Monday, June 15, 2009

Dari Tugu Naga Menuju Impeachment


Naskah oleh Zeng Wei Jian
Gambar oleh Danu Primanto


Sebagai pusat kegiatan dagang, persimpangan Jalan Niaga di Singkawang selalu bising. Jumat siang, 5 Desember 2008, juga tak terlalu beda … kecuali beberapa pemuda berdatangan sejak pukul 11, memenuhi ke empat sudut jalan. Menjelang tengah hari semakin banyak. Katanya, hari itu Front Pembela Islam (FPI) akan merobohkan Tugu Naga dengan alat berat.

Tampak seorang lelaki bertubuh padat, rambutnya cepak. Ada selendang merah tergerai di lehernya. Ia adalah Herman Buhing dari Dewan Adat Dayak (DAD) cabang Singkawang.

Merah adalah bahasa simbol. Ketika pembantaian etnik Madura pecah di Sambas, puak Melayu mengikat pita kuning di kepala. Ketika milisi Dayak membunuh orang Madura di Sanggau Ledo, warna merah adalah warnanya orang Dayak. Di Pontianak, rumah dinas gubernur diganti warna jadi merah maroon, setelah seorang politikus Dayak bernama Cornelis jadi Gubernur Kalimantan Barat lewat pemilihan umum Desember 2007. Selendang merah di leher Buhing artinya: Saya orang Dayak.

Ada ratusan pemuda Dayak dan Tionghoa di sekitar Buhing. Tiba-tiba Buhing berteriak, “Dengar semua, yang berpihak ke pemerintah: Jangan takut. Semua tenang. Apabila aparat tidak mampu, apabila aparat tidak bisa memegang kendali. DAD Siap!!” Para pemuda itu sontak bertepuk tangan. Kepalan diacungkan ke atas. Teriakan bergema. Mereka menunggu di empat sudut jalan.

Tugu Naga itu sendiri belum dicat. Masih semen. Tinggi sekitar empat meter. Bahkan kepala dan ekornya belum tampak. Lokasinya persis di tengah persimpangan Jalan Niaga dan Kepol Mahmud. Kemudian polisi datang, dengan pentung karet, tongkat rotan dan senjata laras panjang. Pasukan Huru Hara membawa tameng. Toko-toko mulai tutup. Denyut nadi perdagangan melambat. Jalan raya mulai sepi. Intel-intel bertebaran di lokasi masing-masing.

Usai sholat Jumat, beberapa pemuda Melayu mulai bergerak dari arah Mesjid Raya Singkawang, sekitar 500 meter dari Tugu Naga. Beberapa orang mengenakan pakaian Arab warna putih. Mereka adalah anggota FPI. Di belakangnya ada rombongan motor Front Pembela Melayu (FPM) dan Aliansi LSM Perintis Kota Singkawang. Lewat rekaman video, saya melihat, beberapa anggota FPI berdiri di atas mobil pick up tua warna biru. Di kaca depan, ada tulisan “Urang Kite.” Plakat dibentangkan, “Menolak Patung Naga Di Fasum.” Palu godam diacungkan. “Allahu Akbar, hancurkan kafir … hancurkan kafir,” mereka berteriak.

Lalu lintas sontak berhenti. Kerumunan massa merapat. Sebagian pengendara memarkirkan motor di sembarang tempat. Mereka tumpah ruah hendak melihat aksi FPI. Maka dua rombongan itu bertemu di perempatan jalan: DAD dan FPI.

Jalan Niaga dipenuhi sekitar 5,000 orang ketika FPI tiba. Herman Buhing mengatakan pada saya bahwa mereka adalah massa yang siap menghadapi ancaman FPI, FPM dan Aliansi LSM. “Tiga ribu di antaranya adalah pemuda Dayak,” kata Sukarno Nando, seorang Dayak Kanayatn, sekaligus ketua Persatuan Pemuda Dayak. Harian Pontianak Post memberitakan bahwa ribuan massa itu adalah “penonton.”

Ada sekitar 300-an polisi. Seratusan berseragam, sisanya berpakaian preman. Polisi membuat zona steril di antara massa FPI dan massa DAD. Wakil kepala polisi Singkawang, Komisaris Ridwansyah, memegang kendali keamanan di lapangan. Pasukan Huru Hara memaksa FPI berhenti di persimpangan Jalan Sejahtera, 50 meter dari tugu. FPI berhenti tepat di depan Hotel Kalbar.

Fahri, ketua Forum Pembela Melayu, naik ke mobil pick-up dan meraih microphone. Ia berteriak, “Kite tidak memusuhi urang Dayak, kite tidak memusuhi urang Cine. Yang penting patung naga runtuh!” Orasinya cepat dan tandas, tak sampai lima menit. Kemudian Ketua FPI Yudha R. Hand naik ke mobil. Dia berkata bahwa Tugu Naga telah memicu perpecahan masyarakat.

Belakangan Yudha Hand mengatakan pada saya aksi itu memang tak dimaksudkan untuk bentrok. “Hanya menyampaikan aspirasi. Kalau mau merusak Tugu Naga, kita bisa lakukan secara diam-diam” kata Yudha. “Kalau kami mau konflik, kami siap datangkan massa Melayu dari (Singkawang) Utara,” kata Fahri.

“Musuh tidak kami cari, ketemu kami tidak akan lari,” kata Fahri.

“Kita sudah siap. Jika ada satu Melayu terbunuh, akan kita makamkan. Tapi liat saja setelah itu,” kata Fahri.

Namun aksi 5 Desember itu jadi perhatian daerah-daerah luar Singkawang. Puak Melayu di daerah Sambas, Mempawah, Pemangkat dan Tebas bersiaga. Begitu juga dengan kelompok Dayak di daerah Bengkayang, Putussibau, Sanggau, Landak dan sekitarnya. Dua kawasan itu adalah masing-masing kawasan Melayu dan Dayak hardliner. Pada 1997, sekitar 600 orang Madura dibunuh oleh milisi Dayak di sekitar Bengkayang. Pada 1999, sekitar 3,500 orang Madura dibunuh milisi Melayu di sekitar Sambas. Jika terjadi bentrokan di Singkawang, tidak tertutup kemungkinan, sengketa ini bisa merebak ke daerah lain di Kalimantan Barat. Korbannya, bukan orang Melayu atau Dayak, tapi puak kecil macam Madura atau Tionghoa.

Menariknya, dalam suasana tegang, ada seorang mahasiswa pasca sarjana Universitas Gadjah Mada asal Pulau Lombok. Namanya Akhriyadi Sofian. Dia kebetulan sedang meneliti kehidupan etnik Tionghoa di Singkawang. Dia sudah empat bulan penelitian. “Kelihatan sekali mereka itu mabok. Melayu dan beberapa pemuda Dayak, semuanya mabok,” kata Sofian.

Menurutnya, ketika FPI hendak membubarkan diri, ada provokasi lain dari seorang lelaki tak dikenal. Lelaki itu berteriak, “Bubar-bubar, apa itu Melayu? Gak berani. Cuma ngomong doang.” Beberapa pemuda Melayu naik pitam. Mereka mencoba mengejar lelaki tersebut. Aparat mencegah. “Siapa bilang Melayu takut?” balas salah seorang pemuda Melayu.

Setelah dua jam, aparat mengarahkan massa FPI ke kantor walikota Singkawang di Jalan Firdaus. Mereka ditawari bicara dengan Walikota Hasan Karman. Tapi Walikota Hasan hanya mengirim seorang asisten walikota. Rombongan pindah ke Jalan Firdaus.

Ketegangan menyurut. Sekitar pukul 15.00, demonstrasi berakhir. Herman Buhing pun menarik mundur barisan DAD. Namun berita tentang Singkawang barulah dimulai. Di Jakarta dan Pontianak, orang mulai membaca informasi itu dari internet, kebanyakan, lewat berita Pontianak Post. Kekuatiran menjalar di kalangan warga Tionghoa di Jakarta.

Hasan Karman sendiri menghadiri pesta pernikahan keluarga pemilik PD Rajawali Kon Min Hon, ipar Beni Setiawan, penyandang dana pembangunan Tugu Naga, sore harinya. Resepsi pernikahan berlangsung di bekas gedung bioskop Studio 21. Walikota Hasan dibicarakan sedang bernyanyi-nyanyi ketika situasi genting.

Hasan Karman mengatakan pada saya, “Saya masuk kantor paginya. Siang saya ada di rumah dinas dan sore menghadiri undangan pernikahan salah satu pengusaha di aula Studio. Tidak ada acara nyanyi-nyanyi.” Hasan baru datang ke resepsi pernikahan sekitar pukul 16.30.


Dulunya perempatan Jalan Niaga dan Kepol Mahmud dihiasi tiang berlampu tiga. Tiang lampu antik ini rusak ketika orang menabraknya hingga miring. Tabrakan terjadi saat kampanye pemilihan umum. Pelakunya simpang siur. Maklum banyak orang. Kemiringannya meresahkan masyarakat. Sewaktu-waktu bisa roboh.

Kemudian, ada warga Singkawang ingin pemerintah memperbaiki tiang lampu. Sayangnya, anggaran pemerintah baru akan ketok palu Januari 2008. Dinas Pekerjaan Umum tak punya dana buat memperbaiki. Walikota Hasan Karman juga tak punya ide. Lalu muncullah Lie Chun Kiong, seorang pengusaha Karawang asal Singkawang, menawarkan bantuan dana kepada Walikota Hasan. Lie bersedia menggalang dana perbaikan tiang lampu. Hasan Karman minta tokoh masyarakat sekitar perempatan Jalan Niaga mengajukan rancangan disain.

Sebelum desain kampung rampung, Beni Setiawan alias Bong Nie Thiam, boss Hotel Prapatan, menyampaikan ide lain. Beni Setiawan merasa para pengusaha lokal tak perlu merepotkan pengusaha luar Singkawang. Dia sedia merogoh kocek untuk memperbaiki tiang lampu. Walikota Hasan setuju.

Dinas Tata Kota dan Pekerjaan Umum membuat desain. Hasilnya, ada tiga desain. Hasan Karman pilih desain tugu “berornamen naga.” Menurut Lo Abidin, kawan Hasan Karman, biayanya tak lebih dari Rp 30 juta, “Tugu itu cuma dibuat dari semen.”

Bulan November 2008, tiang lampu mulai dikerjakan. Kebetulan, menurut Yudha R. Hand dari FPI, organisasinya diresmikan pada 16 November 2008 di Hotel Khatulistiwa. Momentum hampir bersamaan dengan pembangunan apa yang disebutnya “tugu naga.” Yudha segera tanya-tanya ala warung kopi, sebuah kebiasaan di daerah Melayu, macam Singkawang. Yudha dan kawan-kawan juga bicara dengan organisasi Tionghoa seperti Tridharma, Majelis Tao Indonesia dan Majelis Adat dan Budaya Tionghoa. “Warga Tionghoa di sekitar tugu juga kita mintai pendapat,” kata Yudha.

Kesimpulan Yudha, “Naga adalah simbol sakral”. Ia tak boleh diletakkan di sembarang tempat. FPI merilis kesimpulan ini di suratkabar Pontianak dan Singkawang. Perdebatan Tugu Naga pun dimulai. Perang komentar bermunculan. Singkatanya, FPI mengeluarkan ultimatum: Tugu Naga harus roboh. Deadline 5 Desember 2008.

Walikota Hasan Karman tidak terima. Dia bilang naga bukan simbol sakral bagi orang Tionghoa. Akibatnya, Walikota dianggap tidak mengerti budaya Tionghoa. “Karena Hasan Karman adalah seorang Nasrani” kata Yudha.

Saya menemui Chai Ket Kiong, ketua Majelis Tao Indonesia cabang Singkawang. “Jika dibuka mata (khoi-kong), naga harus disembayangi. Pake garu,” katanya. Menurutnya, naga bisa ditempatkan di mana saja sebagai benda seni.

Saat demonstrasi, sebagian warga Singkawang, dan juga beberapa orang Jakarta, kaget dengan kemunculan organisasi bernama Front Pembela Melayu. Mereka bertanya-tanya, apakah selama ini Melayu, etnik ketiga terbesar di Indonesia –sesudah Jawa dan Sunda menurut sensus tahun 2000-- tertindas sehingga mesti ada Front Pembela Melayu?

Saya menanyakannya kepada Fahri di Kedai Bakmi Bun Kiem Lie. Dia duduk bersama dua rekannya. Fahri bilang FPM dibentuk sejak 2004. Alasannya, beberapa orang Melayu merasa sering dilecehkan oleh orang Dayak dan Tionghoa. Mereka tidak senang. Sekarang anggotanya sudah mencapai 700 orang.

FPM tegas mendukung FPI. Ada faktor kedekatan agama. Orang Melayu beragama Islam. Front Pembela Islam isinya juga mayoritas etnik Melayu. Fahri mengatakan FPM mempersoalkan lokasi tiang lampu berornamen naga itu. Bagi Fahri dan rekan-rekannya, Tugu Naga lebih tepat dibangun di dalam kelenteng dan lokasi pariwisata seperti Pasir Panjang dan Hangmui. Bukan di tengah persimpangan jalan raya. “Mengganggu lalu lintas. Bisa terjadi kecelakaan gara-gara tugu itu,” kata Yanto, sekretaris jenderal FPM, rekan Fahri.

Fahri dan Yanto suaranya meninggi ketika bicara soal etnik Tionghoa di Singkawang. Meja beberapa kali dipukul Yanto. “Walikotanya sudah Cine dan ini patungnya. Nanti mereka bilang Singkawang ini adalah negeri Cine! Negeri mereka!” kata Yanto.

Menurut M. Syafiuddin, ketua Bhakti Nusa organisasi yang ikut membentuk Aliansi LSM, naga adalah binatang simbol kaisar Tiongkok. Tugu Naga akan jadi stempel kekuasaan politik etnik Tionghoa. Syafiuddin melaporkan pembangunan tugu kepada polisi Singkawang karena tidak ada izin.

Secara historis, etnik Melayu memandang Singkawang wilayah Kesultanan Sambas. Dulu Singkawang adalah ibukota Kabupaten Sambas. Ia baru berdiri sendiri, menjadi kota setingkat kabupaten, sejak 17 Oktober 2001. Kabupaten Sambas pun memiliki ibukota baru: Sambas. Kota Sambas terletak di pinggir Sei Sambas. Keraton Alwadzikoebillah, kedudukan sultan-sultan Sambas, juga terletak di kota Sambas. Awang Ishak adalah walikota pertama Singkawang. Hasan Karman menggantikan Awang.

Di kedai kopi tiam Nikmat, saya bertemu Uray Sutamsi, seorang kerabat Kesultanan Sambas. Uray Sutamsi mengatakan, “Itu simbol etnis Cina. Jalan raya bukan milik sekelompok etnis. Tapi milik NKRI.”

Selama dua minggu berjalan di Singkawang, saya menemukan bahwa Tugu Naga bukan tugu satu-satunya di kota ini. Ada tugu lain di Singkawang. Lokasinya persis di tengah perempatan Jalan Ali Anyang-Yos Sudarso. Tugu ini sudah ada sejak Singkawang masih menjadi ibukota Kabupaten Sambas. Tingginya sekitar delapan meter. Berbentuk seperti payung menaungi tiga ekor kuda laut. Kuda laut adalah lambang Kesultanan Sambas. Maka tugu ini dianggap Tugu Melayu.

Saya ingin tahu pendapat beberapa orang Dayak tentang sentimen anti-Cina di kalangan Melayu tertentu. Saya bertanya kepada dua pemuka Dayak: Herman Buhing dan Simon Takdir, kepala suku Dayak Benua Garantukng.

Simon Takdir menolak simbol naga dikaitkan dengan politik etnik. Dia mengatakan, “Memangnya orang Cina pernah bilang, ‘Eh Tugu Naga ini adalah simbol kekuasaan politik gue?’ Kan, tidak pernah!” sambung Simon.

Herman Buhing berpendapat sentimen FPI dan FPM berlebihan. Dia bilang, “Kalau dari Gunung Sari, Gunung Poteng sampe Gunung Raya dibangun Tembok Raksasa seperti di Cina, saya malah senang.”

“Wajar jika nuansa Tionghoa dominan di Singkawang. Karena mayoritas penduduknya adalah Tionghoa,” kata Simon Takdir. Sejak menjadi kota tersendiri, terpisah dari Kabupaten Sambas, Singkawang praktis menjadi kota dengan mayoritas orang Tionghoa. Ia mungkin satu-satunya kota di Indonesia dimana sekitar separuh warganya orang Tionghoa, mayoritas etnik Hakka. Total penduduk Singkawang sekitar 210,000.

Hal senada diungkapkan seorang tetua orang Jawa bernama Mooridjan. Saya coba bertanya ke lebih banyak orang Dayak. Di warung kopi, depan hotel, sekitar kelenteng. Rata-rata mereka berpendapat bahwa orang Tionghoa adalah etnik paling banyak jumlahnya di kota Singkawang. Wajar bila ada simbol-simbol etnik Tionghoa di kota ini.

Tugu Naga sendiri akhirnya menjadi angle favorit Hasan Karman untuk mengembangkan industri pariwisata di Singkawang. Dari zaman Orde Baru, yang relatif dikenal anti-Cina, Singkawang memang hendak dijadikan kota tujuan pariwisata. Gubernur Kalimantan Barat zaman Orde Baru, Aspar Aswin, pernah mengatakan Singkawang adalah Paris van Borneo. Hasan Karman berhitung Tugu Naga bisa mempercantik sebuah kota pariwisata. Ia bisa membantu menarik turis overseas Chinese dari Asia Tenggara dan Hong Kong. Bukan hanya datang saat ada perayaan Cap Go Meh.

Kenny Kumala, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dulu aktivis anti Orde Baru di Berlin, serta keturunan papa Tionghoa dan mama Belanda, mengatakan Tugu Naga bisa disamakan dengan patung-patung singa di Singapura dan patung-patung kucing di Kuching, Sarawak. “Toh, sudah ada Tugu Melayu di persimpangan Jalan Ali Anyang dan Yos Sudarso. Justru simbol Dayak belum ada,” kata Kenny Kumala.


Ada sedikitnya 15 etnik dari sekitar 210.000 orang mendiami lima kecamatan Singkawang. Secara umum, Singkawang Timur dianggap basis Dayak. Di Utara ada mayoritas Melayu. Barat dan Selatan dominan Tionghoa. Pembagian basis-basis etnis ini seringkali dipakai sebagai peta kekuatan politik Singkawang.

Setelah demo FPI, kepala kepolisian Singkawang Parimin Warsito mengirim surat bernomor B/3284/XII/2008, mendesak agar pembangunan Tugu Naga ditunda. Ditujukan kepada Walikota, Kapolda Kalimantan Barat dan Muspida. Surat ini berhasil menekan Walikota Hasan untuk menunda pembangunan Tugu Naga. Suhu politik Singkawang mendingin. Di akhir Desember, Kapolres Parimin Warsito pindah tugas. AKBP Subnedih mengambil alih tongkat komando Polres Singkawang.

Suhu politik Singkawang kembali naik setelah Hasan Karman mengadakan rapat kordinasi dengan sekitar 30 orang pemain kunci dan tokoh masyarakat di Aula Gedung Bappeda tanggal 20 Januari 2009.

Rapat berlangsung kaku. Walikota mendominasi pembicaraan selama satu jam. Memaparkan kronologi Tugu Naga dan rencana pembangunan Tiga Gerbang Etnis. Kemudian ketua Forum Komunikasi Etnis Tionghoa (Foket) Budiman angkat bicara. “Kami mendukung FPI menghentikan pembangunan Tugu Naga,” katanya.

Setelah pertemuan, Budiman dipukul oleh seorang Dayak bernama Stefanus. “Hanya ditepis saja, bukan dipukul,” kata Buhing. Pernyataan Budiman memicu ketegangan antara Dayak dan Tionghoa. Malamnya, rapat digelar di rumah Herman Buhing. Beberapa tokoh Tionghoa hadir, termasuk Budiman. Pertemuan membahas pernyataan Budiman di Aula Bappeda. Buhing geram, Budiman mengaku keliru. Walikota dihubungi via telepon. “Tenang Pak Buhing, itu bahasa tinggi,” kata Hasan Karman.

Keesokan hari, pernyataan Budiman dilaporkan reporter M. Kusdharmadi dari Pontianak Post. Singkawang geger akibat pemberitaan Foket mendukung FPI. Siangnya, Budiman mengundang Zulkarnaen Fauzie, kepala biro Pontianak Post di Singkawang, serta Mujidi dari Borneo Tribune, di bengkelnya. Budiman mengatakan dia mendukung FPI kalau menempuh jalur hukum.

Besoknya, Pontianak Post memberitakan ralat tersebut. B. Salman pemimpin redaksi Pontianak Post minta semua berita tentang perdebatan Tugu Naga dihentikan. Pemblokiran ini bermaksud untuk meredam ketegangan, menurut Zulkarnaen. “Hasan menganggap saya provokatornya,” kata Zulkarnaen.

Kasus pemblokiran ini segera diketahui oleh kelompok penentang pembangunan Tugu Naga. Pemblokiran media diterjemahkan sebagai langkah otoriter Hasan untuk membungkam aspirasi masyarakat. Syafiuddin, salah seorang motor aksi 5 Desember, naik pitam. Target kemarahan beralih ke arah Pontianak Post. Harian ini dianggap berkolaborasi dengan penguasa untuk membungkam suara masyarakat. Gerakan memboikot Pontianak Post segera dilancarkan. Syafiuddin mengirim SMS berantai. Ia mengajak masyarakat untuk berhenti berlangganan Pontianak Post. Gerakan ini ia namakan “Gerakan Seratus Rupiah” karena menggunakan SMS seharga Rp 100.

Menurut Hasan, ia hanya memberikan input kepada jajaran Pontianak Post agar suplemen Metro Singkawang tidak terlalu vulgar memberitakan perdebatan. “Narasumber gak jelas, kalau dikenal pun karena reputasi negatif di Singkawang. LSM dan preman. Tokoh netral dan objektif tidak dikutip,” kata Hasan. Akibat pemberitaan Pontianak Post, kalangan perbankan, pengusaha dan masyarakat sering mengeluh. “Tulisan Zul membuat hati tidak nyaman. Cenderung mengadu-domba bahkan menghasut,” kata Hasan.

Dua kali Hasan menyampaikan keluhan. Pertama, sehabis talkshow ketika Gubernur Gorontalo Fadel Muhamad berkunjung ke Pontianak. Hasan bicara blak-blakan soal Zul kepada CEO Pontianak Post Untung Sukarti. Kedua, ketika Hasan bertandang ke Pontianak Post, Januari 2009. Pertemuan dihadiri Untung, B. Salman, Dewijanti Setiadi (marketing) dan tiga orang wartawan. Menurut Hasan, Pontianak Post menggunakan jurnalisme yang tidak bermutu.

Pada tanggal 24 Januari muncul masalah baru. Kalangan anti Tugu Naga dikagetkan oleh “sms berantai dari Walikota.” Bunyinya: Ini SMS Pa Wako. Rekan-rekan DAD tadi Pa Kapolres lapor bahwa setelah berkordinasi dengan Kapolda, maka Polres mendukung sepenuhnya pembangunan Tugu Naga. Dengan demikian jika FPI macam-macam maka mereka akan ditindak sebagai preman dan perusuh. Puji Tuhan. Tidak perlu berbenturan disampaikan Pa Kapolres.

SMS ini diterima Syafiuddin. Ia melanjutkannya kepada Kapolda Kalimantan Barat Brigjen R. Nata Kesuma. “Apakah benar Kapolres Singkawang telah berkordinasi?” tanya Syafiuddin. Nata Kesuma tidak menjawab. Menurut Syafiuddin, Kasat Serse Singkawang AKP Sarjono menghubungi dirinya via telepon setengah jam kemudian. “Tugu Naga jadi dilanjutkan. Kapan-kapan kita ketemulah,” tiru Syafiuddin dari ucapan Sarjono. Telepon itu menguatkan syak wasangka terhadap Hasan Karman.

Kepada pers, Hasan Karman menyatakan bahwa ia tidak pernah menulis SMS itu. Praduga tetap menjalar. Ada yang bilang bahwa SMS itu diedarkan kepada Dewan Adat Dayak tetapi bocor.


Jarak Pontianak dan Singkawang sekitar 170km. Orang Tionghoa di Pontianak kebanyakan orang Teochew, sebuah kelompok dialek asal Tiongkok Selatan. Sedang Singkawang mayoritas orang Hakka, sebuah kelompok etnik asal Guangdong, Fujian dan Jiangxi, yang sering disebut “Yahudinya Tiongkok” –orang Hakka yang cukup terkenal termasuk Deng Xiaoping, Lee Kuan Yew dan Thaksin Shinawatra.

Jika di Pontianak pernah ada SK 127 pada tahun 2008, yang melarang etnik Tionghoa bikin arak-arakan naga, maka Singkawang adalah gudang kesenian Tionghoa. Ketika Walikota Pontianak Buchary Abdurrachman melarang atraksi naga, Singkawang menjadi panggung pengganti.

Saya tiba di Singkawang pada 30 Januari, sekitar pukul 10:00 malam. Lampion merah menghiasi jalan protokol, rumah, hotel dan pertokoan. Singkawang sedang berusaha memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia dalam kategori kota berlampion terbanyak. Singkawang hendak mengalahkan Batam yang pernah menggelar 5.077 lampion. Malam itu, suasana imlek masih sangat terasa di Singkawang. Persiapan Cap Go Meh memperkuat nuansa Tionghoa.

Sebagai orang Tionghoa, kelahiran Betawi, saya merasa at home. “Pembauran” ala Orde Baru mengharamkan identitas Tionghoa, terutama, di Pulau Jawa. Singkawang terasa berada di luar zona “pembauran” aneh itu. Kuil-kuil agama Tionghoa berserakan di seantero Singkawang.

Pagi pertama di Singkawang, saya bersembayang di Tai Pa Kung Tridharma Bumi Raya. Kelenteng ini merupakan pusat kegiatan spiritual Singkawang. Orang-orang menyebutnya Kelenteng Pasar. Lekukan atap dan ukiran khas Tionghoa sangat halus, detail dan rapi. Sekalipun tak terlalu besar tetapi kelenteng ini sangat bersih. Dari Tai Pa Kung ke Tugu Naga hanya perlu waktu lima menit jalan kaki.

Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Nata Kesuma tampaknya menilai isu keamanan bukan masalah untuk melanjutkan pembangunan tugu. Maka tugu naga kembali dibangun. Walikota Hasan memberi target: Cap Go Meh selesai. Seorang seniman Melayu bernama Hasbi mengantongi surat rekomendasi Walikota untuk menyelesaikan pembangunan Tugu Naga. Ekor naga mulai dibentuk. Bilur-bilur semen masih kasar. Bagi Hasbi, ini adalah pekerjaan seni. Ia ragu tugu akan selesai sebelum Cap Go Meh 9 Februari 2009. Ia juga enggan bicara banyak.

