Wednesday, March 30, 2011

Seminggu di Makassar, diskusi jurnalisme

SEMINGGU saya berada di Makassar untuk diskusi buku "Agama" Saya Adalah Jurnalisme. Menyenangkan. Saya datang ke beberapa kampus serta media termasuk Universitas Negeri Makassar serta Universitas Hasanuddin. Saya diskusi di harian Fajar serta harian Tribun Timur. Juga sempat muncul untuk sebuah interview di Makassar TV

Tuan rumah saya adalah Aliansi Jurnalis Independen. Upi Asmaradhana serta Ana Rusli dari organisasi tersebut mengatur berbagai acara. Senang bisa berkunjung ke berbagai organisasi media di Makassar. Saya merasa at home bila datang ke ruang redaksi.

Saat krisis moneter 1997-1998, saya sering bolak-balik Jakarta-Makassar guna menjalankan sebuah program Institut Studi Arus Informasi. Tujuannya, membantu berbagai media untuk tetap bisa lakukan liputan walau bisnis mereka terpukul hebat. Harga kertas luar biasa tinggi. 

Krisis tersebut juga membuat Presiden Soeharto mundur dan menciptakan perubahan besar di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Timor Timur dapat referendum. Aceh dan Papua juga menuntut kemerdekaan. Lantas terjadi kekerasan sektarian dan rasialisme di Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Maluku. 

Program tersebut, oleh Goenawan Mohamad dari ISAI disebut "crash program," membuat saya sering mengunjungi beberapa kota, termasuk Makassar. Bahkan di Makassar, program itu melahirkan sebuah organisasi: Lembaga Studi Informasi dan Media Massa. Saya sempat dua kali ikut mengampu kursus penulisan lewat Elsim bersama Janet Steele dari George Washington University. 

Mereka biasa menginapkan kami di Makassar Golden Hotel, berhadapan dengan laut. Ia juga dekat dengan Museum Fort Rotterdam. Mau belanja juga mudah ke Jalan Sulawesi dengan banyak pertokoan. 

Kini suasana Makassar sudah berubah. Saya senantiasa terkejut bila turun dan berjalan di Makassar. Pembangunan infrastruktur di kota ini selalu saja ada yang baru. 

Saya bukan orang yang jarang ke Makassar. Bahkan setiap tahun rasanya saya datang ke Makassar ... walau cuma semalam atau dua. Ada beberapa orang menulis soal kunjungan tersebut. Menariknya, sehari sesudah saya pulang dari Makassar, rumah Upi Asmaradhana dimasuki orang. 

Monday, March 28, 2011

Tingkat Kebebasan Pers di Indonesia Makin Buruk

Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono

Pada 24 Maret 2011 saya mengajar dua sesi soal "new media" di harian Fajar, Makassar. Ini dilanjutkan dengan sebuah wawancara tentang kebebasan pers di Indonesia. Wawancara dimuat satu halaman penuh pada edisi 28 Maret 2011. Ana Rusli dari Aliansi Jurnalis Independen mengambil gambar harian Fajar ini.

RUNTUHNYA rezim Suharto membawa angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pekerja pers mulai memiliki akses yang begitu mudah dalam mendapatkan informasi untuk kepentingan publik. Begitu juga perusahaan pers tumbuh subur bagaikan jamur. Sayangnya, kebebasan pers tersebut belum mampu dimaknai dengan benar oleh kalangan tertentu, khususnya pejabat pemerintahan yang menjadi sumber informasi. Imbasnya, tidak sedikit pekerja pers yang menjadi korban. Lalu bagaimana pandangan Yayasan Pantau mengenai kebebasan pers Indonesia? Berikut penjelasan Ketua Yayasan Pantau Andreas Harsono saat berbincang dengan wartawan FAJAR Hamsah Umar.

Bisa Anda gambarkan seperti apa pers saat ini?

