Friday, March 24, 2023

"Andreas Harsono is not well known to the public but he is very well known among a small network of human rights activists, dissident scholars, Indonesian journalists, and foreign correspondents. He is often the fixer behind their stories – unacknowledged, unassuming, unselfish. Now he has shown just what a superb chronicler he is in his own right."

Clinton Fernandes of University of New South Wales University
on Andreas Harsono's book Race, Islam and Power


Andreas Harsono meliput dampak dari tsunami 2014 di Aceh. Ombak raksasa tersebut membunuh lebih 100,000 orang dan mengakhiri perang selama tiga dekade antara Gerakan Acheh Merdeka dan Indonesia lewat perjanjian damai Helsinki pada Agustus 2015. ©Hotli Simanjuntak

Media dan Jurnalisme

Majalah Pantau
Saya bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) serta majalah Pantau (Jakarta) soal media dan jurnalisme.

Saya ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, Institut Studi Arus Informasi (Jakarta), South East Press Alliance (Bangkok), Yayasan Pantau (Jakarta) dan Suara Papua (Jayapura). Pada 1999-2000, saya belajar jurnalisme di Universitas Harvard lewat Nieman Fellowship. Saya salah satu wartawan awal dari International Consortium of Investigative Journalists (Washington DC).  


Buku dan Laporan

Monash University Publishing 2019
Saya menerbitkan dua antologi –Jurnalisme Sastrawi (2005) bersama Budi Setiyono dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme (2011)—serta beberapa laporan termasuk Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners (2010), In Religion’s Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (2013) serta "I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia (2021). Pada 2019, buku Race, Islam and Power terbit.
 

Hak Asasi Manusia

Filep Karma
Sejak 2008, saya bekerja sebagai peneliti buat Human Rights Watch. Ia membuat saya banyak menulis soal diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia: minoritas dalam Islam termasuk Ahmadiyah dan Syiah; minoritas non-Islam termasuk Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Khong Hu Chu; minoritas agama kecil maupun agama baru macam Millah Abraham. Minoritas gender --termasuk perempuan serta LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, queer)-- juga sering saya bahas. Secara geografis saya juga banyak menulis minoritas etnik macam Aceh, Kalimantan, Jawa, Maluku, Timor serta Papua.

Perjalanan

Chiang Mai 2018
Saya pernah jalan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, lebih dari 80 lokasi, selama tiga tahun. Saya menulis tempat menarik. Saya juga sering menulis perjalanan di negeri jauh, dari Eropa sampai Amerika, praktis berbagai kota besar di Asia Tenggara. 

Cerita

Glodok, Jakarta 2019
Ini soal pengalaman hidup, dari kegembiraan sampai kesedihan, dari kawan sampai adik. Saya selalu tinggal di Pulau Jawa --Jember, Lawang, Malang, Salatiga, dan Jakarta-- namun pernah bermukim di Phnom Penh dan Cambridge. Kedua anak saya lahir di Jakarta. Isteri saya, Sapariah Saturi, kelahiran Pontianak, pindah ke Jakarta kerja. Saya sering mengunjungi New York. Mungkin kawan saya di luar Indonesia, paling banyak di New York. 

Thursday, March 23, 2023

Agama Kejawen, Presiden Soeharto dan Kebebasan Beragama

Andreas Harsono

JIKA panjenengan naik mobil menuju timur dari Cilacap, sebuah kota pantai selatan Pulau Jawa, sekitar 45 menit, ada kemungkinan besar panjenengan akan lihat petunjuk jalan ke Gunung Srandil. Mampirlah ke sana. Dalam bahasa Jawa, Srandil gabungan kata “sranane” (harus) dan “adil.” 

Srandil bukan sembarangan bukit. Ia wilayah keramat dengan pohon beringin raksasa, lengkap dengan belasan makam, dari Tunggul Sabdo Jati, Dampu Awang, Gusti Sultan Murahidin sampai sebuah vihara Budha dan masjid Islami. Ada juga patung Gajah Mada dari kerajaan Majapahit.

