Friday, December 13, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Parkir Mobil Susah

Andreas Harsono
Suara Merdeka, Jumat, 13 Desember 1991

Dua hari saya di Jerman, saya sudah dibuat kagum oleh teraturnya transportasi umum. Untuk berpergian dalam kota, ada dua macam sarana transportasi umum: trem listrik dan bus kota. Jangan bayangkan bus kota di Jerman seperti bus kota di Jakarta, Surabaya atau di Semarang. Bus-bus dengan warna jingga itu hanya berhenti di halte yang disediakan, tepat pada waktu yang sudah ditentukan.

Ada lelucon tentang dua laki-laki Jerman sedang menunggu trem. Mereka berdua sekaligus juga sedang menunggu istri salah seorang di antaranya untuk berangkat bersama. Dua menit sebelum waktunya ternyata trem sudah datang, maka kedua jadi gelisah.

“Bagaimana ini istri Anda belum tiba,” tanya laki-laki yang pertama. 

Dengan pelan rekannya menjawab. “Jangan khawatir. Istri saya lebih tepat waktu dari pada trem ini.”

Dan benar juga, dua menit kemudian, ketika trem hendak berangkat, istri laki-laki pertama sudah muncul. 

“Unsur manusia sangat menentukan mutu suatu sistem agar sama-sama taat waktu,”  begitulah inti dari lelucon. 

Jadi, kalau ada orang yang ingin mau naik trem maupun bus, mula-mula yang dilihatnya adalah jam kedatangan bus bersangkutan di dinding halte. Kalau dicantumkan bus akan datang pukul 09:18, busnya akan datang pukul 09:18. Tentu bisa meleset. Tetapi sejauh pengalaman saya, tidak lebih dari 3 menit (kecuali kalau ada kejadian luar biasa). 

Di Eropa memang ada ungkapan, “Orang Jerman memang luar biasa disiplin.” Mereka tidak kenal jam karet dan kalau mengerjakan segala sesuatu sampai tuntas. Orang-orang Eropa yang lain jadinya menganggap orang Jerman itu sebagai orang-orang yang kaku dan tidak luwes. 

Bagaimana kalau ada penumpang yang ingin naik bus di luar halte? Jelas tidak akan dibukakan pintu. 

Awak bus memang hanya satu orang yaitu sang sopir. Buka tutup pintu diatur secara elektrik oleh sopir. Naik bus, kalau tidak membawa karcis, bisa beli pada sopir. 

Di Bochum, di leander Nordrhein Westfalen, tempat saya menginap, tarip bus dalam kota DM 2 (Rp 2.200). Makin jauh jarak yang ditempuh –terkadang ada bus kota yang melewati dua atau tiga kota yang berdekatan– makin mahal pula harga yang harus dibayarkan. 

Sedangkan di Kaiserslautern tiket bus dalam kota hanya DM1,8 (Rp 1,980). 

Bagaimana kalau naik bus tidak membayar? 

Karena memang tidak ada kondekturnya. Saya lihat kemungkinan untuk main kotor besar sekali. Ini mudah dilakukan karena pintu bus kota maupun trem selalu lebih dari satu pintu. Syukur kalau ini dilakukan tidak persis ada petugas kontrol. Tetapi kalau ada kontrol dan kewajiban memasukkan karcis ke tempat stempel otomatis ketahuan, seorang penumpang gelap bisa didenda DM 60 (sekitar Rp 66.000).
 
Selama di Jerman, saya belum pernah menemukan petugas kontrol masuk ke dalam bus dan memeriksa karcis. Tampaknya persentase yang menumpang secara gelap itu kecil sekali. 

Seorang mahasiswa Indonesia mengatakan pada saya, “Di Jerman melakukan perbuatan seperti itu dianggap tidak ada untungnya. Sama seperti kalau di daerah pertokoan, barang-barang dijajarkan begitu saja tanpa penjagaan ketat seperti di Indonesia." 

Jalur Sepeda

Selain dibuat kagum dengan pelayanan bus kota, saya juga kagum dengan prasarana bagi pengendara sepeda. Jalur buat sepeda dibuat khusus di daerah-daerah tertentu dalam kota. Jadi di setiap jalan, sekali lagi, di setiap jalan, ada tiga macam jalur. 

Jalan aspal atau paving buat mobil (biasanya pas untuk dua mobil saja). Trotoar buat para pejalan kaki dan jalur (biasanya) berwarna merah khusus bagi pengendara sepeda. Di Bochum, Hamburg, Karlsruhe, Kaiserslautern. Koln, Bonn dan lain-lain, saya lihat jalur sepeda itu diadakan dalam jumlah yang besar. Konon kota pertama ayang membangun prasarana transportasi tak bermotor secara besar-besaran adalah kota Freiburg. 

Persoalan bus kota dan sepeda ini penting karena sejak tahun 1970-an. Jerman dibuat pusing dengan meledaknya jumlah pemilik mobil. Sekitar 60 persen warga Jerman mempunyai mobil pribadi. Dalam satu keluarga tidak jarang ada lebih dari satu mobil. Jalan-jalan terus ditambah tapi tidak mampu mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas. 

Di Jerman tidak sekali dua saya dibuat jengkel karena harus menunggu lama dalam kemacetan lalu lintas. Di Jakarta kemacetan lalu lintasnya jauh lebih parah dibandingkan di Jerman. Ini semua bisa terjadi karena dulu-dulunya pemerintah Jerman mendorong motorisasi agar setiap orang mudah bergerak dengan naik mobil. Alasannya, selain alasan-alasan usang soal kecepatan dan kepraktisan, adalah menunjang industri mobil. Di Jerman ada industri macam Mercedes–Benz. Opel, BMW dan lainnya. 

