Thursday, November 10, 2022

Naimullah: Pembalakan Liar yang Mematikan

Oleh Dian Lestari

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (2017-2020) di Pontianak. Naskah ini dimuat dalam buku Mati Karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia terbitan Aliansi Jurnalis Independen (Oktober 2022). 



Sabtu, 26 Juli 1997. Suara dering telepon memecah kesunyian di kediaman Mhia, istri Naimullah di Pontianak, Kalimantan Barat. Saat itu jam dinding menunjukkan pukul 01.00 WIB. Mhia, yang tak bisa nyenyak tidur hari itu, terbangun dan mengangkat telepon.

“Halo, benar ini rumah Bapak Naimullah?” “Iya benar. Saya istrinya.”

“Saya anggota Polres Mempawah.” “Ada apa ya, Pak?”

“Apa ibu tahu nomor pelat  mobil suami ibu? Pak Naimullah pakai baju warna apa?”

“Saya mau memastikan saja, apa benar ini nomor telepon keluarga Pak Naimullah.”

“Tolong bapak katakan apa adanya!”

Hati Mhia gusar. Naimullah, yang bekerja sebagai wartawan Harian Sinar Pagi, sedari siang memang tak kunjung pulang. Sebelumnya sang suami memang mengatakan bahwa ia sedang menulis berita soal pembalakan liar. Ia berencana pergi ke suatu perusahaan untuk mengkonfirmasi beritanya usai salat Jumat di Masjid Raya Mujahidin.

Polisi di seberang telepon tetap tak memberi ketegasan apa yang terjadi terhadap suaminya. Polisi itu malah bertanya adakah nomor telepon kerabat yang bisa dihubungi. Mhia lantas memberikan nomor telepon paman Naimullah, seorang pensiunan tentara. Dari paman Naimullah itulah akhirnya Mhia mendapat kabar soal nasib suaminya.

Polisi itu mengabari bahwa Naimullah meninggal. Mayatnya ditemukan oleh warga di Pantai Penibungan, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Jumat, 25 Juli 1997 malam. Dalam kondisi syok dan kebingungan, Mhia berupaya menguatkan diri. Ia bersama paman Naimullah dan adik iparnya menyewa mobil untuk ke Mempawah.
***

Mayat Naimullah, 42 tahun, ditemukan oleh warga di Pantai Penibungan. Pada era 90-an, kawasan pantai Penibungan didatangi pelancong yang ingin bersantai di pesisir. Ada pula yang datang ke sana untuk memancing. Saat mendatangi Pantai Penibungan pada Senin, 11 April 2022, awalnya agak membingungkan menemukan lokasinya. Tak seperti informasi beberapa warga, yang mengatakan bahwa jalan masuk ke pantai gampang terlihat, karena berada persis di tepi jalan raya Mempawah.

Tak ada papan petunjuk lokasi wisata tersebut. Setelah beberapa kali bertanya ke warga sekitar, barulah ditemukan lokasi persisnya. Rupanya pagar seng berwarna biru menutupi area tersebut. Setelah seorang warga membuka pintu pagar seng, barulah tampak Pantai Penibungan. Terlihat jalan beton yang lebarnya muat untuk dilalui satu mobil. Jalan itu lurus mengarah ke ujung pantai.

Naimullah ditemukan sekira 150 meter dari pintu masuk menuju jalan tersebut. "Di jalan sini mayatnya. Dalam mobil. Dekat pokok (pohon) ini," kata Mulyadi, 35 tahun, warga Penibung dengan logat Bahasa Melayu. Kini Mulyadi dan keluarganya mendiami satu rumah di dekat pintu masuk Pantai Penibungan. Pemilik tanah menugaskan dia menjaga kawasan tersebut.

Mulyadi menceritakan, ada dua orang yang pertama kali meliat mayatnya, lalu mengabari warga lain dan lapor polisi. Dia menyebut Akong, yang sekarang bermukim di Jakarta, dan Suhaini, 42 tahun, warga Desa Penibung. Suhaini masih di daerah itu dan butuh waktu 30 menit berkendara mobil dari Pantai Penibungan ke rumahnya. Jaraknya tak jauh, tapi kondisi jalan yang rusak memaksa mobil berjalan pelan.

Suhaini mengisahkan, dulu dia tinggal di rumah orangtuanya, persis di seberang jalan raya dekat Pantai Penibungan. Saat malam penemuan mayat, dia sedang sedang bersantai duduk-duduk bangku depan rumah. Mendadak Akong memanggilnya. Ia mengajak Suhaini melihat dari dekat mobil yang katanya masuk ke area itu sejak sore. Di bangku belakang mobil mereka melihat orang yang posisinya berbaring ke arah kanan. Merasa khawatir terjadi sesuatu dengan orang tersebut, keduanya melaporkan kepada Agus Pandi, polisi yang biasa berpatroli di sana.

Saat ditemui pada 11 April 2022, Agus Pandi masih menjadi anggota aktif di Polres Mempawah. "Saya masih jadi Bhabinkamtibmas waktu itu," katanya. Walau sudah berlalu hampir 25 tahun, dia menyatakan masih mengingat jelas momen-momen penemuan mayat Naimullah. Kala itu Agus Pandi didatangi beberapa warga sekira pukul 19.00 WIB.

Info awal yang dia dapatkan adalah ada mobil parkir sejak sore, lalu sampai malam tak ke luar dari pantai. Warga curiga telah terjadi sesuatu dengan lelaki di dalam mobil. Agus Pandi bergegas mendatangi lokasi. "Saya tak berani buka mobilnya. Dari luar mobil saya senter wajahnya. Saya bilang, 'Pak, bangun Pak',".

Setelah berulangkali memanggil tapi tak direspon, Agus Pandi memutuskan melapor kepada petugas di Polres Mempawah. "Mobil dibongkar. Petugas dari Polres yang periksa. Saya lihat ada darah di kepalanya," kata dia. Agus Pandi mengingat pada masa itu ramai warga mendatangi tempat kejadian perkara (TKP). Polisi memasang police line. Selama dua hari polisi menyelidiki TKP. "Kasus ini heboh. Sampai Kapolda juga turun meninjau lokasi," tuturnya.

Setelah penemuan mayat Naimullah itu, Agus Pandi tak mengikuti perjalanan penanganan kasusnya. Sebab, itu bukan wewenangnya. Dia mengaku prihatin karena hingga kini belum terungkap siapa pembunuhnya.
***

Naimullah, yang akrab disapa Naim, dikenal sebagai wartawan Harian Sinar Pagi. “Naimullah itu teman akrab. Dulu sering tiap pagi ngopi di (Pasar) Flamboyan. Orangnya kecil-kecil, tinggi, kurus, kurang lebih badan saya. Ganteng dia orangnya. Putih,” kata Andi Tenri Sangka, 64 tahun, salah satu temannya, saat ditemui pada 2 Juni 2022 di Pontianak, Kalimantan Barat.

Andi Tenri Sangka dulunya pernah menjadi jurnalis di surat kabar Kemudi. Ia sudah lebih dahulu menjadi jurnalis. Kata dia, Naimullah menjadi jurnalis sekitar empat tahun sebelum kematiannya. Ia mengenang Naimullah sebagai jurnalis yang kerap membuat berita-berita tajam. “Dia suka mengungkapkan oknum-oknum yang terlibat pembabatan kayu. Dia memang seorang wartawan pemberani,” ujarnya. Namun Naimullah tak banyak bercerita soal liputannya.

Zainul Irwansyah, 57 tahun, kawannya yang lain, punya kesan sama. Pria yang biasa disapa Buyung tersebut adalah jurnalis dan teman ngopi Naimullah. “Biasanya dia single fighter. Sendiri dia kalau jalan (liputan),” tuturnya pada 20 Juni 2022 di Pontianak, Kalimantan Barat.Naimullah pernah mengajaknya meliput pembalakan liar di Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya. Itu sekira satu jam perjalanan darat dari Pontianak. Buyung menolak karena khawatir menjadi korban pemukulan atau pembunuhan.

Menurut Zainul Irwansyah, dia memperkirakan bakal mudah „dihabisi‟ jika hanya sendiri atau berdua dengan Naimullah ke sana. Buyung merasa lebih aman jika liputan setidaknya bersama lima rekan jurnalis lainnya. Jika terjadi tindak kekerasan, mereka berlima bisa berpencar melarikan diri dan melapor kepada polisi.

Selain biasa liputan sendiri, kata Andi Tenri Sangka, Naimullah juga kerap mendatangi narasumber untuk mengkonfirmasi temuannya secara langsung. “Lantaran pengusaha kayu sangat susah diwawancara, biasanya Naimullah mengirim pertanyaan tertulis melalui Humas perusahaan kayu,” ujarnya.

Menurut Buyung, Naimullah tak gentar menghadapi teror, lantaran memberitakan pembalakan liar. “Dia pernah cerita sama saya. Kadang- kadang ancamannya dikirim lewat surat. Isi tulisannya, “Jangan ganggu”. Istrinya yang terima (surat itu). Kadang-kadang kaca rumahnya dilempar batu. Tapi katanya dia berani menghadapinya,” kata dia.

