Friday, November 29, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Mengenal LSM-LSM di Jerman

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 29 November 1991

Seperti minggu lalu, kali ini kami tetap menurunkan catatan perjalanan, Andreas Harsono, yang selama sebulan lebih berada di Jerman. Banyak sisi-sisi menarik yang bisa direnungkan, justru karena penulisannya mengungkapkan dalam perbandingan dengan situasi di Indonesia.


Di Jerman seperti halnya di Indonesia banyak NGO (non-governmental organization) atau LSM (lembaga swadaya masyarakat) dengan ruang gerak yang berbeda-beda. Ada yang menjadi pusat informasi seperti Südostasien Informationsstelle di Bochum, Deutsch-Burmesische Gesellschaft di Hamburg dan lainnya. Ada pula yang bergerak di bidang lingkungan hidup seperti Robin Wood, Greenpeace, Bund für Umwelt und Naturschutz Deutschland (BUND) dan sebagainya. Atau yang menekankan kegiatannya pada penelitian seperti Oko Institute.

Atau yang lebih khusus lagi ada kelompok anti nuklir yang bekerja dalam gerakan anti transportasi atom (bahan bakar nuklir) seperti Burger Initiative gegen Antolagen. Selain itu juga ada kelompok pembelahan yang konsumen seperti Verbraucher Initiative semacam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 

Jadi kalau di perlihatkan dengan saksama, sebenarnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mayoritas LSM itu, kurang lebih juga telah dilakukan di Indonesia. Sejauh pengetahuan saya, di Indonesia juga banyak terdapat LSM yang bekerja di lapangan lingkungan hidup, pusat penelitian, pusat informasi, gerakan konsumen dan sebagainya.

Tetapi saya yakin di Indonesia, belum ada organisasi yang semacam Internationale Coordinationsstelle-Aktiv gegen Bayer-ukweltgefahrung. Kalau di bahasa-indonesia-kan artinya, “Koordinasi Internasional -Aktif dalam melawan Perusakan Lingkungan Bayer. Tujuan organisasi ini dijadikan sangat khusus sekali yaitu mengadakan perlawanan terhadap perusakan-perusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan kimia Bayer dimana pun juga di muka bumi ini. 

Bayer salah satu konglomerat terbesar Jerman.  Di Indonesia salah satu produk Bayer yang terkenal adalah obat serangga Baygon. Organisasi “gegen Bayer” dibentuk untuk menandingi aksi-aksi perusakan Bayer termasuk di antaranya memperpanjang buruh-buruh Bayer di Brasil. Saya pikir di Indonesia masih belum ada LSM sejenis ini?

Beda Dasar

Tetapi saya tidak setuju kalau dikatakan bahwa bentuk dasar dari LSM di Jerman adalah sama adanya dengan bentuk dasar LSM di Indonesia. Salah satu perbedaan mendasar dari LSM Jerman dan LSM di Indonesia adalah badan hukumnya. 

Di Indonesia mayoritas LSM berbentuk “yayasan.” Ada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yayasannya Sekretariat Bina Desa, Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial di Surakarta dan sebagainya. Sedangkan di Jerman, mayoritas bentuk badan hukum dari LSM adalah eingetragene Verein (disingkat e.V.) yang bisa disetarakan dengan bentuk badan hukum “perkumpulan” di Indonesia. Misalnya, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) atau Perkumpulan Persatuan Sais Dokar di wilayah Salatiga.

Perbedaan mendasar antara e.V. dan yayasan adalah struktur organisasinya. Pada sebuah yayasan, kekuasan tertinggi terletak pada apa yang biasanya disebut sebagai “Badan Pendiri” Biasanya anggota-anggota badan ini sekaligus juga pendiri yayasan. Jumlahnya tidak banyak, bahkan di Indonesia tidak jarang pendirinya hanya 3 orang. Tetapi ketiga orang pendiri inilah yang menentukan mati hidupnya dan maju-mundurnya yayasan. 

Sedangkan pada sebuah e.V. kekuasaan tertinggi ada pada anggota. Dalam e.V. yang benar, boleh jadi ada lembaga perwakilan sehingga tidak semua anggota menghadiri rapat akbar. Tetapi dasarnya tetap yaitu kekuasaan tertinggi tidak terletak di tangan segelintir orang. 

Disinilah saya melihat dimensi demokrasi sebuah “perkumpulan” dari pada elitisme seperti pada yayasan di Indonesia. George Junus Aditjondro, salah satu “pakar LSM di Indonesia” –meminjam ungkapan seorang staf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-- menyamakan elitisme yayasan dengan elitisme sistem yang lebih besar. Karena sistem sosial di Indonesia adalah elit, maka dalam segala dimensinya, bagian -bagian dari sistem itu juga elit.

Kaya?

Seorang mahasiswa Jerman di Hamburg menjadi terheran-heran ketika mengetahui, bahwa mayoritas LSM di Indonesia badan hukumnya adalah “yayasan.” Sumber keheranan mahasiswa itu berasal dari fenomena Jerman, bahwa yayasan (stichting) biasanya didirikan oleh orang -orang kaya, yang hendak mengamalkan uangnya demi kepentingan sosial. Karena itu kekuasaan tertinggi dari yayasan wajar kalau elitis. Nama dari yayasan di Jerman, sama dengan di Amerika, juga diambil dari nama tokoh bersangkutan.

"Apa di Indonesia banyak orang kaya?" tanya seorang mahasiswa itu bergurau. 

Ditanya demikian perasaan saya jadi kecut. Karena saya mengetahui, bahwa sumber keuangan LSM di Indonesia kebanyakan dari sumbangan lembaga-lembaga di luar negeri. Biarpun ada juga yayasan-yayasan yang dananya dari dalam negeri, misalnya Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, mereka dikenal dengan istilah “LSM plat merah”. Maksudnya milik pejabat atau keluarganya. Dana mereka sebenarnya dari negara yang dengan berbagai macam cara disalurkan ke yayasan-yayasan. LSM yang mengklaim dirinya “tidak berpelat merah” mengandalkan dananya dari bantuan luar negeri.

Sedangkan di Jerman seperti BUND misalnya, dana diperoleh dari iuran atau dukungan anggota. Hanya dengan iuran itu saja terkadang satu LSM cukup untuk membiayai operasinya. Termasuk menggaji beberapa orang untuk bekerja sebagai full timer. 

Bagi LSM yang kurang mampu, pemerintah Jerman membantunya dengan menyediakan tenaga AMB (Arbeitsbeschaffungsmaßnahmen). Tenaga ini adalah pekerja sosial yang bekerja pada LSM. Tetapi gaji dan tunjangannya di bayar oleh pemerintah, seperti di Südostasien Informationsstelle, pusat informasi Asia Tenggara, yang mengundang saya, disana ada beberapa tenaga AMB bekerja secara penuh.

Selain bantuan tersebut, pemerintah Jerman juga memberikan tunjangan kepada setiap penduduk Jerman yang hendak berpolitik. Berpolitik di sini pengertiannya adalah memperjuangkan keinginan mereka dengan cara-cara yang legal. 

Kalau ada penduduk Jerman yang ingin masuk dalam organisasi yang mengkhususkan diri untuk membantu rakyat Amerika Latin misalnya, pemerintah Jerman akan menunjang kegiatannya. Setiap bulan per orang mendapat bantuan DM 3 (kurang lebih Rp 3.300). Karena itu legal. Lain kalau misalnya masuk dalam organisasi yang tujuannya mengadakan teror terhadap orang asing. Ini termasuk ilegal sehingga tidak akan diberikan tunjangan. Bahkan kalau terbukti melakukan kriminalitas bisa dituntut ke pengadilan.

Greenpeace

Ketika di Jerman, saya beruntung mendapat kesempatan untuk merasakan bagaimana isu mengenai LSM mendapat perhatian secara besar-besaran. Majalah paling berpengaruh di Jerman, yaitu Der Spiegel lagi mengkritik habis-habisan Greenpeace. Organisasi lingkungan hidup yang terbesar dalam sejarah dunia itu diserang oleh Der Spiegel karena persoalan keuangan dan tidak ada demokrasi dalam mekanisme pengambilan keputusan.

Akibat dari laporan utama di bulan September itu, dimana-mana orang berbicara tentang Greenpeace. Koran-koran lain, bukan hanya di Jerman tetapi merembet keluar dari Jerman (termasuk di Indonesia), pada ramai memperbincangkan kritik tajam Der Spiegel. Dalam pertemuan-pertemuan dengan pimpinan LSM lain, secara bergurau ada yang berkata kepada saya, “... tetapi kami tidak. seperti Greenpeace.”

Pada tahun 1991, dalam usia yang keduapuluh, diperkirakan Greenpeace e.V. memiliki dana US$160 juta dari dukungan sekitar 5 juta anggota. Yang membanggakan mereka. Greenpeace dengan demikian mampu berdiri sendiri tanpa bantuan keuangan dari negara maupun perusahaan besar manapun. Dari markas besar di Amsterdam, Greenpeace mampu memonitor hampir semua kerusakan lingkungan di seluruh dunia. Greenpeace juga mengembangkan Green Link, jaringan data lingkungan hidup yang terbaik di seluruh dunia, maupun Green Base, pusat data raksasa.

Di samping itu, dengan aksi-aksinya bak pasukan berani mati, misalnya menggantungkan spanduk anti nuklir di patung Liberty (New York) atau jembatan sungai Thames (London). Greenpeace memiliki 8 buah kapal terbesar di dunia. Kapal-kapal itu dilengkapi dengan peralatan komunikasi satelit, transmitter foto, laboratorium pencemaran air, helikopter dan sebagainya. 

Dalam setiap aksinya, Greenpeace membawa wartawan foto sendiri dan hasilnya langsung dikirim secara elektronik ke kantor-kantor berita atau koran di seluruh sudut dunia. Greenpeace dengan segala kebesarannya, sejak tahun 1988, juga membuka cabang di Norwegia, Chili, Yunani, Irlandia, Moskow, Kiev, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Costa Rica dan Jepang. Sejauh ini, menurut keterangan seorang aktivis lingkungan hidup di Jakarta, Greenpeace dilarang pemerintah Indonesia untuk masuk ke Indonesia. 