Yang terjadi kemudian adalah pertumbuhan mobil lebih cepat dari pertumbuhan jalan. Walaupun sudah dibangun autobahn (semacam jalan tol tapi tidak perlu membayar seperti di Indonesia) dan landscape bridge (jembatan persilangan yang sangat luas sehingga diatasnya bisa dibangun sebuah taman), tetap saja persoalan kendaraan bermotor jadi masalah besar. Selain kepadatan lalu lintas, polusi udara dan kebisingan juga jadi persoalan yang sulit dipecahkan.

Hari-hari saya di Jerman. Sedang terjadi pertikaian di kalangan elit Jerman tentang pembatasan kecepatan mobil dalam kota. Kelompok pecinta lingkungan, kaum cendekiawan maupun Partai Hijau, gerakan feminis dan sejenisnya, mendesak pemerintah untuk membatasi kecepatan mobil di dalam kota hanya 50 KM jam. Sementara dari kalangan industri mobil sangat berkeberatan dengan usulan tersebut. 

Perdebatan ini cukup sengit mengingat panjangnya sejarah gerakan anti kendaraan bermotor di Jerman. Yang menarik lagi segenap pecinta lingkungan di dunia Barat kemudian membuat persetujuan internasional, dinamakan Northern Alliance, yang menjadikan tanggal 15 November sebuah hari anti-motorisasi. Mereka bikin kampanye dari Paris, New York sampai Rio de Janeiro.

Motorisasi juga berarti resiko lalu lintas. Untuk mengatasi bahaya tertabrak mobil maupun mengatasi kebisingannya, di Jerman, yang selama ini terjadi, adalah membuat polisi tidur. Polisi tidur ada dimana-mana bukan hanya di jalan di kampung tetapi juga di daerah perumahan dengan jalan yang lebar. 

Dekat dengan tempat saya menginap, di sebuah hostel di Bochum, setiap 40-50-meter ada polisi tidur. Setidaknya ini cukup membuat para pengendara mobil tidak melarikan mobilnya dalam kecepatan tinggi.

Dan jangan anggap pengendara mobil di Jerman adalah pengendara yang ceroboh. Saya kuatir seorang pengendara mobil di Jerman bisa mati kaget kalau diharuskan mengendarai mobil di Indonesia.

Di Jerman para pengendara mobil tertib sekali. Pelanggaran lalu lintas ancamannya besar. Di zebra-cross para pengendara mobil dan penyeberangan jalan harus tertib menunggu lampu hijau. Biarpun jalan sepi kalau lampu merah artinya juga harus berhenti. 

Di jalan-jalan yang tidak ada lampu lalu lintasannya, para pengendara mobil berhenti tanpa disuruh apabila melihat ada orang yang mau menyeberang jalan. Demikian pula di jalan-jalan yang macet tidak terlihat ada pengendara mobil yang tidak sabar lantas mengambil jalur yang tidak mejadi haknya. Semua serba tertib. 

Tetapi masyarakat masih menuntut lebih banyak. Persoalan lalu lintas tidak bisa selesai hanya dengan membuat peraturan yang keras. Berapapun banyaknya jalan yang dibangun dan bagaimana pun ketatnya peraturan lalu lintas, belum bisa mengalahkan kecepatan pertumbuhan mobil, polusi udara, kebisingan. Ini tampaknya membuat banyak orang Jerman mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan yang lebih dasar.

Tuntutan yang bisa saya pelajari dari beberapa pertemuan dengan anggota parlemen, politikus Partai Hijau maupun Sozialdemokratische Partei Deutschlands, relawan-relawati dari berbagai macam organisasi dan kelompok cendekiawan, mereka menghendaki infrastruktur dan teknologi transportasi diubah.

Sistem Alternatif 

Dan pilihan yang diinginkan adalah penyediaan transportasi umumnya yang baik, jalur sepeda di semua jalan serta riset-riset buat energi alternatif. 

Untuk yang terakhir ini Jerman memang menyediakan dana besar-besaran buat penelitian di bidang energi alternatif. Ketika menjejakkan kaki pertama kalinya di Jerman, saya sudah dibuat terkesan dengan sebuah feature tentang mobil tenaga surya seperti disodorkan dalam koran Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung (22/9/1991). Ia koran serius yang paling berpengaruh di Jerman diterbitkan dari Frankfurt.

Saya juga sempat mengunjungi berbagai lembaga riset tentang energi alternatif seperti Oka Institute di Darmstadt. Energie und Umweltzentrum di Springe. Institute Fraunhofer di Karlsruhe dan lainnya. Ini belum lagi riset-riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun perusahaan-perusahaan besar seperti Siemens, AEG, Bayer dan sebagainya. 

Di Dortmund saya sempat mengunjungi pameran bunga tahunan, yang di salah satu pojoknya, ada pameran tentang mobil tenaga surya. Benar-benar mobil yang biasa jalan, dengan interior yang indah dan tidak memakan bensin.

Perusahaan-perusahaan inilah yang kemudian membuat banyak orang Jerman secara sadar menyimpan mobilnya di rumah (kecuali untuk weekend), dan memakai sepeda. Saya bahkan menjalin hubungan akrab dengan seorang antropolog Jerman, yang memilih untuk memakai sepeda kemana-mana, sedemikian rupa, dan lama, sehingga tak bisa menyetir mobil lagi!

Buat orang-orang seperti ini perubahan di bidang transportasi masih terlalu lambat. Mereka berpendapat pemerintah Jerman masih terlalu lambat dibandingkan Belanda dalam hal penyediaan sistem transportasi alternatif.

