Tuesday, July 28, 2015

Tahanan politik RMS di Pulau Nusa Kambangan


Sejak 2005, saya rutin memantau dan menulis keadaan para tahanan politik di Indonesia, terutama Papua dan Kepulauan Maluku. Tahanan politik Aceh praktis dibebaskan hampir semuanya sesudah perjanjian Helsinki pada Agustus 2005. Praktis saya hanya memantau mereka yang terkait dengan kegiatan Republik Maluku Selatan dan Papua Merdeka.

Minggu lalu saya mendapat kiriman gambar enam tapol RMS dari Pulau Nusa Kambangan. Ini salah satu pulau penjara yang sulit dikunjungi karena kategori high security. Saya sudah pernah minta izin bezoek tapi tak ada jawaban.

Keenam orang ini ada di penjara Kembang Kuning, Pulau Nusa Kambangan. Mereka termasuk dari total 29 tapol RMS di seluruh Indonesia, menurut Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku (Tamasu). Di Nusa Kambangan, masih ada dua tapol RMS lain di penjara Pasir Putih. Saya tak punya gambar mereka. Jelas bahwa kedelapan tapol ini dipenjara jauh dari tempat kelahiran mereka di Pulau Haruku, dekat Ambon.

Mereka dihukum penjara 10 sampai 20 tahun penjara karena menari cakalele sambil membawa bendera RMS ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang ke stadion Ambon pada Juni 2007. Sebagian besar dari pesakitan politik ini divonis makar dengan pasal 106 dan 110 Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh pengadilan negeri Ambon. Dalam beberapa kasus, mereka disiksa di tahanan maupun penjara. Beberapa menerima penganiayaan serta penolakan bantuan medis selagi di penjara.

Ruben Saiya (kaos putih), seorang petani, termasuk penari cakalele. Dia dihukum penjara 20 tahun. Dia sering bertanya kapan dia dibebaskan.
Mereka tentu sama sekali tak layak dihukum penjara. Mereka tak melakukan kekerasan dalam advokasi Maluku Selatan. Berbagai organisasi hak asasi manusia, dari Kontras sampai Amnesty International, terus minta mereka dibebaskan. Human Rights Watch, tempat saya bekerja, juga terus minta Presiden Joko Widodo membebaskan para tapol RMS.

Saya kira ini salah satu kekeliruan Yudhoyono. Dia tak bisa menerima kritik terhadap pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh orang Ambon maupun Papua. Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 dimana dia melarang semua pemakaian simbol RMS, Gerakan Aceh Merdeka maupun Organisasi Papua Merdeka. Ini membuat jumlah orang yang ditangkap karena kegiatan politik damai bertambah banyak pada masa pasca-Soeharto. President B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid membebaskan semua tapol ketika mereka berkuasa. Sikap Yudhoyono, saya pikir, membuat keadaan memburuk.

Abner Litamahuputty (kaos biru), John Markus (kaos merah), Romanus Batseran (rambut panjang depan), Yohanis Saiya (topi biru) serta Jordan Saiya (paling ujung) adalah lima dari enam tahanan politik RMS di penjara Kembang Kuning, Pulau Nusa Kambangan.



Semua tapol RMS ini bekerja sebagai petani atau nelayan. Mereka termasuk narapidana yang diperbolehkan bekerja di luar penjara. Di penjara, pekerjaan mereka terkait dgn pekerjaan kebun. Jauh dari keluarga membuat mereka sering tak dikunjungi isteri atau orang tua mereka.

Beberapa dari mereka, termasuk Ruben Saiya, masih remaja ketika dipenjara. Saya tak bisa membayangkan bagaimana mereka tumbuh di balik dinding penjara. Saya berharap Dewan Perwakilan Rakyat, terutama Komisi III, mau membahas dan menyetujui usul Presiden Jokowi pada Mei 2015 dimana Jokowi minta agar semua tapol dibebaskan dengan amnesti atau abolisi.


Bacaan Terkait
Jakarta Post: Indonesian separatist gets life in prison for waving flag in front of president
Kontras: Dugaan Tahanan Politik RMS Disiksa
Blog: Kriminalisasi Aspirasi Politik
Human Rights Watch: Indonesia's Political Prisoners
Orang Papua di Balik Jeruji
Human Rights Watch: Free All Political Prisoners in Indonesia

Thursday, July 23, 2015

Perpanjangan SIM di Gandaria City


SAYA mengurus perpanjangan SIM Adi kios polisi di Gandaria City Mall. Antrian sekitar 20 orang di depan saya. Perlu menunggu empat jam, termasuk istirahat makan siang selama satu jam, sampai terkantuk-kantuk.

Saya juga makan siang di sebuah restoran Vietnam di Gandaria City. Anak saya, yang menemani, juga minta dibelikan T-shirt di Uniqlo. Dihitung-hitung ada ongkos tambahan karena kios tersebut terletak dalam sebuah mall.

Biaya perpanjangan SIM Rp 150 ribu tanpa tanda terima. Tak secepat bank tapi tak perlu datang dua kali juga. Ini SIM saya ketujuh. Kecuali pertama saat ujian, saya biasa pakai calo krn tak sabar. Saya kira kini ada kemajuan walau masih menunggu empat jam dan memberi uang tanpa tanda terima.