Menurut Buyung, siapapun pelaku pembunuhan itu, dia tahu bahwa teror melalui surat tak membuat Naimullah takut. Agar Naimullah benar-benar berhenti mencari tahu, maka pelaku merencanakan pembunuhan. Soal kira- kira siapa pembunuhnya, kata dia, “Ada „orang besar‟ lah di belakangnya. Mungkin dia ketakutan beritanya dimuat. Makanya Naimullah dihabisi dulu. Takut terbongkar, karena saat itu dia sedang investigasi kasus kayu (illegal logging). Dia konfirmasi ke mana-mana.”

Buyung tak membeberkan siapa “orang besar‟ yang dimaksud. Apakah hanya satu “orang besar‟ atau beberapa „orang besar‟? “Saya ndak tahu. Yang pasti     ada “orang kuat‟ lah pokoknya, sampai orang ini berani bunuh dia,” papar Buyung. Andi Tenri Sangka mengakui bahwa isu yang berkembang saat itu sangat liar. “Isu menyebar ke mana-mana. Gara-gara kayu lah. Ada yang bilang gara-gara tanah lah. Ada bilang gara-gara pemerasanlah,” kata dia.

Andi Tenri Sangka mengatakan, memang ada juga yang menduga bahwa Naimullah ini tewas dirampok. Kabar yang beredar mengatakan, Naimullah saat itu membawa banyak uang tunai hasil penjualan tanah. Ada pula dugaan bahwa Naimullah dibunuh lantaran memeras perusahaan kayu. Sangka berpendapat bahwa berbagai dugaan itu hanya sebatas isu dan belum ada bukti pendukungnya.
***

Kepingan puzzle cerita tentang pembunuhan Naimullah banyak terdapat dalam pemberitaan Harian Akcaya, koran lokal Pontianak yang kini sudah berganti nama menjadi Pontianak Post. Berita soal ini sebagian besar ditulis oleh mendiang Tarsisius Uryang, sejak 27 Juli hingga 27 Agustus 1997.

Dugaan terkuat sebagai motif pembunuhan Naimullah ini adalah soal liputan tentang pembalakan liar. Dalam pemberitaan Harian Akcaya pada tahun 1997, memang cukup banyak berita soal ini. Gusti Yusri, Ketua PWI Kalbar, mengatakan, waktu itu jurnalis berupaya mengungkap pelaku dan jaringan kejahatan ini. “Illegal logging itu di depan mata. Rasanya tidak ada kegiatan ilegal, apalagi logging, yang di belakangnya tidak ada backing. Kita gencar memberitakan, mereka ndak gubris. Apalagi waktu itu medianya tidak terlalu banyak,” tuturnya.

Cerita tentang maraknya pembalakan liar juga disampaikan Andi Tenri Sangka. Menurut dia, tindakan tegas terhadap pembalakan liar baru dirasakan pada masa Polda Kalbar dipimpin Nanan Soekarna. “Yang sebelum- sebelumnya sudahlah. Susah ngomong lah kita di Kalbar ini. Ada oknum- oknum pejabat ini banyak pemain kayu. Banyak bermain di belakang layar,” ujarnya. Menurut dia ada pejabat pada masa itu yang diadili karena terlibat pembalakan liar.

Di tengah perbincangan soal pembunuhan Naimullah, ada juga pertanyaan soal status Naimullah sebagai jurnalis. Dalam berita Harian Akcaya edisi 29 Juli 1997, Pelaksana Harian Sinar Pagi, Atal Depari, menyatakan tidak pernah menunjuk koresponden di Pontianak. Ia juga membantah berita di koran-koran ibukota yang menyebutkan Naimullah adalah korespondennya.

Keluarga meyakini bahwa Naimullah bekerja untuk Sinar Pagi. Paman Naimullah, Daeng Jali, mengatakan keponakannya memiliki SK dari Wakil Pimpinan Umum Harian Sinar Pagi. "Ini ada fotokopi surat penugasannya yang saya peroleh dari istri almarhum," katanya, seperti dikutip Harian Akcaya pada masa itu. Jali mengatakan, sewaktu Naim masih hidup, ia pernah bercerita soal perombakan manajemen di kantornya.

Mhia mengatakan, suaminya sering menceritakan tentang maraknya kasus pembalakan liar. Demi „mengamankan‟ dari pemberitaan, pengelola perusahaan berusaha memberi suap kepada Naimullah. Pernah suaminya mengatakan bahwa nanti ada orang dari perusahaan datang mau kasih uang. Ia berpesan jangan diambil. Uang itu ditinggal oleh orang perusahaan. Naimullah memfoto uang itu dan mengembalikannya.

