Tuesday, October 27, 2009

Warming Up!

Pemikiran soal Pelatihan Pers Mahasiswa
di Universitas Negeri Padang
Oleh Meiriza Paramita

WALAU akan dilaksanakan Juni 2009, panitia inti --ketua, sekretaris dan bendahara-- Pekan Ketrampilan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional, telah terbentuk pada September 2008, sebelum Idul Fitri 1429 H. Kami menerima banyak sekali masukan dari teman-teman, senior dan alumni. Ada yang mengusulkan tema, jumlah pemateri, jumlah peserta dan sumber dana. Usulan tema: media online, jurnalisme investigasi, literary journalism, jurnalisme televisi. Ada juga yang mengusulkan jurnalisme dasar (menulis berita, fiksi, artikel, layout, dan fotografi). Hampir semua panitia tertarik dengan jurnalisme investigasi, tanpa sadar kalau itu adalah tema yang berat. Panitia pun mulai menghitung hari dan menghasilkan kesepakatan, pelatihan akan diadakan lima hari: 9-13 Juni 2009.

Jurnalisme adalah sebuah ketrampilan. Ia tak cukup hanya dengan diskusi dan ceramah. Ia harus berlatih. Ganto mengadakan proses berlatih interview. Satya Sandida dari Semarang sedang diinterview oleh Anies Zenevieva dari Makassar. Peserta lain mencatat. Berapa panjang kalimat tanya? Berapa kata setiap kaliman? Seberapa tertutup pertanyaannya? Sekitar tujuh menit lalu peserta saling menilai.

SUSUNAN ACARA DAN MEMILIH PEMATERI

Masalah hampir tak ada hingga kami mulai masuk dalam tahap menyusun susunan acara, silabus dan memilih pemateri. Pemateri dipilih berdasarkan kompetensi terhadap tema. Ketika itu, hampir semua panitia, alumni, dan senior memberi masukan: lebih banyak pemateri lebih baik dan menarik. Berkali-kali ditekankan, peserta akan lebih tertarik jika banyak pemateri di dalam pelatihan.

Desember 2008, proposal dikirimkan lewat email ke pemateri. “Mereka orang-orang sibuk, apalagi Andreas Harsono, sebaiknya proposal dimasukkan secepat mungkin,” usul alumnus Romi Mardela. Meri Fitriani, seksi acara segera mengirimkan proposal ke Andreas Harsono --sering dipanggil AH. Memasukkan proposal jauh hari sebelum tahun 2009 merupakan trik agar pemateri bisa mempertimbangkan untuk hadir. Sebab, besar kemungkinan agenda mereka pada tahun berikut belum terisi.

Di suatu malam Desember 2008, sebuah pesan singkat masuk dari Meri. Katanya: “AH bersedia menjadi pemateri. Tadi dia menelepon kak dan bercerita banyak.” AH punya usul untuk menambah waktu pelatihan menjadi enam hari dan menjadi pemateri tunggal. Aku bahagia sekali, walaupun detik kemudian termenung bingung ... proposal sudah dikirim ke pemateri lain.

Memasuki bulan Januari, usulan berbeda datang beruntun dari AH, saat itu. Aku sedikit dimarahi lewat telepon, chattingan dan pesan Facebook: Hati-hati menggunakan kata investigasi, karena ia membutuhkan pemahaman tentang accounting, bla ... bla ... bla .... Investigasi itu sulit, apakah cukup mengenal dan mempelajari investigasi hanya dalam beberapa hari? Mahasiswa belum pantas mendapatkan materi investigasi. AH hanya akan memberikan materi investigasi perkenalan saja. “Lihat di blog saya kritik tentang pelatihan jurnalisme mahasiswa.”

Juga. Agar lebih efektif dan hasilnya bermutu, cukup satu pemateri utama agar pemateri dan peserta saling mengenal dan jumlah peserta kalau bisa dibatas maksimal 16-20 orang. Dan: kalian yakin akan mengangkatkan pelatihan tingkat nasional? Jangan jauh-jauh lah!

Padahal saat itu, susunan acara telah selesai, pamflet dan undangan peserta telah disebar. Selain itu, sudah menjadi tradisi di setiap pelatihan mahasiswa menggunakan banyak pemateri. Wartawan mahasiswa jarang sekali memakai pemateri tunggal, sehingga kebanyakan panitia menilai tidak bisa mengurangi jumlah pemateri karena itu termasuk daya tarik.

Namun, mutu tetap harus jadi pertimbangan. Usulan-usulan AH dibicarakan di dalam rapat panitia. Beberapa usulan AH diterima dan susunan acara dirombak untuk yang kesekian kalinya. Juga, diputuskan untuk menggunakan chief trainer dan mendatangkan trainer dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (untuk materi accounting), kejaksaan tinggi Sumatera Barat (white collar crime), dan Kodam 032 Wirabraja (materi senjata dan amunisi). Trainer berfungsi memberikan penjelasan langsung sesuai dengan kondisi lapangan. Mereka (seharusnya) bukan memberikan materi, namun menambahkan wawasan, berbeda dengan chief trainer. Ini juga mengurangi ice breaking. Chief trainer akan berada di tempat selama beberapa hari sehingga dia bisa mengenal semua peserta.

Demi mutu, faktor istirahat juga harus diperhatikan.

Mengutip pertanyaan AH, “Kamu jika kuliah dari pagi hingga malam tanpa henti gimana rasanya?”

Jadi, tingkat kejenuhan dan kelelahan peserta tak boleh luput dari perhatian. Agar semua materi yang diterima bisa diingat dan peserta bisa memulai pelatihan esok dengan otak yang sudah fresh. Tak lupa, dalam rencana acara, setiap hari pelatihan diberi waktu khusus untuk praktik dan mempersiapkan bahan bacaan yang relevan.

Interview yang baik adalah interview yang terbuka. Ia dimulai dari kata tanya: where, who, when, what, why atau how. Pertanyaan juga harus dimulai dari isu lingkaran kecil dimana si nara sumber benar-benar menyaksikan atau terlibat. Bukan sesuatu yang besar: opini. Pelatihan Ganto, dengan peserta 40 lebih, dibagi dalam kelas-kelas kecil. Tuti Handriani memimpin kelompok bawah pohon ini agar peserta biasa memulai pertanyaan bukan dari opini.

Itulah sedikit kisah tentang perombakan susunan acara. Pelajaran dari pengalaman menyusun silabus:
  • Pertimbangkan soal memakai satu chief trainer serta daya serap peserta dalam menyusun silabus dan susunan acara pada pelatihan yang akan datang;
  • Hindari peserta menemukan susunan acara dan silabus yang berbeda pada hari H.
PENDANAAN

Hingga April, kas panitia masih kosong, malah minus. Beberapa proposal tembus, namun tidak mencukupi biaya awal.

Oleh karena itulah, dibutuhkan rapat panitia secara rutin. Sedikit banyaknya, rapat rutin menjadi tempat saling tukar informasi. Permasalahan dana juga dipaparkan dalam rapat, paling tidak, ada panitia yang tergerak hatinya semakin giat mencari dana.

Selain itu, seluruh panitia harus tahu perkembangan acara, karena itu adalah hak mereka. Mereka bebas berasumsi, menyatakan setuju, atau keberatan.

Di dalam rapat rutin juga, setiap masukan yang bagus dari luar dibicarakan, termasuk dari AH. Ketua panitia tidak boleh memutuskan suatu hal sendiri tanpa diskusi (kecuali dalam keadaan darurat tingkat itnggi). Paling tidak membicarakan dengan seksi masing-masing jika seluruh anggota berhalangan berkumpul.

Ketika rapat, Masing-masing per seksi ditanya tentang masalah yang ditemui dan perkembangan terakhir di lapangan dan wajib menjawab. Tips lainnya yang bisa dicoba, komunikasi dengan pemateri, yang sudah fix, tidak boleh terputus. Ini penting untuk update informasi dan menghindari pemateri yang membatalkan kedatangan beberapa hari sebelum hari H.

Akan ditemui anggota-anggota panitia yang terlihat tidak berminat ikut campur. Kebanyakan mereka merasa tidak dilibatkan atau merasa "terlalu sibuk."

