Monday, August 14, 2023

Diskusi soal aturan wajib jilbab dengan Komnas Perempuan

Pernyataan dalam Focus Discussion Group dari Komnas Perempuan bersama beberapa kementerian, Badan Perencanaan Pembangunan, di Novotel Cikini, Jakarta

Imam Nakha'i dari Komnas Perempuan membuka acara di Novotel Cikini, Jakarta

Nama saya, Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch. Pada Maret 2021, kami meluncurkan laporan, “I Wanted to Run Away”: Abusive Dress Codes for Girl and Women in Indonesia. Penelitiannya, antara 2018 dan 2021 pada 15 provinsi, termasuk Bali, namun data masih bermunculan sampai sekarang. 

Temuannya, selama dua dekade terakhir, perempuan dan anak perempuan di Indonesia menghadapi tuntutan hukum dan tekanan sosial, yang belum pernah ada sebelumnya, untuk mengenakan pada yang disebut “busana Muslimah.”

Aturan wajib jilbab muncul pertama di Sumatera Barat (2001), Aceh (2002) sampai (Sulawesi Selatan 2022). Minimal tercatat 64 peraturan daerah dan nasional termasuk seragam Pramuka (2012) dan sekolah negeri (2014).

Kini wajib jilbab berlaku efektif di 24 provinsi. Ada 10 provinsi yang kurang efektif, termasuk Bali, serta provinsi mayoritas Kristen dan 50:50 Muslim-Kristen. Ada lima dari 10 provinsi tsb punya tindakan anti-jilbab.

Prinsipnya, perempuan berhak menentukan busana mereka, pakai atau tanpa jilbab.

Ada empat sektor pelanggaran jilbab:

• Sekolah negeri – siswi maupun guru perempuan.
• Pegawai negeri – kementerian plus perusahaan negara.
• Perempuan yang berkunjung ke gedung pemerintah termasuk sekolah.
• Tempat publik termasuk jalanan, gedung, pantai, misalnya Aceh.

Aturan jilbab dilengkapi berbagai sanksi. Dari himbauan, teguran lisan sampai peringatan tertulis. Ia memicu perundungan oleh sesama murid, guru, kolega atau atasan.

Kata kerja yang dipakai: dinasehati, diberi masukan, dipuji “cantik” bila pakai jilbab. 

Sanksi juga termasuk pengguntingan rambut, pengurangan poin nilai, dari pelajaran agama Islam sampai subjek non-agama a.l. biologi, matematika. 

Para pelaku banyak dari guru pelajaran agama Islam tapi juga guru-guru lain dan kepala sekolah. Korban ditekan buat keluar sekolah atau pekerjaan. Ada anak menangis dipaksa “hijab tutorial.” Sembunyi di toilet sekolah. Pindah sekolah. Di sekolah kedua pun alami perundungan. Ada anak pemain futsal dipaksa pakai jilbab walau tak mau. Kami juga menemukan siswi non-Muslim juga dipaksa berjilbab dgn kata “menyesuaikan” termasuk Kristen, Hindu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Buddha dst.

Semua aturan dan tindakan ini melanggar standard hak asasi manusia:

• Kebebasan beragama dan berekspresi
• Larangan terhadap diskriminasi
• Hak akan privasi dan otonomi pribadi (tubuh perempuan)
• Hak akan pendidikan
The best interest of the child
• Hak minoritas
• Hak ekonomi buat pekerjaan, penghidupan, rumah tinggal

Beberapa psikolog di kota besar bantu pasien perundungan jilbab yang menderita body dysmorphic disorder karena tekanan emosional. Menangis adalah gejala awal. Ada yang harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ada beberapa korban usaha bunuh diri.

Bersama kita, ada belasan penyintas wajib jilbab. Salah seorang adalah Elianu Hia dari Padang. Sejak videonya viral pada Januari 2021, pemerintahan Presiden Jokowi bikin Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang melarang pemaksaan jilbab. 

SKB 3 Menteri digugat di Mahkamah Agung serta dibatalkan pada Mei 2021 lewat gugatan satu organisasi Padang. Ada 800an individu berpengaruh teken petisi minta SKB 3 Menteri diganti dengan aturan serupa. Tahun 2022, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim bikin aturan baru namun ia belum efektif karena terhambat aturan lain. 

Pembatalan SKB 3 Menteri ikut buka gerbang keluhan sehingga muncul Forum Berbagi, sebuah komunitas online, buat saling bantu. Sudah banyak perempuan mengeluh, saling bantu, dari memberikan waktu buat berbagi sampai gotong-royong menanggung dampak wajib jilbab, dari pindah sekolah sampai pindah rumah. 

Kami minta agar berbagai lembaga pemerintahan dalam pertemuan ini, terutama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, bekerja sama mencabut puluhan aturan tersebut. Mereka juga perlu bekerja dengan instansi lain bantu pemulihan kesehatan korban. Terima kasih.

No comments: