Saturday, December 27, 2014

Permintaan Papua kepada Jokowi


Delegasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia serta Konferensi Waligereja Indonesia di Istana Merdeka dengan Presiden Joko Widodo. Dari kiri ke kanan: Pendeta Benny Giay, Pendeta Bambang Widjaya, Pastor Benny Susetyo, Presiden Jokowi, Uskup Suharyo Hardjoatmodjo, Pendeta Phil Erari, Novel Matindas, serta Pendeta Krise Gosal. ©Jaleswari Pramodhawardani

Dr. Benny Giay, ketua Sinode Gereja Kingmi Papua dan mungkin intelektual dengan kesetiaan pada hati nurani paling dikenal di Papua, ikut dalam pertemuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dengan Presiden Jokowi pada malam menjelang keberangkatan Jokowi pertama kali ke Papua sebagai presiden.

Saya kebetulan bertemu dengan Benny Giay, seorang kawan lama saya, sehari sesudah dia bertemu Jokowi. Kami tentu bicara soal pertemuannya di Istana Merdeka. Dia relax sedang menunggu jadwal dokter. Saya memutuskan mencatat dan merekam kenangan Giay terhadap pertemuan semalam. Mumpung ingatannya masih segar. Saya kira catatan ini penting buat mengukur permintaan Benny Giay terhadap pemerintah Indonesia yang baru.

Benny Giay bilang dia mulai dengan memuji Jokowi karena berhasil "mencuri hati orang Papua." Dia mengingatkan Jokowi soal kunjungan para presiden pendahulunya: Abdurrahman Wahid (31 Desember 1999); Megawati Soekarnoputri (25-26 Desember 2002); dan Susilo Bambang Yudhoyono (26 Desember 2006). Mereka semua berjanji bikin penderitaan orang Papua berakhir. Namun mereka kurang beruntung, kurang setia, dalam memenuhi janji-janji tersebut.

Giay bicara soal pembantaian anak sekolah di Enarotali, Paniai, pada 8 Desember 2014. Dia minta Jokowi "buang suara." Dia juga minta Jokowi memenuhi janji kampanye buat menghentikan pembatasan buat wartawan internasional, lembaga donor, maupun utusan Perserikatan Bangsa-bangsa bisa masuk ke Papua guna memantau keadaan di Papua, terutama pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan maupun jalanya pemerintahan termasuk korupsi. Giay juga minta Jokowi membebaskan tahanan politik.

Benny Giay menekankan bahwa persoalan utama antara Jakarta dan Papua adalah ketiadaan (trust). ©Jaleswari Pramodhawardani

Buku Filep Karma buat Jokowi.
Delegasi juga melibatkan Pendeta Bambang Widjaya, Pendeta Phil Erari, Novel Matindas serta Pendeta Krise Gosal dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Delegasi Konferensi Waligereja Indonesia diwakili Pastor Benny Susetyo serta Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo.

Benny Giay minta Jokowi membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) terhadap penembakan remaja Papua di Enarotali.

Khusus tahanan politik, Giay sebut ada setidaknya 55 tahanan politik Papua, termasuk Filep Karma, pegawai negeri yang dipenjara sejak 2004. Giay menyerahkan buku Karma berjudul, Seakan Kitorang Setengah Binatang, kepada Jokowi.

Giay minta Jokowi meluangkan waktu berkunjung ke penjara Abepura dan mengunjungi Filep Karma. Ia akan mempercepat proses pembebasan para tahanan politik.


Benny Giay juga sempat menulis di Facebook saya --menjawab komentar kawan saya, Partini dari Pontianak, yang seorang pendukung Jokowi dan menulis bahwa "Jokowi bukan pesulap"-- pada malam hari sesudah pertemuan tsb:

"pk jokowi brangkali seorg presiden terbaik yg d panggil sejarah utk mengurus tumpukan sampah yg d biarkan br tahun2 oleh presden2 nkri sbelumnya (kodam, kapolda, dll sebelumnya sejak 1960an hingga); artinya tdak semua org papua dewasa ini berpkir magis sperti mba tini; sehingga papua sedang butuhkan pesulap. memang ada unsur papua dewasa ini yg brpkir magis sedang butuh "pesulap": pimpinan gereja papua yg mndatangkan jokowi dan elit pmrintah karena mentalnya memang di bentuk masy dan pmerintah indonesia yg berpikir magis ditambah dengan badan penyiaran yg ikut berperan d situ slama bertahun2; di samping watak elit papua sendiri yg sangat hedonis.

Kelompok ini yg saya kira sealiran dan sekelas dngan kalangan indonesia yg sedang menunggu pesulap; shg utk prkuat Timnas hdapi AFC harap pesulap bwa pemain asing utk naturalisasi. Saya kira ada banyak indonesia yg lebih berakal sehat; yg bisa jadi mitra berdialog papua. Sulit utk kta berdialog dgn kalangan indonsia yg merasa diri klas yg berakal sehat smentara posiikan papua sbgai pihak yg sdang mnghabiskan wkt tunggu "pesulap" dri indonesia yg wataknya d gmbarkan pk mohktar lubis dlam bukunya brjudul 'manusia indonesia'
."

Thursday, December 25, 2014

Silabus Jurnalisme Sastrawi XXIII

Jakarta, 5 – 16 Januari 2015

Pertemuan alumni Yayasan Pantau di Jakarta pada Desember 2014.

PADA 1973 di New York, Tom Wolfe menulis definisi genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin jurnalisme, riset akademis dan daya pikat sastra. Genre ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat.

Sejak 1980an, suratkabar-suratkabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi membuat suratkabar tampil dengan laporan mendalam. Kini dotcom pun mulai masuk ke format penulisan panjang.

Tujuan kursus ini adalah memperkenalkan narasi, mulai dari tujuh pertimbangan menggarap narasi sampai liputan sampai struktur naskah. Ia juga akan membahas beberapa contoh narasi.

Instruktur

Janet Steele dari George Washington University, spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism. Menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia serta Email dari Amerika.

