Sunday, February 02, 2020

Selamat Jalan Tommy Apriando, Jurnalis Lingkungan yang Gigih dan Berani

Della Syahni dan Sapariah Saturi

  • Tommy Apriando, jurnalis Mongabay dan Ketua AJI Yogyakarta, meninggal dunia di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Gamping, Sleman, Yogjakarta. Tommy dibawa ke rumah sakit karena diabetes yang dideritanya.
  •  Tommy Apriando, lahir di Desa Simbarwaringin, Lampung Tengah, 10 April 1989 dari pasangan Jamsiah dan Nusmir Unzir (almarhum). Anak pertama dari dua bersaudara ini menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Univeristas Islam Indonesia di Yogyakarta pada 2007 dan selesai 2012. Selama jadi mahasiswa, Tommy aktif di pers mahasiswa. Sejak itu, Tommy sudah akrab dengan dunia jurnalisme.
  • Kecintaan pada dunia jurnalisme, Tommy pun rajin ikut pelatihan, antara lain, kursus Jurnalisme Sastrawi di Yayasan Pantau, pada Juli 2012. Pada 2013, Tommy juga ikut Asia Pacific Journalism Centre, di Melbourne, Australia. Tommy bergabung dengan Mongabay Indonesia, pada 2012, tahun pertama media lingkungan ini berdiri.
  • Tommy Apriando, penuh semangat dan seakan tak kenal lelah. Selain menulis di Mongabay, juga menulis untuk beberapa media lain seperti Chinadialogue, The Pangolin Reports, dan The Wire.

“Teman-teman, saya ingin mengabarkan bahwa Tommy pagi ini koma. Saat ini Tommy sedang dibawa ke ruang ICU PKU Muhammadiyah Gamping.” Begitu pesan masuk di grup WhatsApp, Minggu pagi (2/2/20), sekitar pukul 11.30. Ucapan dan doa datang dari kawan-kawan agar Tommy, lekas sembuh.

Selang sekitar satu jam, masuk lagi pesan yang mengabarkan kalau Tommy Apriando, jurnalis Mongabay di Yogyakarta, juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, telah meninggal dunia.

“Kawan-kawan, saya ingin mengabarkan, Tommy meninggal baru saja setelah mendapatkan perawatan di ICU PKU Muhammadiyah.”

Dunia jurnalisme negeri ini kehilangan sosok jurnalis yang kerap menyuarakan berbagai isu kerusakan lingkungan, keterancaman warga yang mengalami kesulitan hidup karena ruang hidup terampas, alam mereka tercemar baik darat, air dan udara maupun hak-hak rakyat yang terabaikan.

Tommy meninggal dunia di Rumah Sakit Muhammadiyah, Yogyakarta. Dia dibawa ke rumah sakit karena diabetes. Akhir Januari lalu, Tommy juga sempat dirawat di rumah sakit selama empat hari. Pada 27 Januari 2020, dokter mengizinkan dia pulang.

“Empat hari lebih terkapar. Akhirnya diperbolehkan pecicilan lagi sama dokter. Terima kasih doanya kawan-kawan,” tulis Tommy di Facebook.

Jenazah Tommy dibawa ke Lampung setelah disemayamkan terlebih dahulu di kediamannya di Kulon Progo, Yogyakarta. Tommy akan dimakamkan di Lampung Senin, (3/2/20).

Tommy Apriando, lahir di Desa Simbarwaringin, Lampung Tengah, 10 April 1989 dari pasangan Jamsiah dan Nusmir Unzir (almarhum).

Anak pertama dari dua bersaudara ini menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta pada 2007 dan selesai 2012. Selama jadi mahasiswa, Tommy aktif di pers mahasiswa. Sejak itu, Tommy sudah akrab dengan dunia jurnalisme.

Sebelum menamatkan pendidikan di Fakultas Hukum UII, Tommy sempat magang di Kontras, organisasi masyarakat yang fokus pada isu hak asasi manusia. Setelah menyelesaikan kuliah, Kontras kembali meminta Tommy mendedikasikan diri di sana dan bergelut di seputar isu HAM termasuk investigasi dan kampanye.

Kecintaan pada dunia jurnalisme, Tommy pun rajin ikut pelatihan, antara lain, kursus jurnalisme sastrawi di Yayasan Pantau, pada Juli 2012. Pada 2013, Tommy juga ikut Asia Pacific Journalism Centre, di Melbourne, Australia.

Tommy bergabung dengan Mongabay Indonesia, pada 2012, tahun pertama media lingkungan ini berdiri. Tommy jadi kontributor Mongabay dengan wilayah liputan di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Berbagai isu lingkungan dan sosial dia tulis, seperti soal pertambangan batu gamping untuk pabrik semen di Pegunungan Kendeng, sampai konflik lahan antara warga dan TNI di Urut Sewu.

Pembangunan PLTU Batang, PLTU Cilacap, antara lain isu yang terus dia ikuti. Dia juga konsen dengan isu pembangunan Bandara Kulon Progo dan pembangunan infrastruktur maupun industri ekstraktif lain yang mengancam lingkungan dan kehidupan warga.

Meski berbasis di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tak jarang Tommy meliput isu di luar daerah itu.

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Tommy menulis soal kehidupan masyarakat adat Sembalun.

Tommy juga liputan mendalam empat seri soal tambang pasir besi di Lumajang, Jawa Timur, yang menewaskan petani yang menolak tambang karena khawatir lingkungan rusak, Salim Kancil.

Pada 2017, bekerjasama dengan Tempo, Tommy ikut membongkar praktik korupsi perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur, yang banyak meninggalkan lubang-lubang tambang yang memakan 33 korban.

Tahun lalu, dia ke Buol, Sulawesi Tengah, menulis soal kasus pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit.

“Saya mengenal Tommy sejak 2012, masih muda, belum lulus kuliah. Sejak semula, saya lihat dia seorang anak muda yang selalu gelisah dengan ketidakadilan sosial dan lingkungan di sekitarnya,” kata Ridzki R Sigit, Manajer Program Mongabay Indonesia.

Tommy rajin menulis hasil-hasil liputan ke berbagai pelosok negeri. Dia sajikan liputan dengan detail, tajam dan menarik. “Tommy, termasuk angkatan pertama jurnalis yang bergabung dengan Mongabay Indonesia. Kami sangat kehilangan dia. Kepergiannya sangat cepat, mengejutkan kita semua,” katanya, seraya bilang, biasa mereka berkomunikasi, untuk sekedar menyapa, atau diskusi tentang suatu topik.

Pada 2019, Tommy juga terlibat dalam pembuatan film dokumenter Sexy Killers yang menguak oligarki tambang di balik pemilihan presiden di Indonesia. Tommy menjadi salah satu tim riset dan videografer film yang ditonton 20 juta orang pada bulan pertama tayang.

Dia aktif di AJI Yogyakarta. Akhir 2019, Tommy terpilih sebagai Ketua AJI Yogyakarta.

Tommy, penuh semangat dan seakan tak kenal lelah. Selain menulis di Mongabay, juga menulis untuk beberapa media lain seperti Chinadialogue, The Pangolin Reports, dan The Wire.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), tak hanya melihat Tommy sebagai seorang jurnalis, juga kawan dan sahabat yang berani.

“Almarhum Tommy, semangat seperti api yang tak akan padam. Semangat untuk melawan dan membongkar kejahatan oligarki. Dia orang yang paling berada di depan soal itu,” katanya mengenang Tommy, saat bekerja bersama Jatam dalam penulisan sejumlah laporan Jatam seperti soal oligarki tambang di pulau kecil, Coalruption, dan Sexy Killers.

Terakhir, kata Merah, Tommy juga terlibat dalam pembuatan laporan oligarki di belakang ibu kota baru.

Bagi Merah dan Jatam, jurnalisme Tommy adalah jurnalisme perjuangan rakyat. Tommy, katanya, selalu hadir dalam setiap kesempatan konsolidasi rakyat.

Merah mengenang Tommy sebagai sahabat baik saat serius maupun santai. “Kami bisa sangat serius, bisa sangat bercanda dalam kerja–kerja melawan industri ekstraktif, tambang dan oligarki politik,” katanya.

Berbagai liputan investigatif Tommy seringkali menjadi rujukan bagi lembaga-lembaga yang fokus pada isu lingkungan hidup.

“Kalau mau dapat ilmu soal investigation research, ya beliaulah orangnya,” kata Bonda Andriyanu, juru kampanye iklim dan energi, Greenpeace Indonesia.

“Tommy tidak pernah tidak memikirkan orang-orang yang tergusur dari tanahnya, orang-orang yang kehilangan haknya. Dia menulis berjuang dan berlawan untuk kemanusiaan. Orang yang jarang kita temukan belakangan ini,” kata Muhammad Iqbal Damanik, peneliti Auriga.

Andreas Harsono, pendiri Yayasan Pantau, lembaga nirlaba yang bertujuan memajukan jurnalisme Indonesia mengatakan, Tommy selalu bersemangat dan gigih meliput, mendengar cerita para petani, warga, para korban polusi PLTU batubara, cerita orangtua yang kehilangan anak mereka dan banyak lagi.

“Semangat dan perjuangan Tommy, mengagumkan. Saya sering tanya, “Kamu ini apa nggak capek?” Tommy biasa merespon dengan tertawa lebar. Sedih sekali ketika tahu dia pergi. Ada sesuatu yang hilang. Tommy meninggal dunia di usia muda namun dia meninggalkan pengetahuan dan keberanian buat para jurnalis, para petani, para nelayan, petani, para pejuang lingkungan di Indonesia.”

Andreas mengenal Tommy sejak dia masih kuliah di Universitas Islam Indonesia pada 2010. Setelah Tommy menjadi wartawan, mereka biasa bertemu. “Kami kongkow dan makan bersama, cerita berbagai liputannya. Dia selalu antusias bila bicara soal Gunung Kendeng atau lubang mematikan bekas tambang batubara di Kalimantan Timur,” katanya.

Dalam Instagramnya, Tommy mencantumkan, ‘Menulis itu perlu tahu dan berani.’ “Tommy setia pada semangatnya. Saya membaca kembali laporan Tommy, dari Kendeng sampai Nusa Tenggara, dari Yogyakarta sampai Kalimantan, saya bisa merasakan bagaimana dia menguasai pengetahuan dan  berani dalam menulis.”

Dia bilang, menulis seperti Tommy, bukan perkara mudah dalam masyarakat feodal di berbagai tempat di Indonesia. “Ini bukan perkara mudah ketika tradisi jurnalisme di Indonesia masih sering ditekan dengan pembredelan, intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan.”

Selamat jalan Tom …