FPI merespon pembangunan kembali Tugu Naga. Surat undangan rapat disebar. Tokoh-tokoh Melayu tertentu diundang. Rapat berhasil digelar 2 Februari 2009. FPM, Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) dan Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) mengirim utusan. Semua Melayu garis keras. Jawaban atas pembangunan kembali Tugu Naga berhasil disepakati yaitu demonstrasi besar. “Insya Allah, DPRD akan kita duduki,” kata Yudha Hand.

Peserta rapat sepakat membentuk Aliansi Masyarakat Peduli Kota Singkawang (AMPS). Tujuan taktis saja. M. Syaifuddin jadi salah seorang kordinator AMPS. Aliansi ini berharap bisa menghimpun organisasi lintas etnik di Singkawang, termasuk organisasi Tionghoa dan Dayak.

SMS berantai beredar. Isinya, FPI akan mengerahkan 3.000 orang menduduki DPRD Singkawang pada 5 Februari. Namun aksi ditunda tanggal Jumat 6 Februari pukul 9:00 pagi.

Pada momen yang ditentukan, massa Melayu memadati Gedung Juang di Jalan Ali Anyang. Rencananya, di area Gedung Juang ini akan dibangun Rumah Melayu, persis bangunan serupa di Pontianak, yang didirikan sesudah pembersihan etnik Madura di daerah Sambas. Menurut Ketua PFKPM Elmin MH, Rumah Melayu nantinya akan difungsikan menjadi sekretariat PFKPM selain sebagai pusat pendidikan generasi muda dan seni budaya. Pembangunan Rumah Melayu ini tersendat kendala persoalan penyerahan aset dari Sambas ke Singkawang.

Jumlah masa meningkat dari demonstrasi 5 Desember. Kebanyakan demonstran dari Singkawang Utara. Jumlahnya di atas 700 orang. Ada bendera merah putih, pita kuning, plakat dan spanduk. Ada plakat bertuliskan, “Beni Setiawan Anjing.” Sepanjang jalan, massa Melayu meneriakan yel-yel dan makian. Sasarannya adalah Beni Setiawan dan Hasan Karman. Polisi bersiaga dengan ketat. Satu per satu peserta demo diperiksa sebelum memasuki gedung DPRD. Tidak ada senjata tajam.

Kapolres Subnedih memimpin langsung 500 polisi. Hari Jumat itu, satu kompi Brimob dari Pontianak diturunkan bersama seluruh kesatuan Polres Singkawang seperti Reskrim, Intelijen, Sat Lantas dan Dalmas. Pengamanan dibantu Kodim 1202 dan Brigif 19 Singkawang.

Setelah 15 menit orasi, beberapa orang demonstran diterima Ketua DPRD Nur Zaini. "Kita datang kesini satu kata, untuk menurunkan Hasan Karman,” kata Syafiuddin. Tema demonstrasi telah menukik ke jantung persoalan yaitu Hasan Karman. Apabila aksi 5 Desember mengambil tema “Robohkan Tugu Naga,” maka demonstrasi 6 Februari bertema: “Turunkan Hasan Karman.”


Pada 17 Desember 2007, seorang mantan manajer kelompok Barito Pacific bernama Bong Sau Fan alias Hasan Karman dilantik sebagai Walikota Singkawang. Hasan baru masuk politik sesudah turunnya Presiden Soeharto. Hasan masuk Partai Indonesia Baru tahun 2004 pimpinan ekonom Syahrir. Lahir di Singkawang, Hasan sekolah di SMAK Kolese St. Yusuf Malang dan kuliah hukum di Universitas Indonesia. Dia pernah menjabat wakil ketua Perkumpulan Masyarakat Singkawang dan Sekitarnya (Permasis). Hasan juga dikenal sebagai bos restoran Bong.

Hasan menggantikan walikota Awang Ishak, yang pamornya jatuh akibat skandal sex di Hotel Mercure, Jakarta tahun 2005. Ada video Awang beredar di internet bersetubuh dengan simpanannya, Anita Chung, seorang perempuan etnik Tionghoa. Awang sempat bikin boikot langganan harian Equator di semua kantor pemerintahan Singkawang karena gencar diberitakan skandalnya. Awang bahkan sempat dijuluki “walikota edan.” Begitu Hasan dinyatakan menang pemilihan walikota, desas-desus rasial merebak. Ada sekelompok orang Melayu tak terima kemenangan Hasan, seorang Tionghoa, jadi walikota Singkawang.

Yusriadi, dosen STAIN Pontianak serta redaktur harian Borneo Tribune, meramalkan sengketa rasial bisa pecah di Singkawang. Sebagai antisipasi gejolak sosial, aparat keamanan memperketat penjagaan sewaktu acara pelantikan Walikota Hasan Karman. Helikopter meraung mengitari kota. Panser-panser disiagakan, detektor logam dipasang di pintu masuk. Tentara berjaga-jaga di seantero Singkawang.

Setelah dilantik, Hasan dan Wakil Walikota Edy Yacoub dari MABM tak serta-merta bisa menempati rumah dinas walikota dan wakil. Awang Ishak enggan mengosongkan rumah dinas. Hasan terpaksa menumpang kamar di Hotel Restu selama sebulan. Edy Yacoub terpaksa menggunakan mess daerah di Jalan Merdeka. Selain rumah, Awang menahan mobil dinas walikota Toyota Harrier. Hasan tidak mampu menarik mobil dinas itu. Sampai sekarang mobil dinas itu masih nongkrong di garasi Awang.

Pada 24-31 Mei 2008, Singkawang menjadi tuan rumah MTQ XII se-Kalimantan Barat. Acara berlangsung di Stadion Kridasana. Permasis turun tangan. Rencana bantuan untuk Perayaan Peh Cun di Sambas terpaksa dibatalkan demi membantu pembiayaan MTQ.

Sebagai walikota, Hasan otomatis menjadi ketua umum panitia pelaksana MTQ. Sekalipun bukan muslim. Ada pawai tarub dan 1.000 penari tahar. Pembukaan dan penutupan MTQ akan diguyur kembang api. Di sini persoalannya. Beberapa Melayu tidak senang dengan pagelaran kembang api. Alasannya, itu budaya Tionghoa. Hasan dianggap hendak "mencinakan" MTQ. Pontianak Post memperkeruh suasana dengan tayangan-tayangan pro-kontra masalah kembang api.

Saya agak kaget ketika membaca masalah ini. Kembang api diidentikkan dengan budaya Tionghoa? Cikal bakal kembang api memang berasal dari penemuan bubuk mesiu pada abad IX di Tiongkok. Tapi kembang api sekarang sudah dipakai di berbagai penjuru kebudayaan, termasuk kota-kota besar kebudayaan Islam. Di Jakarta, kembang-api juga dimainkan di malam takbiran.