Kondisi maraknya pembalakan liar pada tahun 1997 diceritakan oleh Gusti Yusri, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Barat. “Waktu itu gencar pemberitaan illegal logging. Sangat banyak kasusnya,” katanya saat ditemui di Pontianak, Senin, 21 Maret 2022. Menurut dia, semasa tahun 90-an, ada kasus-kasus pembalakan liar yang diselidiki polisi. TNI juga memiliki wewenang untuk menangkap pelakunya. “Tapi jarang (kasusnya) yang sampai persidangan,” tambahnya.
***

Dugaan tentang keberangkatan Naimullah ke luar kota lantaran janji bertemu dengan orang perusahaan kayu, disampaikan oleh Mhia, seperti dikutip Harian Akcaya edisi 6 Agustus 1997. Mhia mengungkapkan, sebelum ditemukan tewas terbunuh, pagi hari sekitar pukul 09.00 Naimullah menerima telepon dari seseorang. "Isi pembicaraannya, suami saya disuruh pergi ke PT itu. Yang bicara itu orang penting di PT tersebut," ujarnya.

Usai menerima telepon, kata Mhia, Naimullah mengatakan akan pergi ke PT tersebut, tapi selesai Salat Jumat. Anak Naimullah mengemukakan, ayahnya mendapat telepon dari seseorang yang mengaku bernama Amin. Namun apa yang diperbincangkan keduanya, sang anak tidak mengetahuinya.

Dalam berita Harian Akcaya edisi 28 Juli 1997, ada informasi yang mengatakan bahwa sebelum ditemukan tewas, Naimullah minum di kopi di Simpang Tiga Pasar Flamboyan. Seorang sumber mengatakan bahwa di warung itu Naimullah terlihat sedang berbincang dengan empat orang pria. Sepertinya yang dibicarakan sesuatu yang amat penting.

Sumber ini melihat seorang pria yang pergi dan pamitan terhadap keempat orang tersebut. Setelah seorang dari mereka pergi, Naimullah terlihat berjalan menuju sebuah mobil diikuti rekan-rekannya di warung kopi itu. Saksi tak tahu apakah mereka bersama-sama dalam satu mobil, atau memakai kendaraan masing-masing.

Dari sumber lain disebutkan bahwa sebelum ditemukan tewas, Naimullah bersama beberapa rekannya melakukan investigasi mengenai kasus tebangan liar, termasuk berusaha mencari cukong yang menjadi penadahnya. Hasil investigasinya soal pembalakan liar ini sering dibincangkan di warung kopi bersama rekannya.


Lokasi ditemukannya Naimullah di Pantai Penibungan, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Foto: Dian Lestari

Sebelum Salat Jumat itu Naimullah dikabarkan hendak pergi sendirian menuju ke kawasan Wajok, untuk mengkoordinasikan temuannya dengan satu perusahaan yang dicurigainya sebagai penadah tebangan liar. Setelah memperoleh masukan dari rekan-rekannya di warung kopi Simpang Tiga, akhirnya ia berangkat sesudah Salat Jumat.

Di Wajok ada yang melihat mobil Naimullah berhenti di suatu perusahaan. Menjelang sore mobil yang ditumpangi itu terlihat berangkat menuju ke arah Mempawah. Selanjutnya mobil itu terlihat berbelok ke jalan menuju Pantai Penibungan. Setelah itu nasib Naimullah tidak diketahui lagi sampai akhirnya ditemukan tak bernyawa.
***

Polisi menyelidiki kasus pembunuhan Naimullah ini. Berdasarkan penjelasan polisi, seperti dimuat Harian Akcaya edisi 27 Juli 1997, Naimullah ditemukan tewas dalam mobilnya, Isuzu Panther Challenger dengan plat mobil KB 89 ER. Di belakang kepalanya terdapat bekas pukulan. Dari bekas luka di belakang kepala Naimullah, ada kecurigaan korban dipukul dari arah belakang dengan alat pembuka ban mobil. Dada kanan, pelipis lebam biru dan kedua kepalan tangan juga biru-biru.

Petugas piket kepolisian Mempawah mengatakan, mereka membuka kendaraan yang terkunci tersebut dengan kawat dan peralatan lain. Setelah berhasil dibuka baru ketahuan Naimullah sudah tak bernyawa. "Waktu kita periksa kondisinya sudah tak bernyawa. Banyak darah. Hanya saya tidak mengecek luka-lukanya di mana saja," ungkap seorang anggota piket kepolisian.

Jasad Naimullah langsung dibawa ke RS Dr. Rudini Mempawah untuk divisum. Sedangkan kendaraan KB 89 ER dibawa ke Mapolres Pontianak di Mempawah untuk dijadikan barang bukti. Beberapa petugas terkejut ketika mengenali wajah korban, Naimullah, yang sering datang ke Polres Mempawah untuk mencari berita. "Dari situ, kita lalu berpikir. Mungkin saja ada kaitan dengan penyelidikan atau pemberitaannya," kata seorang polisi.


Seorang mahasiswa sedang berada di makam Naimullah di Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: Dian Lestari

Pada pemberitaan di Harian Akcaya edisi 29 Juli 1997, polisi menduga pembunuhan Naimullah itu sudah direncanakan sebelumnya. "Diperkirakan korban dibunuh di tempat lain, baru dibawa ke lokasi Pulau Penibung," ungkap Kapolres Pontianak, Letkol Pol Drs Ayoeb Soetrisno.

Kapolres mengatakan memang ada beberapa saksi mata yang melihat mobil Isuzu itu masuk pantai Penibung, Jumat sore sekitar pukul 18.45 WIB. Tak lama kemudian keluar empat orang berjalan kaki dari arah pantai ke jalan raya. Keempatnya sempat menunggu sebelum akhirnya datang mobil angkutan umum yang kemudian membawanya ke arah Taman Makam Pahlawan Putra Bangsa. Setelah itu mereka menghilang dari pandangan.

Tidak diketahui apakah di kawasan itu Naimullah dibunuh, ataukah kawasan tersebut hanya sebagai tempat pembuangan jasadnya. "Masalah itulah yang masih dalam penyelidikan kita. Sementara ini petunjuk lain belum ada," kata Kapolresta Pontianak Letkol Pol Ayub Sutrisno melalui Kasi Penum Polda Kalbar Kapten Pol. Drs. Suhadi SW.

"Kemungkinannya mereka sama-sama satu mobil ke Penibungan, dan empat orang tersebut pulang dengan angkutan umum," ungkap Kapolresta Pontianak. Dia menyebutkan bahwa di sekitar lokasi ditemukannya mayat Naimullah ada sejumlah barang bukti berupa minuman kaleng, termasuk bir kaleng, sebungkus sabun deterjen, dan kain lap.

Adalah Suhaini, saksi yang menemukan mayat Naimullah. Ditemui pada 11 April 2022 lalu, Ia menyatakan, selain bir juga ditemukan asbak di tempat kejadian perkara. Dia menduga polisi telah melakukan upaya pencocokan sidik jari yang ditemukan pada barang bukti. “Waktu pemanggilan kedua, polisi ambil sidik jari saye (saya). Abis itu tak ade lagi pemanggilan (Setelah itu tak dimintai lagi keterangan),” katanya.

Pada berita Harian Akcaya 2 Agustus 1997 ditulis bahwa seorang polisi menyatakan bahwa sejumlah saksi sudah diambil sidik jarinya. Namun belum ada sidik jari yang cocok dengan sidik jari yang ada di mobil Naimullah. Dua saksi mata warga Mempawah, Suhaini dan Buyung, yang mengaku sempat berpapasan dengan empat lelaki yang turun dari mobil Naimullah, juga diperiksa ulang dan diminta untuk mengingat kembali ciri-cirinya.

Ternyata ketika diminta untuk melihat wajah dan postur tubuh beberapa orang rekan Naimullah, kedua saksi mata mata tersebut tidak menemukan ciri yang sama dengan keempat pria yang diduga keluar dari Pantai Penibungan. “Kalau yang kami jumpai berpostur besar tinggi dan kekar. Kalau yang ada di sini rata-rata pendek dan kebanyakan kurus-kurus,” kata keduanya dengan logat Melayu yang kental.

Kedua saksi yang minta tidak disebutkan itu menuturkan, pada saat mereka berpapasan dengan keempat pria tersebut cuaca agak gelap. Sehingga agak sulit mengingat wajah orang-orang itu satu per satu. “Tapi kalau berjumpa, kami pasti masih ingat,” ujarnya. Dikatakan, saat berjumpa, keempat pria tersebut memperlihatkan sikap yang tidak terlalu tergesa-gesa.
***

Kasus pembunuhan Naimullah menyita perhatian publik. Gencarnya pemberitaan media menjadikan desakan tersendiri bagi Kapolda untuk segera mengungkap pelaku. Pada berita Harian Akcaya tanggal 29 Juli 1997, Kapolda Kalbar Kolonel Pol. H. Erwin Achmad menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk saling back-up guna mengusut kasus pembunuhan Naimullah. "Kita tidak melihat apa latar belakang status dan profesi korban apakah wartawan atau siapa pun. Peristiwa pembunuhan itu termasuk masalah meresahkan masyarakat, maka saya minta diselesaikan secepatnya," kata dia.

Untuk mengungkapkan kasus pembunuhan Naimullah, Polda Kalbar melakukan gelar atau paparan hasil penyelidikan sementara. Kapolres Pontianak, Letkol Pol Ayub Sutrisno tiba di Pontianak untuk memberikan penjelasan tentang kerja anggotanya di Mempawah. Menyinggung dugaan kematian Naimullah ada kaitannya dengan kasus penebangan liar, dia mengatakan petunjuk tersebut akan ditampung dan dijadikan bahan penyelidikan. Begitu juga dengan petunjuk-petunjuk lain.

Pernyataan tentang keseriusan Kepolisian mengungkap kasus Naimullah terus bergulir pada pemberitaan Harian Akcaya tanggal 1 Agustus 1997. “Ini kasus yang serius. Karena itu secara serius pula," ujar Kapolda, Kolonel Pol.Drs. Erwin Achmad. Sekali lagi Kapolda menegaskan ucapannya. "Ini kasus serius. Pembunuhan banyak faktor penyebab pembantaian Naimullah”.

Saat ditanya soal motif pembunuhan, Kapolda belum bisa memastikannya. “Banyak sekali kemungkinannya. Ada orang yang sakit hati, benci atau menghendaki barang dia," katanya. Ditanya kemungkinan ada suatu perusahaan terlibat dalam kasus ini, Erwin Achmad mengatakan, "Mungkin, mungkin terjadi."

Tak lama kemudian terjadi pergantian Kapolda. Erwin Achmad digantikan oleh Kolonel Pol Drs Djuari Sis Ardianto. Dalam berita Harrian Akcaya tanggal 4 Agustus 1997, Gubernur Kalbar, H Aspar Aswin, menegaskan bahwa kasus pembunuhan Naimullah merupakan pekerjaan rumah bagi Kapolda baru. “Ini memang PR masa Kapolda lama yang belum sempat diselesaikan. Dan tentunya menjadi tanggung jawab Kapolda yang baru untuk mengungkapnya secara tuntas. Artinya, bagaimana pelaku pembunuhan ini dapat ditangkap,” kata Aswin, usai acara pisah sambut Kapolda Kalbar.

Kendati begitu Aswin menilai kasus ini bukanlah kasus yang mudah diungkapkan oleh jajaran Polda Kalbar. "Karena data-data ataupun indikasi- indikasi yang perlu diungkap itu agak sulit, kesaksian yang diberikan saksi belum banyak membantu untuk pengungkapan lebih lanjut," ujarnya. Untuk itu Aswin mengharapkan semua pihak terutama masyarakat luas dapat membantu mempercepat pengungkapan kasus ini. “Agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.”

Danrem 121 ABW Kolonel Inf. Erwin Sujono yang didampingi Dan Den POM ABRI Letkol Inf Davis kepada para wartawan menegaskan, belum ada indikasi keterlibatan oknum ABRI. “Bila ada oknum ABRI terlibat, ya ditindak sesuai hukum,” ujarnya. tegas Danrem seusai upacara serah terima Kapolda Kalbar. Ketika ditanya kemungkinan campur tangannya Korem mengenai kasus pembunuhan tersebut, ia mengatakan, “Itu tugas polisi, bukan wewenang kami.”

Proses hukum atas kasus pembunuhan Naimullah ini tidak jelas hingga kini. Pada 4 April 2022, AJI mengirimkan surat permintaan informasi soal kasus itu ke Polda Kalimantan Barat. Surat tersebut dibalas 6 April 2022, yang berisi keterangan bahwa Kadiv Humas Polda Kalbar masih melakukan koordinasi dengan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar terkait kasus pembunuhan Naimullah.

Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, Kombes Raden Petit Wijaya, berjanji akan terus berupaya mencari berkas-berkas data tersebut. “Kita sudah mencari, tapi berkasnya belum ditemukan. Karena ini kasus lama, kemungkinan besar sulit untuk menemukan berkasnya. Diperkirakan berkas- berkasnya masih diketik secara manual. Jadi sulit untuk menemukannya karena tidak didokumentasikan secara digital,” katanya saat ditemui pada 1 Agustus 2022.

Raden menyatakan perlu waktu untuk mempelajari kasus ini lebih lanjut. Dia berdalih baru bertugas sekira tiga pekan sebagai Kabid Humas. Raden akan berkoordinasi dengan Polres Mempawah, dan mencari informasi kepada purnawirawan yang dulunya mengetahui kasus Naimullah. Ia berjanji akan memberi pernyataan resmi setelah mempelajari kasus. Namun ketika   dihubungi kembali pada 11 Agustus 2022 lalu, tak ada jawaban dari pihak Kepolisian.

Buyung menyayangkan polisi yang tak bisa mengungkap kasus ini. Dia mengingatkan bahwa keluarga Naimullah wajib mendapatkan keadilan. Di tengah trauma anak dan istri Naimullah, para pembunuhnya mungkin menjalani hidup dengan nyaman. Selain itu, pengungkapan kasus Naimullah sangat penting dalam menjamin keamanan jurnalis. “Kalau pembunuhan terhadap wartawan ini dibiarkan, kan nanti jadi preseden buruk,” ujarnya.

Ketua PWI Kalbar, Gusti Yusri, merupakan satu di antara beberapa jurnalis yang meliput kasus pembunuhan Naimullah. “Waktu itu saya redaktur di Harian Akcaya. Sewaktu hari ke-3 setelah ramai pemberitaan tentang penemuan mayat Naimullah, saya berinisiatif ke TKP. Saya kepingin tahu, makanya turun meliput ke lapangan,” ujarnya ketika ditemui pada 21 Maret 2022.

Kasus kematian Naimullah dimuat di Harian Akcaya. Foto: Dian Lestari

Yusri sangat prihatin dengan peristiwa yang menimpa Naimullah. Bersama teman-teman sejawatnya di PWI mereka menggelar doa bersama setelah beberapa hari kejadian. Dia mengakui terbersit kekhawatirannya bakal bernasib serupa dengan Naimullah. “Jurnalis lainnya juga bisa dibunuh jika mengungkap illegal logging. Waktu itu gencar pemberitaan illegal logging. Hampir tiap hari ada beritanya,” kata Yusri.

Tidak terungkapnya pembunuh Naimullah, menunjukkan kerentanan keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugasnya sesuai Undang-undang Kebebasan Pers nomor 40 tahun 1999. Menurut Yusri mandegnya penyidikan pembunuhan Naimullah, menjadi catatan buruk bagi Kepolisian. “Kelihatan polisi kurang serius ungkap kasus,” tambahnya.
***

Meninggalnya Naimullah menjadi musibah beruntun yang harus dijalani Mhia. Hari kematian Naimullah tepat pada hari ke-42 meninggalnya ibu Mhia, Hajjah Maimunnah. Dia betul-betul kehilangan segalanya. Sepeninggal Naimullah, Mhia sekeluarga sering sakit-sakitan. Seperti anak keduanya, sakit panas. Sejak peristiwa kelam itu, Mhia dan anak-anaknya ketakutan ketika mendengar dering telepon. “Setelah kejadian, banyak yang meneror melalui telepon. Jadi saya putus telepon,” tutur Mhia saat ditemui pada 4 April 2022.

Setelah Naimullah dibunuh, kata Mhia, rumahnya dulu sering didatangi orang tak dikenal. Dia sengaja tak membukakan pintu. Kesedihan dan kepedihan akibat meninggalnya Naimullah, masih dirasakan Mhia dan anak- anaknya hingga kini. Mereka lebih memilih tak ingin lagi mengingat tragedi pembunuhan tersebut. “Tahun 2021, saya bakar kliping berita dan dokumen- dokumen tentang bapak. Untuk mengurangi sedih dan ingatan kasus dulu,” ujarnya,

Setiap momen yang mengingatkan tentang Naimullah, mendadak menghadirkan kesedihan di hati Mhia dan anak-anaknya. “Anak bungsu, yang keempat, pernah daftar tes polisi. Dia bilang kalau jadi polisi mau mengusut pelaku pembunuhan ayahnya,” katanya sembari meneteskan airmata. Ia lega karena anaknya tak lolos tes itu. Anak ketiganya pernah ingin ikut pelatihan jurnalistik. Mhia melarangnya dan mengatakan, “Cukup saya yang dihadapkan satu mayat.”

Kesedihan atas kehilangan suaminya belum sepenuhnya pergi. Usai menyeka air matanya Mhia menuturkan, sejak awal ia tak yakin polisi akan mengungkap kasus pembunuhan itu. “Saya bilang ke polisi, pasti kasus ini di-peti es-kan karena banyak yang terkait. Benar-benar di-peti-es-kan. Akhirnya hilang sendiri,” tuturnya. Kini Mhia dan anak-anaknya tak berani berharap kasus yang merenggut nyawa Naimullah bisa diungkap.
***


Wednesday, November 09, 2022

Rumah masa kecil Aristides Katoppo di Tomohon

Saya berkunjung ke rumah masa kecil wartawan Aristides Katoppo (1938-2019) di Tomohon siang ini. Aristides pindah ke Jakarta, sesudah lulus sekolah menengah, buat kuliah jurnalisme di Universitas Indonesia. 

Lulus jadi wartawan, sempat bekerja buat The New York Times pada era 1965, lantas ikut harian sore Sinar Harapan dan tabloid Mutiara, yang bagus sekali, dan ikut memimpin harian tersebut ketika dibredel rezim Soeharto pada 1986. 

Aristides lantas bergerak dalam penerbitan buku serta memimpin percetakan PT Sinar Kasih. Dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994 di Puncak, dekat Jakarta. Pada 1995, dia juga ikut bikin Institut Studi Arus Informasi. di Utan Kayu, Jakarta. 

Saya sering bertemu Aristides sejak 1988, ketika magang di PT Sinar Kasih bagian cetak, lantas kami duduk dalam beberapa organisasi bersamanya. 

Salah seorang kawan bersama kami adalah Goenawan Mohamad, editor majalah mingguan Tempo, yang mengajaknya ikut mendirikan Institut Arus Informasi. Goenawan juga mengajak saya bikin organisasi tersebut. Mereka kawan sebaya, berkenalan sejak 1968 ketika dapat undangan dari pemerintah Amerika Serikat datang ke Chicago guna meliput konvensi Partai Demokrat

Aristides memiliki sembilan saudara termasuk theolog-cum-feminis Marianne Katoppo dan Pericles Katoppo dari Lembaga Alkitab Indonesia di Jakarta. 

Ayah mereka Elvianus Katoppo, yang menempati rumah dinas milik Gereja Masehi Injili di Minahasa ini, adalah ahli bahasa Melayu, serta ikut menterjemahkan Bible ke bahasa Melayu. 

Kini rumah ini jadi kantor Bible Translation Center GMIM ke berbagai bahasa Minahasa. Rumah ini terbuat dari kayu, indah sekali, bisa lihat pegunungan sekitar Minahasa. Saya tak heran bahwa Aristides jadi pecinta #hiking ketika tinggal di Jakarta. 

Salah satu sahabatnya adalah Soe Hok Gie (1942-1969), yang ikut mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala UI), dan meninggal di Gunung Semeru dalam usia 27 tahun. 

Goenawan menulis, Aristides dan Hok Gie punya watak yang mirip, sama-sama suka naik gunung, "Beda Tides dengan Hok-gie: ia bukan seorang puritan dalam kesenangan hidup. 'Hok-gie tak akan beristirahat untuk makan dan minum sebelum sampai puncak, saya akan lebih suka duduk berteduh dan menikmati bekal.'"

Mudah-mudahan rumah kayu dua tingkat ini tetap terpelihara, maupun ratusan rumah kayu lain di Tomohon. Rumah keluarga Katoppo ini bisa jadi awal gerakan buat memelihara ratusan rumah kayu di Minahasa, dan tentu saja, potensial jadi daya tarik pariwisata. 

Tuesday, November 01, 2022

A Papuan Human Rights Hero Has Died


Filep Karma Called for Papua Independence from Indonesia; Spent 11 Years in Prison

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

Filep Karma, a prominent Papuan activist and former political prisoner, was found dead Monday on a beach in the Papuan city of Jayapura. He had been on a diving trip with his brother-in-law and nephew, and apparently went diving alone after his relatives left the trip early. Karma, a master diver with three decades’ experience, was found wearing his scuba diving suit.

His daughter Andrefina said he had died because of an “accident and drowning.”

I had met Karma in 2008 when I visited a Jayapura prison to interview political inmates. Karma was clearly the leader the other prisoners looked to for inspiration. He articulated his principles for the human rights and self-determination of the Papuan people. We quickly became friends, discussing and debating the human rights situation in Papua.

Filep Karma was born in 1959 in Jayapura, the capital of Indonesia’s Papua province. Karma told me his father educated him about the mistreatment of Indigenous Papuans under Indonesian rule.

In 1998, Karma organized a protest on Biak Island, calling for independence for Papua while raising the Morning Star flag, a symbol of independence banned by Indonesia’s government. Indonesia military forces violently broke up the protest. Karma was imprisoned, then released in 1999. In 2004, he organized another Morning Star protest following the killing of Theys Eluai, another pro-independence leader. The authorities tried and sentenced Karma to 15 years in prison for “treason.”

In 2010, Human Rights Watch published a report on political prisoners in Papua and the Moluccas Islands, launching a global campaign to release the prisoners. In 2011, Karma’s mother, Eklefina Noriwari, petitioned the United Nations Working Group on Arbitrary Detention for Karma’s release. The working group determined Karma’s detention had violated international law, and called on the Indonesian government release him. The authorities only released Karma in 2015.

After his release, Karma embraced a wider agenda of political activism. He spoke about human rights and environmental protection. He campaigned for the rights of minorities. He organized help for political prisoners’ families.

Karma’s humor, integrity, and moral courage was an inspiration to many people. His death is a huge loss, not only for Papuans, but for many people across Indonesia who have lost a human rights hero.