Thursday, September 30, 2021

Susanna Harsono terkena stroke di Jember

PADA 6 September, Metri Harsono, mama saya, pertama kali menengok anaknya, Susanna, adik saya, yang masuk rumah sakit di Jember sejak 21 Agustus. 

Mulanya, Susanna diduga terkena coronavirus dan dibawa ke rumah sakit Bina Sehat, Jember. Namun hasil tes tiga hari kemudian negatif. Di Jember, tes coronavirus memang tak secepat di Jakarta. 

Maka dilakukan berbagai usaha kedokteran lain untuk tahu mengapa Susanna tiba-tiba tak bisa jalan bahkan berdiri. Dia terlihat lemas terus, perlahan-lahan sejak Mei. 

Rebeka, saudara kembar Susanna, menemani terus di rumah sakit Bina Sehat. Rebeka terpaksa juga ikut tinggal dalam kamar sakit karena pandemi. Dia tak bisa keluar masuk. Saya salut lihat kesabaran dan ketelatenan Rebeka merawat saudaranya, dari kasih makan sampai kebersihan. 

Pada 1 September, Susanna dipindah dari Bina Sakit ke rumah sakit daerah Soebandi, Patrang, Jember, dimana ada dokter Evy Tyaswati, seorang psikiater, yang sudah merawat Susanna hampir dua dekade karena schizoprenia. Tyaswati dengan sigap menerima kehadiran pasien langganan. 

Diagnosanya, Susanna mengalami penyempitan pembuluh darah otak. Ini bikin dia lumpuh dari leher ke bawah, badan sebelah kiri. Ada lima dokter, termasuk Tyaswati, yang memeriksa dgn macam-macam spesialisasi. Lantas ada tulang pinggul retak, mungkin akibat jatuh di toilet. Juga kekurangan nutrisi.

Mama tak bezoek selama ini karena pandemi. Dia sudah berumur 78 tahun serta belum vaksin. Pada 6 September, pertama kali dia melihat anaknya di rumah sakit. Saya tak bisa bayangkan bila saya harus melihat anak saya sendiri lumpuh. Perasaannya pasti berkecamuk.

Para perawat mengatakan agar kami bersiap dengan Susanna kembali ke rumah dengan kursi roda. Dia tampaknya perlu perawatan 24 jam sehari karena dia tak bisa makan dan minum sendiri, tak bisa duduk, berdiri apalagi berjalan. 

Pada 10 September, Susanna diizinkan pulang ke rumah di Jember dengan check up setiap minggu. Dia akan berobat jalan dengan fisioterapi agar ada perbaikan dari otaknya supaya bisa memerintahkan otot-otot bergerak. Organ-organ lain normal. 

Ini masa yang sulit buat saya pribadi. Ada puluhan kawan serta beberapa kerabat saya meninggal selama pandemi. Saya mengantar Rebeka berobat di Jakarta awal Mei selama dua minggu. Mama sendiri masuk ke rumah sakit karena malnutrisi pada 23-25 Mei. Dia ditemukan pingsan dalam rumah. Susanna menemani mamanya di rumah sakit. Rebeka lantas pulang ke Jember pada 8 Juni. 

Bulan Juli, saya sekeluarga terkena coronavirus di Jakarta, harus isolasi mandiri. Di Pontianak, Kamal, adik ipar isteri saya, meninggal karena penyakit hati pada 2 September. Hampir setiap hari saya bikin video call dengan Susanna, lewat bantuan Rebeka, dan mengajaknya bicara. 

Update

Pada 30 September 2021 Susanna bisa jalan dengan memakai tongkat dari ranjang ke kamar mandi. Ini perkembangan baik tentu. Namun buat bergerak jauh dia masih harus pakai kursi roda. 

Thursday, September 02, 2021

Kamal bin Yatem meninggal dunia di Pontianak, usia 45 tahun

Kamal bin Yatem, saudara ipar saya, meninggal dunia di rumah sakit Sudarso, Pontianak, dengan penyakit hepatitis B dan livernya mengeras. Dia meninggal siang ini dalam usia 45 tahun. 

Kamal seorang sopir, etnik Madura, kelahiran Pontianak, bekerja lama di klinik bersalin Amanda di Pontianak hingga tahun 2019 ketika membeli sebuah toko makanan burung dan burung berkicau. Kamal memang suka dengan burung dan tanaman. Tangannya dingin dengan tanaman, banyak pohon dibesarkannya. 

Dia seorang pendiam dengan kepribadian menyenangkan. Kamal beberapa kali menemani saya ketika wawancara "orang-orang berbahaya" di Pontianak. Dia juga biasa menemani saya bila wawancara ke rumah-rumah warga minoritas termasuk orang Madura, Ahmadiyah, Millah Abraham dan lainnya. 

Hari Minggu, 29 Juli 2021, Kamal dibawa ke rumah sakit daerah Pontianak, sesudah jatuh dan muntah darah di kamar tidur. Sakit hepatitis "sangat serius," kata salah seorang keponakannya. 

Isterinya, Tursih Satoeri (baju pink), adalah adik dari isteri saya, Sapariah Saturi. Tursih seorang guru di sebuah sekolah negeri di Kubu Raya. Kamal meninggalkan tiga anak Kayla (12), Binar (4) dan Rumeksa (2). 

Ini kehilangan besar buat keluarga besar di Pontianak. Dia disukai oleh keluarga dan kawan, termasuk keponakan-keponakan, yang biasa memanggilnya "Aak." Dia orang yang suka mengulurkan tangan dan bantu sesama. Saya berduka dengan kepergiannya, kepikiran dengan ketiga anak kecil, yang ditinggalkan ayah mereka.