Libatkan mereka semua dengan tidak melupakan koordinasi dan komunikasi rutin. Selain itu, teman-teman anggota tetap harus diingatkan akan waktu yang terus berjalan. Kadang aku mengirimkan SMS ke setiap anggota panitia tentang perkembangan terakhir acara. Di dinding sekretariat Ganto kupasang count down (itung mundur) PKJTL-N, dengan harapan bisa membangkitkan semangat panitia. Berpengaruh atau tidaknya, yang penting aku telah mencoba.

Namun, sepandai-pandai manusia berencana, tidak semua berjalan sesuai semulus rencana.

Monday, October 19, 2009


Misfortune shows those who are not really friends."

-- Aristotle (384BC - 322BC) Eudemian Ethics

Gempa bumi 30 September 2009 membuat lantai sekretariat tabloid Ganto dari Universitas Negeri Padang naik 30 cm. Ganto sebuah penerbitan mahasiswa. Juni lalu mereka bikin pelatihan wartawan. Ia cukup populer di kalangan wartawan mahasiswa.

Kekerasan Berakar di Kalimantan Barat
Lebih dari 70 warga Pontianak dan Singkawang mengeluarkan Seruan Pontianak, minta agar warga berhati-hati dengan tradisi kekerasan di Kalimantan Barat.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Struktur Negara Federasi
Rahman Tolleng bicara soal struktur federasi di Indonesia. Kuncinya, kekuasaan ditaruh di tangan daerah-daerah lalu diberikan sebagian ke pusat. Bukan sebaliknya, ditaruh di pusat lalu diberikan ke daerah: otonomi. Bagaimana Republik Indonesia Serikat?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Saturday, October 17, 2009

SMS Gangguan soal Seruan Pontianak

Harian Tribune Pontianak memuat iklan Seruan Pontianak di halaman kiri. Ini beda dengan harian Pontianak Post dan Borneo Tribune yang terletak di sebelah kanan pada Senin, 28 September 2009. Ini hanya soal penempatan. Iklan kanan lebih terbaca daripada iklan kiri. Namun namanya juga iklan sosial, penempatan kiri atau kanan, lebih ditentukan si suratkabar

Sabtu dan Minggu, 10-11 Oktober, saya menerima SMS yang isinya tak menyenangkan dari tiga nomor beda. Semua pesan ditulis dengan huruf besar. Kalau diperhatikan, mereka dikirim pada waktu hampir bersamaan. Saya ketikkan semua pesan ini agar ia on the record.

Indosat, operator telepon saya, juga membuatkan print out official Indosat, yang bisa digunakan sebagai barang bukti bila kelak diperlukan. Secara hukum, setidaknya pesan-pesan ini bisa dikategorikan "tindakan tidak menyenangkan" sesuai pasal 335 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (ancaman hukuman paling lama satu tahun penjara). Namun secara hukum masih belum sampai pada ancaman sesuai pasal 336 (ancaman paling lama lima tahun penjara).

Saya menjawab SMS pertama. Saya minta nama dan alamatnya agar bila saya ke Pontianak, saya bisa datang menemui. Namun tak ada jawaban. Saya kira si pengirim pesan juga sadar kalau tindakannya bisa berujung di jalur hukum.

Di Pontianak, pada hari yang sama, Agustinus dan Yohanes Supriyadi, dua aktivis dari etnik Dayak yang ikut Seruan Pontianak, juga mendapatkan SMS gangguan. Mereka juga belum bisa mendapatkan identitas dari orang-orang tsb. Agustinus melaporkan gangguan tersebut kepada polisi Pontianak Timur. Lagi-lagi dengan pasal 335. Saya juga sudah memberitahu polisi Tanah Abang, daerah dimana saya tinggal, soal SMS ini.

Agustinus dan Supriyadi masing-masing ketua dan sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat. Ini semacam organisasi early warning system. Agustinus dulu guru matematika di sebuah sekolah Katholik di Pontianak. Supriyadi kini juga salah satu ketua Dewan Adat Dayak kota Pontianak.

Polisi menjelaskan tak mudah mencari identitas nomor. Sekarang orang mudah beli SIM card. Uang Rp 5,000-Rp 10,000 sudah bisa dapat nomor. Orang bisa daftar dengan nama dan alamat palsu. Polisi memberikan nomor telepon yang bisa dihubungi bila kami merasa perlu. Keamanan gedung tempat saya tinggal juga tahu.

Sesuai UU Telekomunikasi, sebuah operator telepon bisa membuka identitas telepon yang terekam bila tindakan buruk si pemilik nomor terancam hukuman penjara lima tahun. Katakanlah, ia sudah berupa ancaman dengan "tenaga bersama" dan dilakukan "secara tertulis," sesuai KUHP pasal 336. Polisi bisa minta identitas pengirim SMS kepada operator telepon.

Saya kira informasi bahwa beberapa aktivis, yang ikut Seruan Pontianak, mengalami gangguan dan intimidasi, perlu diketahui masyarakat. Saya juga minta nasehat hukum kepada Fredi Simanungkalit dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia untuk urusan ini.

Sabtu lalu saya makan malam dengan George Junus Aditjondro ketika SMS ini mulai masuk. Aditjondro seorang investigative reporter dan dosen Universitas Sanata Dharma di Jogjakarta. Dia dikenal sebagai orang yang mengumpulkan data-data korupsi Presiden Soeharto ketika Soeharto masih berkuasa. Ketika tahu masalah ini, komentarnya pendek saja, "Kalau kau tidak pernah difitnah atau menerima ancaman, apa yang kau lakukan artinya tidak punya pengaruh. You don't make a dent."


SMS dari nomor 0812-57491378


Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.09)

BORNEO TRIBUNE TAK PANTAS DENGAN MOTTONYA IDEALIS KEBERAGAMAN @KEBERSAMAAN. TAPI LINTAHTAIK PENGOBAR RESAH DAN ADU DOMBA KEBARAN PKI…BIADAB MUNAFIK

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.15)
KAMU DAN NUR ISKANDAR MEMANG BIADAB DAN MAFIA @ MANUSIA FIKIRAN ANJING @

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.35)
AKU ORANG PTK YG JUSTRU MUAK DNG KAU DAN AKU HANYA TAU NAMA DAN KELAKUAN KONYOL DAN TENGIL CINA SEPERTI KAMU,! DATANG KAU KE PTK KALAU MAU KETEMU AKU.

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.40)
KALAU KAU MAU TAHU AKU TANYA DENGAN MICHAEL YAN SIAPA AKTIVIS LSM YG BENCI DENGAN MODEL GERAKAN KAU YG TAK TAHU DIRI DAN TAK BERMORAL..

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.44)
KAU JANGAN MIMPI MAU MENJADIKAN INDONESIA SEPERTI MALAYSIA.! SAMSENG2 BUDUK YG BERKUASA

Sabtu, 10 Oktober 2009 (19.07)
BG AKU SEBAGAI AKTIVIS TIDAK TAKUT PADA SIAPAPUN KECUALI DNG KELICIKAN. SAMA2 KITA TIDAK SALING KENAL JADI BEGITU KAU ADA DI PTK SMS SAJA AKU AKAN DATANG SENDIRIAN.

Sabtu, 10 Oktober 2009 (19.11)
HIDUP MATI MILIK ALLAH SWT TAPI JIKA GILIRAN MATI ITU SAAT KITA KETEMU ITU AJALKU NAMANYA! PAHAM BUKAN.

SMS dari nomor 0878-19058329


Sabtu, 10 Oktober 2009 (19.06)

KAMI MENANTI DAN MENUNGGU KEHADIRAN ANDA DI PONTIANAK. TKS

Sabtu, 10 Oktober 2009 (20.03)
KAMI MENANTI DAN MENUNGGU KEHADIRAN ANDA DI PONTIANAK, TKS, KAMI YAKIN ANDA SEORANG YG PERLU TAMPIL ISTIMEWA DI HADAPAN KAMI DI PONTIANAK DNG BERBAGAI ARGUMENTASI ANDA BAGAIMANA INDONESIA KEDEPAN KHUSUSNYA KALBAR UNT ANDA,

Sabtu, 10 Oktober 2009 (21.49)
KAMI SANGAT MENGHARGAI KEBERANIAN ANDA, MAKANYA SANGAT MENGHARAPKAN KEHADIRAN ANDA DI BUMI KHATULISTIWA,

Sabtu, 10 Oktober 2009 (22.04)
TIDAK ADA JAWABAN DARI ANDA BAGI KAMI TIDAK ADA MASALAH, KARNA DI JKT JUGA ANDA TETAP BISA KITA BERJUMPA, KAMI JUGA SUDAH INGIN BERJUMPA ANDA DI JKT, DALAM WAKTU DEKAT INI, ASAL ANDA TAHU SAJA KARENA KAMI SANGAT INGIN BERJUMPA DNG ANDA YG SANGAT GIGIH DLM MERESPON DAN MENGANTISIPASI STIAP masalah yg ada,

Minggu, 11 Oktober 2009 (08.13)
KARNA KEHEBATAN ANDA, MAKA KAMI INGIN JUMPA DNG ANDA.