Saya mampir ke Gunung Srandil dalam suatu malam gelap gulita, Oktober 2021, bersama seorang jurukunci, yang membawa senter serta dupa, bernama Mbah Salio.

Dia bilang area tersebut milik Komando Militer Diponegoro Jawa Tengah di Semarang. Ada papan pengumuman menerangkan area tersebut milik Detasemen Seni dan Bangunan Kodam Diponegoro.

"Presiden Soeharto dulunya adalah panglima (Kodam Diponegoro)," katanya.

"Beliau sering datang ke sini untuk tirakat, tak hanya selama dinas [militer], tapi ketika beliau Presiden."

Kami berjalan mengelilingi Gunung Srandil, melihat ke dalam setiap makam, membakar dupa.

Mbah Salio lantas ajak saya naik mobil, ke tempat yang lebih ke pelosok. Melewati hutan gelap, sekitar 30 menit, kami tiba di Pertapaan Cemara Putih, Gunung Selok. Malam itu kami satu-satunya mobil di jalan desa tersebut.

Mbah Salio minta kunci kepada penjaga, yang tinggal depan petapaan, untuk buka pintu.

Di dalam ruangan, ada tiga kuburan dan satu lukisan besar Nyi Roro Kidul. Pakaiannya warna hijau. Mbah Salio menyalakan dupa lagi, mengucapkan doa dalam bahasa Jawa, di tengah-tengah makam yang sunyi. Ada lukisan Semar, Petruk, dan Gareng.

Dia mempersilakan saya untuk mengucapkan keinginan saya di depan makam-makam itu.

Saya jawab, "Kamardikan agama lan kapercayan ing Indonesia."

Dia kembali berdoa.

Kami lantas minum teh tubruk dan mereka merokok di rumah penjaga. "Presiden Soeharto dulu ada helipad di sana," kata Mbah Salio, menunjuk ke lapangan terbuka.

Saya tanya Mbah Salio bagaimana dia menjelaskan keagamaan Soeharto.

"Beliau Kejawen tapi beliau juga Muslim, sama seperti saya," katanya. “Saya anggota Nadhlatul Ulama. Ada kartu anggota resmi."

Remaja Soeharto di Wonogiri

Soeharto memang seorang Kejawen, kepercayaan Jawa, yang sering dianggap bauran dengan animisme, tradisi Hindu dan Budha, plus dunia perwayangan Jawa dengan tokoh Semar, Petruk, Gareng dan sebagainya. Meski Islam mulai menjadi agama dominan di tanah Jawa sejak 1500-an, jejak Kejawen bisa ditemukan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan banyak orang Jawa.

Pada 1935, ketika berusia 14 tahun, Soeharto pindah ke Wonogiri, sebuah kota kecil dekat Solo, dimana dia mengenal Romo Daryatmo, seorang kiai dan dukun, yang merupakan sejawat ayah angkatnya di dinas pengairan.

Di Wonogiri, Soeharto menikmati kehidupan desa –memandikan kerbau dan bercocok tanam—serta belajar tentang kehidupan spiritual.

Daryatmo seorang Muslim sejak lahir. Dia mengaji Quran tapi lebih mendalami agama melalui ritual Jawa daripada Islam konvensional. Di Wonogiri, Daryatmo dihormati. Dia dianggap sebagai orang yang menguasai kebatinan, mampu membangun hubungan yang harmonis dengan alam semesta, bahkan bisa menyembuhkan orang sakit lewat doa.

Soeharto juga menemukan sosok ayah dalam diri Daryatmo. Remaja Soeharto lantas menjadi murid Daryatmo, tinggal di rumah Daryatmo. Soeharto bertugas bikin kopi setiap pagi dan bantu menulis resep obat-obatan herbal. Masa tersebut merupakan momen yang memberikan wawasan bagi Soeharto mengenai filsafat Jawa dan juga membentuk cara pandangnya terhadap dunia.