Menurut hasil riset soal indeks kebebasan pers dari Reporters Sans Frontieres, tingkat kebebasan pers di Indonesia dalam kurung 10 tahun terakhir, menunjukkan kalau kebebasan pers kita makin buruk. Padahal pada zaman pasca-Suharto, ada kecenderungan pers sedikit lebih baik.

Apa yang menjadi tolak ukur menilai kebebasan pers memburuk?

Ada beberapa penelitian menyebutkan kebebasan pers di Indonesia makin buruk 10 tahun terakhir karena berkembangnya kekerasan terhadap wartawan, mulai dari penyerangan ruang redaksi hingga terjadi pembunuhan pada wartawan. Ini mengisyaratkan bahwa kekerasan terhadap wartawan makin hari makin meningkat, dan tentu saja itu pertanda buruk bagi kebebasan pers kita di Indonesia.

Kekerasan terhadap wartawan ini, tidak hanya berdampak pada wartawan maupun keluarganya, terutama yang dibunuh karena menjalankan tugas, tapi lebih dari itu, kekerasan terhadap wartawan akan menghambat publik untuk mendapatkan informasi.

Dari segi hukum, seperti apa pendapat Anda?

Kalau ditinjau dari segi hukum, saya juga berpendapat bahwa kebebasan dalam mendapatkan informasi juga buruk. Pada zaman Hindia Belanda ada 35 pasal yang bisa menggiring orang dipenjara karena berekpresi, baik itu berupa tulisan maupun bentuk lainnya. Dari 35 pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam hukuman maksimal tujuh tahun penjara.

Kemudian pada zaman Suharto berkuasa, regulasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal, dengan ancaman hukuman seumur hidup. Setelah Suharto turun, di mana Yusril Ihza Mahendra menjadi Menteri Hukum dan HAM, pasalnya kembali dinaikkan menjadi 42 pasal. Ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara. Singkat kata, 10 tahun setelah Suharto jatuh, pasal yang bisa menjerat orang karena berekpresi ada lebih 130 pasal.

Terkait kekerasan terhadap wartawan, apa penyebabnya sehingga bisa terjadi?

Ada macam-macam penyebab sehingga kebebasan pers tidak berjalan sesuai harapan kita. Salah satu penyebabnya karena kurang mengertinya sebagian kalangan tentang prosedur jurnalistik. Kalau misalnya ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan atau terhadap wartawan, mereka menempuh caranya sendiri. Salah satunya adalah melakukan kekerasan.

Padahal, kalau ada ketidakpuasan terhadap pemberitaan, kalangan yang merasa tidak puas ini bisa mengadukan wartawan ke media bersangkutan atau ke Dewan Pers. Kalau dia adalah wartawan elektronik bisa melalui KPI. Prosedur inilah yang tidak dimengerti masyarakat.

Dalam kasus wartawan dibunuh, kasusnya menjadi makin tidak jelas dimana penegak hukum tidak menghukum pelaku yang telah melakukan kekerasan terhadap wartawan.

Siapa saja contohnya?

Pada 2010 lalu, ada tiga wartawan kita yang dibunuh, namun sampai sekarang pelakunya tidak dijerat. Dia adalah Adriansyah Matra'is, wartawan asal Merauke, Papua, Ridwan Salamun di Tual, dekat Ambon, dan Alfred Mirulewan dari Pulau Kisar. Di sini saya melihat bahwa ada kekebalan hukum dari pelaku kekerasan terhadap wartawan. Ardiansyah misalnya, kematian dianggap bunuh diri. Akibatnya pelaku dibiarkan bebas tanpa ada hukuman.

Begitu juga dengan Ridwan Salamun. Meski pelakunya sudah diproses hukum, tapi di pengadilan Ambon dia dinyatakan bebas. Saya kira polisi harus bekerja keras untuk mengungkap setiap pelaku kekerasan yang menghambat kebebasan pers.

Jika seperti ini, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap?