SMS dari nomor 0561- 7932449


Minggu, 11 Oktober 2009 (13.42)
ANDA AKAN TERPOJOK SEBENTAR LAGI. PASTI.

Tuesday, October 13, 2009

Ganto Korban Gempa Padang


Tabloid mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang ikut jadi korban gempa pada 30 September 2009, dengan lantai sekretariat mereka retak, akibat kenaikan tanah setinggi 30 cm.

Della Syahni, pemimpin redaksi Ganto, mengatakan pada saya bahwa kemarin mereka pertama kali bisa rapat redaksi, 10 hari sesudah gempa, di sebuah taman dekat sekretariat. Langit dan tembok sekretariat dikuatirkan bisa jatuh. Mereka menilai kantor ini perlu dibangun ulang agar tak bahaya. Mereka belum menghitung berapa biaya yang diperlukan.

Sekarang koordinasi kegiatan Ganto dilakukan oleh Herry Faizal. Dia salah satu pengurus Ganto. Agustus lalu Herry ikut memimpin rombongan Ganto tour Jogjakarta dan Jakarta.


Adek Deedees, seorang reporter Ganto, mengatakan, "Alhamdulillah kami sehat Mas walau makan seadanya." Adek memotret keadaan sekretariat Ganto. Gambar-gambar ini diambil terutama di ruang depan, yang lantainya menjulang ke atas dan tak rata lagi.

"Di tempat ini banyak aktivitas dilaksanakan. Mulai dari rapat, diskusi, makan, tidur dll. Sedangkan ruang redaksi, lantainya ambruk ke bawah dan sekitar tiga menit setelah gempa, air masuk dan membasahi lantai redaksi serta CPU dan peralatan lainnya, yang jatuh sewaktu gempa," kata Adek.

"Kamar mandi, jamban, dan gudang di belakang juga tidak kalah sialnya. Hingga saat ini sekre Ganto belum dimanfaatkan secara maksimal."

"Tiap hari hingga sore kami selalu mengunjunginya walau hanya sekedar menertawai kantor kecil yang malang tersebut."


Saya kenal Ganto karena pernah mengajar sebuah pelatihan wartawan pada bulan Juni di Padang. Saya juga sering duduk di ruang yang hancur ini, sekedar bercanda, mengecek internet atau diskusi. Pada bulan Agustus, satu bus besar anak Ganto juga datang bertamu di rumah kami di Jakarta. Mereka juga berkunjung ke majalah Tempo, harian Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Jakarta Globe maupun Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia. Saya banyak punya kawan di Padang.

Saat gempa melanda, SMS dari mereka segera datang banyak sekali ... lalu tiba-tiba semua komunikasi diam. Saya dapat informasi dari televisi bahwa Padang terkena gempa. Maka mulailah usaha selama 24 jam, telepon sana dan sini, untuk mencari info soal Ganto. Sedikit demi sedikit informasi mengalir. Sesudah gempa, saya merekomendasikan beberapa awak Ganto untuk bekerja jadi fixer beberapa media internasional. Mereka datang ke Padang, Pariaman dsb untuk meliput gempa.


Windy Ocse Marta dari kesekretariatan Ganto mengatakan, "Sekre itu tidak bisa cuma ditambal ... harus dirobohkan dulu dan dibangun lagi karena lantainya saja sudah naik. Dindingnya rusak parah Mas ... beranda di sepanjang ruang sidang PKM miring."

Mereka belum tahu berapa rupiah diperlukan untuk membangun kantor ini lagi. Jumlahnya bisa cukup besar. Saya kira ini bisa menjadi pekerjaan sesama pers mahasiswa, maupun organisasi donor, untuk mengumpulkan dana untuk Ganto. Sementara ini bisa disalurkan lewat rekening bendahara Ganto, Ulfia Rahmi, BRI cabang Universitas Negeri Padang ac. 1269 01 000410 509.

Monday, October 12, 2009

Buku-buku soal Kalimantan Barat


Saya mencoba mengingat-ingat buku-buku apa saja yang kami pakai dalam diskusi-diskusi soal kekerasan di Kalimantan Barat selama setahun terakhir. Diskusi-diskusi inilah yang mengerucut menjadi Seruan Pontianak pada 28 September 2009.

Secara umum, angka-angka dalam pembersihan etnik Madura kami memakai cukup banyak referensi, termasuk dari Human Rights Watch dan buku Jamie Davidson From Rebellion to Riots. Laporan Human Rights Watch soal 1997 sangat berhati-hati dengan data. Saya pikir metode Davidson memakai angka jumlah 3,000, 600 dan 3,000 dalam pembunuhan tahun 1967, 1997 dan 1999, bisa dipercaya. Jamie Davidson melakukan interpolasi antar berbagai data. Khusus korban 1967, angkanya berkisar dari 2,000 hingga 5,000 korban. Kami memakai angka 3,000 korban. Data Davidson juga bisa dibaca dalam dua naskah:

Davidson, Jamie and Kammen, Douglas. “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan,” Indonesia, No. 73. April 2002. (bisa download pdf)

Davidson, Jamie. Violence and Politics in West Kalimantan, Indonesia. Ph.D. thesis. Washington University. Seattle. October 2002.

Human Rights Watch. Communal Violence in West Kalimantan. November 30, 1997. (bisa download pdf)

Kami juga pakai data-data dari sumber lokal. Kristianus Atok, yang sedang menyelesaikan Ph.D soal konflik etnik di Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, juga banyak bicara soal karya Jamie Davidson. Mungkin Davidson adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu untuk melakukan interpolasi angka-angka korban. Kami memilih memakai kesimpulan Davidson karena ia sudah bekerja untuk meneliti 1997 dan 1999.

Kris Atok sendiri menulis buku Orang Dayak dan Madura di Sebangki: Kisah Penting dari Kampung (2009) serta Membangun Relasi Etnik: Pembelajaran Dari Beberapa Kampung di Kalimantan Barat (2005). Dia ikut menyusun buku Merajut Damai: Pembelajaran dari Promosi Pluralisme dan Perdamaian di Bumi Kalimantan Barat (2006). Kris Atok adalah ketua Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara di Pontianak. Dia membawa beberapa buku ketika datang ke kantor polisi Kalimantan Barat pada 5 Oktober 2009.

Saya pribadi, sebagai seorang pengurus Institut Studi Arus Informasi di Jakarta, ikut bertanggungjawab menerbitkan dua buku karya orang Pontianak:

Petebang, Edi and Sutrisno, Eri. Konflik Etnik di Sambas. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. 2000.

Putra, Nico Andas and Djuweng, Stepanus (ed). Sisi Gelap Kalimantan Barat: Perseteruan Etnis Dayak-Madura. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. 1999.

Masih banyak buku lain yang jadi bacaan kami dalam setahun terakhir, termasuk Mediasi Melayu-Madura karya Zulfidar Zaidar Mochtar. Saya pernah diundang dalam sebuah diskusi kecil di rumah Kris Atok di Siantan dimana beberapa cendekiawan Dayak, termasuk Asriyadi Alexander Mering dan Yohanes Supriyadi, ikutan bicara. Buku Davidson, tentu saja, salah satu materi penting yang banyak dibicarakan.

Ia melengkapi macam-macam diskusi yang diadakan oleh lingkaran Tribune Institute, sebuah NGO yang ada dalam jalinan harian Borneo Tribune pimpinan Nur Iskandar. Jamie Davidson juga kenal dengan banyak wartawan di Pontianak. Dia pernah diundang diskusi di harian Equator sebelum Nur Iskandar, Alexander Mering, Yusriadi, Hairul Mikrad, Tanto Yakobus dan kawan-kawan keluar dari sengkarut harian Equator pada Oktober 2006.

