar dan teliti. Dia juga suka memotret. Saya kira para peserta diuntungkan dengan kehadiran instruktur macam Rini.

Stasiun kereta api Padang Halaban. Chik Rini bersama beberapa peserta training: Andika Bakti, Kartini Zalukhu, Richka Hapriyani dan Januar Rizki (dari kiri ke kanan). Mereka sedang menunggu jemputan mobil. ©Ahmad Hidayat

Dalam kereta api Medan-Padang Halaban, selama lima jam, melihat kebun dan pemandangan sepanjang jalan. Chik Rini (baju merah) bersama Moyang Kasih Dewimerdeka (jilbab pink), Andika Bakti (satu-satunya lelaki), Richka Hapriyani (paling kanan) serta Wan Ulfa Nur Zuhra (duduk, jilbab putih). Chik Rini pernah bekerja sebagai fotografer Associated Press untuk Aceh saat perang Aceh melawan Jakarta 1990an hingga tsunami 2004. ©Ahmad Hidayat

Naik mobil dalam kebun. Padang Halaban memiliki kebun sawit tertua di Sumatera. Ia dibuka pada zaman Belanda awal abad XX. Chik Rini (jilbab pink) duduk di tengah bersama Haqqi Lutfitha atau Lulu (kiri jilbab hitam), Richka (jilbab ungu), Andika (lelaki di ujung mobil), Kartini (jilbab hitam di belakang) dan Moyang (jilbab biru tua). ©Ahmad Hidayat

Saturday, October 23, 2010

Transkrip Video Puncak Jaya

VIDEO penyiksaan dua lelaki Papua oleh beberapa tentara Indonesia menciptakan tanda tanya siapa dua orang tersebut. Mengapa mereka ditangkap dan disiksa?

Dari analisis data elektronik bisa dilihat bahwa video tsb direkam pada Minggu, 30 Mei 2010. Tepatnya, rekaman mulai pukul 13:26 selama 10 menit lebih dgn kamera 3G. File tersebut bernama "PUJA 1.3GP." PUJA singkatan dari Puncak Jaya. Ia terjadi dua hari sesudah deadline militer Indonesia bagi panglima OPM Goliat Tabuni untuk "menyerahkan diri" pada 28 Mei 2001 di Puncak Jaya.

Dari database korban pelanggaran HAM di Puncak Jaya, rekaman Piron Moribnak dari Puncak Jaya pada Juli 2010, dua lelaki: Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire. Mereka ditangkap dan disiksa oleh tentara dekat Gurage, nama sungai dan sebuah daerah dekat Tingginambut, Puncak Jaya. Kiwo lebih tua dari Gire.

Transkrip dari video tersebut juga penting. Aliansi Mahasiswa Papua memutuskan bikin transkrip dgn asumsi lelaki tua adalah Kiwo dan lelaki muda Gire. Translator seorang Lani yang mengerti bahasa Lani. Kiwo terkadang bicara dalam bahasa Lani. Asumsi ini bisa salah karena mereka berdua belum muncul. Apakah masih hidup? Atau sudah hilang?

Transkrip dibuat dgn memakai bahasa-bahasa asli dalam video: Bahasa Indonesia dan bahasa Lani. Seorang atau dua serdadu bicara dgn aksen Jawa, ada satu lagi dgn aksen Ambon, namun tak muncul dalam transkrip karena mereka tak memakai kosakata Jawa maupun Alifuru.

Dalam interogasi terhadap Kiwo, seorang tentara sebut nama Werianus "Werius" Telenggen. Dia seorang gerilyawan OPM, rekan perjuangan Goliat Tabuni, ditembak pihak Indonesia pada 17 Mei 2010. Dia dimakamkan oleh pihak gereja di Mulia.

Korban penyiksaan yang lebih muda pada video tertanggal 20 Mei 2010. Dia diduga bernama Telangga Gire.

SOLDIER: Tunjukkan senjata, tunjukkan senjata tidak? Kamu tahu senjata ada di Gurage, tunjukkan senjata!

KIWO: Saya tidak tahu, saya warga sipil biasa, tolong …

SOLDIER: Hei kau diam! Saya potong lehermu nanti, hei kau orang mana?

KIWO: Saya tidak tahu … e … e …

SOLDIER: Hei kau diam suaramu. Kalo tidak ditanya kau tutup mulutmu.

KIWO: Saya tidak tahu…

SOLDIER: Senjata dimana ? di Gurage disini dimana?

KIWO: Gurage? Ti Pilia (Translator: Orang Pilia)

SOLDIER: Baru dekat sini ada tidak? Baru Tanabaga dimana? Tanabaga senjata ada tidak?

KIWO: Tanabaga ada?

SOLDIER: Kita ke Tanabaga sekarang, Tanabaga dimana?

KIWO: Tanabaga sama Obet.

SOLDIER: Obet Siapa? Obet Tabuni? Dimana rumahnya, tahu rumahnya tidak? Tunjukkan dia sekarang dimana rumahnya?

KIWO: Tidak tahu … rumahnya tidak ada

SOLDIER: Jangan alasan, saya bunuh kau, bakar lolonya … Kau harus tunjukkan senjatanya, temanmu berada dimana? Tunjukkan temanmu kalo tidak sudah selesai.

KIWO: Ae ... (Translator: Tolong)

SOLDIER: Teman-temanmu yang bawa senjata dimana?

KIWO : Siapa?

SOLDIER: Temanmu orang-orang hutan, tunjukkan satu orang saja yang bawa senjata

KIWO: Yamuneri (Translator: Nama kampung)

SOLDIER: Ko tipu … bakar … bakar … ambil api ... bakar dia … bakar dia… Kau yang ambil. Masyarakatmu bilang kau yang ambil.

SOLDIER: Kau ambil senjata tidak?

GIRE: Senjata disini tidak ada … Di Yamoneri kah? Dimana saja disini tidak ada.

SOLDIER: Kau pernah lihat senjata tidak?

GIRE: Tidak…

SOLDIER: Kau tahu bahasa Indonesia tidak? Kau tipu.

GIRE: Saya tidak tahu bahasa Indonesia karena tidak sekolah.

SOLDIER: Kalau dikasih tahu jawab! Enak kan disiksa begini. Kau harus tahu bahasa Indonesia.

GIRE: Saya tidak tahu. Disini kami tinggal beberapa orang saja.

SOLDIER: Kau tipu, kenapa tipu? Kau tahu senjata, tadi dibilang Tinggineri, kau bilang tidak tahu to?

GIRE: Tingginambur tidak ada

SOLDIER: Kau tipu

Telangga Gire ketika kembali ke honai dia sesudah ditangkap dan ditahan tentara Indonesia di Tingginambut, menurut laporan Piron Moribnak dari Puncak Jaya pada Juli 2010.

KIWO: Kau tahu senjata to? Cepat kita pigi ambil.

SOLDIER: He senjata itu dimana? Kau tau to? Cepat … he… he ... he ...

KIWO: Yogorinip ... hae wae ... (Translator: Kau kasih tahu mereka … saya tidak tahu)

SOLDIER: Senjata taru dimana? Di honai kah? Di gereja kah? Di hutan kah? Di kandang babi kah?

KIWO: Ei ei (Translator: Aduh aduh)

SOLDIER: Di taruh dimana? Hei …! Senjata dimana?... Iyo ditaruh dimana? Di kandang babi kah? Taruh dimana? Tuli? Taruh dimana? Di honai kah? Di gereja kah? Di hutan kah? Cepat kau taruh dimana?

KIWO: Di kandang babi?

SOLDIER: Hei…betul ? Kau taruh di kandang babi? Kau taruh dimana? Hei kau jujur… ngomong jujur.

KIWO: Saya jujur, saya tidak tahu.

SOLDIER: Cepat kau jujur… kau taruh di kandang babi? Cepat ? Kau bisa ikut to? Kau taruh di kandang babi to? Kau tipu, kau taruh di kandang babi to?

Orang tua korban penyiksaan dalam video yang keluar Oktober 2010. Kalau benar dia bernama Tunaliwor Kiwo, dia belum diketahui nasibnya sekarang. Piron Moribnak dari Puncak Jaya melaporkan bahwa Kiwo belum diketahui keberadaannya ketika dia menulis laporan pada Juli 2010.

KIWO: Dimana? Tidak tahu.

SOLDIER: Kau tipu…bakar….bakar dia….bakar dia….he…he…bakar dia

KIWO: Ei…. ei…..ei…

SOLDIER: Bakar….bakar dia….bakar lolonya.

KIWO: Ei jujur be… jujur be … ei… ei… ei jujur be ….

SOLDIER: Cepat tunjukkan senjatanya ... mau jujur tidak?