Andreas Harsono salah satu pendiri Yayasan Pantau, peneliti Human Rights Watch, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat serta menulis antologi “Agama” Saya Adalah Jurnalisme.

MINGGU PERTAMA oleh Janet Steele

Senin, 5 Januari pukul 10:00-12:00 – Pembukaan: perkenalan, membicarakan silabus dan membagi tugas. Diskusi tentang kemungkinan jurnalisme sastrawi untuk keperluan suratkabar, lebih praktis, serta sejarah dan perbedaan antara "new," “literary" dan "narrative" journalism.

Bacaan: “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro” oleh Arif Zulkifli; “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid, “Bearing Witness in Syria: A Reporter’s Last Days,” oleh Tyler Hicks, dan “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia.

Senin, 5 Januari 2015 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi lanjutan tentang definisi jurnalisme sastrawi, dari Tom Wolfe hingga Mark Kramer, dan pengaruhnya pada perkembangan suratkabar mainstream di Amerika Serikat.

Tugas untuk hari Rabu: Menulis tentang sebuah peristiwa yang disaksikan. Mulai dengan adegan, tanpa "penjelasan" berdasarkan karya Tom Wolfe "The Girl of the Year." Topiknya bisa apa saja tapi yang bisa memikat pembaca untuk membaca narasi itu. Mohon tak membuat lebih panjang dari dua halaman, dua spasi agar semua peserta bisa mendapat bagian membacakan karyanya.

Rabu, 7 Januari 2015 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah.

Bacaan: “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; sebagian dari buku “In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 “Wealthy Family, 3 of Family Slain.”

Rabu, 5 Januari 2015 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang immersion reporting berdasarkan karya Truman Capote “In Cold Blood” serta membandingkannya dengan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Tugas untuk hari Kamis: Tulislah sebuah narasi dengan gaya orang pertama (“saya” atau “aku” atau “abdi” atau “gua” atau lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan. Gunakan model “Buru, Menziarahi Negeri penghabisan” oleh Amarzan Loebis, atau ”Bearing Witness in Syria,” oleh Tyler Hicks, dimana penulis memasukkan dirinya dalam laporannya. Bahan ini akan dibacakan di depan kelas. Panjang maksimal dua halaman, dua spasi.

Kamis, 8 Januari 2015 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “Buru, Menziarahi Negeri penghabisan” serta persoalan kata “saya.”

Bacaan: “Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran” oleh Marta Nurfaida, “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin, “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” oleh Amarzan Loebis.

Kamis, 8 Januari 2015 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang persoalan struktur narasi, dengan contoh ”Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran,” dan bagaimana memanfaatkan narasi dalam berita hangat (breaking news) dengan contoh “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

Sabtu, 10 Januari 2015 pukul 10-12 – Diskusi dengan Metta Dharmasaputra, yang sebagai wartawan Tempo, menghabiskan enam tahun menyelidiki dan menulis skandal penggelapan pajak Asian Agri Group. Dia menghadapi ancaman, gugatan hukum, penyadapan telepon maupun kampanye hitam. Mahkamah Agung akhirnya menghukum Asian Agri bayar pajak Rp 2.5 triliun plus tunggakan pokok Rp 2 triliun. Ini hukuman pajak terbesar dalam sejarah Indonesia.

Bacaan: Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group.

MINGGU KEDUA oleh Andreas Harsono

Senin, 12 Januari 2015 pukul 10-12 -- Diskusi soal jurnalisme dengan The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Diskusi tentang persoalan etika, pengelolaan emosi pembaca dan sebagainya.

Bacaan: The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; “Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh” karya Andreas Harsono. Buku Sembilan Elemen Jurnalisme terjemahan karya Kovach dan Rosenstiel disediakan dalam paket.

Senin, 12 Januari 2015 Pukul 13-15 -- Perkakas Menulis - Diskusi sebagian dari 50 “perkakas menulis” dengan memakai buku Roy Peter Clark dari Poynter Institute. Bagaimana melihat tata bahasa? Soal dialek bagaimana? Kapan kalimat pasif digunakan? Mengapa korban bisa ditonjolkan lewat kalimat pasif?

Bacaan: “Fifty Writing Tools: Quick List.” Bila Anda biasa, atau sedang belajar menulis dalam bahasa Inggris, tak rugi beli buku Writing Tools karya Clark.

Tugas untuk Rabu: Bikinlah deskripsi dengan padat. Manfaatkan indra penciuman, pendengaran, warna, gerakan, kasar-halus, kontras (lucu, aneh, menarik) dan sebagainya. Hindarkan klise macam “nyiur melambai” atau “angin sepoi-sepoi.” Bikin deskripsi yang akan menarik perhatian pembaca! Maksimal 500 kata.

Rabu, 14 Januari 2015 pukul 10-12 -- Diskusi struktur narasi dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey.

Bacaan: “Hiroshima” oleh John Hersey; “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey” oleh Bimo Nugroho.

Rabu, 14 Januari 2015 Pukul 13-15 — Satu isu namun muncul dalam pendekatan beda. Isunya Aceh namun muncul dengan empat naskah, empat gaya, empat struktur. Perhatikan perbedaan masing-masing struktur. Perhatikan masing-masing "tokoh cerita."

Bacaan: “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini.

Jumat, 16 Januari 2015 pukul 10-12 -- Mendiskusikan pekerjaan rumah, sumber anonim, referensi kedua, interview dan diskusi soal struktur.

Bacaan: “Tujuh Kriteria Sumber Anonim” serta “Ten Tips for Better Interviews.”

Jumat, 16 Januari 2015 Pukul 13-15 -- Penutupan serta tanya jawab. Diskusi struktur bila ada peserta yang punya rencana bikin liputan panjang.

Monday, December 22, 2014

Reuni Alumni Yayasan Pantau


Pertemuan diawal dengan perkenalan karena datang dari berbagai kelas

ADA kejutan menyenangkan dari Firliana Purwanti, Nenden Tjahjadi, dan Titi Moektijasih. Mereka bertemu dan sepakat bikin reuni alumni Yayasan Pantau di Jakarta. Mereka datang dari kelas yang berbeda-beda serta bekerja di tempat berbeda-beda pula. Namun mereka menemukan bahwa mereka semua pernah belajar menulis di Yayasan Pantau.