Buku David Jenkins, Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945, menggali masa muda pemimpin Indonesia ini, mungkin penguasa terkuat dalam sejarah Jawa. Biografi ini secara rinci menceritakan kisah seorang remaja, yang tak hanya punya identitas sebagai Muslim, namun juga Kejawen yang taat, di suatu negara yang mengalami islamisasi selama tiga abad terakhir.

Dalam autobiografi tahun 1989, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan K.H, Soeharto menyebut Daryatmo sebagai “kiai.” Ketika Soeharto berkuasa, dari 1965 sampai 1998, Soeharto biasa menelepon Daryatmo satu kali seminggu dan rutin lakukan tirakat.

Buku David Jenkins ini penting karena mengulas kehidupan Soeharto sebagai penghayat Kejawen, maupun pandangannya terhadap Islam, dan pengalamannya ikut pendidikan polisi dan militer Jepang, dari 1942 hingga 1945, plus peranan Daryatmo dalam proses pengambilan keputusan Soeharto.

Mayor Jenderal Soeharto mulai berkuasa pada 1965 saat terjadi pembunuhan massal yang dilakukan oleh Angkatan Darat, kelompok paramiliter, dan milisi Muslim di Indonesia. Berbagai laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Jakarta mencatat pembunuhan terhadap puluhan ribu orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia, etnik Tionghoa, serta guru, buruh, aktivis, dan seniman. Soeharto mengambil alih kepemimpinan negara dari Presiden Soekarno serta memimpin Indonesia dengan dukungan militer. Soeharto menindas lawan-lawannya, merebut tanah dengan sumber daya melimpah, dan merampas hak-hak rakyat.

Pada September 1974, ketika Presiden Soeharto mempertimbangkan untuk menyerbu Timor Portugis, dia terbang dari Jakarta ke Dataran Tinggi Dieng, tempat lainnya untuk tirakat. Dia mengundang tamunya, Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, pergi ke Dieng, dimana Soeharto mendatangi gua Semar, buat tirakat. 

Soeharto memutuskan invasi Timor Portugis setelah bertemu Whitlam, serta Presiden Amerika Serikat Gerald Ford, yang ditemuinya di Jakarta. Invasi tersebut menjadi awal pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste, yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran pada rakyat Timor.

Islam Garis Keras

Buku David Jenkins juga mengungkapkan aspek penting dari pandangan Soeharto terhadap Islam garis keras. Pada pemilihan umum 1977, Presiden Soeharto bertemu beberapa tokoh Katolik, termasuk Ignatius Joseph Kasimo dan Frans Seda. Bahkan sebelum mereka duduk, Soeharto mengatakan kepada mereka, “Musuh kita bersama adalah Islam.”

Pada 1978, Soeharto mendirikan sebuah direktorat dalam Kementerian Pendidikan untuk mengurus berbagai aliran kepercayaan. Dia pidato depan Dewan Perwakilan Rakyat, “… kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kenyataannya memang merupakan bagian dari kebudayaan nasional kita. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan.

Ia kebijakan yang cerdas untuk mengatasi berbagai peraturan diskriminatif terhadap agama-agama minoritas, yang sudah diwarisi Soeharto ketika dia diangkat jadi presiden pada 1968.

Pada Januari 1946, Kementerian Agama didirikan di Indonesia, sebuah badan pemerintahan yang menolak untuk mengakui aliran kepercayaan. Pada 1952, Kementerian Agama membuat definisi agama secara sempit. Ia hanya mengakui agama monoteistik --termasuk Islam dan Kristen-- dan turut andil menyusun pasal penodaan agama, yang diteken Presiden Soekarno pada 1965. Pasal ini –blasphemy law dalam Bahasa Inggris—biasa dipakai sebagai alat politik, di seluruh dunia, buat sudutkan kalangan minoritas.

Soeharto tak mendesak Kementerian Agama untuk mengurus kepercayaan lokal seperti Kejawen, namun meletakkan mandat di bawah Kementerian Pendidikan, yang lantas berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada 1982, Soeharto mendukung Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, seorang Muslim asal Aceh, untuk mengeluarkan peraturan tentang seragam sekolah negeri yang melarang jilbab di berbagai sekolah negeri.