KIWO: Ae jujur be … jujur be ... ae jujur be ... ae aye jujur be.

SOLDIER: Ko sama kita ambil senjata, ko ke Jogorinip sama kita ambil senjata.

KIWO: Dimana?

SOLDIER: Kita ke Yogorim ambil senjata, saya bisa ambil senjata, sama kita ambil senjata … bakar …bakar… lolonya … bakar…

KIWO: Ei ei ae ….

SOLDIER: Ko diam… saya tembak ... tembak … kau mau saya tembak mulutmu… he … kau jujur sekarang. Kau bisa ambil senjata tidak? He lolomu saya bakar lagi ... hei kau mau damai tidak? Kami tidak mau kekerasan. Saya sama kamu ke Yogorinim baru ambil senjata. Ko taruh di gereja kah? Di honai kah? Di hutan kah? Di sungai kah? Di dalam tanah kah? Kita ambil. Kau kasih tau dimana!

KIWO: Tingginambur saja , an nawi Tingginambur me, we yai me ikut yaga o… wagara… (Translator: Saya tinggal di Tingginambur, saya punya rumah di Tingginambur, saya disini cuma ikut jaga … saya tinggal)

SOLDIER: Bakar.

KIWO: Ei … aye ...

SOLDIER: Hei … kau jujur saja.

KIWO: Jujur yigirak tiarer o ... (Translator: Saya bicara jujur, tidak ada)

SOLDIER: Kalo ko di Tingginambut, senjata itu sekarang dimana? Disimpan di rumahnya siapa itu?

KIWO: Jujur ti arer o….ei…ye…eyeee.. jujur selesai (Translator: Saya bicara jujur itu saja)

SOLDIER: Kau mau antar tidak? Hei ... kau mau antar tidak? Senjata itu sekarang dimana, hei senjata sekarang dimana?

KIWO: Tinggineri

SOLDIER: Ya Tinggineri itu dimana? Di rumah siapa?

KIWO: Di rumah tidak tahu o ….

SOLDIER: Tidak tahu apa! Ko bilang ada taruh di kandang babi, mau jujur tidak?

KIWO: Honai … honai di bawah… tidak tahu o… honai di bawah me an nenggolek o (Translator: Honai … honai saya di bawah, saya tidak tahu)

SOLDIER: Weries mana? Weries!

KIWO: Weries siapa?

SOLDIER: Kau tipu saja … Weries Telenggen

KIWO: Werius mati … Brimob …

SOLDIER: Dia mati kenapa? Kau mau mati juga to, ko mau bawa pesan!

Sunday, October 10, 2010

Membakar al Quran di Cisalada


Kitab suci Al Quran yang dibakar dalam masjid Ahmadiyah di Cisalada.

PADA 1 Oktober 2010, saat peringatan apa yang disebut sebagai "Hari Kesaktian Pancasila," segerombolan orang menyerang kampung Cisalada, sekitar tiga jam naik mobil dari Jakarta, dan membakar sebuah masjid Ahmadiyah, belasan rumah, sebuah sekolah dan mobil.

Ia adalah puncak dari agitasi terhadap Ahmadiyah dari sekelompok orang, yang menyebut diri mereka "Team 10" terhadap keberadaan kaum Ahmadiyah di Cisalada. Sejak Juli, Team 10 memasang spanduk dimana mereka mengatakan Ahmadiyah "menodai Islam" ... argumentasi yang mula-mula dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia pada Juli 2005.

Saya tak hendak membahas kasus Cisalada secara khusus. Saya sudah pernah menulis panjang soal bantahan Ahmadiyah terhadap tuduhan mereka menciptakan nabi baru. Namun pembakaran itu, secara tak sengaja, juga membakar beberapa buah al Quran miliki masjid dan warga Ahmadiyah. Firdaus Mubarik, seorang aktivis Ahmadiyah yang mertua tinggal di Cisalada, mengambil gambar-gambar pembakaran.

Kejadian pembakaran Quran di Cisalada terjadi hanya tiga minggu sesudah seorang pendeta Florida, Rev. Terry Jones, membatalkan rencana membakar Quran di Gainesville. Jones sedianya hendak membakar Quran pada peringatan tragedi 11 September 2001. Dia tak setuju dengan rencana pendirian sebuah masjid dekat Ground Zero di Manhattan, New York, lokasi dimana dulu World Trade Center dihancurkan oleh al Qaeda. Jones berpendapat Ground Zero adalah "tempat suci" buat kenangan banyak warga Amerika, yang mayoritas Kristen. Pembangunan masjid di tempat itu dianggap tak peka perasaan mayoritas. Saya pribadi tidak setuju dengan pembakaran kitab apapun.

Di Indonesia, rencana Jones dapat pemberitaan luas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan minta Presiden Barack Obama mencegah Jones. Yudhoyono berpendapat al Quran adalah kitab suci. Pembakaran Quran akan meningkatkan kesalahpahaman antara Kristen dan Islam.

Obama sendiri tak setuju dengan Jones. Namun dia juga tahu di Amerika Serikat, selama seseorang tak melakukan kekerasan maupun melukai orang lain, pemerintah tak berhak melarang atau menghukum Jones. Walikota New York Michael Bloomberg juga mendorong masjid dekat Ground Zero didirikan karena semua izin sudah lengkap. Bloomberg mengatakan ide pendirian Amerika adalah kebebasan. Orang bebas beragama, orang bebas berpendapat. Agama Islam, sebagai agama kaum minoritas, tentu saja, juga boleh dipraktekkan dengan bebas di Amerika Serikat. Negara tak boleh ikut campur urusan iman.

Obama mengimbau Jones membatalkan rencana itu. Pada 9 September 2010, sesudah Jones bertemu dengan Feisal Abdul Rauf, imam masjid di Ground Zero, Jones mengumumkan pembatalan rencana membakar Quran.

Masjid Cisalada dijaga polisi sesudah dibakar.

Lalu terjadilah penyerangan Cisalada. Masjid Ahmadiyah dibakar. Al Quran dibakar. Saya kira kasus pembakaran Quran di Gainesville berbeda dengan Cisalada. Sengaja dan tidak sengaja. Namun esensi dari dua kasus ini sama: pelanggaran terhadap kebebasan beragama kaum minoritas. Ironisnya, Yudhoyono tak bicara sepatah kata pun soal isu kekerasan terhadap kaum beragama minoritas di Indonesia.

Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, sejak Yudhoyono jadi presiden pada 2004, ada lebih dari 140 gereja ditutup, sebagian dibakar. Ahmadiyah praktis tak ada masalah zaman Soekarno dan Soeharto lalu muncul sekali atau dua pada zaman B.J. Habibie, Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri. Namun kelima presiden tak mengeluarkan aturan melarang Ahmadiyah. Kok zaman Yudhoyono banjir sentimen anti-Ahmadiyah? Kok zaman Yudhoyono keluar larangan dakwah Ahmadiyah?

Cisalada hanya satu dari deretan panjang kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah: Pulau Lombok, Manis Lor, Tasikmalaya, Parung, Garut, Ciaruteun, Sadasari dan lain-lain tempat.

Halo, halo "kesaktian Pancasila"?

Masih ingat kau punya propaganda?


Ahmadiyah, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia

Saturday, August 28, 2010

Parkour Benteng Kuto Besak


Lebih dari selusin anak muda Palembang biasa bertemu di pinggir Sungai Musi, dekat Benteng Kuto Besak, dan berlatih parkour, sebuah olah raga dan seni, gabungan akrobat, lari dan fitness. Mereka melompati pagar tembok, salto di udara atau lompat dari ketinggian lalu mendarat dengan dua kaki. Indah. Kokoh. Kuat. Liat. Luar biasa. Menyehatkan.

"Parkout itu menyesuaikan tempat. Namanya seni," kata Dede Hidayat, salah seorang anggota Parkour Palembang. Kalau ada tembok, ya mereka daki, kalau ada pagar, ya mereka lompati. Kadang kaki ditendang ke udara. Kalau keahlian cukup, mereka juga salto di udara.

Parkour, atau biasa disebut l'art du déplacement atau the art of movement, diperkenalkan oleh Raymond Belle, seorang lelaki kelahiran French Indochina (sekarang Vietnam). Dia sempat masuk tentara Perancis. Ketika Perancis kalah dalam peperangan melawan Vietnam, dia pindah ke Eropa, berkelana di Afrika serta jatuh cinta pada keliatan tubuh orang Afrika. Maka lahirlah parkour.


Memanjat tembok taman Benteng Kuto Besak

Di Palembang, ada sekitar 100 anak muda ikut Parkour Palembang. Mereka berlatih dengan melihat You Tube. Peserta baru harus berlatih dengan hati-hati, tentu saja, karena ada resiko patang tulang. Mereka juga punya situs You Tube dan Facebook khusus Parkour Palembang.

"Kami pengin ngelakukan apa yang orang tak bise," kata Agung Pahlevi. Maka mereka pun memperagakan beberapa lompatan dan salto. Aku minta izin merekam mereka dengan video. Mereka dengan senang hati mengatur gerakan, bikin aba-aba, "Satu ... dua ... tiga!"

Agung mengatakan salah satu hambatan mereka di Palembang adalah mereka sering diusir oleh petugas keamanan kota. Mereka dianggap bikin gangguan. Aku tak setuju dengan pendapat para pejabat Palembang. Parkour sangat nyaman dilihat. Ketika jalan-jalan dekat Benteng Kuto Besak, aku mula-mula justru tertarik dengan anak-anak muda meloncati tembok atau salto di udara. Mereka senang dapat applause. Di berbagai kota besar berbudaya, di Boston atau Tokyo, aku sering lihat anak muda bikin kegiatan seni di tempat umum.

Aku sempat tanya apakah mereka berani parkour di Jembatan Ampera. Agung menjawab kalau diizinkan oleh walikota Palembang Eddy Santana Putra, mereka dengan senang hati akan salto di Jembatan Ampera. Wah asyik sekali kalau bisa!


Salto dengan background Jembatan Ampera

Tuesday, August 17, 2010

Filep Karma Tolak Remisi

Kartunis Toni Malakian menggambar penolakan tapol Papua Barat Filep Karma terhadap segala tawaran remisi. Karma mengatakan dia tak bikin salah apapun namun dipenjara 15 tahun. Remisi atau pengurangan masa tahanan tersirat merupakan pengakuan terhadap kesalahan. ©Toni Malakian

• • •


Monday, August 02, 2010

Filep Karma Berobat di Jakarta


Tokoh Papua Filep Karma, ditemani keluarga, menjalani perawatan di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, selama 11 hari. Perawat mengecek tekanan darah Karma sesudah operasi. ©2010 Ricky Dajoh

Selama 11 hari, pesakitan politik Papua, Filep Karma, menjalani pengobatan prostate di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta. Dia tiba di Jakarta Senin, 19 Juli, dan kembali ke Port Numbay, Jumat malam 30 Juli.

Dia tiba di airport Jakarta dengan pesawat Lion Air bersama ibunya, Eklefina Noriwari, seorang paman, seorang sepupu, asisten dan kawan Cyntia Warwe, serta dua petugas penjara Abepura dan polisi Jayapura. Serah terima dari petugas Abepura kepada petugas penjara Cipinang, yang secara resmi mengampu Karma selama di Jakarta, dilakukan langsung di rumah sakit Cikini.

Karma sudah dua kali masuk penjara karena menaikkan isu kedaulatan Papua dari Indonesia, sekaligus simbol berupa bendera Bintang Kejora. Pertama, 6 Juli 1998, dia ditangkap dalam demonstrasi di Biak, dihukum penjara dengan pasal makar dan bebas pada 20 November 1999. Pada 1 Desember 2004, dia ikut dalam sebuah demontrasi memperingati deklarasi kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, zaman Papua Raad di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda, di Abepura. Dia ditangkap dan diadili dengan hukuman 15 tahun penjara. Lagi-lagi, dengan pasal makar. Karma tak pernah terlibat maupun menganjurkan kekerasan.

Karma menderita kesulitan kencing sejak pertengahan Agustus 2009. Dia sempat dirawat di rumah sakit Dok Dua, Port Numbay, namun dokter Dok Dua, Donald Arronggear, usul dia dioperasi prostate di Jakarta, pada sebuah rumah sakit yang punya spesialisasi urologi (saluran kencing). Dok Dua tak punya peralatan canggih untuk operasi prostate. Rekomendasi dokter Arronggear, tertanggal 11 November 2009, adalah rumah sakit Cikini.

Dokter David Manuputty, seorang spesialis urologi, yang sudah bikin pencangkokan ginjal lebih dari 400 kali, langsung melakukan pemeriksaan di Cikini. Karma dapat cek darah, tekanan jantung, rontgen, CT Scan, USG dsb. Menurut Cyntia Warwe, dokter Manuputty mengatakan Karma rupanya diet dengan ketat, selalu minum air dan tak makan daging merah (hanya ikan). Diet ini menyelamatkan nyawa Karma. Biasanya orang dengan prostate acute sudah stroke. Manuputty mulanya kuatir prostate ini sudah mempengaruhi ginjal.

Kamis 22 Juli, Manuputty melakukan bedah laser prostate selama dua jam. Manuputty tak pakai pisau bedah. Dia memasukkan sebuah alat ke dalam prostate Karma. Ada benjolan daging dalam prostate, yang menutup saluran kencing, dipotong dan dibelah-belah lewat bantuan kamera kecil dan laser. Dia perlu tiga hari lagi untuk recovery. Kencing masih berdarah dan keluar potongan daging lewat saluran kencing. Karma sempat minta seseorang menunjukkan foto prostate kepada saya.

Senin 26 Juli, Manuputty menyatakan operasi berjalan lancar dan berhasil. Air kencing Karma sudah jernih. Dari hasil rontgen, dokter juga menemukan bekas patah tulang tetapi sudah sembuh walau tak sempurna, tampaknya dampak dari Karma terjatuh di penjara Abepura. Operasi prostate selesai. Namun, rombongan perlu empat hari lagi menunggu penerbangan pulang sekaligus mengurus pengawalan dari pihak Cipinang.

Mama Karma, Eklefina Noriwari, sudah usia 75 tahun, menemani anaknya operasi prostate. Mereka berbincang dengan Prof. Hafid Abas dari Kementerian Hukum dan HAM di kamar Cikini. Noriwari pribadi yang menyenangkan. Dia selalu ceria, membuat suasana riang, serta suka menyanyi. Dia ibu dari tujuh anak. Suami dia, Andreas Karma, mantan bupati Wamena dan Serui, meninggal tahun lalu. Filep Karma adalah anak sulung. ©2010 Ricky Dajoh

Selama di rumah sakit, Karma menerima beberapa tamu, kebanyakan anggota keluarga --termasuk dua orang putri dia yang kuliah di Bandung-- maupun kawan-kawan lama semasa sekolah di Numbay. Ricky Dajoh, seorang photographer Minahasa dan kawan lama Karma, juga ikut bezoek. Dua pendeta senior, Andreas Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba dan SAE Nababan dari Huria Kristen Batak Prostestan, juga datang dan berdoa untuk kesembuhan Karma.

Penjagaan di rumah sakit, tentu saja, cukup ketat. Selain dijaga dua petugas Cipinang, Filep Karma juga dijaga polisi Jakarta Pusat serta Badan Intelijen Negara. Keluarga Karma juga menjaga dengan bantuan pemuda-pemuda Papua di Jakarta.

Pada Kamis 29 Juli, Hafid Abas, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM dan seorang penasehat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, mengunjungi Karma di rumah sakit. Mereka berbicara tentang gagasan Akbar guna melepaskan semua pesakitan politik Alifuru dan Papua. Mereka hendak diberikan amnesti dan abolisi.

Filep Karma menyatakan ucapan terima kasih dan salam untuk Akbar. Namun dia juga mengingatkan dia bukan satu-satunya pesakitan politik yang memerlukan pengobatan medis. Di Abepura, Ferdinand Pakage buta mata kanan sesudah ditinju dengan kunci oleh satu sipir penjara bernama Herbert Toam. Di penjara Malang, Johan Teterisa, yang memimpin tarian cakalele, dan mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan, pada 29 Juli 2007, juga sakit-sakitan akibat siksaan yang dilakukan polisi-polisi Detasemen Khusus 88 di Ambon.

Menurut Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku, kini ada 69 pesakitan politik Alifuru. Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua menyebutkan ada 39 pesakitan politik Papua di berbagai kota Papua. Mereka menyatakan aspirasi politik tanpa kekerasan namun dihukum berat dengan pasal-pasal makar. Ada yang dihukum 20 tahun penjara.

Saya sendiri sempat bezoek Filep Karma tiga kali serta ikut menjemputnya di airport Cengkareng. Saya tahu kepercayaan orang Papua terhadap treatment orang sakit di Pulau Jawa sangat rendah. Beberapa aktivis Papua meninggal ketika dibawa ke Jakarta. Kebetulan Rev. Gomar Gultom, sekretaris jenderal Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, minta saya ikut memantau keberadaan Karma.

Karma akhirnya kembali ke Papua. Rombongan ini dijaga dua sipir Cipinang dan seorang polisi. Dia kembali ke penjara Abepura guna menjalani hukuman hingga November 2019.

Obama has the Power to Help Papua, Weak Man Under Indonesian Rule
Kriminalisasi Aspirasi Politik
Nasi Bungkus in Jayapura

Friday, July 23, 2010

Seichi Okawa


Minum kopi Wamena bersama Seichi Okawa dalam toko di Tokyo, yang penuh dengan batik, ikat dan ukiran. Okawa sedang riset soal kerangka serdadu Jepang di Papua.
©2010 Izumi Kurimoto

Berjumpa dengan Seichi Okawa di kantor Graha Budaya Indonesia, Tokyo, dimana dia cerita soal riset dia guna penulisan buku soal 40,000 tentara Jepang, yang meninggal di Papua, pada zaman Perang Dunia II. Dia mengatakan sekitar 15,000 kerangka serdadu ada di Pulau Biak. Kebanyakan mereka meninggal karena terkena penyakit atau kelaparan dalam perang menghadapi Sekutu.

Banyak warga Jepang berharap bisa mendapatkan kerangka papa atau kakek mereka, yang meninggal di Papua, untuk dibawa pulang ke Jepang, guna mendapatkan kremasi, menyimpan abu dan merasa tenang. Mereka percaya mereka tidak hormat terhadap orang tua bila tak melakukan kremasi terhadap orang tua yang hilang tersebut. Banyak dari serdadu berasal dari prefecture Yamanaka.

Okawa seorang wartawan kawakan. Dia sekarang kerja untuk Metro TV. Dulu dia pernah kerja untuk majalah Tempo dan belakangan Gatra. Kantornya terletak di sebuah daerah kampus Tokyo. Lantai satu dipakai sebagai toko berbagai barang kerajinan dari Alor, Flores, Jawa maupun Papua. Okawa bekerja di lantai tiga.

Saya senang bisa bertemu dengan Okawa. Saya kira upaya dia mencari kerangka 40,000 serdadu tersebut adalah usaha mulia. Ini bukan pekerjaan mudah karena Perang Dunia II sudah berakhir 65 tahun lalu. Data di Jepang harus dicocokkan dengan tengkorak di Papua, gigi demi gigi. Bila sudah cocok, maka harus didapatkan izin dari pemerintah Indonesia untuk membawa pergi tengkorak tersebut.

Menurut buku An Act of Free Choice: Decolonisation and the Right to Self-Determination in West Papua karya P. J. Drooglever, satu divisi Angkatan Darat Jepang dipusatkan di Manokwari pada 1942. Mereka terutama ditugaskan mencegah serangan udara Sekutu. Pasukan Jepang tak masuk ke pedalaman Papua karena ada pasukan-pasukan kecil Belanda yang gerilya di pedalaman. Namun mereka dikalahkan pasukan Sekutu, yang lompat katak, dari Australia, Papua New Guinea, Papua, kepulauan utara Maluku dan Filipina, sebelum masuk ke kepulauan Jepang pada 1945. Gerakan lompat katak tersebut membuat ribuan pasukan Jepang terlantar karena markas-markas mereka dihancurkan. Mereka melarikan diri sambil kelaparan dan kena malaria.

Saya bilang saya pernah tahu ada gua di Biak dimana orang bilang kerangka-kerangka serdadu Jepang berserakan. Warga Biak tidak mengutak-atik gua tersebut. Okawa juga pernah berkunjung ke gua tersebut. Kami mengobrol soal kerangka sambil minum kopi Wamena. Enak sekali.

Saya merasa kurang tahu banyak soal Jepang. Saya relatif lebih tahu soal Amerika Serikat atau Inggris, mungkin kebudayaan Eropa lain, daripada Jepang. Seorang kenalan saya, Nesia Andriana Arif, menulis buku Dengan Pujian, Bukan Kemarahan: Rahasia Pendidikan dari Negeri Sakura dan 12 tahun tinggal di Kanagawa, membuat saya ingin tahu lebih banyak soal Jepang. Kebetulan Kanae Doi, seorang pengacara Tokyo, mengundang saya tampil dalam acara dia di Asahi TV. Kunjungan singkat namun ia membuat saya tertarik pada Jepang, apalagi bertemu orang macam Okawa-san.

