Friday, April 26, 2002

Indonesia's hopes for justice

A number of rich and famous people are on trial

By Andreas Harsono
In Jakarta

The number of Indonesian VIPs under arrest or facing trial - from parliamentary speaker Akbar Tandjung to the son of former President Suharto - has raised hopes that Indonesia is finally adopting the rule of law.

But legal specialists and human rights activists warn that most high profile suspects in the past have in fact walked free. Legal loopholes and corrupt and incompetent law enforcement officials are to blame.

"Their initial arrest is widely publicised in the media but after months of prosecutions and trial sessions, one by one they escaped justice. Only two major corruption cases have so far resulted in convictions," according to Teten Masduki of Indonesia Corruption Watch.

Star suspects
Prominent suspects have included former President Suharto himself, central bank governor Syahril Sabirin, several former ministers, high ranking military officers and Suharto supporters like businessmen Bob Hasan and Hashim Djojohadikusumo, who until three years ago controlled two of the country's biggest business groups.

Mr Suharto never turned up to his trial and the case was finally discarded due to illness.

Mr Sabirin, despite being found guilty of corruption and sentenced to three years' jail, is still a free man and continues in his post at the central bank.

Only Mr Hasan was sentenced and is now serving time in a prison island for corruption.

In another high-profile case, seven men have been charged with genocide and crimes against humanity for a massacre in East Timor in 1999. But some analysts say the court case is so weak they are expected to walk free.

Sidney Jones of the New York-based Human Rights Watch said: "The judges were poorly chosen, the prosecutors have shown no interest in accountability, the defence is likely to take advantage of an array of legal loopholes."

Legal loopholes
Loopholes are a big part of the problem.

Nono Anwar Makarim of the Aksara Foundation, a Jakarta think tank, said judges, "influenced by political and monetary factors", adhere to often absurd legal technicalities to get suspects off the hook.

Mr Makarim, a retired lawyer who trained at Harvard University, tells a joke popular among Jakarta lawyers to illustrate his point.

It is about a man who killed another man. There were 15 witnesses who testified to seeing the killing. The forensic test showed a bullet missing from the suspect's gun was found in the victim's head.

"But the judges set the man free because the gun has no Indonesian license. It means the gun legally does not exist in Indonesia," explained Mr Makarim.

Politics and greed
The "political factor" refers to the way that President Megawati Sukarnoputri is only keen to press for legal action as long as it does not destabilise her coalition government.

In the case of Mr Tandjung, accused of misusing government funds to finance a campaign for his Golkar party - part of that coalition - Megawati was initially reluctant to press the Tandjung case. But public pressures were too great to be ignored.

The "monetary factor" is a reference to bribes.

It is an open secret in Indonesia that prosecutors, police and judges are all given back-handers.

Mr Masduki calls the system "court mafia". Lawyers function more like middlemen who pay bribes to judges. Of course not all judges are corrupt. Many prosecutors and police are trying to bring honour back to their professions.

But being honest is not easy.

Tommy Suharto is accused of ordering the contract killing of Judge Syafiuddin Kartasasmita because he had refused to be bribed.

Tommy Suharto denies the charges.

www.bbc.co.uk

Monday, April 01, 2002

Di Balik Ketegangan Indonesia-Singapura

Pantau April 2002

Mengapa The Straits Times dan Tempo terlibat perang mulut soal terorisme?

Oleh Andreas Harsono

KISAH ini bermula pada Senin pertama Februari lalu ketika Derwin Pereira, kepala biro harian The Straits Times di Jakarta, menerbitkan tiga laporan tentang sebuah rencana peledakan kedutaan Amerika Serikat di Singapura, Kuala Lumpur, dan Jakarta. Pereira melaporkan bahwa ia mendapatkan sebuah dokumen rahasia berjudul “Operasi Jihad Asia Tenggara: Melawan Terorisme Amerika Serikat dan Kaum Yahudi.”

Dokumen itu menyebutkan bahwa tiga tim, masing-masing berjumlah tiga orang, bakal berangkat dari Solo dengan tujuan melakukan teror. Mereka diberi nama Jibril, meminjam nama malaikat, masing-masing Jibril 1 (tujuan Singapura), Jibril 2 (Kuala Lumpur), dan Jibril 3 (Jakarta). Ketiga tim ini direncanakan meledakkan bom C-4 di halaman tiga kedutaan tersebut pada 4 Desember 2001.

Rencana itu tak terlaksana. Mungkin karena ada alasan satu atau lain hal yang tak jelas. Pereira tak menjelaskan bagaimana ia mendapatkan dokumen beraksara Arab sebanyak 15 halaman itu. Ia hanya mengatakan pihak intelijen Indonesia menemukan dokumen itu di Solo pada Oktober 2001.

Rencana pengeboman itu sendiri dirancang dalam suatu pertemuan di Solo pada 28 September 2001 atau sekitar seminggu sebelum Presiden Amerika Serikat George W. Bush memerintahkan pengemboman Afghanistan dalam rangka “perang melawan terorisme.” Bush menyerang Afghanistan dan rezim Taliban karena dianggap melindungi kelompok Al Qaida pimpinan jutawan Saudi Arabia Osama bin Laden yang dituduh Amerika menyerang Pentagon dan World Trade Centre pada 11 September 2001.

Menurut The Straits Times, dokumen itu dibuat oleh organisasi bernama Jamaah Islamiyah Indonesia, dengan alamat “Kampung Wetan Nusukan No. 65 RT05/RW07 Solo.” Alasan teror? Mereka melihat Islam terancam oleh “strategi Amerika Serikat dan Yahudi untuk menghancurkan Islam.”

“Dengan isu memburu Osama bin Laden dan Al Qaida, mereka menghalalkan pembunuhan terhadap anak-anak dan wanita-wanita tak berdosa di Afghanistan.”

“Operasi Jihad Asia Tenggara” dibuat dengan tujuan “menghancurkan kekuatan-kekuatan politik Amerika Serikat dan kaum Yahudi di jantung Asia Tenggara. Ini langkah awal menuju terbangunnya peradaban Islam di Asia Tenggara sebagaimana cita-cita Nusantara Raya.”

“Tanpa kehancuran kekuatan-kekuatan politik Amerika Serikat dan kaum Yahudi, Islam tidak akan tenteram dan senantiasa difitnah sebagai agama dan umat yang berbahaya bagi dunia,” kata dokumen yang ditandatangani oleh “ketua Abu Hanafiah” dan “sekretaris Fikri Sugondo.”

Nama-nama itu kemungkinan besar nama palsu, termasuk juga nama sembilan orang anggota Jibril 1, Jibril 2, dan Jibril 3, maupun para penghubung mereka di berbagai tempat. Tapi dokumen ini menyebut nama Fathur Rahman Al Ghozi, pemuda Indonesia asal Mojokerto, yang ditangkap di Manila, pada 15 Januari 2002. Di dokumen Al Ghozi disebut sebagai kontak Jemaah Islamiyah di Filipina. Al Ghozi ditangkap polisi Filipina dengan tuduhan menyimpan bahan peledak secara ilegal. Jumlahnya tak tanggung-tanggung: satu ton bahan peledak TNT (trinitrotoluene), 300 detonator, dan 17 senapan serbu jenis M-16.

Laporan itu cukup mengagetkan, bukan saja, di Singapura, tempat The Straits Times terbit, tapi juga di Indonesia dan Malaysia. Reuters, AP, AFP, dan berbagai media lain mengutip keterangan Straits Times. Nama “Jemaah Islamiyah” bergaung karena sejak Desember lalu, pemerintah Malaysia dan Singapura menangkap lebih dari 40 aktivis muslim dengan tuduhan terlibat dalam organisasi bernama “Jemaah Islamiyah.”

Polisi Singapura mengatakan 13 warga negara Singapura yang ditangkap itu berniat menyerang beberapa fasilitas milik Amerika Serikat di Singapura. Mereka ditangkap sesudah polisi Singapura mendapat rekaman video dari militer Amerika Serikat di Afghanistan di mana beberapa lokasi di kota Singapura terekam. Ke-13 orang itu dituduh terlibat dengan Al Qaida.

Laporan Derwin Pereira penting karena dokumen itu bisa dianggap melengkapi puzzle besar di kawasan ini bahwa ada tiga Jemaah Islamiyah: Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Ketiganya bekerja sama dengan Osama bin Laden dari Al Qaida, mereka tak segan menggunakan kekerasan, bertujuan mendirikan negara Islam di kawasan Asia Tenggara, berdasarkan penafsiran Islam mereka sendiri.


BEBERAPA hari sesudah laporan Derwin Pereira dimuat Strait Times, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew, politikus paling senior di sana, yang pernah jadi perdana menteri selama 31 tahun, mengatakan dalam suatu acara terbuka bahwa keamanan Singapura tak terjamin selama pemerintah Indonesia belum membereskan para teroris. Lee bilang Indonesia “sarang teroris.”

Lee Kuan Yew tak menyebut dokumen Solo tapi ia menyinggung keberadaan Abu Bakar Baasyir, kiai dari pondok pesantren Ngruki Solo, salah satu tokoh Majelis Mujahidin Indonesia, yang berada dalam daftar pencarian polisi Singapura maupun Malaysia.

Baasyir dituduh polisi dua negara itu jadi tokoh intelektual dalam gerakan Jemaah Islamiyah Singapura maupun Malaysia. Harian The Star dari Kuala Lumpur melaporkan bahwa sejak Agustus 2001, polisi Malaysia menaruh Baasyir dalam daftar pencarian orang bersama empat lainnya. Mereka dituduh terlibat dalam organisasi yang disebut sebagai Kumpulan Mujahidin Malaysia, yang beberapa anggotanya sudah ditangkap dengan tuduhan terlibat pembunuhan seorang anggota parlemen Malaysia.

Abu Bakar Baasyir, dalam keterangan Inspektur Jenderal Tan Sri Norian Mai dari kepolisian Malaysia, punya nama alias Abdus Samad Abud. Ia memegang izin tinggal (permanent residence) di Malaysia dengan alamat Kampung Sungai Manggis, Banting, Selangor.

Baasyir dikenal ikut mendirikan pesantren Al Mukmin di Ngruki Solo pada 1972 bersama Abdullah Sungkar. Keduanya tokoh Islam yang pernah dijatuhi hukuman sembilan tahun oleh pemerintah Soeharto karena menentang asas tunggal Pancasila. Salah satu murid pesantren ini adalah Fathur Rahman Al Ghozi yang menyimpan satu ton TNT di Filipina. Tapi sebelum hukuman diterapkan, Sungkar dan Baasyir kabur ke Malaysia. Mereka kembali ke Solo sesaat setelah Presiden Soeharto dipaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Sungkar meninggal dunia sekembalinya ke tanah air.

Orang Indonesia lainnya adalah Hambali (ejaan Malaysia “Hambli”) alias Nurjaman alias Riduan Isamuddin. Norian Mai mengatakan Hambali juga punya izin tinggal dan juga beralamat Kampung Sungai Manggis, Banting, Selangor. Ia juga dicari polisi Indonesia karena dicurigai terlibat dalam pengeboman gereja-gereja Indonesia pada malam Natal 2000.

Tapi menurut Norian Mai, orang yang paling berbahaya dalam kelompok pelarian ini Zulkifli alias Musa Abd Hir. Zulkifli seorang insinyur telekomunikasi. Ia pernah ikut jihad di Afghanistan maupun Maluku. Zulkilfi saudara ipar Taufik Abdul Halim seorang mahasiswa dari Johor Bahru, Malaysia, yang juga pernah ikut perang di Afghanistan, ikut jihad di Maluku bersama delapan orang Malaysia lain, dan terluka ketika membawa sebuah bom yang meledak sendiri di Atrium Senen, Jakarta, pada Juli 2001. Taufik juga pernah mengatakan ia terlibat dalam pengeboman Natal 2000. Kini Taufik ditahan di Jakarta.

Lee Kuan Yew sama sekali tak menyebut dokumen Solo walau saya memperkirakan Lee berlangganan Straits Times dan kemungkinan besar membaca berita Derwin Pereira. Kenapa Lee lebih memberikan perhatian pada Abu Bakar Baasyir?

Tak jelas benar. Mungkin karena Baasyir dianggap sebagai orang penting dalam gerakan Islam garis keras di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Suratkabar internasional macam The Los Angeles Times atau Asian Wall Street Journal menyebut Baasyir sebagai “dalang” berbagai tindak kekerasan di Asia Tenggara.

Tapi yang jelas, laporan Straits Times bikin polisi Indonesia bekerja ekstra. Inspektur Jenderal Saleh Saaf, juru bicara polisi Indonesia, mengatakan pada majalah Tempo, bahwa polisi memeriksa alamat-alamat di Solo dan Batam, bandar udara, bandar laut, imigrasi, dan tempat-tempat lain, yang disebutkan Straits Times, terutama rute-rute perjalanan ketiga tim Jibril. Hasilnya nol.


SEMINGGU sesudah laporan Straits Times muncullah laporan utama majalah Tempo yang tak kalah menariknya. Majalah itu mengangkat laporan soal tim Jibril tapi, berbeda dengan Straits Times, Tempo meragukan keaslian dokumen tersebut.

Ada beberapa hal yang janggal. Pertama, soal alamat Kampung Wetan Nusukan. Reporter Tempo Imron Rosyid dari Solo melaporkan bahwa tak ada alamat itu di Solo. Lurah Nusukan Sumanta mengatakan baru kali ini ia mendengar nama “Kampung Wetan.”

“Kalau di Nusukan, yang ada itu Nayu Wetan,” kata Sumanta. Nama Abu Hanafiah dan Fikri Suwondo, sebagai penandatangan dokumen, juga tak pernah kedengaran di daerah itu.

Kedua, tak ada ledakan apa pun di tiga kedutaan Amerika Serikat pada 4 Desember 2001. Ketiga, salah satu anggota tim Jibril disebut bernama Muhammad Furqon. Ternyata ada 11 nama yang sama di kantor imigrasi Solo. Keempat, peledakan rencananya menggunakan bom C-4. Bom jenis ini hanya dimiliki kalangan terbatas, seperti militer, karena mahal dan sulit didapat.

Tempo menugaskan 13 reporter, baik di Jakarta, Solo, maupun Kuala Lumpur, buat menelusuri isi dokumen tersebut. Majalah itu juga mewawancarai sumber-sumber polisi dan intelijen Indonesia, baik dengan nama jelas maupun anonim, dan mereka semuanya meragukan keaslian dokumen “Operasi Jihad Asia Tenggara” tersebut.

Kepada Badan Intelijen Negara A.M. Hendroprijono mengatakan setahu dia gerakan bawah tanah Indonesia tak pernah menggunakan dokumentasi. Sumber anonim Tempo mengatakan gerakan Islam garis keras Indonesia tak pernah menuliskan rencana operasinya, apalagi secara detail.

Penulisan dokumen itu sendiri unik. Ia ditulis di atas kertas biasa, mungkin ukuran kuarto, dengan pegon atau aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu. Pegon diakrabi oleh kalangan pesantren dan Melayu tua. Huruf pegon berkembang karena di Indonesia banyak kiai tua hanya bisa menulis dalam huruf Arab dan sama sekali buta aksara Latin.

Tempo minta Anik Khamin Tohari, seorang sarjana sastra Arab yang bekerja buat Jaringan Islam Liberal, untuk menterjemahkan dokumen itu. Anik menterjemahkannya jadi naskah dalam bahasa Indonesia sepanjang 1.200 kata. Naskah terjemahan itu pula yang diberikan Anik kepada saya buat perbandingan.

Menurut Anik, penulisan pegon di dokumen Solo itu melenceng dari standar umum di Indonesia, baik tata cara penulisan Arab maupun standar bunyi yang dihasilkan oleh susunan huruf-huruf tersebut. Hampir semua kata yang tertulis mengandung kesalahan bunyi dan tata bahasa. Artinya, kalau dokumen tersebut dibaca menurut standar Bahasa Indonesia, akan banyak sekali kata yang tak terbaca lantaran tidak ada huruf bantu yang berfungsi sebagai huruf vokal. Contoh kata “Amerika” yang dalam dalam standar Bahasa Indonesia seharusnya ditulis dengan huruf hamzah-mim-ya-ra-ya-kaf-alif, ternyata tertulis hamzah-mim-ra-kaf.

Bagaimana menerangkan kesalahan ini? Bisa jadi dokumen ini ditulis oleh orang yang kurang terdidik, yang kurang akrab dengan kultur Arab-Qurani. Kelompok ini hanya memakai huruf Arab sebagai media komunikasi tertulis. Kemungkinan lain, penulis dokumen ini belajar bahasa Arab ketika dewasa dan kurang akrab dengan dunia akademik Islam. Atau bisa saja si penulis tahu bahasa Arab tapi penulisan sengaja diplesetkan. Tujuannya, bisa saja buat mengaburkan isi dokumen, mengingat catatan itu, kalau memang benar keasliannya, hanya buat mengingat-ingat isi rapat.

Kalau begitu siapa yang membuat dokumen ini? Apa tujuannya? Apakah dibuat oleh intelijen Indonesia?

Tempo mengutip seorang sumber intelijen anonim yang mengatakan, dilihat dari bentuknya, dokumen tersebut tak dibuat oleh aparat intelijen Indonesia, baik Badan Intelijen Strategis maupun Badan Intelijen Negara.

Lantas siapa? “Amerika,” kata sumber anonim Tempo.

Ini sebuah tuduhan serius. Wartawan Purwani D. Prabandari ditugasi Tempo mewawancarai duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia Ralph L. Boyce soal tuduhan itu. Prabandari tak menanyakan secara langsung apakah dokumen itu buatan intelijen Amerika. Mungkin terkesan konyol. Prabandari hanya minta komentar Boyce terhadap ditemukannya dokumen Solo itu. Boyce tak bisa berkomentar banyak karena ia membaca berita itu juga dari The Straits Times. “Saya baru menerima kliping berita itu dan belum membacanya dengan tuntas karena baru saja pulang dari perjalanan ke Aceh dan Medan.”

Tapi Tempo masuk lebih detail dengan sebuah gambar. Dokumen itu menjelaskan bahwa setelah kedutaan Amerika Serikat di Jakarta berhasil diledakkan, mereka hendak meledakkan kedutaan Inggris, konsulat Israel, kedutaan Belanda, kedutaan Singapura, Standard Chartered Bank, kantor pusat Bank Central Asia, gedung-gedung bisnis sepanjang Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro, Pasar Kenari (Salemba), terminal bus Senen dan Atrium Senen, gedung Plaza 89 (Kuningan), Plaza Jatinegara, Mal Pondok Indah, Sekretariat Negara, dan stasiun kereta api Juanda.

Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Bagaimana mungkin ada gedung konsulat Israel? Apa gunanya mengebom terminal Senen maupun stasiun Gambir? Ada kontradiksi di sini karena dokumen itu menyebut perlunya meminimalkan korban di kalangan anak-anak, perempuan, dan orang tua. Bukankah Senen dan Gambir banyak orang-orang sipil? Jarang sekali ditemukan orang Amerika, katakanlah mereka yang diincar, berjalan-jalan di Senen dan Gambir?

Bersama laporan itu, Tempo juga menurunkan editorial yang menarik. Ia mengatakan bahwa sesudah serangan 11 September 2001 cukup banyak pemerintah yang ramai-ramai mendukung Amerika Serikat. Tujuannya, bukan sekadar memerangi apa yang disebut sebagai “terorisme internasional” tapi menggebuk lawan-lawan politik mereka di dalam negeri. Singapura dan Malaysia termasuk kategori ini. Mereka menangkap aktivis muslim radikal dengan memanfaatkan gelombang ini.

Editorial Tempo juga mengatakan Derwin Pereira mendapatkan dokumen itu dari “seorang jenderal Indonesia yang berdinas di instansi intelijen.” Seakan-akan ada kesan bahwa Pereira punya kontak bagus dengan kalangan intelijen Indonesia.

“Mengapa harian The Straits Times memberitakannya secara besar-besaran tanpa terlihat upaya keras mengecek kebenarannya. Padahal banyak wartawan kantor berita ataupun media lain telah menerima dokumen serupa tapi merasa perlu melakukan upaya check and recheck di lapangan atau dengan sumber-sumber lain sebelum mempublikasikannya. Wajar kalau kemudian ada pihak-pihak yang mengaitkan pemberitaan ini dengan kepentingan pemerintah Singapura.”

“Selain itu, sejak berdirinya pemerintahan Orde Baru, kalangan intelijen militer Indonesia memang diketahui punya hubungan baik dengan mitra kerja mereka di Singapura. Terutama dalam melakukan pemantauan dan operasi represif terhadap apa yang saat itu disebut elemen ekstrem kiri (komunis) ataupun ekstrem kanan (Islam anarkis).”


LAPORAN Tempo tampaknya bikin Derwin Pereira penasaran. Pada 23 Februari atau kira-kira empat hari sesudah Tempo, Pereira menulis sebuah opini berjudul “Indonesia should rethink conspiracy theory.” Intinya, Pereira mengatakan media maupun pejabat-pejabat penting Indonesia, cenderung menyalahkan orang luar, ketimbang memeriksa kelemahan diri sendiri, bila menghadapi masalah. Mereka suka percaya ada konspirasi untuk memojokkan Indonesia.

“Merasuk dalam masyarakat ini sebuah konsep tentang kambing hitam—seseorang atau sesuatu yang bisa disalahkan, biasanya dari luar diri mereka. Sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia menunjukkan orang Indonesia tak suka bila diberitahu harus berbuat begini atau begitu, terutama bila masukan itu datang dari ‘titik kecil merah’ bernama Singapura.”

Pereira mengatakan laporan Tempo tanpa dasar kuat. Dasarnya hanya sejarah bahwa Singapura dan Indonesia dulu pernah bekerja sama menekan gerakan ekstrem. Pereira juga menyinggung ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais, Wakil Presiden Hamzah Haz, Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, yang ramai-ramai mempertanyakan pernyataan Menteri Senior Lee Kuan Yew.

Di luar ribut antarmedia itu, pada minggu ketiga Februari, terjadi beberapa demonstrasi di depan kedutaan Singapura di Jakarta. Para demonstran geram dengan pernyataan Lee bahwa Indonesia “sarang teroris.” Organisasi muslim macam Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Mujahidin, dan Gerakan Pemuda Muslim, turun ke jalan, menggalang demonstrasi, mendesak Lee mencabut ucapannya dan minta maaf.

Ismail Yusdanto dari Hizbut Tahrir Indonesia, yang menurunkan lebih dari 500 demonstran, mengatakan tuduhan Lee bahwa Abu Bakar Basyir terlibat dalam terorisme internasional sama sekali tak beralasan. Anggota-anggota Gerakan Pemuda Muslim membakar boneka Lee Kuan Yew. Polisi dikerahkan buat menjaga kedutaan Singapura.

“Pemerintah Singapura harus minta maaf kepada rakyat Indonesia,” kata Ahmad Sumargono, anggota parlemen dari Partai Bulan Bintang. Ia menambahkan bahwa Islam tak mengajarkan umatnya terlibat dalam terorisme.

Balas-membalas antara Indonesia dan Singapura seakan-akan makin serius ketika Singapura menolak lebih dari 300 warga negara Indonesia masuk ke Singapura dari provinsi Riau, terutama dari Pulau Batam, yang hanya setengah jam naik feri dari Singapura.

Bahkan selama seminggu, The Straits Times dan majalah Tempo, maupun Koran Tempo, saudara kandung majalah Tempo, saling menurunkan berita maupun editorial yang gasak-menggasak. Majalah Tempo menantang Lee Kuan Yew membuktikan tuduhannya.

Baik Koran Tempo dan The Straits Times, saling memberitakan berita mereka. Misalnya Devi Asmarani, koresponden The Straits Times, menurunkan laporan, “Singapore perpetrating state terrorism on Indonesia, says paper.” Ini sebuah berita tentang berita Koran Tempo. Harian Singapura ini juga menganggap editorial Koran Tempo “disisipi sarkasme.”

The Straits Times juga menurunkan opini karya Sukardi Rinakit dari Center for Political Studies, sebuah think tank di Jakarta, berjudul “Two similar comments but Jakarta reacts differently.” Ia bertanya kenapa kalau Lee Kuan Yew bikin komentar, banyak orang Indonesia geram, padahal komentar serupa pernah dilontarkan Paul Wolfowitz, wakil menteri pertahanan Amerika Serikat, dan reaksi Indonesia relatif biasa-biasa saja?

Perang mulut beda dengan demonstrasi di jalanan. Singapura tampaknya tertegun melihat reaksi yang muncul dari Jakarta. Beberapa pejabat negara itu tak menyangka Indonesia naik pitam karena komentar Lee Kuan Yew. Laporan Derwin Pereira notabene kurang disebut-sebut oleh media Indonesia dan tenggelam oleh kontroversi Lee.

Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda bertemu dengan Menteri Luar Negeri Singapura S. Jayakumar. Mereka sepakat agar polisi Indonesia diizinkan menanyai 13 warga negara Singapura yang dituduh terlibat dalam Jemaah Islamiyah. Kecurigaan terhadap Abu Bakar Baasyir datangnya juga dari para tahanan ini.

Ketika kembali ke Jakarta, Hassan Wirajuda memberikan wawancara kepada harian The Jakarta Post. Ia menceritakan hasil pertemuannya dengan Jayakumar. Wirajuda mengatakan pembicaraan berlangsung baik walau ada perbedaan mendasar antara Jakarta dan Singapura. Indonesia adalah negara demokrasi, bukan tempat orang bisa main tangkap begitu saja. Singapura sebaliknya negara otoriter.

Indonesia hari ini memang berbeda dengan Indonesia periode Presiden Soeharto. Singapura masih punya hukum yang memberikan kemudahan bagi polisi untuk menahan seseorang tanpa batas waktu atas nama keamanan nasional. Peraturan ini ditakuti dan dinamakan Internal Security Act. Baik Malaysia maupun Singapura memakai Internal Security Act buat menahan aktivis muslim di sana.

Tiga polisi Indonesia yang pergi ke Singapura memang mewawancarai orang Singapura yang ditahan di sana. Inspektur Jenderal Engkesman Hillep, kepala rombongan, mengatakan mereka bertemu dengan para tahanan tapi belum ada bukti kuat Abu Bakar Baasyir terlibat dalam terorisme. Para tahanan mengenal Baasyir ketika ia tinggal di Malaysia, setelah lari dari kejaran rezim Soeharto, tapi kenal saja bukan bukti kejahatan.

James Gomez dari Think Center, sebuah think tank independen di Singapura, mengatakan pada saya, bahwa tuduhan kepada ke-13 warga Singapura itu sulit dipercaya atau tak dipercaya karena tak ada organisasi independen yang bisa melakukan verifikasi terhadap tuduhan polisi.

Abu Bakar Baasyir, orang yang dicari-cari polisi Singapura dan Malaysia, mungkin jengkel dengan tuduhan-tuduhan yang deras meluncur kepadanya, memutuskan menggugat Lee Kuan Yew ke pengadilan Indonesia karena pencemaran nama baik.

Ketegangan Singapura dan Indonesia ini relatif menurun setelah Presiden Megawati Sukarnoputri memanggil duta besar Singapura untuk Indonesia Edward Lee pada Jumat malam 1 Maret 2002 datang ke kediaman resmi Megawati. Tak ada keterangan dari pertemuan itu. Tapi laporan-laporan media agak mereda dan demonstrasi-demonstrasi juga tak segarang minggu-minggu sebelumnya.


BAGAIMANA menilai laporan Tempo dan The Straits Times? Siapa yang benar dan siapa yang salah? The Straits Times menganggap dokumen Solo itu asli. Tempo menganggap dokumen itu penuh kejanggalan dan menduganya buatan pihak ketiga, yang bakal diuntungkan bila Amerika Serikat, negara adikuasa yang sedang mengamuk itu, bisa menekan entah militer Indonesia, entah polisi, entah pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, untuk mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap orang-orang Islam radikal, setidaknya Abu Bakar Baasyir.

Ketika bertemu Derwin Pereira, saya tanya, bagaimana ia menilai kritik Tempo terhadap laporannya?

“I stand by my story (Saya tetap berpegang pada cerita saya),” kata Pereira.

Lalu bagaimana dengan alamat palsu? Mengapa 4 Desember tak terjadi apa-apa? Pereira menganggap alamat palsu itu wajar karena Jemaah Islamiyah harus bekerja hati-hati. Kalau 4 Desember 2001 tak terjadi pengeboman, Pereira juga tak bisa memastikan, terlalu banyak alasan yang bisa dipakai buat membatalkan rencana macam itu.

Pereira mengeluh karena beberapa media Indonesia mengutip editorial Tempo yang mengatakan dokumen itu datang dari seorang jenderal Indonesia. Spekulasinya di sini dari ketua Badan Intelijen Nasional A.M. Hendropriyono (Hendropriyono membantah informasi itu).

Tempo memang menulis dokumen itu didapat dari “seorang jenderal Indonesia yang berdinas di instansi intelijen.” Pereira mengatakan dokumen itu didapatkannya dari seorang “muslim Indonesia” yang radikal dan hardliner. Saya juga mengecek gosip bahwa Pereira mendapatkan dokumen itu dari seorang politikus Indonesia, namanya tak perlu disebut di sini, dan sekali lagi Pereira membantahnya.

Saya juga memeriksa editorial Tempo yang mengatakan dokumen itu sebelumnya sudah diterima “banyak wartawan kantor berita ataupun media lain.” Jerry Norton dari kantor berita Reuters mengatakan, “Tidak, kami tidak pernah mendapatkannya.” Norton mengatakan Reuters memberitakan kasus itu setelah membaca Straits Times. Bhimanto Suwastoyo dari AFP juga mengatakan tak pernah menerima dokumen itu.

Bambang Harymurti, pemimpin redaksi Tempo, mengatakan laporan Tempo benar. Harymurti justru meragukan apabila Pereira pergi ke Solo buat mengecek dokumen itu. Bahkan mewawancarai Abu Bakar Baasyir pun tak dilakukan Pereira. Harymurti mengatakan Straits Times “munafik” karena suratkabar ini tak berani bersikap kritis terhadap pemerintahannya sendiri.

Keterangan itu mengingatkan saya pada laporan harian The Australian Juni lalu. Di sana dilaporkan bahwa Straits Times punya sebuah kebiasaan jurnalistik yang agak ganjil. Ada beberapa wartawan Straits Times yang pernah bekerja sebagai intel untuk Internal Security Department, sebuah dinas rahasia peninggalan pemerintah kolonial Inggris, yang dulu dipakai menekan komunisme di Malaysia dan Singapura, dan kini masih ditakuti karena kekuasaannya.

Eric Ellis dari The Australian menulis bahwa Susan Sim, koresponden Straits Times di Jakarta, pendahulu Pereira, dulunya bekerja sebagai analis dinas rahasia. Kini Susam Sim jadi diplomat di Departemen Luar Negeri Singapura. Chua Lee Hoong, kolumnis Straits Times, dulu bekerja untuk dinas rahasia selama sembilan tahun. Irene Ho dari desk luar negeri juga pernah jadi agen rahasia. Dari 1986 hingga 1993, Tjong Yik Min mengepalai Internal Security Department. Tjong kini presiden Singapore Press Holdings, induk perusahaan The Straits Times. Tapi Cheong Yip Seng, pemimpin redaksi Straits Times, mengatakan negara mereka kecil sehingga gonta-ganti topi itu biasa terjadi.

Goenawan Mohamad, redaktur senior Tempo, mengatakan pada saya, bahwa laporan Tempo itu bisa jadi taruhan reputasinya di dunia internasional, “Saya tak mengatakan Tempo selalu akurat dan tidak bias, tapi berbeda dengan The Straits Times, mereka (Tempo) bisa kritis terhadap kalangan militer dan keamanan di Indonesia. Mereka tak punya minat untuk melayani posisi pemerintah (Indonesia), sementara The Straits Times tak terbayangkan bagi saya bisa kritis terhadap posisi Lee Kuan Yew atau pemerintah Singapura.”

Mungkin kecurigaan itu yang membuat orang skeptis terhadap laporan Pereira. Apakah Pereira juga pernah bekerja sebagai intel?

“Ini guyonan. Saya tak pernah kerja di sana,” kata Pereira, setengah berteriak.


BOCORAN adanya dokumen Solo itu sebenarnya pernah disinggung Derwin Pereira dalam sebuah artikel opini pada 20 Januari berjudul, “Is there an Al-Qaeda connection in Indonesia?” Pereira mengatakan Osama bin Laden dan Al Qaida sejak lima tahun terakhir mencoba menanamkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Pereira tak mengemukakan bukti-bukti yang baru untuk mendukung argumentasinya tapi di sana ia menyinggung ditemukannya dokumen Solo oleh intelijen Indonesia pada Oktober 2001.

Informasi ini tak pernah saya baca dalam media Indonesia. Tapi Pereira mengatakan pada saya sejak mendengar adanya dokumen tersebut ia mencoba mencarinya. Dalam opini itu, Pereira mengutip seorang sumber dari Jemaah Islamiyah, yang tak mau disebutkan namanya, hanya minta disebut sebagai “orang nomor tiga” Jemaah Islamiyah Indonesia, yang mengatakan sumber-sumber intelijen yang dihubungi Pereira “berbohong.”

Menurut sumber itu, dokumen dan rencana meledakkan kedutaan Amerika Serikat itu benar adanya, tapi dibatalkan karena adanya penangkapan-penangkapan aktivis Jemaah Islamiyah di Malaysia dan Singapura. Kebohongan intelijen Indonesia terletak pada keterangan mereka yang menghubungkan Jemaah Islamiyah dan Al Qaida. Menurut sumber Jemaah Islamiyah ini, mereka merasa solider dengan Al Qaida dan “saudara-saudara muslim” mereka di Afghanistan. Mereka sama-sama merasa dikorbankan oleh kebijakan pemerintah Amerika Serikat tapi Jemaah Islamiyah dan Al Qaida tidak satu komando.

Pereira akhirnya mendapat dokumen itu pada awal Februari. Ia cepat-cepat menuliskan laporannya. Laporan itu butuh waktu enam hari untuk penyuntingan sebelum diterbitkan pada 11 Februari. Enam hari lumayan lama buat penerbitan sebuah harian, walau saya berpendapat, menunggu beberapa hari lagi, buat pengecekan ulang dan pengecekan ulang, sebenarnya lebih menguntungkan ketimbang timbul kesan terburu-buru. Setidaknya kesan itu timbul dari majalah Tempo.

Pereira juga membantah keterangan Bambang Harymurti yang mengatakan Pereira tak mendapatkan wawancara dengan Abu Bakar Baasyir. Ia mewawancarai Baasyir pada Januari.

Sulit menentukan siapa yang benar dalam kasus itu karena kedua suratkabar tersebut belum tuntas menggali informasi mereka. Straits Times dan Tempo kurang menyediakan waktu, tenaga, dan reporter buat mencari informasi lebih dalam. Saya juga terganggu karena keduanya sangat menggantungkan diri pada sumber-sumber anonim. Lebih merisaukan lagi, keduanya menggantungkan diri pada sumber-sumber intelijen yang anonim.