Di Belanda transportasi sepeda memang sudah dibuat sangat efisien sehingga kemana-mana orang dikondisikan untuk naik sepeda (pengalaman saya di Belanda menguatkan pendapat ini).

Parkir Mobil

Salah satu bukti perubahan transportasi ini adalah makin sulitnya mencari parkir mobil di seluruh Jerman. Saya tidak jarang harus menyediakan waktu seperempat lebih awal apabila harus berpergian ke suatu tempat dengan mobil. Di daerah pusat perkotaan (downtown) syukurlah kalau bisa parkir sekitar 500 meter dari tempat yang hendak saya tuju. Bahkan di ruangan parkir universitas, tidak jarang mahasiswa tidak mendapat tempat parkir. Mereka harus meletakkan mobilnya di tempat yang jauh sekali dari ruang kuliah. Dan terkadang waktu setengah jam bisa habis hanya untuk mencari ruang parkir. 

Lebih gawat lagi, kalau parkir dekat pusat daerah perkotaan, tarif parkir sangat mahal. Di kota menengah seperti Bochum, parkir di jantung kota tarifnya DM1 per jam. Kalau hanya di pusat kota DM0.5 per jam. Di jantung tempat perbelanjaan dan makan, mobil dilarang masuk. Orang-orang yang bisa berjalan dan berbelanja di pertokoan dengan leluasa. Sedangkan berbelanja di kota besar seperti Dusseldorf, Koln dan lainnya, parkir di pusat kota bisa menjadi lebih mahal lagi. Di Dusseldorf misalnya, di daerah pusat kota DM3 per jam. Sistem parkirnya memakai mesin otomat.

Dalam pengalaman saya, biasanya para pengendara sepada juga tidak membawa sepedanya ke dalam zona tersebut. Karena memang lebih enak untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana shopping center daripada bersepeda. Di sini biasanya pedagang kakilima, yang menawarkan barang-barang yang eksotis. Kupu-kupu dari daerah tropis, kalung-kalung dari Amerika Latin atau Persia, cincin-cincin ala orang Gipsi.

Di sudut-sudut fuessgaengerzone, zona khusus pejalan kaki, di tengah kemilau etalase pertokoan yang mewah, saya juga sering menemukan para pengamen membawakan lagu-lagunya. Bukan seperti pengamen di Indonesia. Di Eropa pengamennya membawakan lagu-lagu dengan baik sekali. Teknik permainannya tinggi. Mereka menyanyi dengan meletakan kotak gitar atau topi sebagai tempat bagi orang yang berminat untuk menyumbang. Pernah dalam satu kesempatan saya berjumpa dengan penyanyi-penyanyi rakyat asal Peru. Lagu yang mereka bawakan indah sekali (dalam bahasa Spanyol).

Alat-alat yang dibawa bermacam-macam: pan flute, gitar, tamburin dan sebagainya. Lebih unik lagi, sambil menyanyi para penonton bisa membeli rekaman kaset mereka dalam bentuk CD (compact disk), piring hitam maupun kaset. 

Saya waktu itu benar-benar menikmati musik mereka. Yang konon bercerita tentang kerinduan rakyat Peru terhadap kehadiran pahlawan-pahlawan mereka dari zaman lampau. Menarik bukan? Itulah bagian dari sistem transportasi tak bermotor yang ditawarkan di Jerman. Pembangunan prasarana transportasi tak bermotor, baik buat sepeda maupun pejalan kaki, ternyata juga menghadirkan dimensi yang mengagumkan.
 
 
  

 

Wednesday, December 04, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Dana bagi Penduduk yang Berpolitik

Andreas Harsono
Bernas, 4 Desember 1991

Pengantar: Beberapa waktu yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh South East Asia Information Center dengan sponsor Bread for The World, mengunjungi negeri Jerman. Selama satu bulan lebih, pemuda Salatiga itu “jalan-jalan” ke seluruh Jerman. Berikut sebagian dari catatan perjalanannya yang dikirimkan kepada Bernas.

Kejadian itu bermula dari satu gedung yang menjadi kantor dari berbagai gerakan lingkungan hidup di kota Hamburg. Sewaktu mengikuti satu seminar tentang hutan tropis di Kalimantan, yang terbakar secara luar biasa, saya ditawari seseorang yang berasal dari Birma untuk pergi ke rumahnya. 

Pemuda Birma, yang sudah menetap 15 tahun di Jerman, mengajak saya untuk berbincang-bincang dengan rekan-rekannya yang lain. Entah mengenai kehidupan politik, kebudayaan, militer dan lainnya. Karena tawaran itu disampaikan dengan ramah, dan perasaan saya mengatakan, bahwa perjuangan ini mempunyai kepribadian yang menarik, dengan senang hati saya pergi ke rumahnya. 

Rekan tersebut berasal dari suatu organisasi yang bernama Deutsch-Burmesische Gesellschaft e.V. Hamburg. Organisasi ini adalah suatu perkumpulan yang menjadi suatu kelompok lobi bagi terjadinya demokratis di Birma. 

Malam itu mereka sedang berbicara tentang kemungkinan pemberian hadiah Nobel perdamaian buat Aung San Suu Kyi. Pembicaraan kami menang terjadi dua hari sebelum hadiah Nobel diumumkan.

Menurut rekan-rekan itu, mereka ikut lobi berbagai pendukung pemilihan pemenang hadiah Nobel, agar menjatuhkan pilihannya kepada Aung San Suu Kyi. 

Alasannya. Suu Kyi adalah seorang pejuang, Birma yang gigih memakai cara damai dalam memenangkan kekuasaan di Birma dari tangan rezim militer. Suu Kyi juga harus diingat, karena partai yang dipimpinnya, Liga Nasional untuk Demokrasi, adalah partai yang memenangkan pemilihan umum pada tahun 1989.