Saya kira, pemerintah perlu mencabut undang-undang yang bersifat represif, termasuk macam-macam pasal karet di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU Informasi dan Transaksi Elektronik maupun Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 yang melarang berekspresi dengan simbol Gerakan Acheh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka dan Republik Maluku Selatan. Banyak aturan yang represif mengakibatkan orang masuk penjara, termasuk ibu Prita Mulyasari, yang dianggap mencemarkan nama sebuah rumah sakit dan dokter-dokter. Karenanya, menurut saya, undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak benar, harus dicabut.

Terakhir, bisa Anda memberi tanggapan mengenai anggapan kebebasan pers kebablasan?

Anggapan seperti itu, saya kira, ada benarnya juga. Itu juga diakui beberapa kalangan pekerja pers. Oleh karena itu, saya kira media juga harus melakukan introspeksi diri. Salah satu alasan kenapa wartawan dianggap kebablasan karena banyak prosedur kerja yang dilakukan secara tidak benar, termasuk media online. Karena mengejar informasi yang sifatnya up to date, pokoknya cepat, mereka terkadang mengabaikan prosedur kerja yang semestinya dilalui.

Sekalipun demikian, pemerintah dan masyarakat juga tidak boleh ambil tindakan kekerasan. Lebih penting lagi, agar pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan, tidak main hakim sendiri dalam menyikapi persoalan yang dihadapi.

Kalau ada kesalahan dalam pemberitaan, silahkan melakukan kritik. Perlu disebutkan nama media dan wartawan yang memuat berita yang dianggap keliru. Pengelola media juga saya kira perlu memperjelas nama wartawannya, pakailah byline, sehingga masyarakat lebih mudah melakukan kontrol terhadap media dan wartawan. (hamsah.fajar@gmail.com)


Catatan Interview ini dimuat harian Fajar di Makassar satu halaman penuh. Saya membaca versi online dan menaruhnya di blog saya. Ada sedikit perbedaan antara versi Fajar dan blog. Saya lakukan beberapa perbaikan ejaan. Misalnya, saya menaruh nama lengkap Reporters Sans Frontiers maupun menaruh kata "pasca" di depan nama Suharto.

Beberapa produk hukum, yang saya sebutkan dalam interview, mungkin guna menghemat tempat, tak disebut oleh Fajar. Saya menaruh tiga buah produk hukum tersebut dalam interview ini. Saya juga sebutkan soal ketiadaan byline sebagai salah satu kelemahan potensi kontrol masyarakat terhadap media. Suratkabar sebaiknya menaruh byline. Terima kasih untuk Hamsah Umar dari harian Fajar yang sudah bikin interview panjang ini.


Kolom Bisnis Indonesia

Macam-macam Naskah soal Jurnalisme

Sunday, March 20, 2011

Surat untuk Gatra

Dear Heddy Lugito, 

Aku usul Gatra mengubah diri, perlahan-lahan, jadi majalah yang mengedepankan analisis –walau tetap berupa majalah berita. Ia bukan analisis tanpa liputan. Ia bukan opini murahan. Ia adalah analisis yang didasarkan pada liputan serta pemahaman terhadap background berita tersebut.

Ada dua alasan. Pertama, Jakarta tak memiliki majalah yang menekankan pada analisis. London punya The Economist. New York punya The New Yorker. Jakarta hanya punya majalah-majalah berita, termasuk Gatra, Tempo, Trust dan sebagainya. 

Padahal kalau menengok tempoe doeloe, Batavia dan Djakarta –kalau mau diperpanjang juga Soerabadja, Semarang, Solo, Manado dan Padang—punya moendjalat2 bermutu yang melahirkan macam-macam esais dan wartawan hebat, yang belum tertandingi dalam era Indonesia.

Kedua, kecepatan internet membuat pola konsumsi hardnews diambil oleh Kompascom, Detikcom, Vivanews dan sebagainya. Televisi juga mudah siaran langsung. Hari ini tak ada orang yang mendapatkan breaking news dari suratkabar harian … apalagi majalah mingguan. 

Menurut World Association of Newspapers, pada zaman dimana kecepatan internet mengalahkan suratkabar, hanya ada tiga kata untuk membuat isi suratkabar tetap relevan buat audience mereka: analisis, analisis, analisis.