"Saya dapat kelas yang gratisan," kata Titi, mengacu pada kelas yang disponsori Eka Tjipta Foundation.

Titi masih bekerja buat United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. Dia juga meminjam sebuah ruang pertemuan UNOCHA buat makan siang. Dia mengelola sebuah perpustakaan buat anak-anak, serta mengajar bahasa Inggris, di sebuah perumahan Tiga Raksa, Tangerang.

Nenden Tjahjadi bekerja buat sebuah proyek United States Agency for International Development. Firliana kini bekerja di New Zealand Aid Programme. Dia juga dikenal sebagai seorang feminis serta memiliki blog The Orgasm Project.

Tiurlan Sitompul belajar soal makanan Amerika Latin di University of Warwick.

Dia mengingatkan saya cerita kami pertama kali bertemu di airport Jakarta pada Desember 2004. Dia minta tolong agar saya mau menerima sebagian bagasinya karena keberatan. Lucu juga.

Ada sekitar 20an orang ikut pertemuan ini. Makan siang berupa nasi pecel lele. Ada cerita macam-macam. Dari mereka yang menulis buku sampai bikin web, dari Balikpapan sampai Coventry. Dari soal diskriminasi sampai Timor Leste, dari sunat perempuan sampai Parkinson.

Intinya, soal janji mau menulis dalam setahun ke depan. Kami semua dikumpulkan karena keinginan menulis panjang. Ada yang sudah bikin buku maupun film. Namun ada yang masih belum.

Ada Muhammad Husnil, yang baru selesai menulis biografi Anies Baswedan, kini menteri pendidikan, dengan judul Melunasi Janji Kemerdekaan. Atau Ucu Agustin dengan film Ragat'e Anak soal pekerja seks di Tulungagung maupun film Di Balik Frekuensi soal mutu rendah televisi Indonesia.

Leila Mona Ganiem sudah selesai Ph.D di Universitas Indonesia, Jakarta. Kini dia mengajar komunikasi di Universitas Mercu Buana. Leila sudah menulis beberapa buku soal komunikasi antar pribadi.

Saya juga lihat beberapa alumni bekerja buat organisasi internasional, termasuk Mellyana Frederika di United Nations Development Programmer serta Sri Dewi Susanty di Australian Aid. Sely Martini bekerja buat Indonesia Corruption Watch.

Rasanya tak bisa diceritakan satu demi satu alumni dalam acara tersebut. Saya kira forum ini forum alumni.

Kalau rata-rata setahun Yayasan Pantau bikin minimal tujuh kali pelatihan --sebenarnya antara 2005 sampai 2008 diadakan minimal 12 kali dalam setahun-- dan setiap program ada 15 orang berarti selama 14 tahun sudah ada minimal 1,470 orang pernah ikut program Pantau.

Di Jakarta, pelatihan diadakan minimal empat kali setahun, antara 2001 dan 2014. Di luar Jakarta lebih acak, dari Banda Aceh sampai Jayapura, dari Manado sampai Kupang. Pernah sekali diadakan di Davao City, Mindanao. Saya perkirakan jumlah mereka yang datang dari luar Jakarta lebih besar daripada mereka yang dari Jakarta.

Lovina Soenmi, yang bekerja buat Riau Corruption Trial, sedang mengumpulkan nama-nama dari berbagai kelas menulis yang pernah dibikin Yayasan Pantau sejak tahun 2001. Dia juga usul semua alumnus bisa daftar lewat Facebook milik Yayasan Pantau.

Ia cara praktis buat bertemu. Minimal tahun depan akan ditagih janji hari ini.

Friday, December 19, 2014

Tidak Ada Jurnalisme Independen di Papua

Remotivi

Papua kembali berdarah. 8 Desember 2014 yang lalu di Kabupaten Paniai, aparat keamanan menembaki warga sipil yang menewaskan 5 orang dan puluhan lainnya luka-luka. Empat di antara korban yang tewas adalah pelajar sekolah menengah.

Informasi yang mengemuka beberapa saat setelah penembakan masih simpang-siur dan saling bertolak-belakang. Selain sedikit memberikan ruang, media-media, terutama media arus utama Jakarta, terlihat berhati-hati. Pernyataan-pernyataan yang dikutip berasal dari sumber resmi, baik pemerintah maupun militer. Narasi yang merebak pun cenderung satu sisi dan bias. Komnas HAM bahkan meminta TNI berhenti memberitakan kabar bohong tentang penembakan.

Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Paniai dan bagaimana media-media memberitakan peristiwa ini, Remotivi mewawancarai Andreas Harsono melalui surat elektronik. Andreas adalah peneliti di Human Rights Watch yang juga merupakan pendiri Yayasan Pantau dan secara intensif mengikuti perkembangan isu di Papua.

Sebagai catatan, di tengah simpang-siur informasi, sampai artikel ini kami unggah, Presiden Jokowi belum mengeluarkan pernyataan tentang penembakan warga sipil di Paniai ini. Komitmen pemerintahan Jokowi yang pernah berjanji akan menyelesaikan konflik di Papua sedang diuji.

Areki Wanimbo bersama isteri dan anaknya di penjara Wamena. Pada 6 Agustus 2014, Wanimbo ditangkap polisi karena jadi nara sumber buat dua wartawan Perancis, yang hendak meliput ke daerah Lanny Jaya. ©Asrida Elisabeth 

Sejauh apa dan dalam kapasitas apa Anda mengikuti kasus kekerasan yang sering terjadi di Papua termasuk penembakan di Paniai kemarin?

Salah satu kekhususan saya adalah Papua. Sebagai wartawan, saya pertama meliput Papua pada 1996. Saya juga beberapa kali mengajar kelas jurnalisme di Jayapura, Manokwari, Nabire, Merauke, Timika, dan Wamena. Sejak 2008 saya bekerja untuk Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia, yang bekerja secara global.