Tetapi pihak penguasa militer menolak mengakui kemenangan damai Suu Kyi dengan memberlakukan apa yang dikenal dengan State Law and Order Restoration Council (SLORC). Hukum itu adalah eufemisme dari hukum keadaan darurat. Dan berdasarkan inilah dari penguasa militer kemudian menahan Suu Kyi serta menangkap ribuan aktifis NLD lainnya. Termasuk pula menangkap U Nu, mantan Perdana Menteri Birma, yang ikut memelopori Konferensi Asia Afrika di Bandung.

“Pemberian hadiah ini akan membantu terfokusnya perhatian dunia kepada Birma,” ujar rekan itu. Dan alangkah bahagianya saya ketika dua hari kemudian, saya membaca di satu koran terbitan Oldenburg, bahwa hadiah itu memang jatuh ke tangan Aung San Suu Kyi. 

Di majalah Newsweek, seorang diplomat Barat yang tidak disebutkan namanya mengatakan “With Aung San Suu Kyi being awarded the Nobel Peace Prize, it will be core difficult for auto cratic Third Would regimes to lobby against the resolution.” Koran-koran Jerman juga memuat pidato Aung San Suu Kyi, yang terkenal sekali, “Freedom from Fear”.

Dalam perjalanan selanjutnya, saya menjadi lebih banyak tahu tentang gerakan-gerakan untuk negara Dunia Ketiga, yang banyak terpusat di Eropa. Saya bisa berkenalan dengan gerakan yang membantu perjuangan rakyat Amerika Latin. Melihat pemusik Peru bermain di jalanan, yang ternyata belakangan saya ketahui, juga merupakan aktifis Peru. Mereka bernyanyi selain demi sedikit uang, juga untuk menyiarkan kepada masyarakat Barat, akan persoalan-persoalan rakyat Peru. Saya juga berjumpa dengan pekerja gerakan Srilangka, Kashmir, negara-negara Afrika dan sebagainya. 

Orang-orang semacam inilah, yang tentu tidak terlepas dari bantuan rekan-rekan Jerman, yang bekerja secara sangat efisien dalam memperjuangkan demokrasi di tingkat internasional, dengan mein telefax, pesawat telepon, perpustakaan mini yang mengagumkan. Hubungan baik dengan organisasi macam Amnesty International, Parlemen Eropa dan lainnya. 

Mereka mampu bekerja dengan cepat. Terkadang suatu keadaan di negara mereka bisa lebih cepat mereka ketahui daripada rekan-rekannya di tanah air. Ada dari mereka yang menggunakan seluruh waktunya untuk gerakan. Menerbitkan buku, memantau keadaan dalam negeri, menelepon sana-sini, berbicara dalam seminar, mengadakan demonstrasi apabila ada pejabat negara bersangkutan datang ke Jerman dan lain-lain.

TERNYATA berpolitik di Jerman dibayar oleh pemerintah. Di negara ini apabila ada penduduk yang mau berpolitik pemerintah memberikan dana DM3 per orang per bulan (± Rp 3,300) sehingga organisasi-organisasi semacam Deutsch Burmesische Gesellschaft, selain mendapatkan uang iuran anggota, juga mendapat dana dari pemerintah. 

Makin banyak anggotanya, tentu makin besar tunjangan yang diterima. Dan bagi organisasi yang kurang mampu, pemerintah Jerman membantunya dengan menyediakan tenaga ABM (Arbeit Beschaffung Asnabme). Tenaga ABM ini adalah pekerja sosial yang bekerja pada organisasi, tapi gaji dan tunjangannya dibayar oleh pemerintah, seperti di Suedostasien Informationsstelle, pusat informasi yang koordinasi undangan saya, disana ada beberapa tenaga ABM yang bekerja secara penuh.

Berpolitik disini pengertiannya adalah memperjuangkan keinginan mereka dengan cara-cara yang legal. Lain kalau misalnya masuk kedalam organisasi yang tujuannya menakut-nakuti orang asing. (misalnya kelompok Neo Nazi). Ini termasuk ilegal sehingga tidak akan diberi tunjangan. 

Bahkan kalau terbukti melakukan kriminalitas bisa dituntut ke pengadilan. Di Jerman ada istilah yang cukup menakutkan yaitu “Berufsverboot” (professional disqualification). Orang yang terkena cap ini, biasanya dari kalangan kiri maupun kelompok-kelompok anti nuklir, tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri, guru dan public service lainnya.

Monday, December 02, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Pemuda Botak Mencari Mangsa

Andreas Harsono
Bernas, 2 Desember 1991


Pengantar: Beberapa waktu yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh South East Asia Information Center dengan sponsor Bread for The World, mengunjungi negeri Jerman. Selama satu bulan lebih, pemuda Salatiga itu “jalan-jalan” ke seluruh Jerman. Berikut sebagian dari catatan perjalanannya yang dikirimkan kepada Bernas.


BERLIN kota yang sangat mengesankan. Ketika kereta api yang saya naiki dari Amsterdam berhenti di stasiun Berlin Zoologischen Garten, dalam pikiran saya terbersit ketakutan akan kriminalitas yang dilakukan oleh kaum Neo Nazi. Maklum saja karena hari-hari sebelumnya Jerman diguncang dengan aksi kekerasan kelompok “pemuda botak” semacam Skin Head atau Red Skin.

