Wednesday, June 23, 2004

Diskusi Pendidikan Jurnalisme di Jawa


Handono yang baik,

Isu yang Anda angkat adalah mutu pendidikan jurnalisme di Indonesia, "Bagaimana standar kurikulum yang seharusnya diterapkan di lembaga pendidikan junalisme? Apakah sekolah-sekolah jurnalisme di Indonesia sekarang ini sudah sesuai dengan kebutuhan media kita? Kalau sesuai, kenapa sepertinya banyak media massa sepertinya menomorduakan lulusan-lulusan program studi jurnalisme?"

Saya mencari hasil studi Thomas Hanitzsch, seorang kandidat PhD dari Universitas Ilmenau, Jerman, yang pernah kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada, serta meneliti pendidikan jurnalisme Indonesia. Saya baca riset awalnya, "Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses," yang diterbitkan jurnal Mediator terbitan Universitas Islam Bandung (vol. 2 no. 1 thn. 2001).

Hanitzsch menulis bahwa mendefinisikan mutu dalam jurnalisme, dengan mengutip ilmuwan Jerman, Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok." Ia sesuatu yang sia-sia. Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, dari Joseph Pulitzer (Amerika Serikat) hingga Max Weber dan Richard Wrede (Jerman), sudah memperdebatkan apa ukuran jurnalisme bermutu, namun diskusinya sulit sekali, kalau tak bisa dibilang sia-sia.

Ada kubu yang berpendapat wartawan perlu sekolah jurnalisme, antara lain Pulitzer yang memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism pada 1902, ada pula kubu yang berpendapat wartawan tak perlu belajar sekolah secara khusus namun belajar dari berbagai disiplin ilmu, antara lain orang-orang Universitas Harvard, yang mendirikan Nieman Foundation on Journalism pada 1939.

Di Amerika ada puluhan program serupa Nieman Fellowship dimana wartawan diberi kesempatan mencicipi berbagai ilmu namun mereka tak menerima gelar. Namun di Amerika juga banyak sekolah wartawan bermutu dimana wartawan diajari berbagai macam ketrampilan dalam jurnalisme sekaligus belajar ilmu sosial atau ilmu lain yang menarik minat mereka.

Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, pada 1990, mencoba maju lebih kongkrit dengan memperkenalkan empat macam kompetensi yang diperlukan seorang wartawan agar bisa melakukan pekerjaannya dengan baik: (1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi, memahami komunikasi dasar dan sebagainya; (2) Kompetensi transfer, misalnya, penguasaan bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalisme dan sebagainya; (3) Kompetensi teknis, misalnya, komputer, internet, disain grafis dan sebagainya; (4) Kompetensi tingkat lanjut, misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan sebagainya.

Dalam makalah itu, Hanitzsch menjelaskan keempat kompetensi itu dalam sebuah tabel, dan berdasarkan tabel itu ia membandingkannya dengan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan dosen, serta faktor-faktor lain, yang ada pada lima sekolah jurnalisme atau sekolah jurnalisme dalam program komunikasi: (1) Universitas Gadjah Mada; (2) Lembaga Pers Dokter Soetomo; (3) Institut Ilmu Sosial dan Politik; (4) Multi Media Training Center (MMTC); (5) Universitas Indonesia.

Ada beberapa kesimpulan yang didapat Hanitzsch. Pertama, pendidikan jurnalisme kita masih dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." Kedua, tak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. Sekolah jurnalisme punya dunianya sendiri, sedangkan industri media berada pada dunia yang lain. LPDS dan LP3Y punya pendekatan yang berbeda namun juga tak memadai karena mereka tak dilengkapi dengan sekolah di bidang penyiaran --sesuatu yang berkembang pesat di Indonesia.

Ketiga, semua sekolah ini tak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Banyak yang tak punya fasilitas internet maupun disain grafis. Kebanyakan dosen mengajarkan pengetahuan komunikasi plus matakuliah macam Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, dan sebagainya.

Keempat, di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80 persen ada di Pulau Jawa dan Medan. Daerah timur, dari Makassar hingga Jayapura, dari Maluku hingga Kupang, adalah daerah-daerah yang tak punya sekolah jurnalisme. Ia melihat ada ketimpangan besar antara jurnalisme di Jawa dan Medan serta di kota-kota timur.

Ia memberikan data lengkap pada kelima sekolah itu. Sekolah wartawan pertama di Jakarta adalah "Akademi Wartawan" yang didirikan pada 1950 dan jadi cikal bakal IISIP. UGM mendirikan jurusan "publicitit" pada 1953. Universitas Indonesia mendirikannya pada 1959.

Namun semua sekolah yang diteliti Hanitzsch punya kelemahan di bidang tenaga pengajar. UGM misalnya, dari 16 dosen tetap, semuanya punya gelar di bidang komunikasi, namun hanya tiga orang yang punya pengalaman di bidang jurnalisme. IISIP punya 10 dosen tetap, tanpa jurusan penyiaran, dan hanya enam dosen yang pernah punya pengalaman di bidang jurnalisme. MMTC didirikan oleh Departemen Penerangan pada 1985 untuk mendidik karyawan TVRI dan RRI. Namun sejak jatuhnya Presiden Soeharto, ia kesulitan dana dan kini masih belum punya kejelasan akan masa depannya.

Kebanyakan sekolah ini menekankan kurikulum mereka pada pengetahuan tentang komunikasi namun kemampuan praktis di bidang jurnalisme, misalnya menulis, sedikit diajarkan. Bahkan di UGM, teknik investigasi dan format berita dijadikan satu matakuliah, diajarkan satu semester saja. Semua sekolah ini juga tak memberikan kesempatan mahasiswa untuk merasakan ruang redaksi --sesuatu yang normal dilakukan sekolah macam Columbia Graduate School of Journalism.

Saya tidak kaget membaca penemuan Thomas Hanitzsch. Saya kira isu ini juga sering dibicarakan di kalangan wartawan kita. Selama lebih dari 15 tahun jadi wartawan, saya sering mendengar keluhan para redaktur yang kesulitan mencari tenaga wartawan. Minggu lalu saja, saya menerima keluhan dari Wina Armada dari harian Merdeka serta Iwan Qodar Himawan dari majalah Gatra.

Keduanya merasa sulit mencari orang yang bisa dididik jadi wartawan. Padahal sekolah jurnalisme banyak sekali. Hanisztch menulis 69 sekolah itu punya 19 ribu mahasiswa. Ia seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan media Indonesia.

Menurut Atmakusumah Astraatmadja dari LPDS, dalam sebuah email dalam suatu mailing list pada awal 2000, jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000. Mereka mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi.

Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta (total 31 di seluruh Indonesia), paling-paling wartawan bertambah 8.000-10.000. Padahal kebutuhannya banyak sekali. Kita bakal melihat ledakan stasiun-stasiun televisi di luar Jakarta --mungkin di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Siapa yang bakal mengisi kekurangan tenaga-tenaga disana?

Saya tak tahu jawabannya. Tapi saat ini, setidaknya saya ingin sekali bisa membaca disertasi Hanitzsch bila sudah selesai. Saya kira sudah saatnya kita membicarakan pendidikan jurnalisme Indonesia secara serius. Tanpa upaya perbaikan sekolah jurnalisme, saya kuatir, masa depan media kita juga suram, dan ini juga akan mempengaruhi mutu demokrasi Indonesia. Terima kasih.

Andreas Harsono


From: eric sasono
Date: Wed Jun 23, 2004 11:23 am
Subject: Re: [pantau-komunitas] Pendidikan jurnalisme di Indonesia

Mas Andreas yang baik, terimakasih banyak atas pembahasan ini. Berguna sekali untuk memahami secara garis besar persoalan pendidikan jurnalisme di negeri ini.

Juga kepedulian Mas Andreas yang menyinggung soal pendidikan jurnalisme penyiaran yang jauh lebih minim lagi, dan lebih memprihatinkan. Adakah studi semacam yang dilakukan Thomas Hanitzsch ini mengenai pendidikan (atau paling tidak pelatihan intensif dan semi intensif) jurnalisme penyiaran? Saya pikir dengan pertumbuhan media penyiaran seperti sekarang, kita tak bisa mengandalkan pada apa yang ada.

Saya tak tahu dimana saja tersedia sumber-sumber pendidikan-pelatihan untuk jurnalisme penyiaran. Sepanjang tahu saya selain Universitas Indonesia, UGM dan UNPAD, tak banyak perguruan tinggi yang punya pendidikan untuk penyiaran -- terutama radio. Dan masalah ketersambungan dengan kebutuhan industrinya juga masih persoalan sangat besar.

Sebagai contoh saja, kemarin saya bertemu dan berbincang dengan pelaku radio, mantan anggota Dewan Pers, Zainal Suryokusumo. Ia bercerita bahwa PRSSNI pernah mengadakan kerjasama dengan UNPAD untuk memperkuat lembaga pendidikan jurnalisme penyiaran, khususnya radio, di lembaga tersebut. Namun ternyata lulusan dari sana tak memadai untuk siap langsung bekerja di lembaga penyiaran. Sekalipun beberapa pekerja radio dari Mara FM, Bandung (termasuk almarhum Mbak Leila S. Mirza) ikut memberikan pendidikan, tetapi kebutuhan praktis tetap tak terpenuhi. Mungkin ini persoalan kurikulum.

Kemudian pertanyaannya menjadi lebih mendasar: soal kurikulum. Mana yang harus didahulukan? Kebutuhan akademis yang less-practical ataukah kebutuhan praktis yang kerap bersifat teknikal saja.

Sepanjang pengalaman saya memberikan pelatihan-pelatihan jurnalistik radio selama 4 tahun terakhir, ternyata para pekerja radio sangat rendah pemahamannya terhadap filosofi dan karakter media mereka. Akibatnya mereka hanya melakukan pekerjaan dari hari ke hari tanpa pernah mempertanyakan prinsip-prinsip kerja tersebut. Mungkin ketika prinsip kerja tersebut dibentuk pada awal kegiatan media radio tersebut, para perancangnya sudah memikirkan dasar2 filosofis dan gagasan di sebaliknya. Namun ketika hal tersebut diwariskan, semuanya hilang dan yang tersisa adalah rutinitas yang tak berdasar dan sangat tidak kreatif.

Padahal dunia berubah, dan asumsi-asumsi yang diletakkan menjadi dasar berpikir bagi prinsip2 itu juga turut berubah. Kemudian dengan perkembangan jurnalisme seperti sekarang, terasa sekali bahwa jurnalisme radio di Indonesia sedang berjalan di tempat. Nyaris tak ada terobosan dalam kreasi, dan semua hanya meghadirkan rutinitas demi rutinitas. Bahkan saya sedang mengkhawatirkan proses menghilangnya "quality jurnalism" pada dunia radio. Padahal banyak orang yang sedang berpikir bahwa berjurnalisme saja sudah untung..

Sebenarnya maksud saya mengajukan pertanyaan. Maaf kalau terlalu panjang.

tabik,
eric


From: Nurhalim Tanjung
Date: Wed Jun 23, 2004 5:06 pm
Subject: Re: [pantau-komunitas] Pendidikan jurnalisme di Indonesia

Halo,

Saya merasa pendidikan jurnalistik di Indonesia tidak hanya lemah di praktek tetapi juga etika. Banyak perguruan tinggi di Indonesia, termasuk Medan, cenderung mengajarkan teori, sedikit sekali muatan praktis dan etis.

Kelemahan mungkin di perguruan tinggi yang tidak merancang kurikulum secara komprehensif, sialnya setelah itu pengajar yang dipilih juga tak maksimal membawakan sylabus dari kurikulum tersebut. Banyak faktor yang menyebabkannya, bisa saja pengajar memang tak menguasai materi, fasilitas perguruan tinggi seperti lab berita sangat minim, bahkan tidak ada.

Adapula akibat referensi sangat terbatas, kalaupun ada bahkan mungkin lumayan banyak toh, buku- buku bagus itu masih dalam bahasa aslinya, bahasa Inggeris, maksud saya. Bisa pula akibat satu fakultas atau sekolah komunikasi hanya mempunyai program atau jurusan jurnalistik secara umum saja, kan terlalu luas. Bagaimana mau spesifik, padahal di luar negeri sana program atau jurusannya sudah tajam menjadi jurnalistik tv, jurnalistik radio, jurnalistik cetak, bahkan jurnalistik online.

Nah, dalam kondisi pendidikan jurnalistik seperti di Indonesia itu tentu susah sekali memproduksi tenaga ahli secara teknik dan etik, sementara teori juga sangat lemah dikuasai para alumni perguruan tinggi tersebut. Saya merasakan hal ini setelah beberapa tahun terakhir ikut mengajarkan jurnalistik di satu perguruan tinggi di Medan, kelihatan sekali kelemahan mahasiswa saat melakukan praktek dan saat mengajukan proposal skripsi mereka. Akibatnya judul skripsi yang mereka tawarkan cenderung sejenis, teorinya juga tak banyak berkembang. Saya merasa memang tak bisa optimal juga mengajar mereka karena fasilitas yang tidak cukup, disamping mereka juga susah menelusuri referensi-referensi berbahasa inggeris yang saya sarankan.

Saat mereka lulus dan bekerja di media massa yang banyak bermunculan saat ini, ternyata--seperti anda sebutkan--mereka menjadi pekerja jurnalistik yang bekerja secara rutinitas saja. Mereka akhirnya cuma menjadi alat bagi perusahaan pers, buktinya bisa dilihat dari jenis tayangan tv yang sekadar mengejar rating, berita koran yang menyenangkan pemasang iklan atau memanaskan konflik tanpa solusi supaya tiras tetap bagus dsb. Memang tak semua wartawan mau menjadi alat bagi perusahaan pers, bagi yang masih punya hati nurani pasti menolaknya, tapi umumnya mereka tak terlalu kuat menahan tekanan bisnis yang begitu besar.

Artinya, proses pendidikan jurnalistik di Indonesia bukan hanya tak maksimal di perguruan tinggi, tetapi juga tak menguntungkan saat alumninya terjun ke dunia jurnalistik praktis. Media juga tak memberi pendidikan tambahan yang cukup, mereka mau wartawan bekerja untuk mengejar keuntungan bisnis saja. Ini boleh jadi akibat pengelola media tak mempunyai basic jurnalisme, jadi tak mendorong edukasi bagi wartawannya.

Saya bermimpi suatu saat pendidikan jurnalistik di Indonesia benar-benar bisa melahirkan alumni yang mampu mencerahkan publik, tentu saja didukung oleh perkembangan media yang tak sekadar kapitalistik. Ya, perguruan tinggi bisa link and match dengan media. Kapan? Mungkin lima, sepuluh, dua puluh atau seratus tahun lagi...

Salam,

Nurhalim Tanjung

Tuesday, June 22, 2004

Swedish Release of 3 Aceh Rebel Leaders Shakes Jakarta

By Andreas Harsono

JAKARTA, Tuesday, June 22, 2004 (IPS) -- The sudden release by Sweden of three self-exiled Aceh rebel leaders has stunned many Indonesian officials who had worked with Stockholm to try to lay terrorism charges against the men.

Indonesia's efforts to push Sweden to prosecute the three took a dramatic turn over the weekend when a Stockholm court decided to unconditionally release the Acehnese, saying the prosecutors had no strong evidence to take legal action against them.

Zaini Abdullah and Malik Mahmud of the Free Acheh Movement or GAM were held in the custody of Swedish security officials. The third, Hasan di Tiro, was placed under house arrest due to his advanced age and poor health.

All three were arrested by Swedish police on Jun. 15.

Di Tiro, the movement's founder who has been exiled since 1979, holds Swedish citizenship, as does Abdullah. Mahmud is a Singaporean national with a Swedish residence permit.

Jakarta, which has urged Stockholm to take action against the three, says they direct the revolt in the Indonesian province from exile.

The Indonesian military commander of Aceh, Maj-Gen Endang Suwarya, expressed his dismay at the release of the three GAM leaders.

"Obviously, we're very disappointed. But sooner or later, their wicked behaviour will be revealed," Suwarya told the Serambi Indonesia daily.

"We will help the police to find further evidence. Trust me, the Acehnese society understand these people are terrorists," he added.

Lately Indonesian officials, following the Sep. 11, 2001 attacks on the World Trade Center and the Pentagon in the United States, have used the word terrorism broadly.

Indonesia claims the movement's leaders were behind a September 2000 blast at the Jakarta Stock Exchange that killed 15 people, as well as several other bombings, two assassinations, six arson attacks at schools and 243 kidnappings.

"We are not terrorists," said Bakthiar Abdullah, a spokesman for GAM in Stockholm, who spoke to IPS by phone.

"We're fighting for freedom from the Indonesian colonisers," he said.

Aceh, the strictly Muslim, gas-rich Indonesian province, is no stranger to secessionist movements.

The Acehnese have had a history of fighting for their independence since the first Dutch force of 3,000 men landed on Aceh shores in April 1873, launching the Acheh-Dutch War.

In the 1940s, Aceh was again in the forefront of the independence struggle against the Dutch. The province was promised autonomy when Indonesia declared independence in 1945 but the pledge was never truly fulfilled by Indonesia's leader Sukarno.

In the 1950s, the Acehnese set out to free themselves from Jakarta's rule and create an Islamic state.

By 1979, Hasan di Tiro had organised a nationalist movement, created a shadow government and appointed rebel governors for much of Aceh.

He moved to Sweden, which had offered asylum to a small group of Acehnese refugees, and became a Swedish citizen in 1985.

His decision to accept help from Libya did not win the movement any foreign friends.

But by 1989, the success of the newly Libya-trained rebel army prompted former president Suharto to mount a military campaign that lasted until he was deposed in May 1998. More than 12,000 Acehnese have been killed in the past decade.

In May 2003, the Indonesian government pulled out of internationally brokered peace talks and launched another military offensive aimed at destroying GAM.

At the same time, it pressured Sweden to bring to justice leaders of the group who live there.

Former Indonesian foreign minister Ali Alatas was appointed to lobby Stockholm to take legal action against the Acehnese.

Alatas managed to persuade Swedish investigators to visit Aceh and Jakarta in March.

Prior to that, the Indonesian government had launched an official complaint against the three to the Swedish government claiming they were using Sweden as a base to conduct "terrorist" activities.

The Swedish investigation team interviewed 23 people, mostly Aceh separatists, to trace links between the exiles and violence in the province.

When the three GAM leaders were arrested, Indonesian police detectives flew to Stockholm to try to interview them before they were produced in court.

But Indonesian authorities remain confident Swedish authorities would rearrest the GAM leaders.

"It must be emphasized that the court decision yesterday was purely over a technical nature and does not at all reflect the material substance of the case, " Indonesian government spokesman Marty Natalegawa told a press conference.

"In other words, these individuals remain as suspects of great violations of
international laws and will continue to be questioned by the relevant
authorities in Sweden," he added.

GAM's spokesman Bachtiar Abdullah, told IPS, that though the Swedish judges
had told the three rebel leaders that they might be questioned again, "nothing
else has happened."

"They are not detained and are free to move about as usual," he said.

"We'll keep on fighting. Our struggle is a long one and we're not surrendering. No surrender," stressed the spokesman.

However Chik Rini, an award-winning journalist in Aceh's capital Banda Aceh, is tired of the GAM-versus-Jakarta conflict and said most Acehnese paid scant attention to the arrest of the three rebel leaders.

"The Acehnese are sandwiched in between. They're tired and don't know what to do," he told IPS. "There's an atmosphere of fear here. People are nervous to talk about politics."

Copyright 2004 IPS-Inter Press Service/Global Information Network
IPS-Inter Press Service

Hanitzsch soal Pendidikan Jurnalisme

Handono yang baik,

Terima kasih untuk emailnya. Saya tembuskan jawaban saya ini ke mailing list Pantau dengan harapan ada rekan wartawan atau dosen yang bersedia ikut diskusi kita tentang pendidikan jurnalisme di Indonesia.

Isu yang Anda angkat adalah mutu pendidikan jurnalisme di Indonesia. Anda bertanya, "Bagaimana standar kurikulum yang seharusnya diterapkan di lembaga pendidikan junalisme? Apakah sekolah-sekolah jurnalisme di Indonesia sekarang ini sudah sesuai dengan kebutuhan media kita? Kalau sesuai, kenapa sepertinya banyak media massa sepertinya menomorduakan lulusan-lulusan program studi jurnalisme?"

Saya harus membongkar perpustakaan saya untuk mencari hasil studi Thomas Hanitzsch, seorang kandidat PhD dari Universitas Ilmenau, Jerman, yang pernah kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada, serta meneliti pendidikan jurnalisme Indonesia. Saya baca riset awalnya, "Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses," yang diterbitkan jurnal Mediator terbitan Universitas Islam Bandung (vol. 2 no. 1 thn. 2001).

Hanitzsch menulis bahwa mendefinisikan mutu dalam jurnalisme, dengan mengutip ilmuwan Jerman, Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok." Ia sesuatu yang sia-sia. Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, dari Joseph Pulitzer (Amerika Serikat) hingga Max Weber dan Richard Wrede (Jerman), sudah memperdebatkan apa ukuran jurnalisme bermutu, namun diskusinya sulit sekali, kalau tak bisa dibilang sia-sia.

Ada kubu yang berpendapat wartawan perlu sekolah jurnalisme, antara lain Pulitzer yang memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism pada 1902, ada pula kubu yang berpendapat wartawan tak perlu belajar sekolah secara khusus namun belajar dari berbagai disiplin ilmu, antara lain orang-orang Universitas Harvard, yang mendirikan Nieman Foundation on Journalism pada 1939.

Di Amerika ada puluhan program serupa Nieman Fellowship dimana wartawan diberi kesempatan mencicipi berbagai ilmu namun mereka tak menerima gelar. Namun di Amerika juga banyak sekolah wartawan bermutu dimana wartawan diajari berbagai macam ketrampilan dalam jurnalisme sekaligus belajar ilmu sosial atau ilmu lain yang menarik minat mereka.

Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, pada 1990, mencoba maju lebih kongkrit dengan memperkenalkan empat macam kompetensi yang diperlukan seorang wartawan agar bisa melakukan pekerjaannya dengan baik:

(1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi, memahami komunikasi dasar dan sebagainya;
(2) Kompetensi transfer, misalnya, penguasaan bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalisme dan sebagainya;
(3) Kompetensi teknis, misalnya, komputer, internet, disain grafis dan sebagainya;
(4) Kompetensi tingkat lanjut, misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan sebagainya.

Dalam makalah itu, Hanitzsch menjelaskan keempat kompetensi itu dalam sebuah tabel, dan berdasarkan tabel itu ia membandingkannya dengan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan dosen, serta faktor-faktor lain, yang ada pada lima sekolah jurnalisme atau sekolah jurnalisme dalam program komunikasi: (1) Universitas Gadjah Mada; (2) Lembaga Pers Dokter Soetomo; (3) Institut Ilmu Sosial dan Politik; (4) Multi Media Training Center (MMTC); (5) Universitas Indonesia.

Ada beberapa kesimpulan yang didapat Hanitzsch. Pertama, pendidikan jurnalisme kita masih dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." Kedua, tak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. Sekolah jurnalisme punya dunianya sendiri, sedangkan industri media berada pada dunia yang lain. LPDS dan LP3Y punya pendekatan yang berbeda namun juga tak memadai karena mereka tak dilengkapi dengan sekolah di bidang penyiaran --sesuatu yang berkembang pesat di Indonesia.

Ketiga, semua sekolah ini tak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Banyak yang tak punya fasilitas internet maupun disain grafis. Kebanyakan dosen mengajarkan pengetahuan komunikasi plus matakuliah macam Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, dan sebagainya.Keempat, di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80 persen ada di Pulau Jawa dan Medan. Daerah timur, dari Makassar hingga Jayapura, dari Maluku hingga Kupang, adalah daerah-daerah yang tak punya sekolah jurnalisme. Ia melihat ada ketimpangan besar antara jurnalisme di Jawa dan Medan serta di kota-kota timur.

Ia memberikan data lengkap pada kelima sekolah itu. Sekolah wartawan pertama di Jakarta adalah "Akademi Wartawan" yang didirikan pada 1950 dan jadi cikal bakal IISIP. UGM mendirikan jurusan "publicitit" pada 1953. Universitas Indonesia mendirikannya pada 1959.

Namun semua sekolah yang diteliti Hanitzsch punya kelemahan di bidang tenaga pengajar. UGM misalnya, dari 16 dosen tetap, semuanya punya gelar di bidang komunikasi, namun hanya tiga orang yang punya pengalaman di bidang jurnalisme. IISIP punya 10 dosen tetap, tanpa jurusan penyiaran, dan hanya enam dosen yang pernah punya pengalaman di bidang jurnalisme. MMTC didirikan oleh Departemen Penerangan pada 1985 untuk mendidik karyawan TVRI dan RRI. Namun sejak jatuhnya Presiden Soeharto, ia kesulitan dana dan kini masih belum punya kejelasan akan masa depannya.

Kebanyakan sekolah ini menekankan kurikulum mereka pada pengetahuan tentang komunikasi namun kemampuan praktis di bidang jurnalisme, misalnya menulis, sedikit diajarkan. Bahkan di UGM, teknik investigasi dan format berita dijadikan satu matakuliah, diajarkan satu semester saja. Semua sekolah ini juga tak memberikan kesempatan mahasiswa untuk merasakan ruang redaksi --sesuatu yang normal dilakukan sekolah macam Columbia Graduate School of Journalism.

Saya tidak kaget membaca penemuan Thomas Hanitzsch. Saya kira isu ini juga sering dibicarakan di kalangan wartawan kita. Selama lebih dari 15 tahun jadi wartawan, saya sering mendengar keluhan para redaktur yang kesulitan mencari tenaga wartawan. Minggu lalu saja, saya menerima keluhan dari Wina Armada dari harian Merdeka serta Iwan Qodar Himawan dari majalah Gatra.

Keduanya merasa sulit mencari orang yang bisa dididik jadi wartawan. Padahal sekolah jurnalisme banyak sekali. Hanisztch menulis 69 sekolah itu punya 19 ribu mahasiswa. Ia seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan media Indonesia.

Menurut Atmakusumah Astraatmadja dari LPDS, dalam sebuah email dalam suatu mailing list pada awal 2000, jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000. Mereka mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi.

Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta (total 31 di seluruh Indonesia), paling-paling wartawan bertambah 8.000-10.000. Padahal kebutuhannya banyak sekali. Kita bakal melihat ledakan stasiun-stasiun televisi di luar Jakarta --mungkin di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Siapa yang bakal mengisi kekurangan tenaga-tenaga disana?

Saya tak tahu jawabannya. Tapi saat ini, setidaknya saya ingin sekali bisa membaca disertasi Hanitzsch bila sudah selesai. Saya kira sudah saatnya kita membicarakan pendidikan jurnalisme Indonesia secara serius. Tanpa upaya perbaikan sekolah jurnalisme, saya kuatir, masa depan media kita juga suram, dan ini juga akan mempengaruhi mutu demokrasi Indonesia. Terima kasih

Tuesday, June 08, 2004

Maaf Selebar Empat Kolom

A. Bakti Tejamulya

politikindonesia.com: Tak banyak orang tahu cerita ini. Waktu itu, pertengahan Juli 2003. Usai mengikuti rapat persiapan penerbitan majalah Pantau baru, saya menghabiskan sisa waktu sore hari bersama Andreas Harsono di sebuah kafe Mal Pondok Indah. Ini pertemuan pertama kami, sejak Pantau yang dipimpinnya disudahi hidupnya oleh Goenawan Mohamad (GM), selaku Direktur Utama Institut Studi Arus Informasi (ISAI), pada Maret 2003.

Saya menanyakan ihwal penghentian penerbitan Pantau yang diwarnai isu memburuknya hubungan antara Harsono dan atasannya itu. Seperti biasa, dia terkesan hati-hati menjawab pertanyaan. “Sebagai teman, saya tetap baik dengan Pak Goen. Bagaimana pun, dia guru sekaligus ayah saya,” kata Harsono.

Dia mengenang, bagaimana GM punya peranan besar, baik dalam kehidupan maupun karir kewartawanannya. Mereka punya “guru besar” yang sama, Bill Kovach, saat memperoleh beasiswa Nieman di Universitas Harvard, AS. Bedanya, GM berangkat ke sana tahun 1989, Harsono 1999. Pendek kata, hubungan keduanya begitu dekat, sedekat gigi dan bibir. Meski begitu, “Dalam hal jurnalisme, kami berbeda,” ujar Harsono tersenyum kecut.

Beberapa pekan sebelum Pantau di bawah ISAI tamat atau sesaat setelah majalah Tempo digugat oleh pengusaha Tomy Winata (TW), GM mengajak Harsono ikut dalam pertemuan sejumlah redaktur senior Tempo. Mereka membicarakan peluang-tantangan menghadapi TW di meja hijau. Kelihatannya, semua pihak dalam pertemuan sepakat, kasus ini merupakan “perang” melawan ancaman kebebasan pers. Sampai kemudian Harsono angkat bicara.

Dari aspek jurnalisme Harsono menilai, dalam kasus pemberitaan Ada Tomy di Tenabang? Tempo melakukan kesalahan. Terutama menyangkut sumber anonim yang diragukan kredibilitasnya. Harsono melukiskan, berita besar yang ditulis wartawan Tempo tidak menjalani verifikasi (proses pembuktian) yang memadai. Atas dasar itu, Harsono menyarankan agar Tempo mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada TW. “Menurut saya, mengakui salah juga bagian dari jurnalisme,” cetus Harsono.

Braaak! Sebuah gebrakan meja menghentikan Harsono bicara. Arahnya dari tempat GM duduk. GM lantas berdiri. Seraya menuding, dengan suara bergetar dia berkata, “You choose your way, I choose my may!

Setahun setelah peristiwa yang tak dilupakan Harsono itu, dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis GM untuk meminta maaf kepada TW. Bukan dalam kasus majalah Tempo, tapi kesrimpet oleh pernyataan GM sendiri yang dimuat di harian Koran Tempo edisi 12 dan 13 Maret 2003. Dalam edisi tersebut, GM menyebut, “Jangan sampai negara ini jatuh ke tangan preman, dan jangan sampai negara ini jatuh ke tangan Tomy Winata.” Majelis hakim memerintahkan GM untuk memuat pernyataan maafnya di halaman depan Koran Tempo, berukuran empat kolom x 15 cm, selama dua hari berturut-turut.

Dibandingkan dengan putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan atas kasus pemberitaan berjudul Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi (Koran Tempo, 6 Februari 2003), putusan kali ini sebetulnya sangat proporsional. Selain menolak gugatan materiil dan imateriil dari pihak TW – masing-masing Rp 1 miliar dan Rp 20 miliar – pihak tergugat cukup memuat pernyataan maafnya di harian Koran Tempo. Cukup dua hari saja.

Bandingkan dengan putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan akhir Januari silam. Selain Koran Tempo bersama Bambang Harymurti serta Dedi Kurniawan menanggung secara renteng ganti rugi 1 juta dolar AS, mereka pun diperintahkan untuk memuat pernyataan maaf selama tiga hari di 14 media cetak (delapan koran, enam majalah) dan 12 media elektronik dalam/luar negeri (CNN, CNBC, BBC) pada jam tayang utama (prime time). Putusan ini memang menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Bukan karena Koran Tempo diputus bersalah, tapi lebih pada proporsi antara delik perkara dan ancaman hukuman.

Menyusul kasus tersebut, kasus terakhir juga mengalami banding. Lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, GM tak ingin meminta maaf kepada TW sebagaimana perintah majelis hakim. Di mata Lubis, kliennya tidak melanggar hak-hak subyektif TW. Padahal, jika putusan itu dipatuhi, tak sepeser pun GM mengeluarkan uang. Ternyata bukan uang masalahnya.

Reaksi terhadap putusan majelis hakim (yang proporsional) berupa banding, ini memperlihatkan dua hal. Pertama, GM merasa tak bersalah. Implisit, pernyataan dia bahwa “TW seorang preman,” diyakini benar. Atau, boleh jadi GM merasa diperlakukan tak adil oleh putusan itu, mengingat bukan dia yang pertama atau satu-satunya yang mengatakan “TW seorang preman” alias rahasia umum. Bedanya, dia berani mengatakannya di media massa.

Kedua, ini pertarungan harga diri GM. Wartawan sekaligus sastrawan macam GM telah lama memandang dirinya sebagai tempat suaka bagi orang-orang tertindas dan teraniaya – dengan demikian telah menghasilkan hal-hal yang begitu baik bagi dirinya dan masyarakat – sehingga jika ada pihak yang tak bisa melihat kebaikan ini, akan mengguncang jiwanya. Tapi, apakah seseorang akan kehilangan harga dirinya hanya karena minta maaf? Dalam dimensi spiritual, bukankah permintaan maaf mencerminkan kerendahan hati seseorang?

Lagi-lagi saya ingat kembali cerita Harsono, seperti yang dibedahkannya di Pantau edisi Januari 2004. Bukan tentang GM, tapi tentang kerendahan hati Kovach. Cerita bermula, ketika Kovach menerima pertanyaan dari seorang mahasiswi Universitas Sumatra Utara, awal Desember 2003, saat mengawali lawatannya di Indonesia. Pertanyaannya, “Apa kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Bill Kovach?” Sang mahasiswi merasa, wartawan sekaliber Kovach pasti pernah berbuat salah.

Kovach menjawab, setiap wartawan bisa saja salah, termasuk dia. Salah satu kesalahan yang mengusiknya belakangan ini adalah eseinya tentang Charles Weltner dalam buku Profiles in Courage for Our Time, suntingan Caroline Kennedy, putri mendiang John F. Kennedy. Kovach menulis, bagaimana Weltner mundur dari Kongres pada 1966 karena Lester Maddox diajukan partainya sebagai kandidat gubernur Georgia. Maddox seorang pendukung segregasi atau kaum rasialis. Weltner menentang keputusan partainya dengan mundur, mengambil risiko dikucilkan, karena dia percaya bahwa tiap warga negara punya hak sama. Tak peduli rasnya.

Sejak itu, Weltner tidak saja kehilangan karir politik, tapi juga kacau kehidupan pribadinya. Dia bercerai dari istrinya, suka mabuk, naik sepeda motor besar, dan berlagak anak muda. Kovach mengungkapkan, pada periode ini Weltner menikahi istri keduanya. Tapi, pernikahan itu berakhir dengan perceraian. Belakangan, Weltner menikah dengan istri ketiga. Dia sempat jadi hakim agung sebelum meninggal dunia pada 1992.

Setelah buku terbit, Kovach menerima sebuah paket dari mantan istri kedua Weltner. Isinya berupa fotokopi surat-surat, dokumen, foto, dan sebuah surat panjang. Dalam surat, si mantan istri menyatakan, Kovach keliru dan telah menghancurkan hidupnya hanya dengan tiga kalimat. Kovach memang tak menyebut nama, tapi banyak orang tahu siapa mantan istri kedua Charles Weltner. Mantan istri tersebut mengatakan, masa dua tahun itu justru merupakan periode hidupnya yang paling membahagiakan. Mereka hidup bahagia. Bahkan sesudah cerai pun, mereka sering berkomunikasi.

Kovach mempelajari kiriman itu. Dia menyesal karena merasa tak cukup melakukan reportase untuk mengetahui periode dua tahun yang diabaikannya. Sebelum bertolak ke Indonesia, Kovach menelepon sang mantan istri Weltner. Dia berjanji akan mewawancarainya dan menulis sebuah esei untuk memperbaiki kesalahan yang ada.

Saya mengerti maksud cerita Harsono tentang Kovach. Bahwa setiap wartawan, tak terkecuali GM, bisa berbuat salah. Yang membedakannya adalah tidak setiap wartawan mau mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Tidak setiap wartawan punya sikap rendah hati dan menyediakan tempat bagi sisi kebenaran yang lain.

Dalam acara santap siang bersama Kovach di Jakarta, saya mengamat-amati penulis buku The Elements of Journalism itu dari dekat. Dalam hal mengemukakan pandangannya, Kovach memang terlatih cermat memilih kalimat ucapannya, secermat pilihan kalimat dalam buku-bukunya. Dia juga punya telinga yang lebar untuk mendengar orang lain. Ini sungguh kontras dengan karakter wartawan senior kita umumnya yang lasak, grusak-grusuk, berlagak seniman eksentrik, tapi ngéyél.

Saya tak pernah bermimpi Indonesia punya wartawan yang telah mengalami pencerahan macam Kovach. Saya hanya berharap, wartawan senior Indonesia seperti GM seyogianya mulai mempersiapkan warisan kebajikan laku dan moral untuk penerusnya, termasuk saya. Tak usah berupa laku heroik melawan kezaliman yang sering kita baca di komik-komik epik. Cukup, untuk kali ini saja, Goenawan Mohamad mau mengakui kesalahannya. Karena mengaku salah, tidak berarti kalah.

Monday, June 07, 2004

Literary Journalism Course VI

Pada 1973 Tom Wolfe menerbitkan buku The New Journalism. Dunia jurnalisme Amerika Serikat gempar. Sebuah gerakan muncul. Ia mengawinkan disiplin yang paling keras dalam jurnalisme dengan daya pikat karya sastra. Ibarat novel tapi faktual. Ibarat novel ia mencerahkan. Suratkabar-suratkabar Amerika banyak memakai elemen-elemennya ketika kecepatan televisi memaksa mereka tampil dengan laporan-laporan yang lebih dalam dan lebih memikat daya baca.

Kini gerakan itu diperkenalkan di Indonesia. Belajar menulis dengan dalam sekaligus memikat. Dunia suratkabar Indonesia, cepat atau lambat, akan lebih banyak menerangkan ketimbang sekedar menurunkan laporan hardnews. Dunia suratkabar Indonesia takkan mampu melayani publik dengan baik bila ia tak bisa tampil lebih dalam dari apa yang dilaporkan televisi atau internet.

Waktu
Kursus ini diadakan setiap semester sekali, bulan Januari dan Juni. Kali ini diadakan 7 Juni – 18 Juni 2004 (tiap Senin, Rabu, Jumat total enam hari, disediakan sela satu hari buat pekerjaan rumah)

Tempat Yayasan Pantau, Jl. Raya Kebayoran Lama 18 CD, Jakarta

Instruktur
Janet E. Steele, profesor dari School of Media and Public Affairs, George Washington University, mengampu matakuliah jurnalisme sastrawi di sana, kini menyelesaikan buku tentang majalah Tempo, (202) 994-2004

Andreas Harsono, pernah mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard, mendalami matakuliah ini selama dua semester di Harvard, kini wartawan majalah Pantau, (21) 72801163

Pendaftaran Indarwati Aminuddin 021-72801163 mobile 0818-764776

Syarat
Peserta adalah orang yang biasa menulis untuk media. Setidaknya sudah berpengalaman lima tahun. Kemampuan berbahasa Inggris dibutuhkan untuk membaca bahan-bahan bacaan. Peserta juga bersedia mengerjakan tugas-tugas dari membaca, meliput dan menulis pekerjaan rumah, dalam kursus ini. Dua minggu penuh si peserta diminta memberikan konsentrasi pada kursus. Sebaiknya si peserta tak dilibatkan dalam pekerjaan sehari-hari di kantor agar mendapatkan waktu maksimal untuk kursus ini. Peserta maksimal 15 orang agar instruktur punya perhatian memadai buat semua peserta. Pekerjaan rumah tangga tolong dibuatkan fotokopi dua kali (satu untuk peserta dan satunya untuk instruktur).

Biaya
Rp 2.5 juta termasuk makan siang dan materi termasuk buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Materi kursus non-buku kira-kira 200 halaman akan dikirim ke peserta lebih dulu untuk dibaca di rumah.

Jadwal

MINGGU PERTAMA [Janet Steele]

SESI 1 Senin 7 Juni pukul 10:00-12:00 – Pembukaan: membicarakan silabus, perkenalan, bagi tugas, dan diskusi tentang jurnalisme sastrawi, tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan reportase, melontarkan pertanyaan, menilai dokumen, mengutip sumber, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, kriteria dari gerakan “literary journalism.”

Bacaan: "The New Journalism" oleh Tom Wolfe; "Literary Journalism: Breakable Rules for Literary Journalists" oleh Mark Kramer; “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro“ oleh Arif Zulkifli dari Tempo oleh Steele dan Harsono.

SESI 2 Senin 7 Juni pukul 13:00-15:00 - Diskusi lanjutan tentang definisi jurnalisme sastrawi, dari Tom Wolfe hingga Mark Kramer, dan pengaruhnya pada perkembangan suratkabar mainstream di Amerika Serikat.

Tugas untuk Rabu: Rekamlah pembicaraan dengan seorang teman, anggota keluarga, atau seorang nara sumber, dengan tujuan bahan itu bisa dijadikan sebuah narasi (monolog). Buat transkripnya, lalu disunting sehingga enak dibaca. Topiknya bisa apa saja tapi yang bisa memikat pembaca untuk membaca narasi itu. Modelnya “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini.

SESI 3 Rabu 9 Juni pukul 10:00-12:00 – Diskusi tentang “immersion reporting” berdasarkan karya Truman Capote "In Cold Blood."

Bacaan: Steele menyediakan beberapa bagian dari “In Cold Blood” dan “Wealthy Family, 3 of Family Slain” dari The New York Times pada 1959.

SESI 4 Rabu 9 Juni pukul 13:00-15:00 – Diskusi tentang bagaimana memanfaatkan narasi dalam berita hangat (breaking news) dengan contoh “Tikungan Terakhir” oleh Agus Sopiann dan “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

Bacaan: “Tikungan Terakhir” (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian dan beberapa artikel suratkabar tentang pembunuhan Rudi Singgih serta “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

Tugas untuk Jumat: Tulislah sebuah narasi dengan gaya orang pertama ("saya") untuk menggambarkan sebuah adegan dengan menggunakan teknik Jurnalisme Baru. Gunakan model "The Armies of the Night" karya Norman Mailer sebagai contoh di mana Mailer memasukkan dirinya dalam laporannya. Bahan ini akan dibacakan di depan kelas. Panjang maksimal 2 halaman.

SESI 5 Jumat 11 Juni pukul 10:00-12:00 – Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “The Armies of the Night.”

SESI 6 Jumat 11 Juni pukul 13:00-15:00 – Lanjutan dari pekerjaan rumah serta review terhadap keseluruhan sesi selama satu minggu ini.

MINGGU PERTAMA [Andreas Harsono]

SESI 7 Senin 12 Juni pukul 10:00-12:00 – Diskusi tentang jurnalisme dasar serta sembilan elemen jurnalisme dari Committee of Concerned Journalists serta kesempatan yang ditawarkan genre ini untuk pengembangan suratkabar atau majalah di Indonesia, termasuk pemakaian byline, pagar api, kolumnis dan sebagainya.

Bacaan: “The Elements of Journalism” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; resensinya “Sembilan Elemen Jurnalisme” oleh Andreas Harsono.

SESI 8 Senin 12 Juni pukul 13:00-15:00 – Diskusi tentang jurnalisme sastrawi: pengelolaan database, persoalan etika, pengelolaan emosi pembaca dan sebagainya.

Bacaan: "Literary Journalism: Breakable Rules for Literary Journalists" oleh Mark Kramer; "The New Journalism" oleh Tom Wolfe (bab pengantar dalam buku Wolfe berjudul The New Journalism); “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana.

Tugas untuk Rabu: Coba pikirkan bagaimana kita bisa meningkatkan minat orang membaca naskah kita? Apa yang bisa dilakukan secara pribadi? Apa yang harus dilakukan secara kelembagaan? Tuliskan dalam beberapa alinea dan nanti didiskusikan bersama.

SESI 9 Rabu 28 Juni pukul 10:00-12:00 – Diskusi tentang liputan Aceh dalam gaya bertutur dengan melihat struktur karangan, membandingkan tiga karangan berbeda dengan isu yang sama.

Bacaan: “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” oleh Alfian Hamzah (Rini dan Alfian adalah alumni kursus jurnalisme sastrawi angkatan II) serta “Republik Indonesia Kilometer Nol” oleh Andreas Harsono.

SESI 10 Rabu 28 Juni pukul 13:00-15:00 – Diskusi tentang John Hersey membuat laporan “Hiroshima” yang diterbitkan majalah The New Yorker pada Agustus 1946.

Bacaan: “Hiroshima” oleh John Hersey, “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey” oleh Bimo Nugroho, dan “About Town” oleh Ben Yagoda. Satu kelompok akan dipilih untuk membaca semua bab dalam “Hiroshima” dan cerita soal laporan ini.

Tugas untuk Jumat: Membaca “The Terrorist Within” oleh Seattle Times. Diskusi akan dilakukan oleh dua kelompok. Kelompok pertama bertugas menerangkan bagian pertama dari laporan tersebut sedang kelompok kedua mendiskusikan bagian terakhir.

SESI 11 Jumat 30 Juni pukul 10:00-12:00 – Diskusi bagaimana The Seattle Times membuat laporan “The Terrrorist Within” tentang Ahmed Ressam dari al Qaeda.

Bacaan: Tiap peserta harus membaca “The Ticking Bomb” dari laporan 17 hari yang diterbitkan Seattle Times. Satu kelompok akan membaca 17 bab dalam “The Terrorist Within” dan cerita soal laporan ini.

SESI 12 Jumat 30 Juni pukul 10:00-13:30 – Penutupan serta tanya jawab serta penyerahan sertifikat [Steele dan Harsono].

Wartawan atau Politikus?

Oleh Andreas Harsono

Beberapa hari lalu seorang teman kuliah, yang kini jadi seorang pengusaha, menelefon saya dan mengajak diskusi soal nilai tukar rupiah, para kandidat presiden, dan macam-macam isu politik lain. Kami bicara agak lama ketika ia mengejutkan saya dengan menanyakan mengapa Goenawan Mohamad, seorang wartawan terkemuka Indonesia, yang punya reputasi internasional, juga kenalan baik saya, memutuskan bergabung dengan tim sukses Amien Rais. "Ini apa tidak memengaruhi independensinya?" tanyanya.

Saya belum tahu dan berjanji akan mengeceknya. Selang sehari saya mengirim SMS kepada Goenawan, menanyakan apa benar ia bergabung dengan tim kampanye Amien Rais? Kalau benar, tidakkah keputusan itu akan memengaruhi independensinya sebagai wartawan?

Ia pun menjawab dengan SMS, "It will. But if you are committed to democratic change, you have to be prepared to be a normal citizen. In the election time partisanship is a sad duty."

Kurang lebih, ia mengatakan ia juga sedang menjadi "warga negara biasa" yang ingin melihat terjadinya perubahan politik secara demokratis di Indonesia. Sikap partisan memang akan memengaruhi independensinya sebagai wartawan dan tanggung jawab ini menyedihkan.

Saya kira Goenawan bukan satu-satunya wartawan Indonesia yang terlibat dalam politik pemilihan presiden. Alwi Hamu, misalnya, salah satu pemimpin Kelompok Jawa Pos, ikut bergabung dengan tim sukses Jusuf Kalla. Alwi mengerahkan banyak redaktur harian Fajar, salah satu surat kabar terbesar di Pulau Sulawesi, membantu duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Cyprianus Aoer, seorang wartawan asal Manggarai, Pulau Flores, dan pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan, jadi kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk anggota parlemen. Ia masuk urutan nomor satu calon PDIP untuk Flores dan April lalu lolos masuk Senayan. "Motivasi saya adalah memperjuangkan rakyat, masih banyak yang miskin di Flores sana," katanya.

Panda Nababan, dulu dikenal sebagai wartawan harian Sinar Harapan, kini salah satu orang kepercayaan Megawati. Wahyu Moeryadi kini bekerja untuk mingguan Tempo dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Contoh lain adalah Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia dan Metro TV. Surya menjadi calon presiden Partai Golongan Karya. Ketika berkampanye, Surya mengarahkan kedua media itu membantunya, "Secara jujur harus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia. Kalau tidak, apa lagi yang bisa saya gunakan? Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan di Metro TV atau Media Indonesia. Saya tak ingin jadi hipokrit."

Surya terang-terangan mungkin karena ia pemilik media. Tapi banyak wartawan yang namanya tak tercantum resmi namun sering membantu mengatur berbagai pertemuan antarpolitisi dan "bertugas" membuat agenda atau opini (maupun opini tandi-ngan) di media massa. Saya tahu ada tiga wartawan majalah Tempo juga masuk tim Jusuf Kalla. Mereka melakukannya diam-diam dan memakai nama samaran kalau menulis.

Pengusaha kenalan saya itu bertanya-tanya bagaimana wartawan-wartawan ini bisa independen saat bekerja? Wartawan memang sulit menjadi netral tapi mereka harus independen dari orang atau isu yang mereka liput sehingga bisa tetap kritis terhadap liputannya. Apa dampak dari wartawan yang ikut berpolitik terhadap medianya?

Bagaimanapun, wartawan termasuk warga negara biasa yang punya hak politik dan sering diharapkan ikut memimpin masyarakatnya. Mereka sah melakukannya. Aoer sangat prihatin karena warga Flores kurang diperjuangkan di Jakarta. Tidakkah pilihannya sah untuk terjun ke Parlemen?

Saya kira pertama-tama harus dibedakan juga antara mereka yang melakukannya secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Saya lebih menghargai wartawan yang terang-terangan masuk politik, termasuk Panda Nababan dan Cyprianus Aoer, walau saya kurang setuju dengan tindakan itu, daripada mereka yang diam-diam ikut rapat partai dan ikut mengatur strategi kampanye namun namanya tak diungkapkan kepada publik (seringkali mereka yang terang-terangan dulunya juga mulai dari diam-diam). Mereka yang sembunyi-sembunyi jelas menyalahi salah satu dasar intelektual dari verifikasi dalam jurnalisme, transparan kepada audiens.

Namun saya percaya keterlibatan wartawan dalam politik sebaiknya diberlakukan sebagai one-way ticket. Seorang wartawan boleh jadi politikus tapi jangan kembali jadi wartawan. Aoer boleh masuk parlemen tapi jangan kembali ke Suara Pembaruan. Alwi Hamu, Goenawan Mohamad dan Surya Paloh juga jangan kembali ke media mereka. Saham bisa dikelola orang lain bukan?

Bill Kovach, kurator Nieman Foundation on Journalism, Universitas Harvard, salah satu guru wartawan yang paling dihormati dari Amerika Serikat, punya cerita yang penting untuk menerangkan isu ini.

Pada 1979, ketika baru menjadi kepala biro Washington New York Times, Kovach diajak mengobrol Presiden Jimmy Carter di Gedung Putih. Mereka bicara tentang makna informasi buat seorang politikus dan seorang wartawan.

Carter berkata, "Ketika Anda memiliki kekuasaan, Anda menggunakan informasi untuk membuat orang mengikuti kepemimpinan Anda. Namun kalau Anda wartawan, Anda menggunakan informasi untuk membantu orang mengambil sikap mereka sendiri."

"Carter benar sekali," kata Kovach. "Informasi yang sama dipakai untuk dua tujuan yang berbeda. Bahkan berlawanan."

Ini pula yang membuat Kovach mengambil sikap teguh untuk independen dari dunia politik maupun politisi. Kovach setia pada jurnalisme dan tak pernah mau menerima tawaran masuk ke dunia politik. Ia membuktikannya selama bekerja sebagai wartawan sejak 1959. Kovach tak pernah masuk ke partai, ikut kampanye atau menerima pekerjaan lain di luar jurnalisme.

Inilah salah satu elemen jurnalisme. Loyalitas utama seorang wartawan adalah kepada warga masyarakat tempatnya berada. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Independen baik dari institusi pemerintah, bisnis, sosial maupun politik. Wartawan bahkan harus independen dari pemilik media tempatnya bekerja.

Bila seorang wartawan masuk politik, ia akan mempunyai sikap yang berbeda terhadap informasi, sehingga lebih baik bila ia tak kembali ke media. Praktik bolak-balik ini akan menimbulkan citra kurang baik dari masyarakat tehadap media Indonesia, apalagi pada masa demokratisasi sekarang ini, di mana warga butuh informasi yang bermutu untuk mengambil sikap terhadap berbagai isu penting di Indonesia. ***

Naskah ini muncul di harian Pikiran Rakyat di Bandung. Andreas Harsono adalah ketua Yayasan Pantau, yang bertujuan meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia, menerima Nieman Fellowship dari Harvard pada 1999-2000.

Rights Advocate's Expulsion A Step Backwards

By Andreas Harsono

Jakarta, 7 June 2004 (IPS) -- Freedom of expression in Indonesia's emerging democracy suffered a big blow Sunday with the expulsion of a U.S. citizen researcher with a well-respected think tank, who had exposed links between the Indonesian military intelligence and an Islamic group allegedly linked to terrorism.

The expulsion provoked condemnation in the country, prompting a number of Indonesian NGOs to openly challenge the government's decision in a parliamentary hearing on the researcher's marching orders.

"We haven't even been told directly what we've done wrong and the officials concerned won't meet with us. We have not been able to respond to any charges, and there is no legal mechanism to challenge the expulsion," Sidney Jones of the Brussels-based International Crisis Group, or ICG, told IPS on Sunday before leaving the country for Singapore.

Jones is ICG's Indonesia expert and director of the group's Indonesia branch.

She was handed a letter, last week, by the National Intelligence Agency ordering her to leave the country by the weekend at the latest, along with her Australian analyst assistant Francesca Lawe-Davies.

There was immediate condemnation of Jones' expulsion.

"I'm ashamed to be an Indonesian today because a friend, who did nothing wrong, is being expelled arbitrarily from Indonesia," said Ishak Santoso, head of the Jakarta-based Institute for the Studies on Free Flow of Information, at a hearing to discuss Jones' matter at the House of Representatives.

The powerful National Intelligence Agency chief Gen A M Hendropriyono said Jones had undermined national security and damaged Indonesia's image with critical reports on separatist conflicts in Aceh and West Papua.

Hendropriyono, a close ally of President Megawati Sukarnoputri, told a committee of Indonesian MPs that ICG's reports were untrue and were written to slander the country in order to get money from abroad.

"She's (Jones) been working here drawing attention to human rights. Then she writes reports and sends them abroad, even though they are not all true," the intelligence chief, told 'Tempo' magazine.

"There must be steps taken against people who are not liked by the people of Indonesia," he said angrily.

But ICG's seminal work in recent years has been Jones' reporting on Jemaiah Islamiyah - a regional network that aims to create a pan-Islamic state in South-east Asia and which several governments have classified as a terrorist organisation.

In August 2002, ICG published a report entitled 'al-Qaeda in South-east Asia.'

Some governments and certain intelligence agencies claim a connection between Jemaiah Islamiyah and al-Qaeda and allege the Islamic regional grouping's members had trained with al-Qaeda militants in Afghanistan.

Jemaiah Islamiyah is claimed to be responsible for the blasts in a popular Bali bar-strip on Oct. 10, 2002, which killed at least 190 people - most of them Australians.

Its spiritual leader and Muslim cleric Abubakar Baasyir is now under detention.

One week after the Bali bombing, Baasyir was arrested by the Indonesian police. But prosecutors have so far failed to convict him.

Last September, a court sentenced him to four years in jail for taking part in a plot, supposedly by the Jemaiah Islamiyah to overthrow the government. But it said there was no proof he was its leader.

An appeals court in November overturned the treason conviction but ruled that Baasyir must serve three years for immigration offences and forgery. This April, the Supreme Court halved that sentence and said the time he has spent in detention counted toward it, prompting expressions of dismay from the United States, Australia and Singapore.

Baasyir was released on Apr. 30, but was promptly re-arrested.

But what has upset some sections of the Indonesian political and military elite are not the findings of Jones and her team, but rather the links and ties they have uncovered in the course of their research, some of which go right to the Indonesian military elite.

"Several of the ICG reports contain adverse comments on Hendropriyono's National Intelligence Agency. Jones' reports also mentioned the names of some people who are his informers," an intelligence source, who did not want to be named, told IPS.

Since the tragic events of Sep. 11, 2001 and more importantly the 2002 Bali bombings, Indonesia has been wooed and later co-opted into the U.S.-led 'coalition of the willing' in the fight against global terrorism.

Hendropriyono is one of the Bush administration's favourite Indonesian officials because he is widely seen as among the few senior army officers, in the world's largest Muslim country, who has taken the threat of terrorism seriously.

But Malaysian political analyst Farish Noor points out the irony of Indonesia's inclusion by the U.S. government in its fight against terror.

"The most worrying development of all has been the near-total erasure and collective amnesia about the close links between the Indonesian army, intelligence and the so-called Islamic militant groups in Indonesia," he told IPS.

"When the Indonesian government was told to rein in these groups some of their leaders openly stated that they enjoyed close relations with the Indonesian army," added Noor.

It comes as no surprise that Jemaah Islamiyah welcomed Jones' expulsion.

"We call on the government to ban Sidney Jones and also have her apologise to Abu Bakar Bashir," Fauzan al Anshari, spokesman for the Muslim cleric told reporters.

The momentum to expel Jones apparently began after a closed-door parliamentarian hearing with Hendropriyono on May. 25. It was also a coincidence that her work permit was soon to expire.

Ibrahim Ambong, who heads a parliamentary commission on intelligence, said Hendropriyono had told the legislators that Jones had falsely spoken in a Washington forum about Indonesian soldiers helping "spreading HIV/AIDS" in the remote province of West Papua in eastern Indonesia.

Jones' assistant Lawe-Davies, Ambong said, was expelled because she had no work permit.

The move against Jones is arguably conveniently timed.

Indonesia is in campaign mode in the country's first direct presidential election scheduled on Jul.5 and political leaders seem reluctant to rush to the defense of a foreigner and make themselves unnecessarily vulnerable to nationalist criticism.

But the other hand, it is interesting to note that no other senior political figures have jumped on the anti-Jones bandwagon.

Jones' expulsion unexpectedly prompted scores of Indonesia's big names, ranging from Muslim scholar Nurcholish Madjid, often regarded as a national guru, to internationally-recognised Indonesian journalist Goenawan Mohamad, to form a coalition in her defense.

They collected signatures to fight against her expulsion and petitioned parliament to renew her work permit.

Ulil Abshar-Abdalla of the Liberal Islam Network told the legislators that Jones was really a big lover of Indonesia.

"She has been involved in Indonesia since the 1970s, living in an Islamic boarding house," he said.

"She also has her own personal struggle with the Bush administration. Once she told me that she would like to change her citizenship into Indonesian if President Bush is to be re- elected in for a second term (this November)," Abdalla revealed to IPS.