Saya punya murid, kenalan, narasumber di berbagai tempat di Papua, baik orang Papua maupun non-Papua, sipil maupun militer. Saya juga kenal berbagai macam organisasi di kota-kota Papua. Setiap minggu saya praktis menerima laporan, gambar, dan sebagainya. Bila ada kejadian meletus, tentu saja, saya bisa cepat mengetahui.

Sejauh informasi yang Anda dapat, apa yang sebenarnya terjadi di Paniai kemarin? Benarkah Organisasi Papua Merdeka (OPM) terlibat?

Dalam 24 jam pertama sesudah peristiwa, kami mewawancarai dua saksi mata, wartawan dan seorang aktivis hak asasi manusia di kota-kota terdekat dengan Enarotali, Kabupaten Paniai. Mereka melaporkan bahwa aparat keamanan menembakkan peluru tajam ke arah sekitar 800 demonstran, termasuk perempuan dan anak-anak, di lapangan Karel Gobay di Enarotali. Lima demonstran – Simon Degei, 18; Otianus Gobai, 18; Alfius Youw, 17; Yulian Yeimo, 17; dan Abia Gobay (usia tidak diketahui) – meninggal akibat luka tembak. Empat dari mereka adalah siswa sekolah menengah. Mereka meninggal dengan seragam celana abu-abu dan kemeja putih. Setidaknya 17 orang lainnya termasuk lima anak SD, terluka dan dirawat di rumah sakit. Kami tidak mendengar ada informasi gerilyawan OPM bekerja di Enarotali.

Simon Degei, siswa dari SMU Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili, umur 18 tahun, mati ditembak masih dalam pakaian seragam sekolah.  ©Gereja Kingmi

Sejauh yang Anda tahu, apa yang menyebabkan simpang siurnya informasi mengenai insiden ini?

Memang tak mengherankan bila informasi simpang siur di Papua. Di Enarotali hanya ada dua wartawan, masing-masing dari Selangkah dan Suara Papua. Mereka bekerja dalam suasana menakutkan. Ada informasi dari mereka keliru, misalnya, kronologi terbalik. Di Nabire, ada seorang aktivis yang terlalu cepat mengirim email sehingga nama-nama keempat korban keliru. Namun dia sudah lakukan koreksi.

Masalah paling besar yang menyebabkan kesimpangsiuran ini adalah ketiadaan jurnalisme yang independen di Papua, baik media lokal, nasional, maupun internasional. Wartawan lokal banyak yang takut buat verifikasi. Wartawan media nasional, kalau tidak takut, banyak yang terkooptasi. Bahkan ada yang bekerja sebagai informan atau mata-mata (agen). Wartawan internasional dibatasi masuk ke Papua sejak 1960an. Mereka harus dapat persetujuan 18 instansi dalam clearing house di Kementerian Luar Negeri bila hendak meliput Papua, termasuk dari Badan Intelijen Negara maupun Badan Intelijen Strategis.

Kami tentu mau percaya pada proses verifikasi yang kami kerjakan sendiri. Saya berusaha bekerja maksimal dalam verifikasi. Saya baru tidur pukul 03.00 pagi sesudah kejadian karena harus terus-menerus menjawab berbagai pertanyaan dari editor dan pengacara kami di New York.

Media-media Jakarta terlihat berhati-hati menulis kasus penembakan kemarin. Ini terlihat dari seringnya penggunaan narasumber resmi, baik pemerintah maupun militer. Menurut Anda apa yang menyebabkan kehati-hatian tersebut?

Saya tak tahu persis mengapa mereka tak mau mengambil sumber dari Dewan Adat maupun berbagai sumber dari masyarakat di Enarotali, Nabire maupun Jayapura. Sebaiknya kalian wawancarai berbagai media Jakarta, termasuk Kompas, Metro TV, RCTI, Tempo, TVOne dan lain-lain.

Adakah peran negara dan perangkatnya dalam menciptakan disinformasi insiden Papua? Seperti apa?

Saya kira besar sekali. Ada seorang kawan saya, orang Ambon kelahiran Jayapura bekerja buat sebuah lembaga Australia di Jakarta. Dia juga harus minta izin bila hendak ke Papua dari clearing house di Kementerian Luar Negeri. Suatu hari, dia sedang ada acara keluarga di Papua. Dia tentu terbang begitu saja ke Papua. Itu tempat kelahiran dia. Di bandara, dia ditegur seorang intel karena dia tak ada izin masuk Papua.

Ini gila bukan? Mau kembali ke kota sendiri harus minta izin!

Pada 2011, sekitar 500 halaman dokumen militer, termasuk dari Kodam Cenderawasih maupun Kopassus, bocor. Ia berisi laporan harian, penyadapan telepon, pemantauan turis internasional maupun rekrutmen wartawan-wartawan di Jayapura, Wamena, dan lainnya buat bekerja mata-mata untuk Kopassus. Kegiatan mereka adalah kasih informasi soal para aktivis, pemuda, tokoh gereja, dan lainnya. Memata-matai warga sendiri memang bukan kegiatan melanggar hukum, tapi hal itu merusak kepercayaan masyarakat terhadap media.

Macam-macam organisasi, termasuk Dewan Pers, juga Human Rights Watch, minta agar pembatasan terhadap jurnalisme yang independen dihentikan di Papua. Tanpa jurnalisme yang independen, maka tak ada cara buat warga memantau kekuasaan para pejabat.

Kepala Pusat Penerangan TNI sempat menyatakan bahwa penembakan ini dipicu oleh OPM. Menurut Anda, mengapa alasan itu sering digunakan oleh pihak militer dalam setiap insiden kekerasan di Papua?

Saya tidak tahu alasan di balik keterangan itu. Dari saksi mata – belakangan kami wawancara tiga orang lagi – tak ada indikasi OPM. Semua kesaksian menyatakan bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh Tim Khusus dari Batalyon 753 asal Nabire yang terlibat sengketa dengan anak-anak kecil di lingkungan Ipakiye, Enarotali. Serdadu tersebut membalas teriakan sekelompok anak, termasuk remaja Yulianus Yeimo, yang minta sebuah mobil milik Tim Khusus 753 agar menyalakan lampu kendaraan saat lewat gubuk mereka. Mobil Toyota milik Tim Khusus 753 tersebut berhenti dan kejar anak-anak, menangkap dan memukul Yeimo. Kondisi Yeimo tak diketahui.