Pada 1988, ketegangan muncul antara Soeharto dan militer Indonesia setelah orang dekatnya, Menteri Pertahanan Jenderal Benny Moerdani, seorang Katolik, yang juga merangkap Panglima Tentara Nasional Indonesia, menasihati Soeharto untuk membedakan antara tugas resmi dan kepentingan bisnis konco-konco dan anak-anaknya, yang berdekatan dengan tindakan korupsi. Masukan Benny Moerdani membuat Soeharto marah, sekaligus sadar, bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, dia memerlukan dukungan dari kekuatan lain, yang bisa menandingi militer.

Pada 1991, Soeharto balik arah dalam pendekatan terhadap kalangan Islam. Ia naik haji ke Mekkah dan Madinah, lantas menunjukkan identitas sebagai pemeluk agama Islam. Soeharto mendukung Islam politik dan memberikan dukungan buat pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim di Indonesia, tempat para aktivis Islamis bisa menyalurkan aspirasi politik mereka. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan panduan baru tentang seragam sekolah. Menteri Fuad Hasan memberikan pilihan “pakaian khas” buat siswi di sekolah negeri. Ia membuat siswi Muslim bisa memilih pakai jilbab.

Ia awal dari melebarnya ruang bagi Islam politik di Indonesia. Soeharto membuka pintu buat gerakan politik “syariah Islam” yang sebelumnya tak disukainya. Ini mendorong organisasi Islam serta politisi Muslim di berbagai provinsi mayoritas Muslim, untuk menyusun peraturan-peraturan yang mencerminkan “syariah Islam.” Semuanya dilakukan Soeharto demi kekuasaan. Namun kekuasaannya tak bertahan lama.

Pada 1998, setelah lebih dari tiga dekade berkuasa, Soeharto terpaksa turun saat demonstrasi besar-besaran di Indonesia pada puncak krisis ekonomi Asia.

“Islam apa ini?”

Ketika istri Soeharto, Siti Hartinah, meninggal pada April 1996, keluarga Soeharto menyelenggarakan pemakaman dengan tata cara Kejawen. Jenazah ditempatkan dalam peti mati – tak dibungkus kain kaffan putih sesuai dengan ritual Islam.

B.J. Habibie, menteri yang dekat Soeharto, mengunjungi rumah Soeharto bersama istri dan dua putranya di daerah Menteng, Jakarta. Banyak orang hadir di sana. Beberapa orang dengar ketika Ilham Akbar Habibie, putra sulung Habibie yang berusia 32 tahun, mengatakan, sedikit lantang, “Islam apa ini?”

Upacara tersebut mengungkap bahwa Soeharto, secara spiritual, penghayat Kejawen, sejalan dengan ajaran Daryatmo. Namun sebagai penganut agama Islam, Soeharto menggunakan identitasnya untuk mempertahankan kekuasaan, yang kelak menjadi bumerang bagi dirinya – dan bagi Indonesia sesudah dia mundur pada 1998.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjadi presiden dari 2004 hingga 2014, sudah sering ditulis dalam berbagai buku, sebagai pemimpin yang paling banyak menyetujui tuntutan atas nama syariah Islam. Pemerintahan Yudhoyono memperkuat pasal penodaan agama, yang membuat 125 orang masuk penjara dalam satu dekade –peningkatan tajam dari awalnya hanya delapan kasus dalam tiga dekade selama pemerintahan Soeharto.

Hukum penodaan agama ini hanya mengakui enam agama di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di bawah pemerintahan Yudhoyono, pasal ini diperluas untuk mendiskriminasi minoritas Islam non-Sunni, seperti Ahmadiyah dan Syiah.