Pada November 2009, Tribune Institute bikin program penulisan di Hotel Peony, Jl. Gajah Mada, Pontianak. Saya juga ikutan dalam program tsb. Kami punya diskusi-diskusi yang kaya sekali di Pontianak.

Thursday, October 08, 2009

Solusi Seruan Pontianak, MAAF!

Ditulis oleh Tantra Nur Andi
Borneo Tribune


Pro dan kontra terbitnya Seruan Pontianak (SP) di tiga media cetak Kalbar, yakni Pontianak Post, Borneo Tribune dan Tribun Pontianak, Senin (28/9) lalu mencapai kata sepakat yaitu “permohonan maaf”.

Kesepakatan ini tercapai dalam dialog pencarian solusi SP yang digelar Kepolisian Daerah (Polda) Kalbar, di Graha Khatulistiwa, Mapolda, Rabu (7/10) kemarin.

Meski Pontianak diguyur hujan deras. Namun seluruh tokoh masyarakat Kalbar baik tokoh adat maupun tokoh agama, para penggagas SP, LSM, organisasi pemuda di Kalbar, Kerabat Kesultanan Kadriah, para pemimpin redaksi dari media cetak dan elektronik, AJI, PWI serta para wartawan-wartawati yang diundang hadir dalam pertemuan tersebut.

Pertemuan yang didahului dengan makan siang ini berlangsung cukup alot. Berbagai pendapat terbitnya SP disampaikan oleh para tokoh Kalbar.

Dialog yang mulai pukul 13.00 diawali dengan penyampaian sambutan Humas Polda Kalbar, Suhadi SW, Gubernur Kalbar yang diwakili Asisten I Ignatius Lyong dan Kapolda Kalbar, Brigjend Pol, Erwin TPL Tobing.

Suhadi dalam sambutannya mengatakan pertemuan ini bertujuan untuk mencari kata mufakat terhadap adanya pro dan kontra terhadap terbitnya SP.

“Dialog ini bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dan bukan untuk menentukan menang dan kalah tapi bersama mencari solusi,“ katanya.

Suhadi juga meminta media menempatkan fungsinya sebagai penyampai informasi, edukasi dan kontrol sosial. Karena itu, para jurnalis diharapkan dalam membuat berita di media dapat memperhatikan baik buruknya bagi Kalbar.

Ignatius Lyong meminta para tokoh masyarakat Kalbar untuk dapat menyikapi dengan bijak segala persoalan yang timbul di masyarakat. “Kita di sini kumpul dalam suasana yang sejuk, semoga hati menjadi sejuk,“ ujarnya.

Dituturkannya, kita semua sepakat bahwa damai itu indah, karena itu kuburlah masa lalu yang pernah terjadi. Mari bersama kembali pada yang damai. Hanya dengan damai Kalbar bisa membangun, jika suasana damai, investor akan masuk karena itu damai harus berada di hati kita semua.

“Saya hargai para penggagas SP, di dalam SP memang ada yang baik tapi juga ada hal yang kurang baik. Untuk itu, yang kurang baik harus diperbaiki dan yang berbuat salah mesti dimaafkan. Itulah manusia, semua orang bisa berbuat keliru. Mari kita maafkan yang berbuat salah demi kedamaian di Kalbar,“ tegasnya.

Sedangkan Kapolda Kalbar, Brigjend Pol, Erwin TPL Tobing dalam sambutannya mengungkapkan kebahagiaannya karena meski hujan deras mengguyur Pontianak tapi tidak menghalangi para undangan hadir dalam dialog ini.

“Suatu kesenangan dan kebahagiaan saya, ramainya yang hadir di sini menunjukkan kita semua ingin damai,“ tuturnya.

Kapolda mengajak selagi masih dalam suasana Idul Fitri, mari saling memaafkan. Dialog yang diawali dengan lagu Indonesia Raya, ini bukan seremoni, tapi kita harus bersatu. Makna hujan hari ini adalah membawa kesejukan.

“Tuhan punya kehendak, bapak-bapak hadir di sini bukan karena undangan saja tapi ini sudah menjadi kehendak Tuhan,“ ucapnya.

Kapolda mengakui sejak SP terbit 28 September lalu dirinya dikerumuni wartawan yang mempertanyakan Seruan Pontianak.

“Syukurnya, saya sudah baca pagi-pagi. Saya punya staf, saya suruh monitor dan saya buat langkah-langkah pencegahan,“ katanya.

Setelah timbulnya pro kontra terbitnya SP, Kapolda mengatakan dirinya langsung bersikap mengundang para penggagas SP. Setelah mengundang para penggagas SP ini, kita menggelar press conferens. Intinya Kalbar damai tergantung masyarakatnya. Kalau masyarakatnya mau heboh ya pasti heboh tapi kalau tidak ya tidak akan heboh.

Masalah SP ini bukan masalah besar, tapi akan menjadi masalah kecil jika kita tidak membesar-besarkannya.

Ditegaskannya, diskusi ini bukan ajang menghakimi. Tidak ada gunanya jika diskusi selesai tapi masalah tidak selesai.

“Apalagi semua tokoh masyarakat Kalbar ada di sini, masak kita tidak bisa menyelesaikan masalah kecil ini bersama-sama,“ ungkapnya.

Silahkan berkomentar atas terbitnya SP, tapi jangan emosi dan jangan terpancing.

Diungkapkan Kapolda Kalbar SP ini bagus tapi ada reaksi, pastinya ada mis dalam komunikasi. Ada yang tidak pas dalam penyampaiannya, karena itu penggagas harus menerimanya. Mungkin soal perencanaan, waktu dan cara penyampaian SP.

“Saat para penggagas menemui saya, saya bilang ini tokoh-tokoh muda yang potensial di bidangnya. Kata para penggagas SP tujuannya baik bukan menghancurkan. Hanya saja, saya melihat perencanaan kurang matang. Banyak yang tidak dilibatkan,” ucap Kapolda.

Erwin mengingatkan di Kalbar memang sering terjadi konflik. Konflik terjadi sejak tahun 1967 atau bahkan tahun 1920-an.

Kapolda mengakui SP baginya pribadi adalah proses belajar bagaimana menangani masalah yang terjadi.

“Ini juga menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk menjadi dewasa,“ tegasnya.

Ditegaskan Kapolda jika ada konflik semua akan rusak. Maka nanti cari solusi bersama. Kalau SP dianggap salah ya minta maaf.

“Kita meminta jangan sumbat komunikasi. Jangan ada yang tidak terakomodir rasa keadilannya,” kata Kapolda.

Menutup sambutannya, Kapolda mengingatkan pertemuan ini bukan forum peradilan yang menghakimi. Jangan berkutat pada masalah kontraproduktif. Tapi bagaimana bersama memikirkan Kalbar ke depannya. Bagi yang salah jangan malu mengakui kekurangannya.

Usai menyampaikan sambutannya, Kapolda Kalbar telah menunjuk Dekan Fakultas ISIP Untan, Prof Dr AB Tandililing, MA sebagai moderator diskusi mencari solusi SP.

Dalam pembukaan dialog, Tangdililing menyampaikan sesuai kata Kapolda Kalbar, dan Asisten I Gubernur Kalbar SP jangan diperpanjang, tapi cari solusinya yang meredam masalah dalam diskusi ini.

Ia mengingatkan mungkin dalam SP ada yang tidak pantas atau respon terlalu reaktif, mari berbincang-bincang dari hati ke hati jika SP ada masalah apalagi kita di Kalbar adalah satu keluarga besar.

Dikatakannya, damai tercipta karena integrasi. Konflik dan perdamaian itu ibarat dua sisi mata uang. Berbeda dan terjadi bergantian. Damai tidak bisa terus menerus ada, begitu juga konflik bukan tidak bisa diselesaikan.

Memulai diskusi, Tangdililing memberikan kesempatan kepada para hadirin untuk mengungkapkan pendapatnya. Beberapa orang tunjuk tangan.

Kesempatan pertama diberikan pada Ali Anafia. Ia mengatakan dirinya tidak mengenal para penggagas SP. Ia ingin melihat para penggagas SP. Akhirnya, Tangdililing meminta para penggagas SP maju ke depan memperkenalkan diri mereka. Sekitar belasan para penggagas SP akhirnya maju ke depan forum memperkenalkan diri. Mereka di antaranya, Nur Iskandar, Asriyadi Alexander Mering, Subro, Indah Lie, Pay Jarot Sujarwo, Dwi Syafriyanti, Syamsuddin, Yusriadi, Kristianus Atok, Agustinus, Budi Rahman dan beberapa lainnya.

Usai memperkenalkan diri, para penggagas duduk kembali dan diskusi dilanjutkan.

Petrus, Presiden Front Pembela Dayak (FPD) menyampaikan SP ini ibarat bunga bau busuk. Penggagas harus mencabutnya, hanya ada dua solusi, hukum adat atau ditangkap.

Sementara itu, Hermanto Djuleng meminta forum menghadirkan Andreas Harsono dan Suwito. Kalau ia tidak hadir nothing to lose, lebih baik bubar karena pertemuan ini tidak ada manfaat.

Mendengar ini, Tangdililing menanyakan pada para penggagas mengapa Andreas dan Suwito tidak hadir. Nur Iskandar menjawab, Andreas tidak bisa hadir karena menjadi saksi kunci pengadilan di Jakarta sedangkan Suwito tidak bisa hadir karena istrinya akan melahirkan.

Ketua DAD Kota Pontianak, Yakobus Kumis mendesak cabut Seruan Pontianak dan para penggagas minta maaf pada publik bukan pada pribadi. Karena SP bukan hanya menyinggung Dayak tapi masyarakat Kalbar.

“Saya tidak ingin Kalbar ini dicap daerah kerusuhan,” tegasnya.

Ia mengungkapkan banyak dari daerah bilang mau turun ke Pontianak untuk menangkap para penggagas SP. Tapi ia meminta agar orang daerah tidak ikut campur, ini urusan masyarakat Kota Pontianak.

Usai Yakobus berbicara, Tangdililing mempersilahkan tokoh masyarakat Bugis di Kalbar, Burhanuddin Abdullah menyampaikan pendapatnya.

Ia mengungkapkan terbitnya SP ada hikmahnya. Dalam seruan itu ada ajakan. Ia mengaku akibat terbitnya seruan tersebut, dari daerah-daerah telepon pada dirinya. “Kita mau perang dengan siapa pak?“ ujarnya disambut gelak tawa hadirin.

Ia meminta Polda Kalbar mengusut tuntas SP demi penegakan hukum. Jika dalam pengusutan tidak ditemukan unsur pidana, maka masalah selesai dan masyarakat pasti setuju.

Ia juga meminta para penggagas menyampaikan permohonan maaf pada publik dan penegakan hukum tetap jalan.

Setelah diskusi berjalan setengah jam, Tangdililing meminta kesepakatan bersama para hadirin, sampai pukul berapa diskusi akan dilakukan. Akhirnya disepakati diskusi sampai pukul 14.00.

Pimpinan Redaksi Harian Berkat, Werry Syahrial mengungkapkan ada dua masalah yang akan membuat Kapolda berat, pertama kerja keras menenangkan massa di luar jurnalistik. Kedua masalah SP ini ada tanda-tandanya perang media. Bahayanya perang media bisa menghancurkan negara.

Apalagi jika media terus melakukan investigasi. Kalau pun media distop pemberitaannya, Kapolda yang diberatkan. Apalagi kalau ini Kapolda yang memintanya, secara dunia jurnalistik Kapolda bisa disalahkan jika menyetop pemberitaan SP sampai di sini.

Ketua Lembaga Adat Melayu Serantau (LAMS) Kota Pontianak, Syamsul Rizal juga mendesak penggagas minta maaf yang disampaikan kepada pers seperti iklan SP yang sudah dimuat.

“Kita minta besok (hari ini, red) sudah ada permintaan maaf yang dimuat di koran,“ katanya.

Tokoh masyarakat Madura, Sulaiman yang juga diberi kesempatan untuk berbicara mengatakan dirinya setuju dengan seruan damai. Tapi sayang isinya saja mengungkit-ngungkit luka lama. Lebih baik para penggagas mengakui kekeliruan yang sudah dibuat dan mari kita bersama membuat seruan perdamaian Kalbar.

Sementara itu, Rektor Untan, Chairil Effendy menegaskan nama dirinya yang masuk dalam seruan pontianak karena pada beberapa waktu lalu ia di sms oleh Nur Iskandar tentang adanya Seruan Pontianak.

“Saya balas sms setuju dan akhirnya nama saya tercantum. Untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pada masyarakat Kalbar. Saya juga telah memaafkan adik-adik saya para penggagas SP. Jadikan ini proses pembelajaran. Apalagi mereka sudah mengakui kekeliruan mereka,” katanya.

Chairil juga menyatakan Untan sebenarnya siap menggelar seminar perdamaian untuk membangun perdamaian yang abadi di Kalbar.

Ia meminta semua hadirin menjaga Kalbar karena ini daerah kita bersama.

Chairil meminta Polda Kalbar menindaklanjuti proses penyidikan ke Andreas Harsono karena Chairil menganggap Andreas masih bersikap memprovokasi masyarakat Kalbar di blognya.

Herman Ivo, tokoh Dewan Adat Dayak Kalbar mengatakan tujuan SP sebenarnya bagus hanya saja datanya diragukan dan ada kata-kata provokatif.

Ia menegaskan kalau para penggagas SP ini gentlemen, pasti mereka akan meminta maaf dan mengakui kekeliruan mereka. Para penggagas harus memuat permohonan maaf di media yang sama. Meskipun pemerintah Kalbar sudah bilang maafkan saja tapi kalau nanti terulang kembali bagaimana? Harus ada proses pembelajaran di sini.

Ia juga meminta penggagas yang masih bikin persoalan di belakang agar lebih ditangani dengan tegas oleh Polda Kalbar.

Rafli, Kombespol, Direktur Reserse Polda Kalbar menyampaikan Polda sudah melakukan penyidikan sejak beberapa organisasi masyarakat datang ke Polda Kalbar.

“Sejak itu, kita respon dan kita sudah lakukan penyidikan. Kita panggil empat penggagas SP. Sudah kita dengar klarifikasinya dan sampai saat ini belum ada tindak pidana dalam SP. Ke 77 orang yang namanya tercantum dalam SP sudah kita panggil empat,” katanya.

Zulfidar dari Forum Mediasi Kalbar meminta semua pihak untuk bisa memaafkan kekeliruan para penggagas SP. Hari ini adalah mediasi, jika para penggagas SP meminta maaf sudah selesai masalahnya.

Setelah memberikan kesempatan pada semua tokoh, akhirnya Tangdililing mempersilahkan salah seorang penggagas SP, Nur Iskandar untuk berbicara.

Nur Iskandar pun mengatakan penerbitan SP ini sesuai dengan ilmu yang ia miliki. Dirinya melihat beberapa kejadian kriminal murni di Pontianak hampir saja berujung pada konflik komunal. Dimulai dari kasus Tanjung Raya dan Punggur serta sebelumnya kasus Gang 17. “Man a’radaddunya fa’alaihi bil ilmi, man a’radal akhirah fa’alaihi bil ilmi, waman a’radaddunya wal akhirah fa’alaihi bil ilmi (barangsiapa yang hendak selamat hidupnya di dunia hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang hendak selamat hidupnya di akhirat hendaknya dengan ilmu, dan barangsiapa yang hendak selamat dunia-akhirat hendaknya dengan ilmu—hadits Nabi SAW--red)

“Dari dasar inilah saya mempertanyakan kepada diri saya selaku jurnalis, apa yang bisa kamu dilakukan degan ilmu jurnalistik sebagai tindakan preventif?”

“Saya bersama para penggagas lainnya membuat draf SP yang tujuannya untuk menyerukan perdamaian. Kalau ada kata-kata yang dianggap terlalu keras dalam SP, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pada masyarakat Kalbar,“ tutur Nur Iskandar.

Setelah Nur Iskandar menyampaikan permohonan maaf dan bersedia menerbitkan permohonan maaf di koran yang sama, akhirnya Tandililing menutup diskusi. Para pihak pun merasa senang serta saling jabat tangan. Nur Iskandar sendiri terlihat menitikkan air mata.

Suasana diskusi yang semua sempat tegang akhirnya berubah menjadi haru. Usai meminta maaf, Nur Iskandar disambut salam dan peluk kekeluargaan oleh para tokoh Kalbar.

Acara kemudian dilanjutkan dengan ulasan Kapolda bahwa guru besar sudah menyatakan mohon maaf, para tokoh masyarakat juga demikian. “Saya bertanya-tanya apakah penggagas mau minta maaf, ternyata mau. Ini bagus sekali untuk kedamaian Kalbar dan bagus sekali untuk kepemimpinan. Saya juga belajar dari kasus ini. Sebab untuk menjadi pemimpin tidak akan mulus. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang arif dan bijaksana.” Kapolda dalam setiap kesempatan selalu menekankan cari solusi secara arif dan bijaksana.

Lagu Bagimu Negeri kemudian berkumandang. Ruangan Graha Khatulistiwa pun kembali haru, dan setelahnya para kuli tinta memburu Kapolda untuk wawancara. Sementara para undangan berangsur menyusut meninggalkan lokasi dengan membawa hati lapang penuh damai. Damai ini menjadi bibit perdamaian yang potensial tumbuh ke masa depan. Jika ada kasus kriminalitas murni tidak lagi ditarik ke etnik atau agama tetapi lapor ke polisi, atau jalur hukum.

Wednesday, October 07, 2009

Kapolda Fasilitasi Dialog Seruan Pontianak

Ditulis oleh Tantra/Hairul
Borneo Tribune


Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat, pukul 11.00 WIB pagi ini, Rabu (7/10) menggelar dialog menindaklanjuti ‘Seruan Pontianak’ (SP). 150 tokoh masyarakat, termasuk 77 statemenship SP diundang. Selain mereka yang termasuk penyeru perdamaian sejumlah tokoh dan pengurus organisasi masyarakat, etnis, agama, Kerabat Kesultanan Kadriah, para pemimpin redaksi maupun wartawan-wartawati juga diundang. Pertemuan ini sendiri untuk menindaklanjuti dan mencari solusi tentang SP agar tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.

“Rabu (7/10) ini, kita mengundang seluruh tokoh Kalbar mulai dari Dewan Adat Dayak Kalbar, Dewan Adat Dayak Nasional, Majelis Adat Budaya Melayu, Forum Komunikasi Pemuda Melayu sampai Kerabat Kesultanan Kadriah Pontianak,” ungkap Kabid Humas Polda Kalbar, Suhadi SW, Selasa (6/10).

Suhadi menjelaskan pertemuan ini digelar untuk menuntaskan persoalan terbitnya SP yang selama ini menjadi polemik. “Pertemuan sekaligus makan siang yang digelar di Graha Khatulistiwa Kalbar ini bertujuan menindaklanjuti dan mencari solusi tentang Seruan Pontianak agar tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat,” ujarnya.

Sebelumnya SP terbit di tiga media cetak Kalbar, Senin (28/9) di Pontianak Post, Tribun Pontianak dan Borneo Tribune. Ada 9 alinea di dalamnya yang berisi seruan damai, mempelajari sejarah konflik komunal dan tindakan preventif agar tidak jatuh korban lebih besar.

Penampilan iklan 1 halaman dengan disain kartunis mendapat reaksi pro dan kontra sehingga Kapolda didatangi sejumlah tokoh masyarakat. Kapolda kemudian mengundang sejumlah orang yang dinilai sebagai penggagas, Senin (5/10) dan hadirlah belasan orang antara lain Asriyadi Alexander Mering, Agustinus, Abdullah HS, Siddiq, Subro, Syamsuddin, Kristianus Atok, W Suwito, Nur Iskandar, Dwi Syafriyanti, Andreas Harsono. Usai memenuhi undangan yang dilengkapi dengan penelusuran maksud, tujuan dsb, penyeru perdamaian menggelar konferensi pers.

Suhadi menjelaskan dalam pertemuan yang difasilitasi Kapolda diagendakan para penggagas SP memaparkan kembali latar belakang, maksud dan tujuan sampai pada pendanaan terbitnya SP di tiga media lokal Kalbar. Setelah itu, diadakan dialog bersama untuk mencari solusi dari timbulnya pro dan kontra akibat terbitnya SP.

Suhadi berharap, pertemuan ini dapat membawa titik temu penyelesaian masalah terbitnya SP sehingga persoalan ini tidak berlarut-larut.

Sementara itu, salah seorang penggagas SP, Nur Iskandar menegaskan, ia bersama para penggagas SP lainnya siap menjelaskan sedetil-detilnya maksud dan tujuan terbitnya SP. “Kami akan sampaikan selengkap-lengkapnya mulai dari latar belakang, tujuan dan pendanaan hingga terbitnya SP. Kami juga siap menerima kritik, saran dan masukan dari semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi terbaik menindaklanjuti SP,” tegasnya.

Nur Iskandar juga mengungkapkan para penggagas SP akan hadir dalam dialog tersebut. Selain menjelaskan seluruh hal mengenai terbitnya SP, para penggagas SP juga akan mengajak peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk berdialog menindaklanjuti langkah selanjutnya membangun perdamaian di Kalbar yang abadi.

SP Hal Biasa

Sementara itu, mantan anggota DPRD Kalbar, Zainuddin Isman, menegaskan sebenarnya dari segi subtansi yang disampaikan, SP merupakan hal biasa dan sudah lama serta sering diungkap di pertemuan ilmiah dan akademis.

Menurut Zis--sapaan akrab Zainuddin Isman, pada seminar terakhir yang diikutinya di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) serta seminar yang digelar oleh Perancis membahas konflik di Indonesia termasuk Ambon, Kalbar dan Kalteng, data dan fakta juga dibahas dan diungkap melebihi isi SP. “Seminar ini dihadiri banyak peneliti. Nah, mengenai data di SP bukan hal yang baru dan SP itu hal yang biasa. Mungkin kondisi masyarakat secara sosiologis saja yang belum pas,“ nilainya.

Zis mengakui, dirinya saat ini sedang mengerjakan penelitian dengan 500 responden namun belum selesai. “Sangat mengejutkan bahwa 52% dari 300 kuisioner yang telah masuk, mereka menyatakan tidak tahu mengenai Seruan Pontianak. Artinya dari penelitian ilmiah ini, masyarakat tidak terlalu ribut, elit dan aktor sosial yang belum siap. Tidak ada persoalan,“ urai Zis.

Dari SP ini, nilai Zis, ada makna lain yang bisa diambil bahwa perjuangan untuk memahami keberagaman dan multikultur ini masih perlu waktu mengingat elit dan aktor sosial belum siap. “Seruan itu tidak bisa dipidana, tidak ada kata yang mengajak untuk berbuat tidak baik dan hemat saya,ini ajakan untuk kebaikan,“ pungkasnya.

Di tempat terpisah mantan anggota DPRD Kalbar, Syarif Abdullah Alkadrie, menegaskan apa yang disampaikan Seruan Pontianak merupakan apa yang pernah terjadi di Kalbar. “Ini fakta dan secara ilmiah maupun akademis sering dibahas. Kerusuhan ini sejak tahun 1967 dan berulangkali terjadi. Jangan dilihat membuka luka lama tetapi mari memandang ke depan untuk Kalbar yang satu dan utuh. Apa yang disampaikan di SP, sepengetahuan dan tafsir saya maknanya seperti itu,“ ucap Abdullah.

Abdullah mengajak untuk memaknai seruan ini bagaimana membangun Kalbar ke depan dalam bingkai satu dan utuh. “Kita yang hidup di Kalbar ini ke depan harus lebih aman dan damai tanpa pertikaian, memahami keberagaman dan pluralisme. Ke depan tidak ada lagi kasus-kasus kriminal perseorangan diseret-seret dan dipanas-panasi maupun dikait-kaitkan dengan etnis. Kriminal murni tetap kriminal, kita serahkan ke polisi menangani. Pihak keamanan pun harus tegas sehingga tidak merembet ke mana-mana,“ saran Abdullah.

Abdullah menyatakan juga tidak sepaham atas keinginan sejumlah orang yang mendesak untuk mencari aktor atau penggagas SP ini. “Kemarin para penggagasnya sudah memberikan penjelasan ke Polda dan niat mereka baik, mungkin ada redaksional di SP yang kurang tepat. Dan dalam hal ini mereka juga sudah menyatakan permohonan maaf. Tinggal ke depan bagaimana kita semua bisa bersama hidup lebih rukun membangun Kalbar satu dan utuh,“ imbau Abdullah.