Catatan Perjalanan dari Jerman: Beredar 70 Majalah Porno

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 29 November 1991

Di Jerman kalau ada yang hendak membuka pembicaraan dengan orang asing, pertanyaan pertama yang biasanya mereka ajukan adalah, “Bagaimana kesan Anda dengan Jerman?” Dan itu pula yang harus saya hadapi selama di Jerman. Kalau yang menanyakan itu orang kebanyakan, sekedar tegur sapa, saya jawab ala kadarnya saja. “Pemandangannya Indah, negaranya kaya dan sebagainya.” 

Tetapi kadang-kadang ada juga orang yang kritis dan benar-benar ingin tahu tentang negaranya dari sudut pandang orang asing. Dan itulah yang terkadang saya alami.

Secara jujur suatu saat saya katakan, bahwa salah satu yang baru buat saya, selama di Jerman, adalah banyaknya majalah-majalah porno yang dijual secara bebas. Waktu pertama kali turun di bandar udara Frankfurt saya sudah dibuat kaget melihat banyaknya majalah porno dijual di bandara udara. Dari Playboy, Penthouse, Hustler, Herr Magazine, St Pauli, Erotik Girls, Sexy Girls, Beate Uhse dan lainnya. Selain itu juga ada yang semi porno (hanya memperlihatkan payudara). Misalnya Quest, Neue Revue dan sebagainya. Untuk yang belakangan ini masyarakat Jerman tentu saja tidak menganggapnya sebagai majalah porno, “Majalah gosip,” ujar mereka. Dan ini banyak bukan main.

Dan yang lebih baru lagi, ternyata majalah–majalah itu punya beberapa edisi, Playboy misalnya, selain edisi bahasa Jerman juga dijual edisi bahasa Inggris. Belakangan saya ketahui juga ada yang edisi bahasa Belanda dan Prancis. Mungkin masih ada edisi–edisi lain. Serikat pers Barat memang menembus batas-batas negara. 

Majalah-majalah seperti ini dijual di kios-kios kecil hampir di setiap ujung jalan di seluruh Jerman.  Di stasiun kota Mainz iseng -iseng saya pernah menghitung berapa majalah-majalah seperti itu diterbitkan. Hasilnya cukup mengejutkan. Ada sekitar 70 jenis majalah porno. Dan itu semua dijual bebas dan dipajang dengan santai di seluruh Jerman seperti halnya orang menjual majalah atau koran di Indonesia.

Eksplotasi Perempuan

Eksploitasi seksualitas kaum Hawa ini bukan saja lewat lembaran-lembaran kertas. Acara televisi juga diselingi dengan film semi porno maupun porno lunak. Memang tidak setiap malam ada film seperti itu. Tetapi untuk mengatakan sebagai “jarang” juga tidak tepat. 

Bahkan juga bikin saya geleng-geleng kepala, di Jerman ada sebuah stasiun televisi swasta --dari sekitar 30-an acara televisi yang bias ditangkap-- yang menyelenggarakan acara kuis bernama, “Tutti Frutti.” Dalam acara tebak-menebak itu pesertanya ada dua orang. Satu perempuan dan satu laki-laki. Mereka berlomba untuk hadiah-hadiah yang besar nilai materinya. Tetapi yang dipertaruhkan adalah pakaian mereka. Tiap kali markah (score) salah satu peserta berkurang, bisa ditebus dengan membuka pakaiannya satu per satu. Dan yang paling sering terjadi, pada akhir acara kedua peserta hanya memakai celana dalam. 

Acara ini banyak penggemarnya. Mungkin karena disajikan secara memikat dan halus. Pesertanya pernah seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak, yang body-nya konon sudah tidak bisa dibilang indah lagi. Tetapi itulah yang bikin acara ini jadi ramai. Apalagi diselingi dengan peragawati – peragawati yang juga bersedia melucuti pakaian dalamnya (sebatas dada) sesuai dengan nomor tebakan atau putaran dadu.

Pernah pula dalam suatu kesempatan, saya diajak untuk melihat-lihat daerah” lampu merah” di suatu kota besar (saya jadi ingat dengan mahasiswa-mahasiswa Jepang yang ikut pertukaran mahasiswa di Salatiga juga diajak mengunjungi lokalisasi pelacur). Di seluruh jalan-jalan kecil yang bersih itu banyak sekali etalase-etalase dengan lampu redup berwarna merah atau ungu. Dan di dalamnya ada perempuan-perempuan yang hanya memakai pakaian dalam sambil berusaha memikat “calon konsumen.”

Para pelacurnya banyak yang wanita kulit putih tetapi juga tidak sedikit dari kalangan perempuan kulit berwarna. Gadis kulit hitam, berkulit kuning maupun kecoklatan, semua bergaya sendiri-sendiri. Di Eropa Barat, yang biasa di kenal sebagai korban perdagangan perempuan, adalah gadis-gadis Thailand. Perasaan saya jadi campur–aduk. Di satu sisi, saya munafik kalau mengatakan tidak tertarik untuk melihatnya, tetapi di sisi lain saya juga merasa iba.

“Kok, seperti jualan daging mentah saja,” itulah komentar seorang rekan perempuan. Saya sendiri terkadang merasakan pemandangan seperti ini mirip pemandangan di kebun binatang. Ada wanita-wanita yang dipamerkan di balik “kurungan kaca.”

Dan di daerah yang sama pula ada banyak toko yang menjual berbagai “peralatan aneh,” gedung pertunjukan live show dan sebagainya. Saya lihat tidak sedikit pemuda yang berebut untuk nonton pertunjukan semacam ini. Di pusat-pusat kota (bukan di daerah lampu merah), juga selalu ada apa yang dinamakan sebagai sex shop. Ini memang toko yang jualannya berhubungan dengan seksualitas. Konon di setiap kota di Jerman ada toko dan daerah semacam itu. 

Kota Hamburg adalah salah satu kota dengan daerah “lampu merah” terbesar di seluruh Jerman. Mungkin dikarenakan kota Hamburg adalah kota pelabuhan. Pengalaman-pengalaman semua ini merupakan sesuatu yang baru buat saya. Singkat kata, saya jadi bertanya–tanya bagaimana norma – norma seksualitas yang berlaku di Jerman ini sedemikian rupa sehingga semua ini bisa terjadi?

Kebudayaan Global

Beberapa rekan dari Jerman mengakui, bahwa pornografi seakan – akan sudah menjadi sesuatu yang berlaku sehari–hari di Jerman. Tetapi mereka juga tidak setuju kalau dikatakan di Indonesia keadaannya jauh lebih reda. Kalau saya mau jujur, dalam bentuk yang lain sebenarnya ini juga terjadi di Indonesia. 
Seorang rekan Jerman bercerita bagaimana dia mengetahui banyak kaum laki-laki di Indonesia yang menyimpan majalah-majalah dan kaset video porno di rumahnya untuk di lihat secara diam-diam. Dan tidak jarang pula ketika naik bis umum di terminal-terminal Indonesia rekan tersebut ditawari dengan novel-novel porno atau gambar-gambar porno. “Jadi sama saja,” katanya. 

Sementara yang namanya pelacuran, biar secara resmi dilarang di Indonesia, bahkan konsumen diancam dengan hukuman pidana, di setiap kota, toh selalu ada kompleks pelacur. Jadi pada dasarnya sama saja. Pelacuran adalah profesi tertua di dunia sehingga pelacuran juga di mana-mana.

Saya tetap berpendapat, ini adalah sesuatu yang sudah berlebihan dari kacamata Indonesia. Di negara semacam Jerman, perempuan yang tidak keberatan memperlihatkan buah dadanya, jelas jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Indonesia. 

Kebudayaan “buka-bukaan” ini bukannya tidak ada di Indonesia.  Tetapi saya belum pernah melihat, misalnya seorang mahasiswi yang kepanasan lalu berjemur matahari sambil bertelanjang dada, sedangkan di Jerman, musim panas biasanya diiringi dengan laki-laki maupun perempuan yang bertelanjang dada.

Dan dari cerita seorang mahasiswa indonesia di Jerman. Saya juga mengetahui, bahwa tingkah-laku remaja Jerman dalam berpacaran terkadang juga “mengerikan” orang Indonesia. Mereka tidak segan-segan untuk berciuman dengan mesra di tempat umum.  Kadang–kadang bahkan gremet – gremet segala.  Dan yang melakukan bukan pemuda umur 20an tahun. Tetapi terkadang pasangan-pasangan usia SMP. Buat ukuran Indonesia, tentu sangat luar biasa. Biarpun di kota–kota besar saya sering membaca laporan tentang remaja putri yang hamil, tetapi saya tidak yakin kalau remaja Indonesia bisa seberani itu. 

Tetapi ini semua tidak kemudian menjadi orang–orang Jerman pada jadi orang aneh. Karena seiring dengan meningkatnya usia, mereka juga menjadi jenuh dengan eksploitasi seks dengan cara demikian. Akhirnya mereka juga bicara soal cinta. Akhirnya mereka juga bicara soal mempunyai anak. Dan biarpun makin hari makin banyak pasangan Jerman yang hidup bersama di luar nikah, tetapi lahirnya anak, biasanya dilanjutkan dengan pernikahan. 

Tetap saya yakin dibalik semua ini ada nilai–nilai lain yang tidak sekedar hitam atau putih. Masalah seks di Indonesia seringkali dianggap sebagai hitam dan putih saja karena ditabukan. Karena ditabukan, banyak pemuda yang kemudian menjadi agresif hanya karena ada seorang gadis belia murah senyum, memakai rok mini lewat di hadapannya. Padahal dalam benak si gadis tidak ada apa–apa selain ingin kelihatan cantik untuk sesama perempuan. 

Dan dalam kerangka pemikiran yang campur aduk inilah, kebetulan saya membaca majalah Prisma yang pertama kalinya melapor-utamakan persoalan seksualitas. Meminjam pendapat Julia Suryakusuma, redaktur tamu majalah itu untuk edisi Seks dalam Jaring Kekuasaan. Di Indonesia, seksualitas sebagai bidang studi ilmu sosial boleh dikatakan belum lahir. Anehnya, pada saat krisis sosial, perilaku seksual sering kali menjadi lebih “ekspresif” dan mempunyai nilai simbolik yang besar sehingga seksualitas dapat menjadi semacam “barometer” masyarakat. 

Friday, November 22, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Bhineka Tunggal Ika ala Jerman

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 22 November 1991

SALAH satu kenyataan
yang menarik perhatian saya di Jerman adalah fenomena kota terbesar di Jerman, ternyata bukan ibukotanya. Bonn ternyata tidak termasuk lima kota terbesar di seluruh Jerman. Kota-kota semacam Berlin, Hamburg, München, Frankfurt, dan Koln jauh lebih besar dari ibu kota Bonn. Baik dalam jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah perputaran uang, tenaga terdidik dan lainnya. 

Kota-kota itu jauh lebih unggul. Biarpun sekarang sudah ada persiapan memindahkan ibukota ke Berlin, sesudah reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur, tetapi perpindahan tersebut bukan karena alasan dimensi kota melainkan alasan historis.

Ini menarik karena jauh berbeda dengan di Indonesia. 

Di Indonesia yang namanya Jakarta, jauh menjulang ke atas, sementara kota-kota yang lain tertinggal di bawah. Uang semua terpusat di Jakarta. Sarjana-sarjana pada lari ke Jakarta. Kantor-kantor pusat pemerintahan maupun perusahaan ada di Jakarta. 

Barang-barang lengkap ada di Jakarta. Dampaknya, selain daerah menjadi tidak menarik, tidak sedikit kekecewaan yang menjelma menjadi pemberontakan kepada Jakarta.

Di Jerman sebuah event yang bersifat international ternyata bisa diadakan di daerah yang bukan merupakan pusat pemerintahan. Pameran produksi, pameran kebudayaan, acara kesenian, konferensi, pertandingan olahraga dan lainnya tidak harus diadakan di pusat pemerintahan. 

Fasilitas-fasilitas juga tidak harus terletak di pusat. Sebuah contoh: lapangan udara terbesar di seluruh Eropa terletak di kota Frankfurt di Laender (negara bagian) Hessen. Ibukotanya adalah Wiesbaden. Lapangan udara itu terletak bukan di pusat pemerintahan daerah. Kalau dibandingkan dengan Jawa Tengah misalnya, lapangan udara terbesar justru terletak di Pekalongan. Bukan di Semarang. 

Dan masih banyak contoh lain untuk menunjukkan bagaimana ratanya pusat-pusat kekuasaan politik, ekonomi, kebudayaan, maupun teknologi di Jerman. Perbedaan inilah yang membuat saya ingin tahu mengapa pertumbuhan daerah-daerah di Jerman bisa begitu merata? 

Sedangkan di Indonesia tidak.

Desentralisasi

Selama hampir dua bulan “keluyuran” di Jerman, dan mengetahui beberapa fakta tentang Jerman, saya pikir ini semua bisa terjadi antara lain karena sistem pemerintahan yang terdesentralisasikan. 

Di Jerman ada semboyan semacam “Bhineka Tunggal Ika” --Einheit in der Vielfalt. Biarpun berbeda-beda dan terpisah-pisah tetapi tetap tunggal juga. Dari utara sampai selatan, dari barat sampai timur, biarpun bersatu, tetapi Jerman adalah negara-negara yang saling terpisah.  

Dalam negara makmur tersebut keragaman nya tidak kalah banyak dengan keragaman yang ada di Indonesia. Bedanya, di Indonesia keragaman terletak pada jumlah etnis, agama, dan bahasa (daerah). Di Jerman keragaman terletak pada sejarah dan struktur politik masing-masing daerah. 

Keragaman itu tidak diwujudkan dalam bentuk negara kesatuan. Tetapi justru diwujudkan dalam sebuah bentuk negara yang menghormati keragaman. Masing-masing daerah diberi kewenangan yang tinggi untuk mengatur nasibnya sendiri.

Sejak zaman raja-raja, sama dengan sejarah Indonesia, Jerman memang sudah terbagi dalam kerajaan-kerajaan kecil yang independen satu dengan yang lainnya. Kecuali dalam masa kediktatoran Nasionalis Sosialis 1933-1945, yang sentralistis dibawah kepemimpinan Adolf Hitler. Sistem yang desentralistis ini pula yang saya lihat pada Jerman hari ini.

Pada Jerman modern, struktur politiknya adalah struktur yang menomorsatukan desentralisasi.

Meminjam ungkapan seorang cendekiawan Jerman, Dr Konrad Reuter, “The architects of the Basic Law wanted to avoid setting up huge central authorities that would take decisions affecting people in far-away places.” Undang-undang dasar ini sengaja untuk mencegah orang-orang di Bonn menentukan semua aspek kehidupan daerah-daerah. 

Kemerdekaan ‘Laender’

Berdasarkan undang-undang dasar itulah, Jerman memiliki 16 “negara” (setelah reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1989). Dalam bahasa resmi, keenam belas “negara” itu bisa dinamakan sebagai Laender. Mereka keberatan kalau disebut sebagai negara bagian dan juga keberatan kalau disebut provinsi. 

Sebuah Laender terbagi dalam beberapa kreis. Sedangkan yang menjadi wadah atau payung dari 16 Laender itu adalah bund (negara federal), kepala negara bund adalah seorang Presiden. Sedangkan kepala pemerintahan adalah Kanselir. Setiap Laender dipimpin oleh seorang presiden lengkap dengan kabinetnya masing-masing.

Dalam praktiknya, pemerintahan bund bertugas menangani misalnya urusan luar negeri, pertahanan, mata uang, besaran (berat, panjang dan sebagainya) atau masalah tapal batas. Sedangkan wewenang Laender misalnya pada persoalan pendidikan tinggi, media massa, film, konservasi alam, tata ruang, perencanaan daerah, registrasi, pembuatan KTP (ID card), paspor dan sebagainya. 

Tentu saja, ada beberapa persoalan yang bisa tumpang tindih, tetapi itu pun diatur secara rinci. Misalnya dalam soal keuangan, proyek-proyek yang harus dibiayai bersama tentunya akan dibiayai bersama-sama. Dan itu semua diatur oleh undang-undang. 

Tetapi biarpun demikian tidak berarti antara Laender-Laender dan bund selalu akur. Ketika saya berada di Laender Niedersachsen, salah satu Laender di Jerman bagian utara, saya menemukan adanya sengketa panas antara pemerintah pusat dengan pemerintah Laender. 

Persoalannya adalah nuklir. Pemerintah Niedersachsen berkeberatan dengan keberadaan empat pembangkit listrik nuklik maupun sebuah tempat pembuangan limbah nuklir di wilayahnya. Alasan mereka, terutama dari orang-orang Umwelt ministerium (kementerian lingkungan hidup), proyek-proyek itu terlalu bahaya bagi masyarakat sekitar. 

Sementara para pejabat dari pusat berpendapat sebaliknya. Pejabat pusat mengatakan, bahwa teknologi yang dipakai di sana merupakan jaminan tidak akan terjadinya bahaya apa-apa.

Dalam pertentangan itu, untuk memenangkan argumentasi, mereka harus mengacu pada undang-undang yang berlaku. Yang hanya tertulis kurang lebih, “Proyek-proyek hanya bisa berjalan apabila tidak membahayakan masyarakat.” Karena itulah, kedua pihak sibuk mencari bukti-bukti ilmiah, bahwa proyek itu berbahaya atau tidak berbahaya.

Berbagai pertemuan diadakan untuk membahas persoalan ini. Pers juga rajin sekali untuk menyiarkan isu tersebut. Konflik ini juga melibatkan penduduk Niedersachsen.

Di kantor lingkungan hidup, yang dipimpin oleh Monika Griefahn, yang sempat saya temui --menterinya masih muda, pernah ikut Greenpeace, popular dan menarik simpati--  saya melihat ada ratusan ribu tanda tangan warga setempat, yang menolak proyek nuklir. Griefahn mengusulkan tenaga matahari dan angin buat sumber energi. Dia juga mengusahakan waste management yang lebih baik agar air limbah dan sampah bisa daur ulang. 

Di sinilah saya melihat bagaimana pejabat-pejabat daerah dengan gigih mempertahankan kepentingan wilayahnya. Mereka tidak takut dituduh, tidak mementingkan kepentingan umum. 

Partai-partai politik sangat rajin untuk menggalang massa pemilihnya karena partai adalah bagian terpenting dari proses pengambilan keputusan. 

Di Jerman hanya ada empat partai besar, yang mampu mengirimkan wakil-wakilnya ke parlemen di Bonn: CDU (Christlich Demokratische Union Deutschlands), SPD (Sozialdemokratische Partei Deutschlands), FDP (Freie Demokratische Partei), dan Die Gruenen atau “Partai Hijau.” Die Gruenen menjadikan entry point partai adalah lingkungan hidup atau alam hijau. 

Dalam pemahaman saya, partai-partai itu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampilkan wajah yang demokratis dan akrab dengan persoalan masyarakat. SPD misalnya, secara tradisional adalah partainya para buruh. Ia didirikan tahun 20-an sampai hari ini SPD masih bisa dekat dengan massanya. Griefahn politikus SPD.

CDU adalah partai Kristen tengah --bukan fundamentalis. Ini partai moderat yang berusaha menampung pemikiran seluas mungkin. Ia didirikan di Berlin pada 1945 sesudah Sekutu mengalahkan rezim Hitler. 

FDP adalah partai yang lebih kecil dari CDU maupun SPD. Ia sering jadi penengah antara dua partai besar tersebut sekaligus menentukan siapa yang berkuasa sebagai kanselir karena kursi FDP bisa berubah ikut SPD atau CDU. 

Die Gruenen partai paling kecil namun ide soal lingkungan hidup --dari energi terbarukan sampai daur ulang-- membuat mereka diperhitungkan. Siapa sih yang tak mau peduli pada lingkungan yang tetap baik, kalau bisa lebih baik, buat anak dan cucunya? 


Catatan Perjalanan dari Jerman

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991


Catatan Perjalanan dari Jerman: Berjumpa dengan Persoalan Energi

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 22 November 1991

Pengantar Redaksi: Beberapa bulan yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh Southeast Asia Information Center, sebuah pusat informasi tentang Asia Tenggara di Jerman, dengan disponsori oleh Bread for the World, untuk mengunjungi negeri tersebut, kurang lebih sebulan, pekerja sosial di Salatiga itu akan mengikuti program “Tukar Pikiran Indonesia-Jerman:  Ekologi dan Lingkungan Hidup” Berikut sebagian dari catatan perjalanannya.



Lampu-lampu bandar udara Bangkok, dari udara perlahan-lahan mulai kelihatan. Bentuk kotak-kotak persegi panjang, bersamaan dengan pendaratan pesawat Lufthansa yang saya naiki bersama lima rekan lain dari Indonesia. Kami dipersilahkan menunggu satu jam di bandar udara Bangkok sambil menunggu pergantian awak pesawat. 

Kesempatan ini saya pergunakan untuk melihat-lihat bandar udara Bangkok. Bahasa Inggris yang sudah saya pelajari bertahun-tahun mulai meluncur dari mulut saya untuk keperluan berkomunikasi. Saya jadi teringat bagaimana saya bisa sampai mengikuti program tukar pikiran Indonesia-Jerman ini.

Perjalanan ini mulanya datang dari Candra Kirana, seorang swadayawati di Surakarta, yang menanyakan kepada saya bahwa kalau-kalau saya bisa mengikuti sebuah program “jalan-jalan” ke Jerman. Kebetulan masih ada tempat satu kosong dari enam tempat yang disediakan.

Tujuannya, seperti yang disebutkan oleh Peter Franke, koordinator South East Asia Information Centre, “The study program intends to give a group of Indonesians an insight in ecological and environmental enterprises, living areas and ecological institutions as well as an information exchange with German farmers, organisers of ecological project etc.”

Tawaran ini mengejutkan. Seumur-umur belum pernah saya pergi ke luar negeri. Dan untuk pergi ke tempat sejauh Jerman merupakan mimpi. Memang ada beberapa tawaran terdahulu namun tak terlaksana. Jadi dari pada kecewa, dengan hati-hati, saya katakan pada rekan tersebut, saya bersedia ikut apabila saya memang memenuhi persyaratan yang disebutkan. 

Lantas kami terlibat pembicaraan soal penyelesaian kasus waduk Kedung Ombo di Boyolali. Sampai hari ini persoalan ganti rugi tanah di wilayah genangan waduk Kedung Ombo belum tuntas. Masih ada sebagian warga, karena alasan-alasan yang masuk akal, tetap bertahan di wilayah genangan. 

Maksud saya, persoalan Kedung Ombo muncul karena adanya kebutuhan energi listrik dalam jumlah besar. Karena butuh listrik maka dibuatlah sebuah dam raksasa, berarti ada banyak tanah rakyat yang terpaksa digenangi air. Proses pembebasan tanahnya kacau, sehingga muncullah persoalan tanah, intimidasi, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain. Dasarnya tetap sama: kebutuhan energi. 

Dalam kerangka seperti inilah Kelompok Solidaritas Kurban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO), saya harapkan, bisa menjadi lebih mengakar dengan langsung mempersoalkan masalah energi di Indonesia. KSKPKO adalah jaringan mahasiswa yang protes soal penggusuran di Kedung Ombo. Kenapa harus membangun pusat pembangkit listrik yang tersentralisasi?

Saya bandingkan KSKPKO dengan OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief). 

Keduanya sama-sama nongovernmental organization. OXFAM dibentuk di Inggris ketika negeri itu sedang dilanda kelaparan. Para aktivis OXFAM berpikir persoalan kelaparan itu sudah reda --bukan berarti hilang sama sekali-- namun kelaparan di Inggris terjadi karena tidak adanya kerja sama ekonomi yang baik di dunia ini. Persoalan kelaparan sangat terkait dengan persoalan lain, bukan hanya di Inggris, tetapi juga di luar Inggris. Mumpung sudah ada organisasi dan ada dana, perhatiannya kemudian dicurahkan pada negara-negara Dunia Ketiga, yang juga mengalami kepapaan. Jadi tujuan organisasi tersebut diperluas.

Demikian halnya dengan KSKPKO. Persoalan Kedung Ombo bisa saja dianggap reda. Tetapi jaringan ini masih ada. Kenapa tidak memanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang lebih berjangka panjang? Mengatasi persoalan-persoalan energi misalnya? Ini perlu dan penting karena manusia tidak bisa hidup tanpa energi. 

Makan, minum, listrik, transportasi, teknologi dan sebagainya membutuhkan energi. Dan makin tahun persoalan energi di Indonesia akan menjadi makin ruwet. Ini sudah terbukti di Jerman. Dan ia akan tambah ruwet lagi mengingat terbatasnya cadangan minyak bumi di sudut bumi manapun  juga. 

George Junus Aditjondro dari Cornell University, Ithaca, New York, yang sedang mempelajari persoalan Kedung Ombo, menyebut pendekatan yang banyak dipakai sekarang adalah "palang merah" --pengobatan, darurat. Dia usul juga ditambah dengan pendekatan "palang pintu" agar persoalan dasar dihadapi lebih awal, dicegah jadi persoalan, daripada sudah jadi masalah berdarah-darah.

Proses Sederhana

Sampai pada titik ini, Candra Kirana bilang, "Kamu berangkat saja ke Jerman.” 

Saya dimasukkan dalam rombongan pergi ke Jerman. Sangat sederhana dan tanpa seleksi macam-macam. Ini sekadar menunjukkan, bahwa persoalan pergi keluar negeri, seperti yang banyak dipikirkan oleh banyak orang, ternyata tidak harus melalui “seleksi resmi” dan sejenisnya. Banyak kesempatan ke luar negeri yang didapatkan hanya karena sekadar adanya hubungan. 

Kebetulan saya menaruh minat pada persoalan energi (antaranya transportasi), termasuk memikirkan tentang teknologi alternatif, dan di Jerman persoalan itu juga sedang ngetrend, dan kebetulan pula kenal dengan rekan di Surakarta tersebut, sehingga berangkatlah saya ke Jerman. 