Ketika insiden terjadi, ada jenderal berandai-andai tembakan datang dari bukit dekat lapangan. Namun jaraknya minimal 5 kilometer. Saya ragu gerilyawan OPM punya senapan dengan kekuatan tembak sampai 5 kilometer. Mungkin saja jenderal tersebut punya informasi lain.

Sebenarnya bagaimana kondisi wartawan yang meliput di Papua? Apakah memiliki kebebasan dalam meliput atau justru kerap mendapatkan intimidasi dan teror?

Luar biasa berat buat bekerja sebagai wartawan di Papua. Bayangkan bila seorang kontributor hanya dapat honor Rp 70 ribu buat satu berita. Padahal harga seliter bensin bisa tiga kali lipat dari harga di Jawa. Sogokan besar sekali. Ancaman kekerasan juga nyata.

Pada Maret 2011, seorang wartawan meliput soal kekerasan seksual di tahanan polisi Jayapura. Seorang tahanan perempuan diminta oral sex tiga orang polisi. Banjir Ambarita adalah jurnalis yang gencar mengungkap pelanggaran tersebut. Buntutnya, suatu malam dia ditusuk di dada dan perut oleh dua orang dengan sepeda motor.

Beberapa saat lalu dua wartawan Perancis yang meliput di Papua ditangkap dan dijadikan tersangka. Mengapa pemerintah sampai saat ini masih menutup akses terhadap kehadiran wartawan asing di Papua?

Saya tak tahu mengapa Papua masih dibatasi. Ia berbeda dengan provinsi-provinsi lain. Padahal mandat dari UU Pers tahun 1999 tak boleh ada daerah yang dibedakan dalam hal akses kepada wartawan. Pembatasan hanya diperbolehkan bila daerah tersebut berada dalam keadaan bahaya serta dilakukan dalam waktu singkat. Ini juga sesuai dengan Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information (1995) yang secara khusus bicara soal pembatasan ke daerah tertentu.

Pembatasan wartawan asing meliput Papua, dalam periode sudah sekitar 50 tahun, tentu saja, melanggar standar internasional. Koresponden Australian Associated Press melamar 12 kali dalam dua tahun dan tak juga dapat visa sampai dia mengancam bahwa dia akan datang ke Papua tanpa visa. Dia tak takut ditangkap. Kementerian Luar Negeri segera kasih dia izin. Si wartawan jengkel karena semua sumbernya ditanyai intel dan ketakutan. Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, dua wartawan Perancis dari TV Arte, mengambil langkah dengan tak mencari visa wartawan. Mereka datang dengan visa turis karena melamar visa wartawan sulit sekali. Al Jazeera perlu enam tahun buat dapat visa ke Papua.

Pada Desember 2013, Human Rights Watch bersama tiga organisasi lain – Asia Justice and Rights, Kontras serta Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum – menulis surat kepada Wakil Presiden Boediono dan minta penjelasan mengapa pembatasan masih dijalankan. Boediono tak menjawab. Seorang asistennya mengatakan pada saya bahwa Boediono membaca surat tersebut dan setuju isinya. Tapi entah kenapa dia tak menjawab.

Menariknya, kedua kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, sama-sama berjanji saat kampanye 2014 bahwa mereka akan akhiri pembatasan ke Papua tersebut bila terpilih sebagai presiden. Kita tahu Jokowi menang pemilihan. Kita tunggu apakah Jokowi akan memenuhi janjinya.

Mahasiswa dan aktivis Indonesia aksi depan Istana Merdeka dengan hashtag #PapuaItuKita ketika Jokowi belum juga buka suara soal penembakan Enarotali.  ©Andreas Harsono

Bagaimana Anda menilai istilah-istilah yang dipakai media untuk memberitakan kasus-kasus yang ada, seperti “disintegrasi”, “separatis”, “bentrok”, dan lainnya?

Saya kira sulit kasih komentar secara umum. Saya harus melihat berita demi berita bila bikin analisis soal jurnalisme. Kadang penggunaan kata-kata yang terkesan sembrono sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kadang juga memang sembrono. Ini pelajaran dari guru saya, Bill Kovach dari Universitas Harvard, soal analisis berita.

Apa dampak dari model-model pemberitaan diskriminatif macam demikian terhadap rakyat Papua dan konflik itu sendiri?

Secara umum, orang Papua merasa mendapatkan diskriminasi dari negara. Mereka merasa tidak aman berada dalam keadaan begini di mana diskriminasi terjadi, kekerasan rutin muncul dan pelaku tak dihukum dengan pantas. Celakanya, media juga melanggengkan rasialisme terhadap orang kulit hitam dan rambut keriting.

Contohnya, film Lost In Papua karya Irham Acho Bachtiar soal sebuah suku dengan anggota hanya perempuan, di pedalaman Papua. Ada pekerja tambang tersesat dan ditahan suku tersebut. Mereka dijadikan “bibit unggul” dengan pesan seakan-akan lelaki Papua tak seunggul lelaki dari Jawa. Aktor Fauzi Baadilah kepada Okezone mengatakan, "Jadi waktu itu ceritanya gue tersesat di daerah Papua. Tiba-tiba gue ketemu suku yang semuanya cewek. Jadi mereka kalau melihat pria hasratnya langsung deh. Cukup kacau juga deh, 16 orang secara bergantian perkosa gue.”

Saya jijik dengan rasialisme dalam film tersebut. Ia bukan satu-satunya. Ada rasa ketidakadilan yang besar sekali di Papua. Kepercayaan mereka terhadap media Indonesia, saya khawatir, tidak tinggi.

Contohnya, Filep Karma, seorang tahanan politik di penjara Abepura. Dia ditahan sejak 2004 dengan dakwaan makar, namun dia gugat ke pengadilan internasional. Indonesia kalah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa minta Karma dibebaskan pada November 2011. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menolak mengikuti rekomendasi PBB.

Karma baru saja menerbitkan biografi, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, yang menceritakan bagaimana militer dan polisi Indonesia melanggar hak asasi manusia lewat berbagai operasi. Pelakunya kebal hukum. Bahkan mereka yang terlibat dalam pembantaian Biak pada 6 Juli 1998, ketika ratusan orang Papua ditangkap, dipukul, dan mayat mereka dibuang ke laut. Karma juga cerita soal anak-anak yang lahir dari pemerkosaan oleh serdadu Indonesia.

Karma berpendapat warga Papua, sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 sampai hari ini dengan sistem noken—dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi—masih tidak diberi hak one man one vote. Dia juga jengkel ketika dia kuliah di Solo pada 1990an, dia sering disebut sebagai “monyet” atau “koyo ketek”. Orang juga sering tutup hidung ketika berdekatan dengan orang Papua. Ini bukan saja di Jawa tapi juga di Papua yang dilakukan oleh para pendatang yang tinggal di sana. Karma berpendapat orang Papua yang hitam, rambut keriting, dianggap “setengah binatang.”

Apa yang seharusnya media Jakarta lakukan dalam peliputan insiden semacam ini?

Sederhana sekali. Mereka harus kirim wartawan ke Enarotali. Mereka harus perlakukan Papua seperti mereka meliput persoalan di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan seterusnya. Jangan hanya parachuting journalist, yang datang beberapa hari lalu pergi, tapi juga koresponden yang handal. Mereka juga harus menaruh wartawan-wartawan yang profesional di Papua.

Bila ada kabar tak sedap soal koresponden di Papua, sebaiknya segera dipindah dari Papua. Saya tentu mengikuti jejak banyak wartawan di Papua. Rekam jejak mereka banyak yang buruk. Kalau tidak buruk ya penakut. Kasihan bukan, bila sudah ketakutan masih ditaruh di Papua?


Saturday, November 29, 2014

Mengajar Wartawan di Wamena


SELAMA empat hari saya berada di Wamena, mengajar sebuah kelas penulisan serta mencari tahu persoalan penangkapan dua wartawan Perancis pada 6 Agustus 2014. Thomas Dandois dan Valentine Bourrat dari TV Arte, mengambil langkah dengan tak mencari visa wartawan karena melamarnya sulit sekali. Mereka kini ditahan di Jayapura. 

Saya juga jalan-jalan sekitar Wamena. Sejak pertama datang ke Wamena pada 1996, saya selalu merasa tertarik kembali ke kota ini. Makin tahun makin terlihat perubahan di Wamena.

Namun satu hal yang saya belum mengerti adalah mengapa kios, toko dan macam-macam bisnis di Papua, termasuk Wamena, dikuasai oleh orang non-Papua: Bugis, Jawa, Makassar, Tionghoa dan seterusnya. Orang Papua, misalnya di Wamena, berjualan di jalan, duduk di lantai.

Diskriminasi tentu satu faktor. Kredit bank juga diskriminasi lain. Saya ingin mengerti berapa persen bisnis Papua yang dikuasai orang asli? 

Bagaimana menguji penjelasan, salah satu orang Indonesia di Wamena, "Orang Papua memang tak suka duduk di kursi?"

Kelas penulisan di Wamena.

Saya mengajar sebuah kelas penulisan hanya dua hari. Belajar soal elemen jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sampai perkakas menulis dari Roy Peter Clark. Saya minta peserta bikin PR. Dari 20 orang, yang bikin besar hati, hanya tiga tak bikin PR. Sisanya, bikin PR semua. Ini persentase yang tinggi. Tiga peserta cukup bikin saya senang lewat PR mereka. Ceritanya beragam, dari tak ada obat di rumah sakit Wamena sampai kesulitan orang asli daftar jadi pegawai Bank Papua.

Ada peserta perempuan cerita berbagai kesulitan yang dia hadapi dalam pernikahan. Suami selingkuh dan dia memutuskan bercerai dan membawa anak mereka satu-satunya. Saya kira perlu keberanian buat seorang perempuan, dimana pun dia berada, baik di Wamena maupun Jakarta, buat menulis pengalaman buruk.

Menulis dengan berani.
Persoalan pasar juga dibahas dalam kelas. Ada macam-macam jawaban. Saya harap para peserta akan menghasilkan karya yang mencoba menjelaskan persoalan ini. 

Buku saya, "Agama" Saya Adalah Jurnalisme, dibagikan dalam kelas ini. Saya juga pergi jalan ikut bakar batu di Hebuba, sebuah kampung di luar Wamena, bertemu dengan Yohanes Jonga, seorang pastor yang peduli dengan hak asasi manusia, juga kenalan lama. 

Wamena selalu menimbulkan kesan mendalam.

Tuesday, November 25, 2014

Indonesian Women’s Rights Under Siege

President Widodo should send a clear message by banning virginity tests

Published in:Al Jazeera

On Nov. 18, Human Rights Watch (HRW) reported that the Indonesian government subjects female police recruits to discriminatory and degrading virginity tests. Indonesia’s National Police law division head, Inspector General Moechgiyarto, defended the tests as a means to ensure the morality of female applicants.

“The procedure has been practiced for a long time,” he told reporters in Kuningan in South Jakarta on Nov. 19, referring to the use of virginity tests. “If [a candidate] turns out to be a prostitute, then how could we accept her for the job?” Indonesia’s coordinating minister for politics, law, and security, Tedjo Edhi, confirmed that virginity tests have long been obligatory for female military recruits.

The police’s and military’s use of a degrading, unscientific and discriminatory test is not an isolated example of women’s rights abuse in Indonesia. It is part of a wider pattern of attacks on women’s rights that has been in the making for more than a decade, despite guarantees in Indonesia’s Constitution against such discrimination.

In many parts of Indonesia, local laws compelling women and girls to don the hijab, or headscarf, are increasingly common in schools, government offices, and public spaces. While many of these laws specify traditional Sunni Muslim garb both for women and men, research by HRW shows they disproportionately target women.