Kalau alasan ini bisa diterima --saya tak membicarakan aspek pemasaran, distribusi dan keuangan, yang memang bukan bidang saya, namun juga ikut menentukan daya saing dan daya tahan Gatra— maka saya usul praktis dilakukan beberapa perubahan pada orientasi redaksional Gatra.

Pertama, saya kira wartawan-wartawan Gatra perlu berlatih menulis narasi maupun esai. Analisis memerlukan kemampuan menulis panjang. 

Feature, yang menjadi andalan majalah berita, biasanya dipakai untuk menulis laporan pendek. Goenawan Mohamad memperkenalkan feature dengan majalah Tempo pada 1971. Idenya, meniru majalah Time. Bahkan kulit muka dengan frame merah sama dengan Time. Dalam produksi feature, sebuah isu yang kompleks malah harus dipotong-potong menjadi beberapa bagian, termasuk Q&A maupun side bar. Feature mengambil asumsi orang tak punya waktu untuk membaca laporan panjang. 

 Sebaliknya, narasi diperlukan untuk menulis panjang. Asumsinya, orang mau membaca laporan panjang jika ia dikerjakan dengan memasukkan unsur-unsur kebaruan maupun analisis.

Esai diperlukan guna menurunkan argumentasi yang tajam, yang bisa membantu pembaca memahami, misalnya, tuduhan terhadap Antasari Azhar, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai dalang pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Ia harus diberi konteks: sejarah, teori, informasi baru lain dan sebagainya. 

Kedua, usul ini menuntut beberapa penyesuaian cara kerja ruang redaksi Gatra. Majalah Gatra akan menjadi kurang timely. Gatra akan menjadi lebih timeless, kurang mengikuti news cycle maupun balon-balon berita. Namun ia bukan berarti tak bisa kejar-kejaran berita. Kalau ada berita magnitude besar, Gatra harus bisa mengerahkan ruang redaksi mengejar berita. Gatra juga akan lebih membangun spesialisasi. Ada reporter khusus politik. Ada khusus Islam. Ada yang dianggap mengerti Aceh. Ada yang spesialis Papua. Ekonomi juga memerlukan beberapa spesialis. Mereka akan bekerja individualistis agar kedalaman digali. Ada juga jago musik, film, kesehatan, transportasi dan sebagainya. 

Namun mereka juga bisa bekerja team bila ada berita magnitude besar dimana semua keahlian mereka bertemu.

Spesialisasi dan analisis memerlukan pemakaian byline –bahkan kalau sudah terkenal, macam Fareed Zakaria dari Newsweek, byline dipajang di kulit muka. Byline membantu wartawan untuk membangun reputasi mereka. Sebaliknya, byline juga membuat wartawan lebih hati-hati bekerja. 

 Kedalaman juga menuntut alokasi waktu lebih panjang untuk bikin liputan individual. Seorang wartawan mungkin perlu satu hingga dua bulan, mungkin lebih, untuk menyelesaikan laporan. Artinya, ia juga mengubah mekanisme kerja Gatra. Tidak setiap wartawan bisa bikin analisis. Namun mereka yang mampu, tentu saja, akan diberi kesempatan menulis panjang. 

 Spesialisasi juga membuka ruang kepada orang-orang luar Gatra untuk membuat laporan utama –bahkan mendapatkan byline di kulit muka. Praktek ini biasa dilakukan Time dan Newsweek. 

Gatra seyogyanya bisa memanfaatkan tersedianya banyak talenta di Indonesia guna menyajikan laporan dan analisis yang memikat serta mendalam kepada audience-nya. 

Saya membayangkan kelak Gatra bisa minta Andi Widjajanto menulis masalah militer, Rusdi Marpaung atau Bonar Tigor Naipospos soal hak asasi manusia, Fredy Wowor soal nasionalisme Minahasa, Joost Willem Mirino atau Muridan Widjojo soal Papua, Otto Syamsuddin Ishak soal Aceh, Leo Suryadinata soal Tionghoa, Anies Baswedan soal politik di Pulau Jawa, Josef Ardi soal bisnis, Lily Yulianti soal Bugis-Makassar dan sebagainya. 