Entah karena berfikir macam-macam, di Bangkok saya tersesat di ruang tunggu pesawat Lufthansa yang lain. Untung ada waktu untuk mengejar pesawat saya. Terburu-buru saya pergi ke tempat yang benar. Itu pun masih harus berurusan dengan petugas imigrasi gara-gara di ransel saya ada sebuah pisau silet (cutter). Petugas bersangkutan menahannya. 

Saya sempat menyambar beberapa koran yang disediakan di lapangan udara Bangkok. Ternyata sambaran itu ada hubungannya dengan kepergian saya. Di halaman pertama The Nation tertera judul “Government plans central body with powers to tackle traffic woes.” Kemacetan lalu lintas di Bangkok, sudah sedemikian parahnya sehingga perlu dicarikan terobosan baru. 

Ini adalah salah satu pencerminan betapa repotnya mengatasi persoalan energi. Kemacetan lalu lintas di Bangkok, sama juga dengan yang terjadi di Jakarta, dikarenakan laju pertambahan kendaraan bermotor lebih besar dari pada pertumbuhan jumlah jalan. Mayoritas jalan di Bangkok dikuasai oleh minoritas penduduk Bangkok: pengendara mobil pribadi. 

Koran satunya, Bangkok Post, memuat gambaran para pengendara sepeda motor di Bangkok yang terpaksa harus memakai masker (filter) polusi udara dalam perjalanannya karena udara Bangkok terpolusi berat oleh asap knalpot kendaraan bermotor. Saya pikir persoalan-persoalan yang dikedepankan oleh kedua koran berbahasa Inggris itu sama dengan persoalan transportasi yang terjadi di Indonesia. 

Mudah-mudahan di Jerman saya tidak perlu menemui persoalan seperti ini. 

Harapannya, saya bisa belajar bagaimana negara itu mengatasi persoalan-persoalan transportasinya. Di Indonesia saya tahu dengan pasti, bahwa keberadaan sistem transportasi tak bermotor terancam kelestariannya --sepeda, trotoar, becak, dokar, perahu-- yang pada giliran berikutnya akan merusak prasarana transportasi yang baik secara keseluruhan, memanjakan motorisasi, merusak lingkungan hidup, dan membahayakan kesehatan mahluk hidup termasuk manusia. 

Saya sering menulis soal bahaya selalu mengatasi keperluan transportasi dengan bangun jalan tol atau bikin angkutan kota dengan mobil kecil serta meminggirkan trotoar buat orang berjalan kaki atau melarang dokar dan becak macam di Salatiga. 

Bandar Frankfurt

Lantas saya tenggelam dalam perjalanan Bangkok-Frankfurt yang sangat panjang. Saking panjangnya, para penumpang memiliki kesempatan dua kali makan besar (dinner dan supper) dan satu kali makan pagi. Badan capek sekali, sesampai di Frankfurt, bandar udara yang besar sekali, kami masih harus menunggu pesawat, yang akan membawa kami ke Dusseldorf, sekitar tiga jam. Lagi-lagi saya menyambar koran-koran yang disediakan di sana gratis di ruang tunggu.

Hari masih pagi benar tetapi berita utama koran-koran berbahasa Inggris di Jerman ternyata bukan persoalan lokal.  The Wall Street Journal Europe memberitakan headline buat perang saudara di Croatia dan keengganan Presiden Irak Saddam Hussein membuka negaranya bagi tim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lebih seram lagi, editorial koran tersebut menyamakan Saddam Hussein dengan Freddy Krueger, tokoh pembunuh dalam serial film horror Nightmare on Elm Street. Seperti halnya Krueger senantiasa muncul kembali untuk melakukan terror terhadap warga kota, Saddam juga dianggap sewaktu-waktu akan bangkit untuk meneror dunia. Keterlaluan juga koran ini. 

Mungkin saja di suatu tempat di Irak ada kemungkinan Saddam Hussein menyembunyikan senjata nuklir, tapi saya juga merasa tak nyaman dengan sikap pemerintah Amerika Serikat yang terlalu agresif. Dan mengapa The Wall Street Journal Europe masih harus menambah-nambahi persoalan ini? 

Tetapi saya sadar orang Indonesia tidak terbiasa membaca perbandingan sekasar ini. Koran-koran Indonesia jauh lebih berhati-hati dalam memaki-maki politikus. Di dunia Barat memang ada banyak “keterbukaan.” 

Mungkin ini kejutan pertama yang saya alami karena bersentuhan dengan dunia Barat. 

Hari-hari berikutnya pasti ada kejutan-kejutan yang lain dari masyarakat, yang tidak pernah saya lihat secara langsung ini. 

Bertahun-tahun hidup di Pulau Jawa dengan segala nilai-nilainya, yang buruk maupun yang baik, sekarang saya akan mulai berhadapan dengan nilai-nilai yang berbeda. 

Seorang ibu Jerman di bangku sebelah dalam penerbangan Frankfurt-Dusseldorf, ketika mengetahui saya baru pertama kali terbang ke Jerman, langsung berseru, “Aach, willkommen in Deutschland.”



Catatan Perjalanan dari Jerman 

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991