Hukum ini juga sering menjadi senjata politik untuk mobilisasi orang guna menyerang pemeluk agama lain. Contoh terkenal adalah gerakan politik untuk menjatuhkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, seorang Kristen, dalam pemilihan gubernur tahun 2017. Ada setidaknya 500.000 pengunjuk rasa menuntut agar Purnama dihukum karena “menodai Islam” dalam sebuah pidato. Purnama bukan saja kalah dalam pemilihan gubernur tapi masuk penjara selama dua tahun.

Pemerintahan Yudhoyono juga mengubah prinsip “kebebasan beragama” — bagian dari Undang-undang Dasar 1945 — menjadi “kerukunan beragama” lewat sebuah aturan pendirian rumah ibadah pada 2006. Dasar dari aturan “kerukunan beragama” adalah mayoritas punya hak veto terhadap minoritas.

Pada 2014, Menteri Pendidikan Muhammad Nuh dari kabinet Yudhoyono memperlebar lagi aturan seragam sekolah dengan menyertakan gambar siswi memakai rok panjang, baju lengan panjang, serta jilbab buat “siswi Muslimah.” Ia menjadi dasar dari keputusan puluhan ribu sekolah negeri buat terapkah aturan wajib jilbab.

Soeharto, sebagai penghayat Kejawen, yang kerap mengunjungi tempat-tempat keramat orang Jawa seperti Gunung Srandil dan Dataran Dieng, gagal menggunakan cara pandang, pengetahuan, dan kekuasaannya untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Indonesia jauh lebih buruk saat ini karena jalan yang diambil Soeharto untuk menggunakan Islam buat mempertahankan kekuasaan, dan pengikut agama-agama minoritas, seperti Kejawen, yang mendapatkan getahnya.

Mbah Salio mengangguk, berulang kali, ketika saya mengutarakan keinginan untuk terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Semono uga pandongaku,” bisiknya.

***


Andreas Harsono peneliti Human Rights Watch, menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.

Tuesday, February 21, 2023

Senam Pagi di Penjara Tangerang

Putu Oka Sukanta


Pagi ini di depan rumah,
Jalan kaki santai santai
Di Rawamangun setiap hari
Melatih langkah dan otot kaki

Meniti garis dalam bayangan
Mencegah oleng ke kiri ke kanan
Melatih napas mengolah gerakan

Bak dayung perahu menyimak gelombang

Tiba tiba entah langit cerah awan beriringan
Tiba tiba entah suara pintu pagar besi
Tiba tiba entah rasa haus,
Mengingatkan suatu pagi di Tangerang
(Penjara Tangerang, maksudku)
Tahanan senam pagi,
Inisiatip sendiri,
Melawan penyakit,melawan sunyi hati.

"Senam pagi,
Lari lari,
Agar kuat
Otot kaki"
Pluk,pluk,pluk,
Suara telapak kaki lari lari di tempat, sambil bernyanyi.

Maka pada suatu pagi
Komandan bui,
Berdiri di hadapan kami
Berteriak lantang penuh ancaman:
"Kamu melatih kaki
Untuk lari dari bui,
Kamu Setan pelatih senam,
Masukkan ke sel isolasi,
Untung saja tidak kutembak mati."

Pelatih senam kena tinju
Terhuyung-huyung
Diseret ke sel isolasi

"Jatah makan hanya sekali sehari."

Sejak pagi itu
Senam pagi jadi kegiatan suci,
Hanya dilakukan pemberani,
Sembunyi sembunyi,
Sendiri sendiri.

"Lari lari,
Senam pagi,
Agar kuat otot kaki"

Masih sayup sayup di telinga.


Rawamangun, 18.02.23

Thursday, February 16, 2023

President Soeharto sold out Javanese spiritualism for the support of Islamists, and how that affected religious freedom in Indonesia

By Andreas Harsono

If you drive from Cilacap, a port and trading city on the southern coast of Java Island, and head east for 45 minutes, you may spot a sign pointing to Gunung Srandil. The mountain’s name is a combination of the Javanese words “sranane” (must be) and “adil” (just).