Kelebihan Straits Times mungkin terletak pada kemampuan Pereira menembus sumber dari Jemaah Islamiyah. Tapi selebihnya, ya sumber-sumber intelijen. Dalam jurnalisme, sumber anonim kurang kredibel ketimbang sumber dengan nama jelas. Sumber intelijen yang anonim, lebih kurang kredibel lagi karena pihak intelijen, dari negara mana pun, sering punya kepentingan menyebarkan informasi maupun disinformasi. Kepada Tempo, sumber-sumber intelijen ini mengatakan dokumen itu buatan Amerika Serikat. Kepada Straits Times, mereka mengatakan ada hubungan antara Al Qaida dan Jemaah Islamiyah. Wartawan yang tak hati-hati adalah makanan empuk para intel.

Saya sendiri minta Ulil Abshar-Abdalla, seorang sarjana sastra Arab dari Jaringan Islam Liberal, yang sekaligus kolega Anik Khamin Tohari, untuk memberi second opinion terhadap dokumen Solo itu. Sama dengan Anik, yang menterjemahkan dokumen itu buat Tempo, Ulil mengatakan dokumen itu memakai aksara pegon, bahasanya Melayu tapi aksaranya Arab.

Ulil mengatakan bahasa Melayu, dalam sejarahnya, tak pernah punya aksara sendiri. Bahasa Melayu ratusan tahun lalu meminjam aksara Arab, dan wujudnya antara lain dalam bentuk pegon. Kini bahasa Melayu memakai aksara Latin dalam bentuk bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia. Pegon masih dipakai di kalangan pesantren walau pemakai aksara Latin juga makin banyak.

Berbeda dengan keterangan Tempo yang mengatakan bahasa itu dipakai di daerah Banten dan Jawa Barat, Ulil mengatakan pegon sebenarnya dipakai tak hanya di Indonesia, tapi juga Brunei, Malaysia, maupun daerah-daerah Islam lain di Indonesia macam Aceh, Jawa, dan Riau. “Saya kalau menulis kepada ayah saya dalam bahasa pegon,” kata Ulil, yang dibesarkan dalam tradisi pesantren oleh ayah yang kiai.

Ketika membaca dokumen itu, Ulil mengatakan bahasanya Melayu Malaysia. “Ini bukan cara orang Indonesia.” Ia memberi contoh penulisan “Amerika Serikat” di mana terdapat perbedaan ejaan yang lazim dipakai di kalangan pesantren Indonesia dan Malaysia. Contoh ini juga yang dipakai Anik. Frase “Amerika Serikat” itu beda penulisannya di Indonesia dan Malaysia.

Dokumen Solo itu ditulis oleh orang yang bukan amatiran dalam menulis aksara Arab. “Itu kelihatan biasa menulis (Arab) karena konsisten. Ini cara penulisan Malaysia,” kata Ulil. “Saya seyakin-yakinnya ini ditulis oleh orang Malaysia atau kalau orang Indonesia, ya yang pernah tinggal di Malaysia.”

Siapa orang Malaysia yang membuat dokumen ini? Jawabannya masih sulit didapat. Saya khawatir beberapa upaya verifikasi saya ini malah membuahkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Siapa orang muslim Indonesia, punya latar garis keras, yang kemungkinan besar bisa menulis bahasa Malaysia dalam aksara pegon? Apakah Abu Bakar Baasyir maupun Hambali, orang Indonesia yang pernah tinggal lama di Malaysia, masuk kategori ini? Tapi pada Baasyir tak ditemukan bukti kuat buat menuduhnya terlibat dalam terorisme. Baasyir bahkan menggugat Lee Kuan Yew. Sedang Hambali melarikan diri dan diduga bersembunyi entah di Indonesia atau Pakistan.

Mengapa nama-nama dalam dokumen Solo itu kebanyakan tak dikenal kecuali Fathur Rahman Al Ghozi? Mengapa semua nama disembunyikan dan hanya satu yang nyata? Kalau memang rapat itu pernah terjadi dan rencana itu hendak dilaksanakan, mengapa mereka menuliskannya dalam sebuah notula? Mengapa tak menghafalnya saja? Kalau benar itu notula, mengapa mencantumkan alamat fiktif? Bagaimana dengan tuduhan dokumen itu buatan Amerika? Apa bukti-buktinya? Atau mengapa intel Indonesia menuding Amerika? Bagaimana menilai retorika anti-Yahudi yang ditunjukkan dokumen itu?

Ini semua, sekali lagi, hanya membuat saya lebih percaya, bahwa menjadi wartawan bukan pekerjaan mudah, apalagi ketika diminta menerangkan suatu kejadian yang kompleks, yang melibatkan orang dalam jumlah banyak, di mana ada benturan ideologi, maupun wilayah geografis yang luas. Pekerjaan wartawan butuh disiplin baja, latihan bertahun-tahun, mengasah metode, dan kecerdasan prima. Derwin Pereira mungkin bekerja cukup keras tapi ia terlalu percaya pada sumber-sumber intel. Wartawan-wartawan Tempo mungkin punya waktu terlalu pendek buat melakukan verifikasi yang memadai. Bagaimana pun kejadian ini sebuah pengalaman yang bisa dipakai buat memacu diri lebih baik dalam menjalankan praktek-praktek jurnalisme. Dokumen Solo itu masih misterius. ***