Situs Web Graha Budaya Indonesia
http://grahabudayaindonesia.at.webry.info/

Saturday, July 10, 2010

Nasi Bungkus in Jayapura


On Thursday, July 8, 2010, Papuan protesters began to rally from Sentani and Abepura, marching to the Papuan House of Representatives (DPR Papua) in downtown Jayapura. Women painted the Morning Star flag on their bodies despite an Indonesian government ban on displaying the Morning Star in public space.


On Thursday night, I chatted with some female friends involved mostly with logistics of the protest in Jayapura. They handled food, water and other logistical stuffs. They told me that they had received donations, mostly nasi bungkus (“rice box”). The meals came from various women groups and retired civil servants. Some donated money especially retired civil servants. One particular group, assigned to set up "Freedom Cafe," provided 1,750 boxes for a single meal.

They said the nasi bungkus were quite "chaotic" in a sense that meals were so diverse. The protests were organized by more than 20 organizations which included big groups like Dewan Adat Papua, but also smaller and more radical groups, like Komite National Papua Barat. These different groups assigned their logistic people to prepare the nasi bungkus.

Thursday afternoon, the coalition prepared 8,000 nasi bungkus and ... not enough. They added 4,000 more nasi bungkus in the next two hours. It means that at the peak of the protest, Thursday evening, at least 10,000 people joined the protest, assuming some male student activists ate more than one box.

Thursday night, they estimated about 1,200 protesters slept at the DPR Papua building in downtown Jayapura. They mostly came from Keerom, Genyem and Sentani. These three areas were outside Jayapura. These were too far for the protesters to go back home. The logistic people provided 1,200 nasi bungkus for dinner. It was more or less enough.

The business activities in Jayapura were closed. The street connecting Abepura-Jayapura was closed.

Friday morning, the crowd got bigger again. The logistic people provided 8,000 nasi bungkus for lunch. It was enough.

Protesters established their banner in the DPR Papua building in downtown Jayapura. The message is clear: autonomy has failed. The Papuans want to have a UN-sponsored referendum.

At about 3pm, two activist friends warned me about tension in the DPR Papua compound. They said many police officers had entered the areas around the compound. Reporter John Pakage estimated 1,000 officers were deployed, mostly from Dalmas and Brimob units. The police brought in water cannons and armored vehicles.

In an interview with BBC, Jayapura police chief Imam Setiawan threatened to use live ammunition against the Papuans if they don't leave the DPR Papua building by 3pm. Setiawan used to be the police chief on Serui Island when the brutal murder of Yawan Wayeni taking place in August 2009. Remember the gruesome video?

John Pakage kept on calling me. He said it was very tense. Protesters insisted to stay inside the DPR Papua building.

Angela Flassy of the Suara Perempuan Papua weekly newspaper called me, saying that the police had closed the area, banning journalists to enter the downtown area. She said that the police had felt that Anteve’s broadcasting was too much on the Papuan protests. Flassy cannot enter the area herself. She decided to return to Abepura and wrote her reports.

At a two-day meeting on June 9-19, 2010, to evaluate special autonomy, the Papuan People Assembly (Majelis Rakyat Papua), in consultation with indigenous community groups, concluded that the implementation of autonomy had failed and that the law should be 'returned' to the Indonesian government. The MRP called for dialogue with neutral international mediation.

By 4pm the protest leaders, headed by Salmon Yumame, a retired Telkom executive, decided people should leave the compound. They did the rally in peace. Bullets are not the answer. The most important thing was that the message was already delivered: SPECIAL AUTONOMY HAS TOTALLY FAILED. The fact that the police had decided to use force shows once again the failure of the Special Autonomy.

By 5pm-5:30pm, protest leaders used the megaphone and called on the Papuans to leave the DPR Papua compound in peace. They said the message is already delivered. Let's go home.

Protest leaders agreed to empty the building by 6pm, according to Yumame of Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu.

Benny Giay, one of the elders of the Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu, talked to a number of international media, including BBC, AFP, Radio Netherlands etc. He made impressive comments on the failures of the Special Autonomy. "Everything that the Papuan do is negative in the eyes of Indonesia," he told me.

By 7 pm everyone was back home.

I talked to Benny Giay at around 8pm. He was already back in his house in Sentani. He said the logistical people were one of the most hard working elements of the protest. He calculated the number of the protesters based on the nasi bungkus. The peak was at least 10,000 Papuans. No violence. Papuans showed they're peaceful.