Mount Srandil is no ordinary hill with a view of the Indian Ocean. It is also an ancient mystical complex that houses multiple shrines dedicated to Javanese saints and Hindu gods and goddesses, as well as a Buddhist temple and an Islamic mosque. 

I visited the compound on a very dark evening in October 2021, with a Javanese guru accompanying me with his flashlight as well as incense and flowers. 

His name is Mbah Salio, a caretaker at Mount Srandil. 

Mbah Salio told me that the compound is legally the property of the Central Java army command. A notice board says the area is under the supervision of the command’s detachment on arts and property

“President Soeharto used to be the commander,” he said. 

“He often came here to meditate, not only during his [military] service, but also during his presidency.”

We walked around the vast compound, peering into each shrine. 

Mbah Salio even urged me to drive to a more remote shrine. Through the dark forest, about 30 minutes from the compound, we reached the Pertapaan Cemara Putih (White Pine Hermitage) in Mount Selok. My car was the only vehicle on that village road. 

Mbah Salio asked a guard, who lives nearby, for a key to open the shrine. 

Inside the shrine were three cemeteries and a huge painting of the Queen of the South Coast – popularly known as the mystical goddess Nyi Roro Kidul. Mbah Salio lit incense again, saying a prayer in Javanese amid the dead quiet.

He asked me to make a wish. 

I said, “Religious freedom and belief in Indonesia.”

He returned to his prayer. 

We later drank tea and smoked cigarettes in the guard’s post. 

“President Soeharto, when he was still in power, used to have a helipad there,” Mbah Salio said, pointing to an open field. A Buddhist temple stands near the former helipad.  

Mbah Salio said he met Soeharto there when he was younger. 

I asked him how he would describe Soeharto’s beliefs. 

“He’s a Kejawen but he’s also a Muslim, like me,” he said. “I am a member of the Nadhlatul Ulama. I am a card-carrying member.” 

Young Soeharto’s Spiritualism

Soeharto was indeed a Kejawen; a practitioner of the Javanese folk religion that marries animism, Buddhist, and Hindu traditions. Though Islam has become the dominant religion on the island since it arrived in the 1500s, traces of Kejawen are still commonly found in the beliefs and practices of modern-day Javanese Muslims.

In 1935, when he was 14 years old, Soeharto moved to Wonogiri, an agricultural town in Central Java, and got to know Romo Daryatmo, a Javanese mystic and faith healer, through his new foster father. 

In Wonogiri, a young Soeharto not only enjoyed agricultural life – bathing water buffalos and working on rice fields – but also learned about Daryatmo’s spiritual life.  

Daryatmo was a nominal Muslim. He knew the Koran, but more in a Javanese sense than in a conventional Islamic one. As a Kejawen practitioner, he would recite Islamic phrases but did so mostly in Javanese. 

Many people in Wonogiri viewed Daryatmo as a man who had mastered arcane disciplines to establish a harmonious relationship with God and someone who was able to draw from his spiritual powers to cure the sick. 

Soeharto also found in Daryatmo a missing father figure. He soon became Daryatmo’s disciple, moving into the guru’s house, where he worked as a part-time assistant, preparing his morning coffee and assisting him in writing prescriptions for herbal medication. It was a formative period that gave Soeharto valuable insight into Javanese philosophy and shaped his world view.

David Jenkins’ new book, Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945, delves into the early life of Indonesia’s authoritarian ruler, who stayed in power for 33 years, also arguably the strongest. What emerges from the details is the story of the man who was not just a Muslim but also an ardent adherent to Kejawen in a country that has become increasingly Islamized over the last three centuries. 

In his 1989 autobiography, Soeharto: My Thoughts, Words, and Deeds, written by G. Dwipayana and Ramadhan K.H, Soeharto refers to Daryatmo as a kiai, an old Javanese word for a spiritual man. When Soeharto was in power, between 1965 and 1998, he called Daryatmo at least once a week and practiced Kejawen himself. 

Jenkins’ book is essential because it details Soeharto’s Kejawen upbringing and his Japanese military training during their occupation on Indonesia from 1942 to 1945.  

Major General Soeharto rose to power in 1965 during a period of mass killings by the military, paramilitary groups, and Muslim militias. US diplomatic cables from Jakarta documented tens of thousands of killings of suspected Communist Party members, ethnic Chinese, as well as trade unionists, teachers, activists, and artists. Soeharto ruled Indonesia with the military’s backing, repressing opponents, seizing naturally rich lands, and abusing people’s rights

In 1975, when President Soeharto was considering an invasion of Portuguese Timor, he flew from Jakarta to the Dieng Plateau, another mystical site for ancient Javanese rituals. 

He brought his guest, Australian Prime Minister Gough Whitlam, to a secret cave where Soeharto sought to receive spiritual wisdom. 

He decided to invade Portuguese Timor after receiving support from Whitlam, as well as US President Gerald Ford, who he met in Jakarta. The invasion had well-known, tragic human rights consequences for the Timorese people. 

Giving in to Islamists

David Jenkins’ book also reveals an important aspect of Soeharto’s view of Islamists. During the 1977 general election, President Soeharto held a meeting with several Catholic leaders, including Ignatius Joseph Kasimo and Frans Seda. Even before they were seated, Soeharto reportedly told the men, “Our common enemy is Islam.” 

Soeharto was clearly determined to curb the power of Indonesia’s Islamists. In 1978, he created a directorate within the Ministry of Education to service traditional religions, including Kejawen, telling the Indonesian parliament, “These beliefs are part of our national tradition, and need not to be opposed to [established] religions.” 

It was a clever move against the discriminatory regulations against religious minorities that were in place when Soeharto took power. Going back to January 1946, Indonesia had established the Ministry of Religious Affairs, a government body that facilitated discrimination against religious minorities and refused to recognize or serve the country’s traditional, local religions like Kejawen. The ministry produced a narrow definition of religions in 1952, favoring only monotheistic religions including Islam and Christianity, and drafted the 1965 blasphemy law, which has been repeatedly used with deleterious effects against followers of local religions. 

Soeharto did not push the Ministry of Religious Affairs to serve local religions like Kejawen, but instead put the mandate under the Ministry of Education, changing its name to the Ministry of Education and Culture

He supported his education minister, Daoed Joesoef, himself a devout Muslim, to issue a regulation on state school uniforms that banned the jilbab, the Indonesian name for the head, neck, and chest covering worn by women and girls to promote Islamic beliefs.

Significant tensions arose between Soeharto and the military in 1988 after a close aide, General Benny Moerdani, himself a Catholic, advised Soeharto to differentiate between his official duty and his children’s business interests, which were widely alleged to be connected to corruption. Soeharto recognized that maintaining his grip on power would require eliciting support from other, opposing groups, especially the Islamists. 

So in 1991, Soeharto reversed his approach toward them. He made a pilgrimage to Mecca, promoted his Islamic credentials, embraced political Islam, and extended his support for the Indonesian Association of Muslim Intellectuals, where many Islamists channel their political aspirations. The Ministry of Education and Culture issued new guidelines on school uniforms that allowed “special clothing,” which gave birth to policies allowing state schools to allow their female teachers and students to wear the jilbab. 

This was the beginning of the slippery slope towards greater introduction of the Islamization in Indonesia, all for the sake of Soeharto’s continued political power. But even that power was not to last. 

In 1998, after more than three decades in power, Soeharto was forced to step down in the face of massive public protests at the height of the Asian economic crisis. 

The reversal of Soeharto’s efforts to support religious freedom reopened the door to establishing Sharia, or Islamic law, which was previously frowned upon under his administration. This prompted Muslim politicians in predominantly Muslim provinces to draft ordinances that reflected “Islamic values.”

“What kind of Islam is this?”

When Soeharto’s wife, Siti Hartinah, died in April 1996, the Soehartos organized the funeral like a Kejawen family. Her body was placed inside a coffin – not wrapped in white muslin in accordance with Islamic rites. There was no imam reciting the Islamic confession of faith into the ear of the deceased. 

Then-Vice President B.J. Habibie visited the house with his wife and two sons. At one stage, Habibie’s 32-year-old elder son, Ilham Akbar Habibie, remarked, just a little too loudly, “What kind of Islam is this?” 

On things that mattered most, Soeharto revealed that spiritually he was really a Kejawen believer, in line with the teachings of Daryatmo, who had inspired him as a youth. But his use of his Islamic credentials to maintain power backfired on him – and on Indonesia. 

President Susilo Bambang Yudhoyono, who ruled between 2004 and 2014, accommodated the demands to promote Islamic Sharia. His administration strengthened the blasphemy law, leading to the prosecution and imprisonment of 125 people in a decade – a steep rise from only eight cases in the three decades during Soeharto’s rule.

The blasphemy law recognizes only six religions in Indonesia: Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. Under the Yudhoyono administration, the blasphemy law was also expanded to discriminate against smaller non-Sunni Islamic minorities, such as the Ahmadiyah and Shia sects. 

The blasphemy law became a political weapon to mobilize Muslims against adherents of other religions. The prime example was the move to unseat Jakarta Governor Basuki Purnama, a Christian, who lost the 2017 local election after 500,000 Muslim protesters mobilized to demand that he should be prosecuted for defaming Islam in a public speech. Purnama also lost his freedom, ending up in prison for two years on bogus charges.

So Soeharto, a true Kejawen believer, who often visited Javanese shrines like Mount Srandil and Dieng Plateau, failed to use his perspective, knowledge, and power to promote religious freedom and belief in Indonesia. Indonesia is far worse off today because of the path Soeharto took to employ Islam to bolster his political power, and followers of local religions like Kejawen face a grave reckoning.

Mbah Salio nodded, repeatedly, when I wished for religious freedom and belief in Indonesia. 

“That is also my prayer,” he whispered. 


Andreas Harsono is a researcher for Human Rights Watch.


Sunday, January 15, 2023

"Pengakuan" oleh Putu Oka Sukanta

Putu Oka Sukanta di Senayan, Jakarta, pada November 2022


Lelaki itu yang dihormati
Dikawal
Teman kerja yang disebut "pembantu"

Lelaki itu yang dihormati
Siap membaca huruf-huruf
di kertas yang dipegangnya
Tampak bergetar halus
Entah angin sumilir
Sayup-sayup
Entah getaran detak jantung
Padahal dia hadir tidak di Ruang Pengadilan,
Tapi di Balai Pertaruhan Martabat.

Lelaki itu menenangkan jiwa,
ketahuan dari getar suara.

Orang-orang selalu mengharap yang lebih,
Selain memaklumi yang sudah diraih.

Maka lelaki itu membaca
Surat yang disiapkan pasti oleh banyak "pembantu"
... dengan pikiran yang jernih, dan hati yang tulus ... mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di beberapa peristiwa ...

Aku meraba raba dada,
Jantungku belum kena agitasi.
... Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban ...

Aku mulai merenungkannya,
... memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa
 menegasikan penyelesaian yudisial ...

Tanganku tanpa kuperintahkan,
mengusap dada merangsang imunitas.

Terngiang bagai nyanyian tawon.
... pemulihan luka bangsa,
... tidak akan terulang lagi

Batukku mulai,
diluar kendali

Aku mencari kerlip bintang
Terbentur langit-langit
Layar terbentang menayangkan
Peristiwa-peristiwa melukai bangsa,
Jilatan api
Kilat kelewang
Kepala menggelinding
Lubang ditimbun
menghilangkan jejak.
Siapa itu yang mengapung,
Orang takut mengatakannya.

Lelaki yang membaca kertas itu
Huruf-hurufnya sudah berhenti ditulis
Tidak ada lagi yang dibaca.

Aku berbisik, entah didengarnya,
Entah tidak:
teruskan Bapak, 
"dimana pelaku itu disembunyikan?"

Putu Oka Sukanta
Jakarta, 15.01.23