Friday, November 29, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Mengenal LSM-LSM di Jerman

Andreas Harsono
Suara Merdeka, 29 November 1991

Seperti minggu lalu, kali ini kami tetap menurunkan catatan perjalanan, Andreas Harsono, yang selama sebulan lebih berada di Jerman. Banyak sisi-sisi menarik yang bisa direnungkan, justru karena penulisannya mengungkapkan dalam perbandingan dengan situasi di Indonesia.


Di Jerman seperti halnya di Indonesia banyak NGO (non-governmental organization) atau LSM (lembaga swadaya masyarakat) dengan ruang gerak yang berbeda-beda. Ada yang menjadi pusat informasi seperti Südostasien Informationsstelle di Bochum, Deutsch-Burmesische Gesellschaft di Hamburg dan lainnya. Ada pula yang bergerak di bidang lingkungan hidup seperti Robin Wood, Greenpeace, Bund für Umwelt und Naturschutz Deutschland (BUND) dan sebagainya. Atau yang menekankan kegiatannya pada penelitian seperti Oko Institute.

Atau yang lebih khusus lagi ada kelompok anti nuklir yang bekerja dalam gerakan anti transportasi atom (bahan bakar nuklir) seperti Burger Initiative gegen Antolagen. Selain itu juga ada kelompok pembelahan yang konsumen seperti Verbraucher Initiative semacam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 

Jadi kalau di perlihatkan dengan saksama, sebenarnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mayoritas LSM itu, kurang lebih juga telah dilakukan di Indonesia. Sejauh pengetahuan saya, di Indonesia juga banyak terdapat LSM yang bekerja di lapangan lingkungan hidup, pusat penelitian, pusat informasi, gerakan konsumen dan sebagainya.

Tetapi saya yakin di Indonesia, belum ada organisasi yang semacam Internationale Coordinationsstelle-Aktiv gegen Bayer-ukweltgefahrung. Kalau di bahasa-indonesia-kan artinya, “Koordinasi Internasional -Aktif dalam melawan Perusakan Lingkungan Bayer. Tujuan organisasi ini dijadikan sangat khusus sekali yaitu mengadakan perlawanan terhadap perusakan-perusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan kimia Bayer dimana pun juga di muka bumi ini. 

Bayer salah satu konglomerat terbesar Jerman.  Di Indonesia salah satu produk Bayer yang terkenal adalah obat serangga Baygon. Organisasi “gegen Bayer” dibentuk untuk menandingi aksi-aksi perusakan Bayer termasuk di antaranya memperpanjang buruh-buruh Bayer di Brasil. Saya pikir di Indonesia masih belum ada LSM sejenis ini?

Beda Dasar

Tetapi saya tidak setuju kalau dikatakan bahwa bentuk dasar dari LSM di Jerman adalah sama adanya dengan bentuk dasar LSM di Indonesia. Salah satu perbedaan mendasar dari LSM Jerman dan LSM di Indonesia adalah badan hukumnya. 

Di Indonesia mayoritas LSM berbentuk “yayasan.” Ada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yayasannya Sekretariat Bina Desa, Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial di Surakarta dan sebagainya. Sedangkan di Jerman, mayoritas bentuk badan hukum dari LSM adalah eingetragene Verein (disingkat e.V.) yang bisa disetarakan dengan bentuk badan hukum “perkumpulan” di Indonesia. Misalnya, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) atau Perkumpulan Persatuan Sais Dokar di wilayah Salatiga.

Perbedaan mendasar antara e.V. dan yayasan adalah struktur organisasinya. Pada sebuah yayasan, kekuasan tertinggi terletak pada apa yang biasanya disebut sebagai “Badan Pendiri” Biasanya anggota-anggota badan ini sekaligus juga pendiri yayasan. Jumlahnya tidak banyak, bahkan di Indonesia tidak jarang pendirinya hanya 3 orang. Tetapi ketiga orang pendiri inilah yang menentukan mati hidupnya dan maju-mundurnya yayasan. 

Sedangkan pada sebuah e.V. kekuasaan tertinggi ada pada anggota. Dalam e.V. yang benar, boleh jadi ada lembaga perwakilan sehingga tidak semua anggota menghadiri rapat akbar. Tetapi dasarnya tetap yaitu kekuasaan tertinggi tidak terletak di tangan segelintir orang. 

Disinilah saya melihat dimensi demokrasi sebuah “perkumpulan” dari pada elitisme seperti pada yayasan di Indonesia. George Junus Aditjondro, salah satu “pakar LSM di Indonesia” –meminjam ungkapan seorang staf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-- menyamakan elitisme yayasan dengan elitisme sistem yang lebih besar. Karena sistem sosial di Indonesia adalah elit, maka dalam segala dimensinya, bagian -bagian dari sistem itu juga elit.

Kaya?

Seorang mahasiswa Jerman di Hamburg menjadi terheran-heran ketika mengetahui, bahwa mayoritas LSM di Indonesia badan hukumnya adalah “yayasan.” Sumber keheranan mahasiswa itu berasal dari fenomena Jerman, bahwa yayasan (stichting) biasanya didirikan oleh orang -orang kaya, yang hendak mengamalkan uangnya demi kepentingan sosial. Karena itu kekuasaan tertinggi dari yayasan wajar kalau elitis. Nama dari yayasan di Jerman, sama dengan di Amerika, juga diambil dari nama tokoh bersangkutan.