Antrian cukup panjang. Orang harus duduk menunggu pemotretan buat SIM atau perpanjangan STNK kendaraan bermotor.

Pengumuman Polisi: Bila SIM Anda kadaluwarsa dalam dua minggu ke depan, Anda bisa perpanjang di kios polisi terdekat. Kalau kadaluwarsa maksimal tiga bulan masih bisa diperbarui. Lebih tiga bulan harus ujian ulang.

Kios ini buka setiap hari dari pukul 9.30 sampai pukul 15 dengan istirahat pukul 12 sampai 13. Hari Sabtu sedikit lebih awal. Ada enam petugas polisi melayani pembaruan SIM dan STNK.

Tempat duduk depan kios polisi kurang sehingga orang menunggu duduk di lantai. Bahkan ada yang tidur kelelahan. Manajemen Gandaria City tentu bisa berbaik hati dengan menambah bangku.

Para pengunjung cenderung mendekat ke kios polisi karena pengeras suara, buat panggilan antri, kurang baik. Dari luar suara panggilan berdengung. Ia tak terdengar jelas. Pengunjung yang merasa makin dekat dipanggil cenderung mendekat ke kaca kios. 

Saat istirahat makan siang, pengunjung juga cenderung pergi dari tempat tunggu. Mungkin makan siang. Mungkin belanja. Suhu udara di daerah polisi kurang dingin. Orang mungkin capek kepanasan dalam sudut mall ini. 

Monday, July 20, 2015

Diana Der Hovanessian: Shifting the Sun

WHEN my father passed away on July 20, 2013, Joseph Saunders, a long-time friend in New York, email me a poem, writing: "I know this won't be of any immediate comfort, but here's a poem that I found very moving after my own father died several years ago (a friend of mine from childhood read it at my father's funeral)."

I read that poem. It was indeed very moving. It helped comfort me while doing the burial and various ceremonies in my hometown Jember, Java Island.

Diana Der Hovanessian (1934-2018) wrote this poem. She's an Armenian American poet, translator, and author. Much of the subject of her poetry is about Armenia and the Armenian diaspora.

She was a graduate of Boston University and did graduate work at Harvard. She taught workshops at many universities as well as being a visiting poet and guest lecturer on American poetry, Armenian poetry in translation, and the literature of human rights both here and abroad. She worked tirelessly to educate the public about the Armenian Genocide.

The Armenian Genocide was the ruthless slaughter of millions of Armenians by the Turks of the Ottoman Empire. In 1915, during World War I, the Turkish government set a plan to expel and massacre Armenians. By the early 1920s, when the massacres and deportations finally ended, between 600,000 and 1.5 million Armenians were dead, with many more forcibly removed from the country.


SHIFTING THE SUN

When your father dies, say the Irish
you lose your umbrella against bad weather.
May his sun be your light, say the Armenians.

When your father dies, say the Welsh
you sink a foot deeper into the earth.
May you inherit his light, say the Armenians

When your father dies, say the Canadians
you run out of excuses.
May you inherit his sun, say the Armenians.

When your father dies, say the Indians
he comes back as the thunder.
May you inherit his light, say the Armenians.

When your father dies, say the Russians,
he takes your childhood with him.
May you inherit his light say the Armenians.

When your father dies, say the British,
you join his club you vowed you wouldn’t.
May you inherit his sun, say the Armenians.

When your father dies, say the Armenians,
your sun shifts forever
and you walk in his light.

Thursday, July 16, 2015

Tiga Gereja Ditutup dalam Seminggu


Palti Hatoguan Panjaitan
Sobat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

DALAM tempo tiga hari .... saya dapat berita tentang intoleransi dari Bandar Lampung, Yogyakarta dan Samarinda.

1. Minggu 12 Juli 2015 Gereja Pentakosta Indonesia (GPI) Tanjung Senang, Bandar Lampung, dilarang beribadah.

2. Selasa 14 Juli 2015 Gereja Bethel Indonesia (GBI) Saman Bantul, Yogjakarta, didemo sehingga keluarga pendeta mengungsi.

3. Selasa 14 Juli 2015 Huria Kristen Indonesia (HKI) Bukit Temindung, Samarinda, dirobohkan.

Modus operandinya kelompok intoleran mendesak pemerintah untuk menutup, melarang, merobohkan gereja. Alhasil pemerintah taat dan melaksanakannya. Sementara pemerintah pusat diam membisu. Masyarakat cenderung juga diam membisu. Rumah ibadah yang lain yang masih "nyaman" juga diam membisu.

Sepertinya semua kompak diam membisu dengan berbagai alasan dan kepentingan.

Malam 14 Juli 2015, rapat sepihak Pemkot Samarinda dengan warga Bukit Temindung, yang dihadiri camat, lurah, RT, Kapolres, Kapolsek, Koramil, sepakat untuk merobohkan gereja HKI Samarinda. Subuh 15 Juli 2015, HKI Bukit Temindung diruntuhkan dengan memakai gergaji mesin sehingga bangunan rata dengan tanah. (Credit: Ebsan JT Joentak)