Mereka bukan hanya menulis esai dua halaman namun 10-20 halaman. Manfaatkan orang-orang yang sudah selesai menulis buku untuk bikin laporan utama Gatra. 

Misalnya, Gatra bisa minta Wilson menulis esai soal cikal-bakal fasisme di Pulau Jawa. Imdadun Rachmat bisa menulis soal hubungan Ikhwanul Muslimin dan Partai Keadilan Sejahtera. Murizal Hamzah, yang sedang menyelesaikan biografi Hasan di Tiro, bisa menumpahkan sebagian penemuannya. Budi Setiyono menulis soal penyair Lekra A.S Dharta. 

Ketiga, rubrikasi juga akan berubah. Gatra tak perlu menurunkan belasan rubrik setiap minggu karena alokasi halaman akan memerlukan ruang lebih panjang untuk rubrik-rubrik yang minggu tersebut naik cetak. 

Bikinlah survei keterbacaan setiap rubrik. Rubrik-rubrik yang kurang tinggi keterbacaannya diperbaiki. 

Majalah The New Yorker memiliki keterbacaan 80 persen dari seluruh total isi. Artinya, setiap naskah yang turun di Gatra, dibuat target bahwa 80 persen harus dibaca habis. 

Keempat, saya pikir perubahan ini seharusnya melibatkan seluruh komponen ruang redaksi, bukan hanya bagian naskah, tapi juga disain dan foto. Disain akan diberi keleluasaan lebih tinggi. Saya usul Gatra membeli buku Covering The New Yorker: Cutting-Edge Covers From a Literary Institution karya Francoise Mouly. 
 
Saya sengaja menganjurkan kulit muka The New Yorker karena majalah ini paling fenomenal dalam disain kulit muka mereka. Setiap tahun, The New Yorker menghasilkan jutaan dollar hanya dari penjualan frame kulit muka mereka. 

Kulit muka edisi Desember 2001 “New Yorkistan” menghasilkan penjualan US$400,000. 

Bayangkan satu kulit muka saja dapat $400,000? 

Ini pun bukan gambar asli. Hanya print out dilengkapi tanda tangan si pelukis. 

Kulit muka mereka tanpa teks sehingga para pelukis juga suka gambarnya tak diacak-acak dengan judul-judul berita. Kreatifitas diberi tempat terhormat di The New Yorker sehingga orang-orang pun mau membeli khusus, hanya frame kulit muka The New Yorker. 

Saya baca bahwa kulit muka bisa jadi “profit center” –istilah ini datang dari majalah Foliothe magazine for the magazine management"— karena Jawa dan Bali memiliki cukup banyak pelukis kelas dunia. Gatra bisa memakai banyak sekali pilihan. Seniman Agus Suwage bisa diminta bantuan. 

Foto juga demikian. Gatra akan menerbitkan hanya foto-foto berkualitas. Jumlah foto dikurangi –sama dengan jumlah rubrik—namun mutunya ditingkatkan –sama dengan naskah tulis. Gunakan lebih banyak fotografer freelance. Perhatikan pameran-pameran foto. 

Sediakan tempat untuk foto-foto bermutu dalam halaman-halaman Gatra. Minta masukan dari pewarta foto Oscar Motuloh dan kawan-kawan di Pasar Baru. 

 Intinya, Gatra akan memberikan tempat kepada analisis. Ia harus disertai langkah-langkah lain untuk jadi lengkap. Kalau kalian suka, saya kira diskusi kita bulan lalu bisa dilakukan dua atau tiga kali lagi untuk sharing ide-ide ini lebih kongkrit.

Terima kasih.
Jakarta, 2009

Monday, March 14, 2011

Alfred Mirulewan


Wartawan Alfred Mirulewan (1981-2010) bersama isteri dan anak mereka di taman Gong Perdamaian, Ambon. Mereka berasal dari Pulau Kisar. Mirulewan wartawan Pelangi Maluku. Dia ditemukan meninggal pada 17 Desember 2010 di pelabuhan Pantai Nama, Wonreli. Dia diduga dibunuh karena liputan soal kelangkaan bensin di Pulau Kisar. ©Linda Sarak

SELAMA tiga minggu terakhir ada dua wartawan Pulau Kisar, Jeremias Maahury dan Leksi Kikilay, datang ke Jakarta guna advokasi terhadap pembunuhan rekan mereka Alfred Mirulewan. Mereka bekerja untuk suratkabar Teropong Barat Daya.

Mereka minta bantuan Dewan Pers, LBH Pers, Komnas HAM dan Aliansi Jurnalis Indepeden. Mereka percaya Mirulewan dibunuh di gudang bekas penyimpanan lobster, areal pelabuhan Pantai Nama, Wonreli, Kisar. Mirulewan diduga dibunuh karena meliput kelangkaan bensin premium di Kisar. Harga premium Rp 20-50 ribu per liter. Di Jakarta Rp 4500 liter.

Pulau Kisar tempat terpencil. Disini tak ada jaringan telepon (kecuali sinyal telepon seluler). Mereka juga tak ada sambungan internet. Di pulau ini hanya ada tiga wartawan dan satu sudah dibunuh.

Secara geografis, mereka lebih dekat ke Timor Leste. Namun secara administrasi, mereka masuk provinsi Maluku dengan ibukota Ambon. Ongkos pesawat ke Ambon atau Kupang, metropolitan di Timor Barat, sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Mahal sekali bila dibanding Jakarta-Jogjakarta hanya Rp 1 juta pulang pergi.

Mereka ingin berbagai lembaga di Jakarta memberikan perhatian terhadap pembunuhan Mirulewan. Menurut Jeremias Maahury, Mirulewan orang kalem dan bicara pelan. Mereka bertiga jengkel dengan kemungkinan ada penjualan bensin kepada berbagai perusahaan besar di sekitar perairan Maluku sehingga harga di Pulau Kisar jadi mahal sekali. Subsidi untuk Kisar dijual ke berbagai perusahaan tersebut.

Polisi sudah menangkap empat tersangka. Pemeriksaan sedang berjalan. Namun kedua wartawan ini belum tahu prosedur hukum. Mereka ingin ada orang dari Jakarta, yang mengerti hukum, bisa datang ke Kisar dan melakukan investigasi independen.

Persiapan penggalian jenasah Alfred Mirulewan di Wonreli pada 11 Januari 2011. Isteri almarhum, Linda Sarak (pakaian hitam), serta Pieter Paulo Maahury, kakak ipar almarhum (kaos strip putih), menandatangani persetujuan otopsi ulang terhadap jenasah. ©Jeremias Maahury

Thursday, March 10, 2011

Obrolan Santai di Atma Jaya



Andreas Harsono dan Danarka Sasangka dalam diskusi antologi 'Agama' Saya Adalah Jurnalisme pada 9 Februari 2011 di kampus Universitas Atma Jaya Yogjakarta. ©Danu Primanto

RABU ini saya bicara soal bunga rampai 'Agama' Saya Adalah Jurnalisme di kampus Atma Jaya, Yogyakarta, dengan pembanding Danarka Sasangka, dosen Atma Jaya.

Ada sekitar 80 orang hadir dalam ruang seminar. Mayoritas mahasiswa Jogjakarta. Cukup senang lihat cukup banyak peserta dari luar Universitas Atma Jaya juga ikutan, termasuk dari IAIN Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia dan Universitas Negeri Yogyakarta.

Danarka Sasangka menyebut jurnalisme yang saya percaya sebagai "puritan." Ini pertama kali saya dengar terminologi "puritan" untuk menggambarkan "The Elements of Journalism" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Menurut Harsantyo Dwi dari Penerbit Kanisius, sekitar 50 eksemplar buku terjual saat acara "Obrolan Santai Bersama Andreas Harsono." Jumlah ini termasuk biasa untuk ukuran buku serius. Namun ia kecil bila dibanding buku populer macam naskah-naskah pengembangan kepribadian. Satu kali diskusi bisa laku 500 eksemplar.