Tuesday, October 06, 2009

Pemeriksaan soal Seruan Pontianak Bersama Polisi Kalimantan Barat


Nur Iskandar (batik warna kuning) menjelaskan Seruan Pontianak kepada media dalam ruang pertemuan Polda Kalimantan Barat. Di sampingnya tampak Dwi Syafriyanti, Asriyadi Alexander Mering dan Abdullah HS. Kami duduk berjejer 13 orang sehingga sulit untuk menangkap semua penyeru dalam pertemuan pers ini.

Anda mungkin sudah membacanya di suratkabar Pontianak tadi pagi tapi saya kira ada beberapa hal yang belum ditampilkan penuh oleh media hari ini.

Alexander Mering, Nur Iskandar, W. Suwito dan saya seharian kemarin ditanya Polda Kalbar soal 'Seruan Pontianak.' Kami diundang oleh direktur intel Komisaris Besar Polisi Endaryoko. Direktur serse Komisaris Besar Rafli juga ikut dalam pertemuan di ruang pertemuan intel. Belakangan Kapolda Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Polisi Erwin Tobing juga mengundang kami berempat dan Abdullah HS bicara di ruang kerjanya. Ada sekitar selusin polisi ikut dalam pertemuan di ruang pertemuan intel polisi.

Kami datang total 13 orang, menjelaskan soal biaya pemasangan iklan, sumber dana, asal mula diskusi Facebook soal ketegangan di Pontianak dan Singkawang. Sekitar pukul 15:00 polisi bikin pertemuan pers dan menyatakan tak menemukan tindak pidana dalam Seruan Pontianak.

Rombongan yang datang terdiri Abdullah HS (ketua Nahdlatul Ulama Kab. Kubu Raya, pengasuh pondok pesantren), Agustinus (ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat), Ahmad Shiddiq (anggota Komnas HAM), Asriyadi Alexander Mering (penyair, blogger, redaktur Borneo Tribune), pengacara Dwi Syafriyanti dan W. Suwito, Indah Lie (aktivis Madanika), Kristianus Atok (penulis buku 'Membangun Relasi Antar Etnik: Pelajaran dari beberapa kampung di Kalimantan Barat' dan kandidat PhD dari Universiti Kebangsaan Malaysia), Mohammad (ketua Lakspesdam NU Kalbar), Nur Iskandar (pemimpin redaksi Borneo Tribune), Syamsuddin (ketua Yayasan Kerusuhan Sosial Sambas), Subro (direktur Mitra Sekolah Masyarakat) dan saya sendiri.

Kemarin kami juga menunjukkan kuitansi dari iklan satu halaman tsb kepada polisi dan kepada wartawan. Semua diizinkan melihat. Disana tentu tercantum harga iklan. Berapa kita bayar ketiga harian tsb.

Kami tak etis untuk menyebut berapa harga dan discount tsb karena akan mempengaruhi nilai komersial iklan. Semua wartawan yang hadir, saya perhatikan juga tak ada yang menerbitkan angka dari iklan2 tsb. Namun ia menjawab spekulasi kalau Seruan Pontianak katanya pakai dana ratusan juta rupiah.

Total kami hanya membayar Rp 11 juta (termasuk pajak) untuk iklan tsb. Kami dapat discount besar karena ia termasuk iklan sosial --bukan iklan komersial. Angkanya kecil sekali sehingga masuk akal bila iklan dibayar dengan kontribusi individu-individu, masing-masing dari Rp 50 ribu, Rp 200 ribu namun paling banyak menyumbang Rp 500 ribu. Ada juga yang memberi Rp 2 juta. Ia tak bernilai ratusan juta rupiah seperti tuduhan sementara orang. Atau dananya dialirkan dari luar negeri.

Secara terpisah dari polisi, kami kemarin juga bikin pertemuan pers. Nur Iskandar, Alexander Mering, Kristianus Atok, Abdullah HS dan sebagainya angkat bicara. Sebagian beritanya sudah bisa Anda baca di Pontianak Post, Tribune Pontianak, Borneo Tribune, Berkat dsb.

Khusus penjelasan Kristianus Atok soal bagaimana Seruan Pontianak dibuat tampaknya tak dimuat satu media pun walau Pontianak Post memasang gambarnya besar-besar. Dia cerita soal bagaimana kami terlibat dengan kerja-kerja di grassroot antar berbagai kelompok etnik sejak delapan tahun lalu. Kris membawa leaflet dan buku-buku kecil produksi Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara pimpinannya: Pendidikan Anti Kekerasan Pada Anak dan Remaja (Konteks Kalimantan Barat) atau Membangun Komitmen, Meniti Hari, Merajut Masa Depan: Bahan Bacaan untuk Pengembangan Kepribadian dan Citra Diri Remaja. Kepada wartawan, dia juga menunjukkan buku Jamie Davidson From Rebellion to Riots: Collective Violence on Indonesian Borneo. Ini buku yang akan jadi klasik untuk studi Kalimantan Barat.

Polisi appreciate dengan kehadiran kami. Mereka menghargai saya langsung terbang dari Jakarta ke Pontianak ketika diundang oleh polisi. Mereka juga senang melihat kami datang dengan macam-macam background: Melayu, Dayak, Tionghoa, Jawa, Madura dan sebagainya. Ini memang mencerminkan semangat para penyeru yang datang dari macam-macam etnik, pekerjaan maupun agama.

Dalam pertemuan pers, Agustinus mengatakan masalah ini sudah bergeser menjadi perseteruan sesama media dan sesama wartawan saja. Kalau pembicaraan antar organisasi etnik, dia bilang, sudah terjadi dan aman-aman saja. Tough tapi oke. Agustinus bikin pertemuan di Rumah Betang. Nur Iskandar juga sudah bicara dengan tokoh-tokoh etnik Melayu. Agustinus bilang ini sudah bergeser menjadi perseteruan Equator dan Borneo Tribune.

Ada 23 karyawan harian Equator, termasuk Nur Iskandar, Alexander Mering, Hairul Mikrad, Yusriadi dan Tanto Yakobus, keluar dari Equator dan mendirikan Borneo Tribune pada 2007. Dendam lama ini ikut mewarnai pemberitaan Equator terhadap Seruan Pontianak.

Saya sempat jengkel lihat cara wartawan bertanya kemarin. Asumsi-asumsi terlihat konyol dari cara mereka bertanya maupun berpikir. Saya menguliahi mereka soal jurnalisme. Agak lucu, soal bagaimana kalau bertanya harus dimulai dari kata tanya 5W1H serta satu kalimat maximal 16 kata.

Malamnya, Syamsuddin, biasa kami panggil Pak Uddin, jatuh pingsan di rumahnya. Mungkin kecapekan ditambah kondisi badan sudah berumur dan sakit-sakitan. Bayangkan selama tujuh jam, Pak Uddin menemani rekan-rekannya menjalani pemeriksaan bersama polisi di Polda Kalimantan Barat. Hari ini sudah agak mendingan. Semua anaknya berkumpul, kuatir ada apa-apa terhadap orang tua mereka.

Saya sempat bicara lewat telepon untuk menanyakan kesehatannya. Kemarin saya perhatikan Pak Uddin memang pucat dan banyak diam. Ketika makan malam di Mega Mall, dia juga tak makan banyak. Namun Pak Uddin mengatakan dia "bahagia" bisa ikut acara kemarin.

Polda Nyatakan Tak Ada Unsur Pidana dalam SP

Ditulis oleh Tantra Nur Andi
Borneo Tribune

“Tidak ada ditemukan unsur pidana di dalam Seruan Pontianak (SP) karena SP tidak mengajak masyarakat berbuat konflik,” tegas Kabid Humas Polda Kalbar, Suhadi, Senin (5/9).

Penegasan Suhadi ini disampaikan dalam konfrensi pers usai Direktorat Intelkam Polda Kalbar mengundang empat penggagas SP. Suhadi mengatakan hasil kajian dari Dirintelkam Polda Kalbar setelah meminta empat penggagas SP yaitu Andreas Harsono, Nur Iskandar, Suwito dan A. Alexander Mering mengklarifikasi terbitnya Seruan Pontianak.

Dijelaskan Suhadi, Dirintelkam mengundang empat penggagas SP ini untuk menanyakan maksud, tujuan, latar belakang sampai siapa yang mendanai hingga terbitnya SP dimaksud.

Keempat penggagas ini dimintai keterangan oleh Dirintelkam Polda Kalbar dari pukul 11.00 hingga 15.00 WIB. Sekitar 20 pertanyaan diajukan Dirintelkam pada empat penggagas SP tersebut.

Tindak lanjut dari pertemuan Senin kemarin, lanjut Suhadi, rencananya Polda Kalbar akan mengundang seluruh tokoh masyarakat mulai dari DAD, MABM, MABT sampai Kesultanan Istana Kadariah Pontianak dan 77 orang yang namanya masuk dalam SP untuk memberikan penjelasan seputar Seruan Pontianak.

Suhadi juga meminta media massa tidak membuat tulisan provokatif yang justru memancing terjadinya konflik.

Sementara itu, empat penggagas SP yaitu Andreas Harsono, Nur Iskandar, Suwito dan A. Alexander Mering setelah dimintai keterangan tujuan dan maksud terbitnya SP oleh Dirintelkam juga menggelar konfrensi pers di ruang Dirintelkam.

Nur Iskandar menjelaskan terbitnya SP berawal dari beberapa kejadian terbaru terutama gangguan Kamtibmas. Atas dasar inilah, para penggagas SP membuat draf setelah acara buka puasa bersama yang digelar oleh Tribune Institute.

“Lahirnya SP ini bertujuan bagaimana mencegah terjadinya konflik di Kalbar,“ tegasnya.

Saat buka puasa bersama, sudah ada draf SP yang dibuat. Kemudian, ia mengirim sms kepada tokoh-tokoh masyarakat, mengajak mereka ikut menyerukan SP. “Saya minta tokoh-tokoh masyarakat yang saya kirim sms, untuk membaca draf SP di blog saya. Kalau ada kekurangan, saya minta masukan,” tuturnya.

Beberapa tokoh memberikan masukan pada draf tersebut dan langsung menyatakan bersedia bergabung dalam seruan tersebut.

Nur Iskandar juga menegaskan, pernyataan beberapa tokoh yang merasa terkejut dengan isi SP padahal namanya dimasukan dalam SP tidak salah. Karena tokoh-tokoh tersebut memang belum membaca draf SP sebelumnya. Namun setelah ada pertemuan dengan para tokoh yang merasa keberatan tersebut akhirnya para tokoh itu mengerti tujuan Seruan Pontianak.

A. Alexander Mering juga mengungkapkan kata-kata pembantaian dalam seruan pontianak tersebut dimuat karena memang tidak ada kata-kata lain yang bisa mewakili peristiwa terbunuhnya ribuan orang dalam konflik etnis di Kalbar.

“Kalau satu orang yang tewas akibat pertikaian, itu bisa dinamakan pembunuhan tapi jika yang tewas mencapai ribuan orang dalam pertikaian maka sebutan apa yang cocok selain pembantaian,” tegas Mering.

Mering menilai, kondisi damai di Kalbar saat ini sebenarnya belum menemui titik perdamaian abadi. Akar persoalan konflik belum terselesaikan dengan baik.

Sementara itu, Andreas Harsono menegaskan tidak ada yang mendanai secara khusus hingga terbitnya Seruan Pontianak. Tapi dana untuk iklan Seruan Pontianak itu didapat dari patungan para penggagas Seruan Pontianak.

Direktur Yayasan Insan Khatulistiwa (YIK) Kalbar, Nagian Imawan, menyambut baik upaya yang dilakukan Polda Kalbar. Dia melihat undangan terhadap empat pengagas itu sebagai upaya mengakhiri pro kontra terkait SP dimaksud.

Namun Nagian mengingatkan, Polda Kalbar dalam bekerja haruslah profesional dan proporsional, jangan karena tekanan pihak tertentu atau kelompok masyarakat tertentu.

”Demikian juga dengan masyarakt, janganlah berlebihan memandang SP tersebut, bila kurang berkenan masih ada ruang dialog. Dan saya yakin landasan kita jelas yakni akademis,” kata Nagian.

Menurut Nagian, dirinya melihat SP itu tujuannya jelas ingin menuntaskan kejadian-kejadian yang ternah terjadi di Kalbar agar kedepan jangan terulang lagi. ”Memang untuk menuntaskan suatu permasalah, persoalanya harus dibuka dulu agar bisa dicara solusi terbaiknya, dan itulah tataran akademisi selalu membedah persoalan lewat diskusi, lokakarya maupun seminar,” katanya lagi.

Saturday, October 03, 2009

Jangan Takut dengan Luka Lama


Terkait dengan “Seruan Pontianak"

PONTIANAK: Yohanes Supriyadi, seorang aktivis Pontianak asal Landak, mengatakan Sabtu ini bahwa Kalimantan Barat adalah provinsi multietnik dengan sejarah konflik antar etnik yang panjang. "Konflik tak bisa dihindari. Konflik juga tak bisa dihilangkan. Yang bisa dilakukan adalah mengelola konflik secara damai, bukan dengan kekerasan," katanya.

Menurut siaran persnya hari Sabtu, terbitnya iklan Seruan Pontianak di tiga harian di Pontianak, Senin lalu, mau tidak mau telah menimbulkan konflik. “Baik penggagas seruan maupun kontra telah berkonflik,” katanya.

Seruan Pontianak hanya simbol dari upaya mediasi konflik kekerasan. “Seruan Pontianak itu kan hanya himbauan moral dari pegiat perdamaian yang mesti disikapi dengan arif dan bijaksana oleh masyarakat Kalbar yang multietnik.”

Supriyadi mengatakan masyarakat Kalimantan Barat jangan takut dengan luka lama,“Takutlah dengan luka baru hasil simbiosis kimiawi dari luka lama yang tak pernah sembuh secara final.” Luka lama kalau disentuh memang sakit, karena ada sisa-sisa bekas jahitan. Namun, kalau tidak diingatkan bahwa masih ada bekas luka lama, kalau terjadi luka baru akan lebih parah.

Seruan Pontianak, menurutnya, berupaya mengingatkan masyarakat agar jangan ada lagi luka baru. “Akhir-akhir ini, konflik antar individu seringkali berubah menjadi konflik antar kelompok dengan membawa-bawa kelompok etnik dan agama.”

“Karena luka lama masih ada bekas, ketika ada luka baru, seringkali dimanfaatkan pihak tertentu, jadilah ia menjadi konflik antar kelompok etnik."

Ia juga menyayangkan sikap dari beberapa organisasi “etnik” terhadap Seruan Pontianak.

Seharusnya, organisasi adalah kumpulan orang dari berbagai latar belakang, yang mengedepankan kearifan dalam menyikapi situasi sosial politik yang ada dan berkembang. Jangan justru memperkeruh suasana.

“Selama ini, banyak ormas 'etnik' yang selalu mengatasnamakan kelompok etniknya dalam setiap aktivitas, padahal mereka hanya orang-orang tertentu yang kebetulan jadi pengurus ormas,” ujarnya. Ada juga orang tertentu yang menjadi pengurus organisasi massa seumur hidup.

Kedepan, pemerintah perlu melakukan penataan organisasi massa agar tidak seenaknya satu atau dua orang berkumpul lalu mendirikan organisasi atas nama etnik. Hukum memang memperbolehkan semua warganya untuk berserikat dan berkumpul, namun selama ini banyak disalahgunakan orang-orang tertentu.

Supriyadi adalah Ketua V Dewan Adat Dayak kota Pontianak ini. Dia juga Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Kalimantan Barat. Dia juga pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) cabang Pontianak. Dia juga ikut mendukung Seruan Pontianak.

Dia menyatakan banyak organisasi dibentuk oleh "orang-orang yang tak jelas" serta dijadikan “alat penekan” untuk kepentingan individu dan kelompok mereka.

“Muncul tiba-tiba dan kemudian hilang tanpa aktivitas program. Banyak juga ormas yang tak melakukan kaderisasi, karena itu tak heran, orangnya itu-itu saja, sudah puluhan tahun jadi pengurus ormas yang sama. Dan anehnya, masyarakat 'yang diwakili' ormas tersebut tidak kritis.”

Supriyadi minta warga Kalimantan Barat cerdas, memilah dan memilih informasi, pernyataan dari sekelompok aktivis organisasi massa, yang mengatasnamakan etnik, dalam menanggapi Seruan Pontianak. “Saya yakin, rakyat Kalbar sudah cerdas,” katanya.