Sewaktu berada di Hamburg, saya mendengar ada seorang Afrika yang didorong dari pinggiran gedung tingkat empat. Jatuh dan luka cukup parah. Juga ada rumah orang Polandia yang dirampok dan dibakar. Pada kesempatan lain ada dua anak keturunan Turki dibakar pemuda-pemuda Jerman yang anti Ausländer (orang asing). Berlin adalah salah satu kota dimana kekerasan orang kulit berwarna paling sering terjadi. Waktu saya tiba di Berlin, sudah ada tiga mahasiswa Indonesia korban pemukulan.

Suasana yang saya bayangkan tidak tampak di stasiun Berlin. Biarpun kedatangan saya menjelang tengah malam, saat mana banyak orang asing dipukul, tapi stasiun itu tetap ramai. Banyak juga orang Turki, yang datang untuk menjemput saudaranya. Suasananya hangat. 

Seorang pemuda Jerman, yang bahasa Inggrisnya morat-marit, dengan ramah membantu dan mempersilahkan saya memakai telepon umum. Ini mengingatkan saya kepada pembicaraan dengan Hiltrud Cordes dari South East Asia Information Center, yang mengatakan bahwa orang Jerman yang anti-orang asing presentasi kecil sekali.

Tetapi mereka sangat mobile melakukan kriminalitas dan diberitakan berbagai media massa --termasuk laporan utama majalah Der Spiegel-- sehingga kesannya banyak. Ini tak berarti laporan media keliru namun kesannya sering tak proporsional, tentu berlebihan.


Di Berlin, kota yang akan menjadi ibukota Jerman beberapa tahun mendatang ini, saya terpesona oleh Strasse des 17 Juni. Inilah jalan terpanjang yang lewat di tengah Berlin, yang membuat Berlin dijuluki sebagai kota terpanjang di seluruh Eropa. Saya bayangkan bagaimana rezim Adolf Hitler ditaklukkan oleh Uni Soviet ketika tank-tank Soviet masuk ke Berlin pada Maret 1945, babak terakhir dari Perang Dunia II di daratan Eropa. 

Di kanan kirinya bertebaran gedung-gedung tua, yang cantik dan terpelihara rapi. Interior di dalam biasanya mewah. Jalan ini juga terdapat taman-taman penuh pepohonan tertata indah. Di jalan ini pulalah terdapat Gerbang Brandenburg antara Berlin Barat dan Berlin Timur. 

Gerbang ini menjadi salah satu saksi sejarah ledakan pertama keinginan kedua rakyat Jerman, sebelum reunifikasi 1989, untuk bergabung jadi satu negara.

 Pada 9-10 November 1989, di Salatiga, saya melihat di layar televisi bagaimana gerbang ini penuh dengan manusia yang ramai-ramai menghancurkan Tembok Berlin. Gerbang ini panjang sekali. Saya terpesona dengan patung seorang ksatria sedang mengendarai chariot yang terletak diatas gerbang Brandenburg. Dengan warna kehijauan, kesan yang tampak adalah kuat. Dengan angkuhnya ksatria itu memandang jauh ke depan. 

Sekarang di sekitar Brandenburg sudah tak ada tembok Berlin maupun para demonstran. Yang sekarang banyak berkeliaran di Brandenburg adalah turis dan pedagang kaki lima, kebanyakan orang Turki dan orang dari Eropa Timur, menjual pecahan-pecahan Tembok Berlin. Secuil tembok legendaris ini dijual DM 25 (sekitar Rp 27500).

Saya tertarik untuk membeli satu atau dua biji pecahan tembok sebagai “oleh-oleh” buat ayah saya. Saya curiga pecahan -pecahan itu bukan pecahan asli. Lelehan catnya juga sampai ke sisi samping dari pecahan. Ia kelihatannya tembok biasa yang dicat sana-sini lantas di hancurkan. Karena cat masih basah ada yang meleleh ke sisi samping. Kalau itu asli tembok, tentunya tidak ada cat yang meleleh kesamping. Singkat kata, banyak souvenir palsu.

Sewaktu berada di Kaiserslautern, beberapa hari lalu, seorang dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, yang melanjutkan studi di bidang matematika, menasehati saya untuk mencuil tembok yang penuh coret-coret tersebut di Berlin. 

“Jangan beli di kaki lima,” ujarnya.

Bagaimana mungkin? Sekarang Tembok Berlin sudah habis. Memang ada yang dibiarkan berdiri tegak tetapi itu dijadikan monumen sejarah bahwa kota Berlin pernah dipisah barat dan timur. Para turis tentu tidak bisa seenaknya merusak monumen itu.

Bayangkan kalau ada turis yang akan mencuil-cuil Candi Borobudur dengan pahat? 

Saya menikmati saja keindahan dan sejarah Brandenburg tanpa membawa secuil tembok.


Di Berlin saya sempat melewati taman dengan patung Karl Max dan Frederick Engels. Taman ini terletak di Berlin bagian timur. Taman besar di pusat kota. Yang menarik, tampaknya ada tangan-tangan jahil, sengaja mencoret-coret patung kedua tokoh penandatangan Manifesto Komunisme tersebut. Ini agak luar biasa dalam masyarakat yang menghargai public property.

Dalam seluruh perjalanan saya ke beberapa kota Jerman, selama dua bulan, belum pernah saya melihat ada monumen yang bercoret-coret. 

Di mulut patu Karl Max diberi lelehan cat berwarna merah, yang mengesankan Marx baru saja “minum darah segar.” Di baju Engels juga ada lelehan cat merah. Di dahi Engels ditempelkan selembar kertas putih. Apakah ini lambang Engels yang sedang “sakit” atau “gila”?

Memang semenjak reunifikasi banyak monumen yang dibangun oleh Eric Honecker, mantan pemimpin Socialist Unity Party dari Jerman Timur, hendak dirobohkan ataupun dilecehkan. Gedung-gedung besar yang dibangun Honecker untuk markas besar partai atau gedung pemerintah, dengan alasan bahan-bahannya banyak mengadung abses, bahaya buat kesehatan manusia, hendak dirobohkan. 

Ada juga patung Vladimir Lenin dari Uni Soviet hendak dirobohkan. Ini semua memancing pertikaian antara pro dan kontra. Yang pro biasanya memakai alasan-alasan teknis. Misalnya banyak mengandung asbes, yang dilarang pemakaiannya di Jerman Barat, atau dengan beralasan sudah tidak relevan lagi mempertahankan monumen tokoh komunis macam Lenin.

Sedangkan yang kontra bisa bermacam-macam pula alasannya. Saya menangkap, ada semacam kekecewaan pada orang-orang Jerman Timur kepada pemerintahan yang baru. Mereka merasa dilecehkan. Posisi-posisi penting pada pemerintahan hasil reunifikasi diduduki orang Jerman Barat. Salah satu nama yang sempat disebut mereka adalah Hans Modrow. Tokoh ini adalah pemimpin di kawasan eks Jerman Timur yang berperan penting dalam proses reunifikasi.

Sekarang Modrow duduk pada kursi legislatif tetapi tak berada pada kursi yang vital. Ini mengecewakan orang-orang yang bersimpati kepadanya. 

Peristiwa pencoretan patung Karl Max dan Frederick Engels merupakan contoh yang tepat untuk menggambarkan pro dan kontra di Laender-Laender baru. Negara Jerman sekarang terbagi dalam 16 Laender dan lima diantaranya merupakan bekas wilayah pemerintahan Honecker di Jerman Timur.

Orang-orang yang pro meluapkan kesalahannya terhadap sistem pemerintahan ini dengan merusak apa saja yang ada hubungannya dengan sosialisme. Tetapi ada juga orang-orang eks Jerman Timur yang bersikap kritis dengan melihat kelemahan-kelemahan sistem pemerintahan Jerman Barat lewat argumentasi yang kritis. 

Kelompok kedua inilah, yang dulunya berdiri di depan Erick Honecker, sekarang ramai-ramai memimpin aksi-aksi anti pengrusakan. 

Waktu di Berlin saya melihat ada suatu demonstrasi anti penggusuran patung Lenin. Di bawah patung Karl Max dan Frederick Engels, ada nada sedih, ternyata ada orang yang dengan menulis, “Wir sind schuldig." Artinya, "Kami memang bersalah." 

Namun ada orang menambahkan dua karakter depan kata "schuldig" menjadi, "Wir sind unschuldig." 

"Kami tak bersalah." 

Makna dari aksi coret-coret, yang saling bersahutan ini, adalah cermin dari debat yang menyalahkan Karl Max atas kegagalan sistem ekonomi negara-negara sosialis, tapi di sisi lain ada pula yang membela sosialisme dengan berpendapat, “Kami tak bersalah.” 

Lantas siapa yang salah?

Beberapa cendekiawan mengemukakan bahwa embargo ekonomi secara sistematis dan terus-menerus dari blok Barat --Amerika Serikat maupun sekutu-sekutu mereka di Eropa-- harus dipandang sebagai faktor yang menyebabkan keruntuhan negara-negara sosialis di Eropa Timur maupun Uni Soviet. Amerika Serikat adalah negara yang kuat, paling kuat di seluruh dunia, dengan kekuatan ekonomi dan militer tak tertandingi. Boikot ekonomi dari Amerika bikin tekanan hebat pada negara-negara ini termasuk Jerman Timur. 

Memang tak bisa dipungkiri bahwa negara-negara Tirai Besi punya pemerintahan yang represif dan banyak korupsi. Persoalan tidak sesederhana boikot. Pemerintahan yang represif, cepat atau lambat, bikin rakyat tak senang. Siapa yang salah dan bagaimana memerlukan debat beberapa dekade untuk mencari tahu duduk perkara dengan terang. 


Terlepas dari persoalan ideologi, sekarang kegembiraan reunifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur sudah hilang. Pada awal reunifikasi mereka memang gembira karena bisa bebas bepergian dan mengunjungi saudara-saudaranya. Beberapa bulan kemudian suasana pesta harus segera berakhir. Dan yang tersisa adalah pekerjaan untuk menyepadankan (to match) kedua sistem ekonomi-sosial dari dua negara, yang berbeda selama 40 tahun.

Orang-orang Berlin Barat mulai jengkel dengan mobil Trabi di jalan-jalannya. Mobil kecil buatan eks Jerman Timur ini badannya terbuat dari karton dan plastik. Di satu sisi sangat hemat energi (1 liter bensin bisa untuk belasan kilometer) tetapi di sisi lain polusinya berat. Orang-orang Berlin Barat juga kesal dengan meningkatnya pencurian mobil dan rumah. 

Sedangkan di wilayah eks Jerman Timur, penduduknya terkejut dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Dulu pemerintah selalu mencarikan pekerjaan buat semua warga. Sekarang tidak lagi. Ongkos hidup meningkat cepat. Harga barang-barang naik tetapi gaji tidak naik. Di eks Jerman Barat, biaya hidup memang lebih tinggi dari pada di Jerman Timur. Dulu pada zaman komunisme tak ada iklan komersial. Sekarang iklan bertebaran seluruh Jerman. 

Seorang mahasiswa Berlin mengatakan, “Dulu di pintu masuk perbatasan dapat dilihat panser dari Uni Soviet siap siaga. Tetapi sekarang sudah berganti dengan iklan rokok West dan Marlboro. Bahkan dapat dikatakan sekarang di eks Berlin Timur, lebih banyak dibandingkan dengan Barat." 

Persoalan-persoalan sosial seperti inilah yang kemudian mendorong suburnya semangat anti-orang asing. Pemuda-pemuda Neo Nazi banyak bermunculan dari eks Jerman Timur. Mereka mencari kelompok yang lemah seagai kambing hitam. Dan orang asing yang bekerja di Jerman adalah sasaran yang paling empuk.

Mereka menuduh orang asing merebut pekerjaan-pekerjaan mereka, makanan, pakaian dan lain-lain. Ketertutupan selama 40 tahun, dimana orang-orang Jerman Timur, tidak mendapat banyak kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di luar, membuat mereka sering salah mengerti dengan kebudayaan dan pemikiran yang berbeda.

Maka teriakan-teriakan, "Ausländer raus!" (Orang asing keluar) selalu tercetus dalam setiap demonstrasi-demonstrasi mereka di Dresden, Halle, Leipzig dan sebagainya. 

Semangat untuk menunjukkan nasionalisme sendiri, yang sempit yang anti pada yang liyan, perlahan juga muncul dengan melecehkan bangsa lain, termasuk orang Turki, yang kebanyakan Muslim, maupun Polandia dan Rusia, yang Kristen namun beda dengan Protestanisme di Jerman.

Ini mendapatkan reaksi yang tidak kalah besarnya dari orang-orang Jerman lain. Demonstrasi-demonstrasi anti rasialisme dan anti kekerasan muncul dimana-mana. Di Bochum, tempat di mana saya kebanyakan tinggal, saya pernah ikut berdemonstrasi anti rasialisme.

Dalam demonstrasi tersebut teriakan-teriakan “Internationale solidarity” menggema dimana-mana. Pernah saya ikut demonstrasi yang diikuti sekitar 5.000 orang. Saya diminta untuk ikut memegang suatu spanduk tentang perlunya menghargai orang lain. Penduduk Bochum sekitar 200.000. Ada yang karton dengan tulisan, "Foreigners, don’t leave me alone" maupun, "Everybody is a foreigner." Memang di dunia ini semua orang adalah pendatang. 

Persoalan penyelesaian kedua Jerman seharusnya tidak perlu terjadi dengan mencari kambing hitam untuk disalahkan, diburu dan dipukuli. Dan mengetahui ini semua, diam-diam saya menjadi sedikit mengerti dengan perjuangan dan keindahan Berlin, menyimpan segala dendam dan amarah. 


Catatan Perjalanan dari Jerman

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991

Sunday, December 01, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Kebebasan pers dan Amerika Serikat

Andreas Harsono
Bernas, 1 Desember 1991

SELAMA HAMPIR DUA BULAN di Jerman saya benar-benar dibanjiri informasi dari siaran televisi yang menyiarkan konferensi Madrid dari detik ke detik atau peristiwa pernikahan Liz Taylor. Pertandingan sepak bola, konser musik dan sebagainya. Saya juga dibikin gembira dengan penerbitan pers yang membanjiri setiap toko di stasiun maupun kios-kios di ujung jalan. 

“Di sini informasi cepat sekali,” ujar seorang rekan. 

Saya bahkan bisa mengetahui berita tentang Indonesia --misalnya peristiwa penembakan di Dili-- lebih cepat, lebih akurat dan lebih lengkap dibanding kalau saya di Indonesia. Lewat hubungan telepon internasional, yang mahal sekali, saya senantiasa bisa mengetahui isu apa yang sedang hangat di kalangan teman-teman di Salatiga.

Pada tahun 1987 di Jerman, sebelum reunifikasi, setiap hari beredar sekitar 20.7 juta eksemplar penerbitan pers. 

Untuk penduduk Jerman, yang jumlahnya sekitar 65 juta jiwa, perbandingan tentu besar sekali. Saya pikir angka-angka ini sudah menunjukkan betapa besarnya minat baca orang Jerman. Sekaligus juga memperhatikan bahwa negara terluas di Eropa Barat ini sudah lama sekali memasuki kebudayaan tulis. 

Harian terbesar di Jerman adalah Bild Zeitung. Setiap hari rata-rata 5 juta eksemplar terjual habis lewat kios-kios di pinggir jalan. Koran ini ukuran tabloid sebanyak 12 halaman. Harganya DM 0.6 (Rp 660). Ia tipis sekali dan formatnya adalah tabloid. 

Di halaman tengah selalu ada gambar gadis, telanjang, juga memperlihatkan payudaranya. Koran ini termasuk salah satu koran yang ikut mengobarkan semangat kaum kanan dan anti orang asing. Isu ini belakangan ini  ramai di Jerman.

Dalam bulan September, Bild Zeitung pernah melaporkan, “Orang asing sekarang bisa membeli apa saja. Mereka bisa membeli jaket kulit yang bagus sementara saya tidak bisa." Itu omongan salah satu pemuda Jerman yang diwawancarai. Tabloid terbitan Hamburg ini bikin saya khawatir. Bakal banyak opini orang akan terpengaruh.

Tetapi ternyata persoalan kebebasan mengemukakan pendapat ini tidak sederhana yang saya bayangkan. Karena pada saat yang bersamaan di Jerman juga ada koran-koran dengan pemberitaan yang bisa mengimbangi Bild Zeitung. Dari Essen terbit Westdeutsche Allgemeine Zeitung dengan oplah 667.000 eksemplar per hari. Ini adalah koran kedua terbesar di Jerman.