Saya membaca beberapa peserta menulis acara ini dalam blog mereka, termasuk Heru Lesmana Syafei dan Elga Ayudi. Ayudi memakai judul yang cukup menyentak: "Andreas Harsono Membakar Saya".

Heru Lesmana Syafei mencatat bahwa saya menyarankan peserta yang tertarik untuk punya karir dalam jurnalisme belajar bahasa html dan seluk-beluk internet. Dia menulis, "... dunia internet memang mematikan banyak media cetak, tapi justru muncul kebutuhan orang yang punya keahlian berbagai bidang jurnalisme di media internet."

Elga Ayudi mencatat jawaban saya soal judul bunga rampai. Mengapa judulnya, "agama saya adalah jurnalisme"?

Saya mengatakan bahwa ada tanda petik di antara kata "agama" dalam judul antologi. Saya bertanya kepada audience apa terjemahan "agama" dalam bahasa Jawa. 

Seorang mahasiswa menjawab "ageman." Lantas dia menerangkan "ageman" juga berarti "pakaian" (Krama Inggil) atau "klambi" (Jawa Ngoko). Krama Inggil adalah bahasa Jawa tinggi. Ngoko adalah bahasa Jawa rendah.

Jawaban yang akurat. Saya menerangkan bahwa kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta. Ia mulanya berarti “baju kebesaran.” Dalam bahasa Inggris, baju terbaik disebut "Sunday best" atau pakaian untuk pergi ke gereja pada hari Minggu.

Pakaian untuk pergi menjalankan ritual ini belakangan dipakai untuk menyebut doktrin yang jadi dasar keperluan berpakaian terbaik tersebut. Di India, "agama" berarti filsafat Hindustan atau doktrin Hinduisme. Terminologi ini dipakai dalam Bahasa Indonesia sebagai "keimanan."

“Nah baju kebesaran saya adalah jurnalisme,” Elga Ayudi merekam jawaban saya dalam blognya.

Menurut Ayudi, dia menangkap kesan ada kebanggaan yang dalam terhadap cita-cita dasar jurnalisme dalam pernyataan tersebut.

Danu Primanto, seorang fotografer, memakai kamera kecil guna memotret seminar ini. Dia memakai Asa 1600 dan "... sedikit touching di Lightroom 3.0 for Mac."

Dua Hari Empat Kampus

Dalam dua hari ini, Selasa dan Rabu, saya mendatangi aktivis pers mahasiswa di empat kampus Jogjakarta. Selasa untuk Universitas Islam Indonesia serta Universitas Gadjah Mada. Rabu untuk Universitas Atma Jaya dan Universias Negeri Yogyakarta. Plus interview terpisah dengan tiga media (dua radio, satu majalah) dan meeting tiga kali.

Di UII saya bicara dalam acara "Keadilan Week." Ia memang diadakan majalah Keadilan dari Fakultas Hukum UII. Balairung menyebut kedatangan saya sebagai "penculikan."

Rabu malam, saya mendatangi kantor majalah Ekspresi di Universitas Negeri Yogyakarta. Kantor mereka terletak dekat Hotel UNY dimana saya tinggal. Kami mengobrol dan saya anjurkan mereka berhitung soal kemungkinan mereka lebih cepat masuk ke era digital. Lumayan melelahkan.

Link Terkait
Heru Lesmana Syafei: Obrolan Bersama Andreas Harsono
Elga Ayudi: Andreas Harsono Membakar Saya

Tuesday, March 08, 2011

"Penculikan" dari B-21


Diskusi di ruang tamu B-21. ©Rifki Ape

JUDULNYA "Ngobras Bareng Andreas Harsono." Tempatnya, perumahan dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Nomor B-21. Ini adalah markas aktivis pers mahasiswa Balairung, salah satu organisasi mahasiswa paling menonjol di Pulau Jawa. Kata kerja mereka: menculik. Sebenarnya, aktivis-aktivis Balairung ini mengajak saya diskusi soal jurnalisme di ruang tamu B-21.

Ruang tamu ini bukan tempat baru untuk saya. Duapuluh tahun lalu, saya sudah kenal tempat ini. Pada akhir 1980an, ketika masih aktivis pers mahasiswa di Salatiga, saya juga sering main ke Balairung maupun Keadilan dan Himmah di Universitas Islam Indonesia. Kembali ke B-21 mengingatkan saya pada kenangan-kenangan lama.

Masih rumah sama. Bangunan lama. Ruang tamu lama. Karpet. Buku. Bundel majalah. Bau hujan dan pohon tua juga masih sama. Polusi asap rokok juga masih sama. Kantor Acicis (Australian Consortium for 'In-Country' Indonesian Studies) masih di seberang B-21.

Pada 1990an, ketika bekerja di Utan Kayu, saya punya ide bikin award buat pers alternatif dengan sponsor dari Umverteilen (Berlin). Maka dibuatlah ISAI Award. Dan Balairung termasuk salah satu organisasi yang sering menang. Pernah suatu saat ikut memberi hadiah komputer dan printer untuk Balairung. Pada 1999, saya malah ikut melatih aktivis Balairung soal investigasi. Entah seberapa berguna pelatihan tersebut?

Kali ini saya menganjurkan Balairung total going online. Saya usul tinggalkan cetak. Masuklah ke internet dengan isi video, audio dan naskah. Saya juga mengangkat ide soal pers mahasiswa jadi badan hukum agar mereka bisa bergerak wajar dalam sektor ekonomi. Punya nomor pajak sehingga bisa fund raising. Bisa bergerak lebih leluasa. Diskusi ramai. They're nice kids.

Rifki Ape mencatat sebuah kalimat saya dalam account Facebook-nya: ‎"Kita tidak bisa minum air dari tsunami. Kita hanya bisa minum air yang bersih."

Saya mengacu pada terminologi Bill Keller "the tsunami of information" soal zaman internet menghasilkan banyak informasi sampah, ibarat air tsunami banyak bawa sampah.

Terima kasih untuk Udin Che Choirudin, Rifki Ape, Wisnu Prasetya Utomo, Farid 'Ferre' Fatahillah, Gading Putra, Ofa Haroen, Anwar Khamaeni, Farid 'Ferre' Fatahillah, Anisa'Ay' Ayuningtyas, Mochammad Luthfi Ardyanto dan seterusnya.

Link Terkait
Makalah Saya untuk Balairung pada 1999

Wednesday, March 02, 2011

Perjalanan Canberra


Canberra adalah ibukota Australia. Kata "Canberra" berasal dari kata "Kambera" atau "Canberry" yang berarti "tempat pertemuan" dari bahasa Ngunnawal milik etnik Ngabri, yang dianggap paling lama menempati area ini.

Ini kunjungan saya pertama kali ke Canberra. Ada kenalan mengajak main ke Canberra sesudah saya ikut sebuah conference di Universitas Sydney. Kebetulan saya ada tawaran untuk jadi fellow di sebuah kampus Canberra. Saya pakai kesempatan ini untuk melihat-lihat Canberra, termasuk areal Parliament House, yang luas sekali.

Canberra kota unik. Ia didirikan sejak 1908 sebagia kompromi antara Sydney dan Melbourne, dua kota terbesar Australia, untuk jadi ibukota. Canberra dirancang sejak awal untuk jadi ibukota. Disainnya penuh dengan taman dan tempat terbuka.

Saya bertemu dengan beberapa mahasiswa Ph.D dari Aceh dan Jogjakarta. Mereka cerita pengalaman tinggal di Canberra. Cukup banyak pegawai negeri Indonesia di Canberra. Mereka menerima beasiswa dari Ausaid.