Ketua Pelaksana MTQ HM Nadjib membantah opini kontra kembang api. Menurutnya, kembang api sudah menjadi tradisi pembukaan MTQ tingkat provinsi dan kota. Pagelaran kembang api tetap dilaksanakan sesuai rencana. Suplai kembang api disediakan oleh Permasis. Kedekatan Hasan dan Permasis mulai dipermasalahkan.

Pada 5 Juni 2008, Hasan Karman sebagai Walikota Singkawang menerima penghargaan Adipura dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dua hari kemudian, piala Adipura diarak dari Pasir Panjang sampai kantor walikota di Jl. Firdaus. Tanjidor dimainkan sepanjang jalan. Hasan dan Edy duduk di atas mobil terbuka, melambaikan tangan. Setelah hari itu, Singkawang dibanjiri oleh spanduk dan baliho Hasan sedang menerima piala Adipura. Hasan diberi gelar "Walikota Spanduk."

Pada Agustus 2008, muncul pemberitaan soal pembelian mobil dinas Toyota Fortuner oleh Hasan. Lawan-lawan Hasan bereaksi. Hasan dituding tidak memiliki sense of crisis dan pembohong. Pasalnya, Hasan pernah menyatakan takkan menggunakan anggaran daerah untuk mobil dinas. Pernyataan ini diingat oleh beberapa kelompok anti Hasan.

Tahun anggaran 2009, Hasan kembali mengajukan pos anggaran mobil sedan. Nominalnya Rp 450 juta untuk walikota dan Rp 300 juta untuk wakil walikota. Fraksi PKS menyampaikan nota keberatan tetapi DPRD tetap menyetujui pos anggaran ini. Secara hukum, tidak ada yang dianggap salah dengan membeli mobil untuk walikota dan wakilnya. Kelompok anti-Hasan makin meradang.

September 2008, pers memunculkan perdebatan baru. Hasan dianggap melecehkan DPRD dengan kata “tidak selevel” ketika Hasan menerima pengurus organisasi guru-guru. Ketua DPRD Zaini Nur menekan Hasan minta maaf. Akibat kata “tidak selevel” ini, dua orang wakil rakyat, Ridha Wahyuni dan Liu Min Jam walk out dari ruang sidang 15 September. Belakangan, Hasan membantah Liu Min Jam melakukan walk-out. Menurut Hasan, Liu --yang juga anggota PIB-- terpaksa meninggalkan ruang sidang DPRD karena harus menjemput anaknya.

Lewat Pontianak Post, Hasan menyatakan bahwa ia hanya berkata, "… semoga pemilu 2009 menghasilkan dewan yang lebih baik dan selevel dengan eksekutif untuk bersama-sama membangun Singkawang. Kalau berdiskusi dan berdebat dengan teman bicara yang ndak selevel ndak seru."

Oktober 2008, Pontianak Post memberitakan pertemuan transmigran Pangmilang dengan Walikota Hasan Karman. Para transmigran mengadu soal lahan mereka. Pertemuan digelar di gedung DPRD Singkawang dan dipimpin Zaini Nur.

Para transmigran datang sekitar pukul 10.00. Hasan datang pukul 12.00 siang. Pukul 14.00, Zaini Nur mengakhiri pertemuan. Warga transmigran belum rela. Mereka ingin mengeluarkan uneg-uneg di depan walikota.

Hasan meraih microphone, "Karena dialog ini sudah ditutup, maka saya harus meninggalkan tempat. Lanjutkan saja, bila masih ada masalah. Saya pun banyak urusan. Kami bukan hanya mengurus masalah ini saja.”

Seorang transmigran berteriak, “Huuuuuuuuuuuu.....!!!”

Hasan menjawab "Saya ini walikota, tolong hargai saya.”

November 2008, muncul perdebatan Surat Keputusan Walikota No. 138 tentang pembentukan tim pendataan penduduk keturunan warga negara asing di Singkawang. Surat keputusan ini menetapkan dua lembaga non-pemerintah, Permasis dan Institut Kewarganegaraan Indonesia, sebagai pengarah pendataan.

IKI adalah lembaga bentukan pengusaha Moerdaya Poo, seorang pengusaha Tionghoa, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan boleh dibilang, salah satu orang terkaya di Jakarta. Poo mendirikan IKI guna melakukan sosialisasi UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan dimana Poo, selaku legislator, ikut membuatnya. Tujuan IKI adalah membantu orang-orang Tionghoa yang stateless, walau sudah tinggal bergenerasi-generasi di Singkawang, untuk memiliki surat-surat kependudukan macam akte kelahiran dan KTP.

Namun SK 138 bikin reaksi. Mulai rukun tetangga (RT) sampai camat menolak surat SK 138. Mereka tidak mau tunduk di bawah arahan lembaga non-pemerintah seperti Permasis dan IKI. Birokrasi kota memiliki struktur hirarki resmi. Ada tata-tertib baku dan struktur komando. Bagi aparatus daerah Singkawang, Permasis dan IKI tak memiliki otoritas formal untuk mengarahkan mereka.

Permasis dan IKI dianggap mengintervensi kehidupan birokrasi Singkawang. Hasan dipandang tak memahami manajemen birokrasi. Singkat kata, Permasis, IKI dan Hasan gagal dalam pendataan. Pamor Permasis jatuh. "Hasan Karman adalah boneka Permasis," kata Sasmita dari KNPI Singkawang, geram.

DPRD bereaksi dengan memanggil walikota. Hasan Karman berlindung di balik alasan instruksi Menteri Dalam Negeri dan UU No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Instruksi tersebut memberi peluang kepada upaya pemutihan orang-orang stateless.

Kelompok anti-Hasan tidak peduli. Mereka menuding SK 138 ini hanya permainan kelompok Hasan untuk mempromosikan politisi PIB. Akhirnya, SK 138 ini menjadi bahan olok-olok masyarakat. Situs Cinta Singkawang menulis, "SK 138 ditinjau dari numerology orang Tionghoa Singkawang, isi seperti namanya. Jit" --artinya satu-- "sering kita artikan paling, 38 menurut slang Singkawang sam pat," --artinya bodoh-- "Jadi, 138 (jit sam pat) artinya paling bodoh.”

Pendek kata, penampilan Hasan Karman sering jadi buah bibir seantero Singkawang.

Medio Januari-Februari 2009, terjadi lagi perdebatan seputar penyelenggaraan Cap Go Meh. Hasan menempatkan sekretaris daerah Suhadi Abdulani sebagai ketua panitia. Organisasi Tionghoa, Melayu dan FPI bereaksi. Mereka tidak setuju dengan penempatan seorang Muslim dalam kepanitiaan Cap Go Meh.

Muslim diharamkan ikut kegiatan Cap Go Meh, memanggul tatung dan menonton atraksi tatung. Atraksi tatung “… sadisme, sangat merusak mental anak-anak, tidak pantas untuk ditonton," oleh Arnadi Arkan, ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah.

Di Singkawang, perayaan Cap Go Meh kerap dimeriahkan oleh atraksi tatung. Tahun 2009 ada sekitar 500 tatung berlaga. Saking banyaknya tatung, Cap Go Meh dengan keliru dianggap, “pesta besarnya para tatung”.

Tradisi tatung berasal dari seorang shaman bernama Fei Fan yang hidup di zaman Dinasti Shang (1766-1122 SM). Konon kakinya pincang, maka disebut Tiao Tang atau Tiao Tung. Serapan kata ini menjadi Tatung. Para tatung harus membuktikan para dewa telah memasuki tubuhnya dengan ciri “tubuh intan” hingga kebal bacok dan “tubuh emas” yang tahan api. Parade tatung adalah simbol perang antara kekuatan baik versus jahat sebagai tolak bala. Jadi, tiap tahun Singkawang dibersihkan secara spiritual oleh para tatung ini.

Selain memberi bantuan dana, panitia pelaksana diisi oleh orang-orang Permasis. Beberapa di antaranya calon legislatif. Panitia Cap Go Meh pemerintah Singkawang menginginkan satu altar. Tridharma dan Majelis Tao Indonesia bersikeras ingin mendirikan altar sendiri. Jadi ada tiga pihak dengan tiga altar. Mereka berpendapat mereka adalah tiga agama atau ajaran yang berbeda. Chai Ket Kiong dari MTI menyewa dua orang pengacara, Ike Florensi Soraya dan B. Agustriadi, untuk mengajukan gugatan hukum masalah pendirian altar. Hasan Karman dianggap otoriter, memaksakan kehendak pendirian altar.

Beberapa orang mempermasalahkan SK Walikota No. 178 tahun 2008 tentang Cap Go Meh. Ada satu klausul yang berbunyi: “Ritual keagamaan hanya boleh dilaksanakan di dalam lingkungan kelenteng atau tempat yang ditentukan oleh panitia.”

Klausul ini mirip sekali dengan bunyi Inpres No.14/1967 yang pada intinya melarang agama, adat istiadat dan budaya Tionghoa dirayakan di tempat terbuka.

Sekali lagi, pengaruh Permasis dianggap terlalu dominan dalam pemerintahan Singkawang. Para pejuang perayaan Cap Go Meh, sebelum Hasan menjadi walikota, tersingkir dengan masuknya Permasis. Kolaborasi Hasan dan Permasis makin dianggap berlebihan oleh sebagian masyarakat Singkawang.

Di Singkawang, beberapa Melayu menganggap pengusaha Tionghoa sombong. Kelompok Hasan sering jadi bahan olok-olok. Contohnya, sepotong berita kecil di Metro Singkawang tentang dana Rp 2 miliar untuk perayaan Cap Go Meh, Rp 140 juta berasal dari kas daerah. Selebihnya sokongan dana dari donator. Ada beberapa orang Melayu memandang itu sebagai bentuk lain arogansi orang Tionghoa. Mereka dianggap tukang foya-foya. Mereka tak suka. Perayaan Cap Go Meh dan rekor lampion dianggap berhura-hura. Asmadi, seorang warga Singkawang Utara, bilang, “Kok Idul Fitri tidak dirayakan sedemikian meriah. Ini kan pembedaan perlakuan.”


Wahid, seorang wartawan Harian Mediator merangkap aktivis Aliansi Masyarakat Peduli Singkawang, mengatakan pada saya, “Hasan harus turun.” Bagi Wahid dan teman-temannya, Hasan Karman adalah sumber ketegangan Singkawang. Para penentang Hasan mendapat angin ketika Hasan belum terbukti berprestasi. MTQ dan Adipura tidak diakui sebagai prestasinya. Hasan malah dianggap cari sensasi. Slogan “Singkawang-Spektakuler” dicibir. Hasan dianggap kecanduan rekor Museum Rekor Indonesia.

Setelah Hasan menjadi walikota, ada lampu berbentuk huruf “S-I-N-G-K-A-W-A-N-G” di atas Gunung Sari, mirip simbol Hollywood, dekat Los Angeles. Bagi para penentang Hasan, lampu ini dianggap pemborosan. Ada juga perubahan lain. Sebelumnya Singkawang tak pernah memiliki lampu lalu lintas. Hasan membangun lima traffic light. “Tapi justru malah jadi penyebab kecelakaan lalulintas,” kata Kenny Kumala.

Menurut Hasan Karman, kontroversi selama setahun pemerintahan Hasan merupakan indikasi ada sekelompok orang yang tak suka kepadanya. Orang-orang yang pernah diuntungkan pada masa Awang Ishak mungkin tak rela proyeknya diputus pemerintahan Hasan. Tidak mengherankan jika mereka akan mencoba melakukan sesuatu untuk mengembalikan regime Awang Ishak. Caranya, menciptakan gerakan menjatuhkan Hasan Karman.

Hasan mengatakan pada saya, Awang secara terbuka menyatakan akan menggulingkan dirinya, pada tahun kedua pemerintahan Hasan. Awang mengeluarkan pernyataan itu ketika rombongan Libertus Ahie, politikus Dayak dan kepala Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Singkawang, bersama beberapa kepala dinas sedang check-up kesehatan untuk nyaleg. Saat itu, Awang juga sedang tes kesehatan. “Disitu Awang mengucapkan kata-kata yang akan menggulingkan saya,” kata Hasan.

Secara legal, tak mudah menjatuhkan Hasan Karman. Anggota DPRD dari PKS Paryanto bilang Hasan adalah walikota terpilih, “Dia punya legitimasi hukum.”

UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah bisa digunakan sebagai landasan pendongkelan Hasan Karman. Pasal 27 ayat 1 huruf (b) mengharuskan walikota “meningkatkan kesejahteraan rakyat” sedangkan huruf (c) mewajibkan “memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.”

Pemberhentian dimungkinkan oleh pasal 29. Ayat 2 huruf (e) berbunyi “tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.” Prosedurnya adalah hak angket DPRD Singkawang. Jika Hasan terbukti tak sanggup meningkatkan kesejahteraan dan memelihara ketentraman artinya ia “tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah.” Artinya, Hasan melanggar undang-undang. Wakil Edy Yacoub akan naik sebagai walikota. Kaum milisi Melayu, yang berprinsip “asal bukan Cina,” mendukung skenario ini.

Skenario kedua adalah paket pasangan Hasan-Edy akan dijatuhkan bersamaan. Berdasarkan UU No.32/2004, orang ketiga yaitu sekretaris daerah akan mengisi vacuum of power. Sekretaris daerah harus mempersiapkan pemilihan walikota ulang. Waktu maksimal enam bulan.

Bila terjadi pemilihan walikota ulang, maka ada harapan bagi para pendukung Awang Ishak kembali masuk dalam kekuasaan. Sekalipun, nama Awang sempat rusak akibat skandal “Mercure Gate” tapi pengaruhnya masih nyata di Singkawang. Awang dan Raymundus masih menduduki posisi nomor dua setelah Hasan di pemilihan lalu.

Saya khawatir, ada sekelompok orang berpikir untuk menciptakan kondisi chaos di Singkawang. Kalau Singkawang chaos maka itu adalah bukti ketidakmampuan Hasan Karman. Harganya besar sekali. Kalimantan Barat berkali-kali punya pengalaman pembantaian kaum minoritas. Etnik Tionghoa pernah dihantam tahun 1967. Etnik Madura pada 1997 dan 1999. Sampai sekarang, para pelaku pembantaian, baik tentara Indonesia, milisi Melayu dan milisi Dayak, tak pernah diadili. Mereka masih berkeliaran tanpa pernah terjangkau oleh hukum.

Untuk chaos, perlu ada pembentukan stigma dan rekayasa stereotype. Sama dengan pengalaman 1967, 1997 dan 1999, media bisa sangat berperan dalam menciptakan kebencian rasial. Kasak-kusuk dari mulut ke mulut bisa menambah bumbu. Sebelum pecah pembantaian Madura, ada stereotype negatif dan secara massal dipantek menjadi citra Madura. Hasilnya kebencian massal. Pepatah, “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung,” disalahgunakan untuk menciptakan rasialisme. Begitu stereotype ini masak, hanya perlu gesekan kecil untuk mengobarkan api pembantaian besar.

Malam terakhir saya di Singkawang, saya mewawancarai seseorang bernama Asmadi. Dia mengaku sebagai panglima Laskar Melayu Singkawang Utara. Dia mengatakan dia ikut membantai orang Madura di Sambas pada 1999. Dia mengaku pernah makan tujuh hati orang Madura dan membunuh 18 orang, termasuk bayi. “Jangan sampai ini terjadi ke Cina, gara-gara Hasan Karman,” kata Asmadi, tanpa berkedip. (***)


Zeng Wei Jian moderator mailing list TionghoaIndonesiaMuda@yahoogroups.com, Jakarta. Danu Primanto, pewarta foto freelance, tinggal di Jogjakarta. Mereka ikut kursus penulisan Yayasan Pantau, masing-masing, di Jakarta dan Jogjakarta.

Ganto di Padang


Pada 9-13 Juni 2009, tabloid Ganto dari Universitas Negeri Padang, bikin pelatihan untuk wartawan mahasiswa. Total ada 46 mahasiswa ikutan. Mereka datang dari berbagai kota, termasuk Banda Aceh, Lhokseumawe, Medan, Pekanbaru, Jambi, Padang, Palembang, Bengkulu, Bandar Lampung, Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Solo dan Makassar. Aku menjadi instruktur selama tiga hari.

Aku punya kesan mendalam terhadap pelatihan ini. Panitia bekerja keras. Para peserta ditempatkan dalam sebuah guest house dalam kampus Universitas Negeri Padang. Makan tiga kali, snack tiga kali. Khas Minangkabao, semua makanan mengandung santan. Seorang peserta "protes" karena Ganto membuat mereka kelebihan berat badan. Ganto adalah nama untuk bel lembu, bel kecil yang biasa dipasangkan pada leher lembu atau kerbau.

Rombongan dari Sumber Post, IAIN Ar Raniry, Banda Acheh, membawa warna tersendiri dalam acara Ganto ini. Cerita mereka hidup. Pengalaman kaya. Sumber Post baru diterbitkan pada 2006, sesudah tsunami. Aku kebetulan tahu proses pendirian Sumber Post saat aku mengajar di IAIN Ar Raniry.

Khiththati, Julka Maizar dan Ainul Fitri dari Sumber Post memutar documentary The Black Road karya William Nessen. Sangat mengesankan. Ia membuka pandangan banyak peserta. Semua peserta dari Acheh cerita pengalaman buruk mereka saat perang. Ada yang lihat seorang paman mereka, hidup-hidup diseret mobil tentara Indonesia, dibawa keliling kampung.

Husaini dari Lhokseumawe menarik perhatian peserta dengan kepiawaiannya bercerita. Husaini pendiam namun ketika bicara, dialek Acheh kental, keluarlah kekayaan dari pengalaman hidupnya. 

Awak baraja badendang lagu bahaso Acheh "Seulanga" jo syair nan diagiah Julka Maizar dari Sumber Post. Nyo tantang "bungong seulanga," bungo harum, ibaraik gadih nan rancak. Rafly nan mambuek tanamo lagu itu. It's so beautiful.

Na bungong Seulanga keumang saboh bak tangke
Mubee harom hai sayang didalam taman
Tatem beutatem sibu bungong ngak luhu
Oh kalayee tho krang seulanga nyan gadoh mangat bee

Wahe bungong ceudah hana ban
Tamse nyak dara nyang canden rupa
Diteuka bana dijak peuayang
uroe ngon malam bungong didoda

Sayang-sayang leupah that sayang
Oh troh bak watee bungong pih mala
Ka habeh duroh bak tangke leukang
Keubit that sayang naseb Seulanga

Diskusi di halaman guest house, beralaskan tikar, bicara soal jurnalisme. Resminya, pelatihan ini diberi tema investigative reporting. Pribadi aku tak percaya genre ini bisa dilakukan oleh reporter kurcaci. Tapi namanya juga mahasiswa. Suka belajar hal baru. Pelatihan ini juga mengundang instruktur dari militer (perkenalan SS-1 dan M-16), jaksa (hukum soal korupsi) serta akuntan negara (standard akuntansi). Kami tagalak-galak jo istilah "pers wacana" --indak ado dalam kasado buku nan bamutu tantang jurnalisme-- baitupun palatihan jurnalisme "tong kosong nyariang bunyinyo."

Kapten Septa Viandi dari Korem Wirabraja, Padang, membawa beberapa senjata SS-1, M-16 serta pistol buatan Bandung. Dia cerita soal amunisi, magasin, struktur tentara, kepangkatan dsb. Septa lulusan Akademi Militer di Magelang tahun 1998. 

Dia juga cerita dia pernah ditugaskan di Aceh dan membunuh orang Acheh dari jarak dekat. Tujuan training ini belajar investigasi. Amunisi termasuk salah satu yang dipelajari peserta. Sayang, Septa tak bisa membawa gambar2 ledakan maupun memperagakan penembakan.

Guna mempermudah proses belajar, aku usahakan ada kelas-kelas kecil, antara 15-17 orang, guna mendiskusikan atau praktek apa yang dibicarakan dalam kelas besar. Ada tiga wartawan Ganto --Anggi Royata, Della Syahni, Tuti Handriani-- aku minta, masing-masing jadi moderator untuk kelas kecil. Walau latihan, interview ini direkam dengan kamera. 

Hasilnya, ditayangkan di layar lebar guna dievaluasi bersama. Ketua panitia, Meiriza Paramita, memasang semua gambar peserta dalam album Facebook miliknya. Terima kasih Ganto!