"Apa di Indonesia banyak orang kaya?" tanya seorang mahasiswa itu bergurau. 

Ditanya demikian perasaan saya jadi kecut. Karena saya mengetahui, bahwa sumber keuangan LSM di Indonesia kebanyakan dari sumbangan lembaga-lembaga di luar negeri. Biarpun ada juga yayasan-yayasan yang dananya dari dalam negeri, misalnya Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, mereka dikenal dengan istilah “LSM plat merah”. Maksudnya milik pejabat atau keluarganya. Dana mereka sebenarnya dari negara yang dengan berbagai macam cara disalurkan ke yayasan-yayasan. LSM yang mengklaim dirinya “tidak berpelat merah” mengandalkan dananya dari bantuan luar negeri.

Sedangkan di Jerman seperti BUND misalnya, dana diperoleh dari iuran atau dukungan anggota. Hanya dengan iuran itu saja terkadang satu LSM cukup untuk membiayai operasinya. Termasuk menggaji beberapa orang untuk bekerja sebagai full timer. 

Bagi LSM yang kurang mampu, pemerintah Jerman membantunya dengan menyediakan tenaga AMB (Arbeitsbeschaffungsmaßnahmen). Tenaga ini adalah pekerja sosial yang bekerja pada LSM. Tetapi gaji dan tunjangannya di bayar oleh pemerintah, seperti di Südostasien Informationsstelle, pusat informasi Asia Tenggara, yang mengundang saya, disana ada beberapa tenaga AMB bekerja secara penuh.

Selain bantuan tersebut, pemerintah Jerman juga memberikan tunjangan kepada setiap penduduk Jerman yang hendak berpolitik. Berpolitik di sini pengertiannya adalah memperjuangkan keinginan mereka dengan cara-cara yang legal. 

Kalau ada penduduk Jerman yang ingin masuk dalam organisasi yang mengkhususkan diri untuk membantu rakyat Amerika Latin misalnya, pemerintah Jerman akan menunjang kegiatannya. Setiap bulan per orang mendapat bantuan DM 3 (kurang lebih Rp 3.300). Karena itu legal. Lain kalau misalnya masuk dalam organisasi yang tujuannya mengadakan teror terhadap orang asing. Ini termasuk ilegal sehingga tidak akan diberikan tunjangan. Bahkan kalau terbukti melakukan kriminalitas bisa dituntut ke pengadilan.

Greenpeace

Ketika di Jerman, saya beruntung mendapat kesempatan untuk merasakan bagaimana isu mengenai LSM mendapat perhatian secara besar-besaran. Majalah paling berpengaruh di Jerman, yaitu Der Spiegel lagi mengkritik habis-habisan Greenpeace. Organisasi lingkungan hidup yang terbesar dalam sejarah dunia itu diserang oleh Der Spiegel karena persoalan keuangan dan tidak ada demokrasi dalam mekanisme pengambilan keputusan.

Akibat dari laporan utama di bulan September itu, dimana-mana orang berbicara tentang Greenpeace. Koran-koran lain, bukan hanya di Jerman tetapi merembet keluar dari Jerman (termasuk di Indonesia), pada ramai memperbincangkan kritik tajam Der Spiegel. Dalam pertemuan-pertemuan dengan pimpinan LSM lain, secara bergurau ada yang berkata kepada saya, “... tetapi kami tidak. seperti Greenpeace.”

Pada tahun 1991, dalam usia yang keduapuluh, diperkirakan Greenpeace e.V. memiliki dana US$160 juta dari dukungan sekitar 5 juta anggota. Yang membanggakan mereka. Greenpeace dengan demikian mampu berdiri sendiri tanpa bantuan keuangan dari negara maupun perusahaan besar manapun. Dari markas besar di Amsterdam, Greenpeace mampu memonitor hampir semua kerusakan lingkungan di seluruh dunia. Greenpeace juga mengembangkan Green Link, jaringan data lingkungan hidup yang terbaik di seluruh dunia, maupun Green Base, pusat data raksasa.

Di samping itu, dengan aksi-aksinya bak pasukan berani mati, misalnya menggantungkan spanduk anti nuklir di patung Liberty (New York) atau jembatan sungai Thames (London). Greenpeace memiliki 8 buah kapal terbesar di dunia. Kapal-kapal itu dilengkapi dengan peralatan komunikasi satelit, transmitter foto, laboratorium pencemaran air, helikopter dan sebagainya. 

Dalam setiap aksinya, Greenpeace membawa wartawan foto sendiri dan hasilnya langsung dikirim secara elektronik ke kantor-kantor berita atau koran di seluruh sudut dunia. Greenpeace dengan segala kebesarannya, sejak tahun 1988, juga membuka cabang di Norwegia, Chili, Yunani, Irlandia, Moskow, Kiev, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Costa Rica dan Jepang. Sejauh ini, menurut keterangan seorang aktivis lingkungan hidup di Jakarta, Greenpeace dilarang pemerintah Indonesia untuk masuk ke Indonesia. 


No comments: