Sunday, January 12, 2014

Seharusnya Pers Mahasiswa Menjadi Media Mahasiswa


PADA Februari 2010, saya ikut mengampu sebuah kelas jurnalisme, yang diadakan oleh Bahana Mahasiswa, Universitas Riau. Pesertanya sekitar 20 wartawan mahasiswa. Ia diadakan selama seminggu di Sei Rokan, sebuah perkebunan sawit terpencil, dimana sinyal telepon lemah dan praktis kami tak bisa buka internet. Kami harus pergi ke kota terdekat, sekitar 30 menit dari perkebunan, bila mau buka internet.

Namun keterpencilan tersebut membuat kelas berjalan hangat, setiap malam bisa diskusi tanpa terganggu telepon maupun internet. Selama seminggu, banyak diskusi soal internet sebagai medium baru. Bukan rahasia bahwa internet makin hari makin dominan.

Wartawan mahasiswa piknik ke Muaro
Jambi pada Februari 2010.
Dalam diskusi saya mengusulkan "pers mahasiswa" macam Bahana Mahasiswa membangun web, menekankan kekuatan organisasi mereka --redaksi, produksi maupun bisnis-- kepada web, serta secepatnya menghentikan pencetakan majalah atau tabloid. Website sekarang bukan hanya berisi tulisan, kartun dan foto. Namun ia juga berisi audio, video maupun interactivity dimana pembaca bisa ikut memberi informasi, komentar, gambar dan seterusnya.

Ini belum lagi dengan tantangan menggunakan Twitter buat breaking news. Ini belum lagi dengan tantangan menggunakan Facebook buat mengelola komunitas. Pada 2010, saya memperkirakan ada 500 juta pemakai Facebook serta 106 juta pemakai Twitter di seluruh dunia. 

Social media, suka atau tak suka, akan memainkan peran makin penting dalam pembentukan opini publik. Wartawan mahasiswa perlu mengenal perubahan ini. Facebook bisa dibuat membangun dan mengelola "komunitas Bahana Mahasiswa" dan komunitas adalah medium yang cocok buat memperkenalkan ide, memberi informasi, menjadi forum publik ... thus juga beriklan.

Saya juga usul istilah "pers mahasiswa" --biasanya dikaitkan dengan "lembaga pers mahasiswa"-- diganti menjadi "media mahasiswa" karena makna kata "pers" --asal kata kerja "to press" atau mencetak-- tak bisa menggambarkan fenomena multimedia yang muncul berkat internet.

Pelatihan wartawan mahasiswa oleh lembaga media mahasiswa Aklamasi di Siak pada Agustus 2013. Peserta dan panitia sekitar 30 orang. Aklamasi dari Universitas Islam Riau, Pekanbaru, adalah lembaga media mahasiswa pertama di Indonesia yang membangun medium Android. Mereka punya apps sendiri, bisa download gratis dari Android.


PADA awal 2011, saya berkunjung ke Washington DC dan bertemu dengan Bill Kovach, mantan kurator Nieman Foundation on Journalism serta mantan wartawan The New York Times, salah satu guru jurnalisme yang berwibawa, juga saya anggap guru saya. Kovach memberi saya buku terbarunya, Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload, yang ditulis bersama Tom Rosenstiel. Ini adalah buku ketiga duet Kovach dan Rosenstiel sesudah Warp Speed dan The Elements of Journalism.

Blur pemberian Bill Kovach
Mereka mengingatkan bahwa internet adalah medium yang tak terhindarkan. Ia akan mempengaruhi jurnalisme. Internet mengandung bahaya terhadap demokrasi karena kecepatan informasi bergerak di internet, tanpa saringan ruang redaksi, bisa menciptakan kasak-kusuk, campur antara fakta dan fiksi, propaganda, serta opini publik yang kacau. Internet bikin tsunami informasi. Mereka menulis soal peranan baru wartawan pada era internet.

Saya suka dengan analisis Blur. Kovach dan Rosenstiel mau memahami kenyataan serta mengajak orang menghadapi perubahan. Kovach percaya pada jurnalisme. Dia ingin jurnalisme bisa mengikuti perubahan medium, sama dengan jurnalisme dulu muncul berkat teknologi cetak, lalu mengikuti teknologi radio, televisi dan kini internet.

Saya membawa pulang Blur ke Jakarta serta menyebarkannya ke kenalan-kenalan saya. Pada Desember 2012, Yayasan Pantau dan Dewan Pers menterjemahkan dan menerbitkan buku tersebut ke Bahasa Indonesia. Dengan Blur, saya makin percaya dengan argumentasi saya di Sei Rokan.

Jangan salah sangka. Saya percaya pada pers mahasiswa. Ia adalah sumber penting, mungkin supplier terpenting, dunia kewartawanan di Indonesia. Banyak wartawan yang berpengaruh berasal dari pers mahasiswa, dari zaman Mohammad Hatta pada 1920an sampai Rahman Tolleng pada 1970an. Setiap tahun, sejak 1999, saya memberikan waktu buat mengampu kelas-kelas wartawan mahasiswa. Bila lembaga media mahasiswa bisa lebih awal beradaptasi dengan internet --lewat website dengan audio, video maupun Android serta i-Pad-- saya akan merasa lebih aman dengan masa depan jurnalisme di Indonesia. Saya tidak anti pada media cetak tentu. Saya usul naskah-naskah dan gambar-gambar istimewa tetap diterbitkan sebagai koleksi khusus.

Pelatihan wartawan mahasiswa oleh Akademika, Universitas Udayana, di Denpasar pada September 2013. Saya ikut mengampu kelas ini bersama Mpu Prema Jaya Ananda (pandita-cum-wartawan juga dikenal dengan nama Putu Setia dari Tempo) dan reporter investigatif Metta Dharmasaputra dari Katadata. Di Bali, saya makin yakin bahwa sebaiknya lembaga pers mahasiswa mengalihkan energi mereka ke pendekatan multimedia. Bukan fokus pada cetak bahkan kalau bisa segera meninggalkan cetak kecuali buku.


PADA Desember 2013, On Device Research menerbitkan slide show dengan judul "Indonesia: The Social Media Capital of the World." Mereka mengeluarkan fakta-fakta menarik soal dunia internet, social media maupun telepon genggam di Indonesia:
  • Indonesia menulis 385 kicauan (tweet) setiap detik. Artinya, 7.5 persen dari kicauan seluruh dunia dari Indonesia (data Juni 2013);
  • Kicauan dari Jakarta lebih banyak dari kota mana pun di dunia, termasuk London, Los Angeles, New York, Riyadh, Sao Paulo atau Tokyo;
  • Indonesia adalah bangsa Facebook keempat terbesar di dunia sesudah Amerika Serikat, India dan Brazil. Sekitar 70 persen pemakai Facebook di Indonesia berumur di bawah 25 tahun dan 75 pemakai Facebook menelusuri internet dengan telepon genggam;
  • Baru 24 persen dari 247 juta penduduk Indonesia punya internet pada 2012. Namun ia diperkirakan tumbuh hingga 145 juta pemakai pada 2015; 
  • Iklan lewat telepon tumbuh 99 persen pada 2012. Indonesia hanya nomor dua sesudah Amerika Serikat dari pertumbuhan iklan telepon;
  • Pemakai internet tumbuh dari dua juta orang pada 2000 menjadi lebih dari 55 juta pada 2012; 
  • Kecepatan internet di Indonesia termasuk paling lambat di dunia. Menariknya, harga paket internet juga termasuk yang paling murah di dunia. 
On Device Research memang tak secara khusus bahas internet di kampus-kampus. Namun saya percaya mahasiswa punya kemungkinan internet lebih tinggi dari kebanyakan orang. Tak sedikit kampus di Jawa atau Sumatra yang sediakan wifi gratis dalam kampus.

Angka-angka On Device Research menambah kesimpulan makin berkembangnya dunia sosial media, internet dan kesukaan orang Indonesia berkicau. Media di Indonesia, termasuk media mahasiswa, penting sekali memahami revolusi komunikasi ini serta mencocokkan cara kerja mereka dengan dunia internet dan telepon genggam.