Beda dengan Indonesia dimana koran nasional didominasi oleh suratkabar dari ibukota Jakarta, di Jerman koran daerah pun tetap bisa berkembang sampai keluar batas-batas daerahnya. Koran terbesar Bild Zeitung ternyata tidak terbit dari Bonn tapi dari Hamburg. Dan majalah yang sangat diperhitungkan, di Jerman maupun secara global, tentu saja, majalah Der Spiegel yang terbit tiap Senin dengan olah per hari 667.000 eksemplar. 

Sewaktu baru tiba di Jerman saya dikejutkan oleh kritik Der Spiegel terhadap Greenpeace, organisasi lingkungan hidup terbesar dalam sejarah dunia. Kritik ini ternyata menjalar kemana-mana. Masuk ke pusat-pusat pemberitaan media Barat, melewati batas-batas negara dan ketika pulang ke Indonesia, saya juga membacanya, di salah satu koran di Indonesia walau terlambat sekitar satu bulan setengah dari Der Spiegel.

Di Jerman, majalah ini dianggap oleh kalangan cendekiawan Jerman sebagai tiruannya majalah Time dari New York, Amerika Serikat. 

Amerika memang dihormati di Jerman. Usaha untuk meniru “American style of life” juga tidak malu-malu dilakukan di Jerman. Mungkin ini terjadi karena di Jerman sulit sekali untuk mendapatkan buku dalam bahasa Inggris. Siaran televisi semua dalam bahasa Jerman, film-film Amerika di-dubbing

Amerika adalah negara yang setengah abad lalu menaklukan Jerman dan sekarang menjadi salah satu sekutu Jerman yang terpenting dalam North Atlantic Treaty Organization. 

Tentara-tentara Amerika banyak yang berkeliaran di Jerman. Tentara-tentara Amerika ini tinggal di barak-barak mereka yang punya fasilitas lengkap, ibarat, komunitas yang eksklusif. 

Mereka mempunyai perumahan, sekolah, rumah sakit dan berbagai fasilitas sendiri. Saking banyaknya tentara Amerika di Kaiserslautern, salah satu kota yang saya kunjungi, ongkos bis bisa dibayar dengan dolar Amerika. 


PERTANYAAN yang sekarang penting untuk dijawab: Dengan demikian banyak penerbitan pers di Jerman apakah keseimbangan dan kebebasan berpendapat itu benar-benar terlaksana sepenuhnya? Dengan kemampuan menangkap siaran stasiun televisi yang mencapai 20an bahkan terkadang 30an channel, termasuk siaran dari Amerika Serikat, apakah keseimbangan dan kebebasan berpendapat terlaksana sepenuhnya?

Saya khawatir manipulasi berita atau setidaknya monopoli sumber pemberitaan, secara mendasar, sebenarnya masih bisa terjadi di negara maju seperti Jerman. 

Di balik angka-angka yang menggiurkan tentang jumlah penerbitan di Jerman, sebenarnya pers hanya dikuasai oleh sedikit orang. 

“Sekarang di berbagai daerah orang-orang tidak dapat lagi memilih antara dua atau lebih harian dengan laporan lokal yang berbeda dan sikap politik yang berbeda,” ujar seorang dosen suatu universitas daerah Ruhrgebiet. 

Ini bisa terjadi karena adanya merger pun integrasi berbagai perusahaan pers. 

Konglomerat pers semacam Axel Springer AG, yang menerbitkan Bild Zeitung, juga menguasai mayoritas saham dari koran-koran lain yang lebih kecil. Koran di Jerman praktis didominasi oleh Axel Springer AG termasuk dua kelompok lain, Welt on Sonntag dan Bild am Sonntag

Kemajuan teknologi dan kekuatan ekonomi membuat penerbitan-penerbitan kecil gulung tikar dan diambil perusahaan besar. Konsekuensi dari merger ini, tentu saja, sikap politik, dan pola pemberitaan menjadi seragam. Dan media cetak sampai media elektronik semuanya dikuasai oleh raksasa-raksasa bisnis informasi Jerman.

Ketika di Berlin saya juga menyaksikan suatu pemandangan yang unik tentang peranan perusahaan-perusahaan besar di bidang informasi ini. 

Di daerah perbatasan antara Berlin Barat dan Berlin Timur, Axel Springer AG mempunyai sebuah gedung yang tinggi sekali. Karena berdekatan dengan wilayah Berlin Timur, di puncak pencakar langit itu di pasanglah suatu billboard raksasa. Setiap hari di billboard tersebut dipasang kalimat-kalimat yang isinya dimaksudkan agar dibaca oleh penduduk Berlin Timur. Ini jelas keperluan propaganda karena itu, setiap kali di wilayah eks Jerman Timur terjadi intimidasi atau kejadian apapun yang mampu dibuat untuk mendiskreditkan pemerintah Eric Honecker, billboard itu pun dimuati kalimat-kalimat “berita.”

Pemerintah Jerman Timur tampaknya juga menanggapi psywar tersebut dengan membangun gedung-gedung yang lebih tinggi, berhadapan dengan gedung Alex Springer AG. Selain kebutuhan akan rumah meningkat, akhirnya gedung -gedung itu juga dimanfaatkan untuk menutupi billboard 

Saat saya datang ke Berlin, tentu saja, perang propaganda itu sudah berakhir. Tembok Berlin yang membatasi kedua gedung-gedung yang dibuat “bermusuhan” itu juga sudah tidak ada. Yang ada hanyalah tanah lapang, bekas daerah tak bertuan, yang sekarang sedang dibersihkan untuk dimanfaatkan pemerintah kota Berlin. Tetapi perang propaganda tersebut setidaknya membuktikan betapa perang informasi juga bisa terjadi secara telanjang dan kasar. 


Catatan Perjalanan dari Jerman 

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991