Saya perhatikan banyak lembaga jurnalisme mahasiswa punya account twitter: @LPMdidaktika Jakarta, @LPMIndikator Malang, @PersMaARENA Yogyakarta, @persakademika Denpasar, @LPMS_IDEAS Jember dan sebagainya.

Namun berapa media mahasiswa punya Android? Berapa punya apps but i-Pad? Berapa media mahasiswa punya bagian video? Bagian audio? Berapa media mahasiswa punya kemampuan meliput breaking news sehingga Twitter mereka lebih menyengat?

Bila memperhatikan trend jurnalisme di negara-negara yang lebih duluan berinternet, termasuk Amerika Serikat dimana ratusan suratkabar dan majalah gulung tikar karena tak mau cepat berubah, serta melihat data-data soal internet, cepat atau lambat, dunia jurnalisme di Indonesia akan jadi multimedia. Perusahaan televisi, radio, dan cetak akan menjadi perusahaan multimedia. Ini menuntut pers mahasiswa mempersiapkan anggota-anggota mereka dengan ketrampilan multimedia.

Selama lembaga pers mahasiswa masih berkutat dengan dunia cetak, mengerahkan dana dan waktu mereka yang terbatas, buat bikin cetakan, selama itu pula mereka tak memberi kemungkinan buat masyarakat membaca, menonton dan mendengar kerja jurnalistik mereka. 

Masyarakat-masyarakat di Indonesia akan merasa lebih tenang dengan masa depan jurnalisme, maupun demokrasi, bila berbagai lembaga pers mahasiswa, di Bali, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan lainnya, mengambil langkah berani dengan mengubah diri mereka jadi lembaga media mahasiswa.

Sudah saatnya "pers mahasiswa" berubah jadi "multimedia mahasiswa" dan menghentikan kegiatan cetak mereka.

***
Update
Dua wartawan Bahana Mahasiswa memberitahu mereka sekarang sudah punya Android. Bisa download dari http://www.appsgeyser.com/getwidget/LPM%20Bahana%20Mahasiswa/ 

Wednesday, January 01, 2014

National Monument in Jakarta



I SPENT New Year Day at the National Monument park in Jakarta, driving my brother-in-law to see around the park. He has never visited Jakarta. This is his very first visit. My wife and I drove him to the National Monument or Monumen Nasional (Monas). It seems like a must-see site among many Indonesians who visit the capital.

My brother-in-law lives in Madura Island.
It's basically a 132-meter tower established at the heart of Merdeka Square, probably Jakarta's largest public park. Its shape resembles a lingga (penis) and a yoni (vagina), symbolizing masculinity and femininity. In 1954, four years after the transfer of power from the Netherlands to Indonesia, President Sukarno had this idea of building a national monument, to commemorate the struggle of Indonesian independence.

A lift on the southern side carries visitors to the viewing platform at a height of 115 metres above ground level. The capacity of the elevator is about 11 people. The top platform can accommodate about 50 people.

My wife at the National Monument park.
The construction began in 1961. But it was opened to the public in 1975. It is topped by a golden flame covered with gold foil. The flame is made by a 14.5-ton bronze. It's called the 'flame of independence."

My wife usually refused to go into the monument museum, located inside the base of the tower, as well as the top of the monument. The line up is usually pretty long. On New Year Day, it might be two hours just to line up. The lift of the monument is located inside the tower.

My wife with her two siblings and her mother.  
MY WIFE has a half-brother, two half-sisters and a sister. Her half-brother lives in a village near Bangkalan, Madura Island. Meanwhile, all of her sisters live in Pontianak in western Borneo. It's quire rare for these sisters to meet their half-brother. Obviously we wanted to show him around. We also celebrated the New Year Eve in my apartment.

My niece joined us at the visit. 
My wife's niece is also joining us. She is now studying in a college in Jakarta. It's quite a family reunion. Our niece wears her black Rolling Stone T-shirt. She said that the park is pretty packed. Thousands of visitors and probably more than a hundred street vendors were in the park. It was also littered pretty badly.

Me with my Human Rights Watch T-shirt in Jakarta's National Monument!