In January 2013 the mayor of Lhokseumawe in Aceh province barred women from straddling motorcycles in the name of Sharia. In May 2013 the district chief in neighboring Bireuen barred women from dancing in public places. In Gorontalo on Sulawesi Island the government removed its entire female support staff in July 2013, replacing them with men as part of an initiative supposedly to discourage extramarital affairs. In Meulaboh, another Aceh regency, the local government has restricted women to wearing skirts since 2012.

The HRW is not alone in highlighting the proliferation of regulations that deny women the right to freedom from discrimination under international law. In August 2013, Indonesia’s Commission on Violence Against Women reported that since 1999, national and local governments have passed 342 discriminatory regulations, including 79 local laws requiring women to wear the hijab. Although the number of the discriminatory local laws has doubled, from 154 in 2009 to 334 in 2013, in July 2013 the Ministry of Home Affairs said it would revoke only eight of them.

The United Nations has also sounded the alarm. “The committee is deeply concerned about the persistence of a large number of discriminatory laws at the national level … [as well as] discriminatory bylaws,” the U.N. Committee on the Elimination of Discrimination Against Women, said in its 2012 compliance review (PDF).

Failure to act on women’s rights will mark a betrayal of Indonesian women and haunt President Joko Widodo’s administration for years to come. 

Indonesian women’s rights groups have opposed the passage of these discriminatory regulations. The National Commission on Violence Against Women linked a sharp decline in the enactment of such rules from 2006 to 2009 to the “strong reactions from civil society at the national level.”

This is not the Indonesia I knew growing up. I was born in Jember, a small town in East Java in 1965. At the time, there were no regulations that required women to wear the hijab. There was no multiplicity of local regulations and ordinances curtailing women’s freedom to dress, dance or ride pillion. To be sure, Indonesia was no paradise for women’s rights in the 1970s and 1980s. For example, the 1974 Marriage Law contained many discriminatory provisions, including the legalization of polygamy. But it also recognized women’s right to marital property.

Although Indonesia’s dictator Suharto flouted many basic human rights during his 33-year-long reign, he established the Ministry of Women’s Empowerment in 1983. A year later he allowed Indonesia to sign and ratify the Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women, the first human rights convention the country signed. In October 1998, Suharto’s successor President B.J. Habibie formed the National Commission on Violence Against Women. In concert with the Ministry of Women’s Empowerment, the agency was explicitly tasked with integrating women’s rights as a key component of government policy formation.

Indonesia’s democratization and decentralization after Suharto’s fall in 1998 has emboldened Islamic activists who have spearheaded the calls for laws and regulations that limit women’s rights. Ironically, the rise of discriminatory laws occurred despite the fact that Indonesia elected its first female president in 2001 and enacted a domestic violence law three years later. The 2010 gender equality bill, aimed at ending discrimination, remains stalled in parliament because of opposition from Islamist politicians.

The government’s failure to prevent the erosion of basic rights of women and girls is not accidental. Opening the Indonesian Ulama Council congress in 2005, former President Susilo Bambang Yudhoyono, wooed members of the country’s top Muslim clerical body, promising to integrate fatwas (Islamic edicts) into government policies. He appointed a handful of conservative politicians and Islamic clerics as advisers and Cabinet members.

President Joko Widodo, who replaced Yudhoyono in national elections on July 9, was sworn into office on Oct. 20. Widodo’s challenge is to prove that his administration will not tolerate abusive virginity tests or trade women’s fundamental rights for political support from Islamist militants.  Widodo should send that message by boldly banning virginity tests and lifting Islamist-imposed restrictions on women’s rights. Failure to act on women’s rights will mark a betrayal of Indonesian women and haunt his administration for years to come. 

Andreas Harsono is an Indonesia researcher at the Human Rights Watch.

Monday, November 24, 2014

HRW calls on Indonesia to scrap 'virginity tests' for female police

Deutche Welle

Human Rights Watch has condemned Indonesia's use of "virginity tests" to filter female police applicants. The group's Andreas Harsono says some officials claim they want to get rid of "prostitutes" among the applicants.

In a report published on November 18, Human Rights Watch (HRW) accuses the Indonesian government of subjecting women applying for Indonesia's National Police to discriminatory virginity tests. Based on interviews with both female police and police applicants in six Indonesian cities who had undergone the test, the report describes the practice as "painful and traumatic" for the women.

The test is done early in the recruitment process as part of the applicants' physical exam. Personnel from the Police Medical and Health Center conduct the tests primarily in police-operated hospitals.

The report claims that the examination has included the "two-finger test" to determine whether female applicants' hymens are intact. It also argues that the practice contravenes National Police principles which state that recruitment must be both "nondiscriminatory" and "humane."

Nisha Varia, HRW's associate women's rights director, said: "The Indonesian National Police's use of ‘virginity tests' is a discriminatory practice that harms and humiliates women."

In a Deutche Welle interview, Andreas Harsono, Indonesia researcher at HRW, says some police doctors and officers claim these tests are needed to "check the morality of the recruits."

DW: Why is the Indonesian police still conducting virginity tests on female recruits?

Andreas Harsono: The so-called "virginity test" has been in practice for a long time. We interviewed a retired policewoman who said that her 1965 class had been tested. We also found that several policewomen had protested the practice in the late 1980s as well as the late 1990s.

Finally in 2009, the National Police chief issued a new mechanism, the Regulation No. 5 on Health Inspection Guidelines for Police Candidates, which requires female police academy applicants to undergo an "obstetrics and gynecology" examination. It does not specify that a "virginity test" is to be administered. The test is given early in the recruitment process as part of the applicants' physical exam.

But old habits die hard. Police Medical and Health Center personnel conduct the tests primarily in police-operated hospitals. We found some police doctors and police officers saying that they want to get rid of "prostitutes" among the applicants. They therefore included the discredited and degrading "two-finger test" to determine whether female applicants' hymens are intact or torn.

What impact does this test have on the female recruits?

Applicants who "failed" were not necessarily expelled from the force, but all of the women described the test as painful and traumatic. In Padang, West Sumatra, policewomen regretted that they took the test, saying that the state does not trust them to be "good women" who are able to work professionally, according to Nurani Perempuan, a women's rights advocacy organization.

But we also met policewomen who feel that the test is justified. They are proud to be virgins and feel upset with their outspoken colleagues who protest the test. I believe they're upset because they're forced to go out of their comfort zone.

What happens to recruits who refuse to take the test?

We never found a recruit who refused the test. Most applicants were surprised when they found out that the health test included examining their "insides," including vaginas. One recruit said if she had refused to take the vagina examination, she would have automatically been eliminated from the selection process.

What happens to those applicants who fail the virginity test?

They are never told. The National Police uses a matrix in which all results, from an applicant's blood test to her X-ray photo, from hymen to eye sight, are organized into a scoring system. If the final score is below a certain level, they're not accepted.

But the head of the National Police law division, Inspector General Moechgiyarto, said that they needed to check the morality of the recruits by checking their virginity. He asked, "If she (a candidate) turns out to be a prostitute, then how could we accept her for the job?" His admission confirms our research that virginity is still a major factor.

How long have these tests been conducted?

We know that it began in 1965, at the latest. Women were first recruited to be police officers in 1948, but the National Police did not recruit more female officers until 1958. It gradually grows but the number of policewomen is still around three percent of the total 400,000 police officers in Indonesia. The new 7,000 recruits this year are going to increase the number from 14,000 to 21,000. It will be five percent when they are to graduate in December.

Are there any plans to abolish the tests?

National Police chief General Sutarman claims that no more virginity tests are being conducted. I guess he should make his statement into a written one.

What do you urge the Indonesian government to do?

We ask the National Police authorities in Jakarta to immediately and unequivocally abolish the test, and then make certain that all police recruiting stations nationwide stop administering it.

Andreas Harsono has covered Indonesia for Human Rights Watch since 2008.

Sunday, November 09, 2014

Soal kolom agama di KTP


Tjahjo Kumolo bersama rekannya.
BAGAIMANA melihat ide Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahwa kolom agama dalam KTP bisa dikosongkan? Ada yang setuju, ada yang tak setuju. Ada media yang memberitakan dengan salah sehingga timbul komentar yang tak perlu.

Mulanya, saya kira, harus dilihat dari UU tentang Administrasi Kependudukan tahun 2006. Tepatnya pasal 64 soal kolom agama tersebut:

(1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

(2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Artinya, bagi orang yang agama atau kepercayaannya tak termasuk satu dari enam agama yang diakui pemerintah Indonesia --sesuai dengan Penetapan Presiden Soekarno pada 1965: Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu-- dia tetap boleh menyatakan agama atau keyakinannya dalam database kependudukan. Namun ia tak tercantum dalam KTP. Secara teknik, apa yang tercantum dalam kolom agama berupa tanda "-" (strip).

Di Indonesia, ada lebih dari 400 agama di luar keenam agama tsb. Ini mulai dari agama lokal, misalnya Kejawen, Sunda Wiwidan, Parmalim sampai Kaharingan, maupun agama impor macam Taoisme, Shinto dan sebagainya. Mereka berhak dapat KTP dengan agama dicatat dalam database kependudukan namun tak tercantum dalam KTP.

Dewi Kanti Setianingsih beragama Sunda Wiwidan. Sesuai UU Administrasi Kependudukan, agama tersebut dicatat dalam database kependudukan namun tak dicantumkan dalam KTP
Prakteknya, saya sering menemukan pegawai negeri tak mau menjalankan ketentuan UU Administrasi Kependudukan. Orang Kaharingan dan sebagainya sering dipaksa memilih satu dari enam agama resmi tsb.

Ini bukan saja soal KTP. Ia juga soal akte pernikahan maupun akte kelahiran. Mereka tak bisa mencatatkan pernikahan mereka sehingga anak yang lahir dianggap anak haram. Akte kelahiran anak-anak mereka hanya ada nama ibu --tanpa nama ayah.

Ia adalah diskriminasi terhadap para pemeluk agama-agama kecil di luar enam agama tersebut. Saya kira UU Administrasi Kependudukan belum ideal dengan memperbolehkan semua agama dicantumkan dalam KTP tapi setidaknya ia memberi ruang kepada agama-agama kecil dicatat dalam database kependudukan.

Tjahjo Kumolo tak keluar dari ketentunan hukum ketika dia bicara bahwa warga Indonesia, apapun agamanya, harus dilayani dengan KTP.


Saturday, October 18, 2014

Sayang Sepatu, Rawat Sepatu


Barisan belakang dari kiri sandal Keen (2012), sepatu kapal Blue Harbor (2004), sepatu jalan coklat Camel Active (2007), boot hitam Timberland (1999). Baris depan dari kiri boot biru Timberland (2014), sepatu lari Nike (2009), sepatu formal Bostonian (2012) serta sandal kulit Crocodile (2010). 

SABTU biasa hari buat istirahat dan bersihan. Kali ini giliran bersih-bersih sepatu. Percaya atau tidak, saya suka sekali dengan sepatu dan sandal saya. Saya biasa membersihkan mereka, sesuai dengan jenis kulit, warna dan bahan. Ada semir, ada sikat, ada balm proofer, buat kulit keras maupun kulit lunak (suede).

Saya punya enam sepatu dengan keperluan beda serta dua sandal. Paling tua adalah sepatu boot hitam merk Timberland. Saya beli di kota Cambridge ketika belajar di Universitas Harvard pada 1999.

Boot ini penting buat musim dingin.

"Kalau kena frost bite bisa dipotong jari kamu!" ujar seorang kawan dari Nieman Foundation ketika lihat saya pakai non-boot.

Headline Jakarta Post dan China Daily.
Boot hitam saya termasuk awet. Umurnya, kini sudah 14 tahun. Ia pernah dijadikan bahan gigit-gigit kucing di rumah mertua di Pontianak ketika saya menginap di sana.

Kawan saya, Coen Husain Pontoh dari New York, beberapa kali kuatir lihat boot saya. Dia anggap belum cukup buat musim salju di New York.

Saya beli sandal Keen serta sepatu kulit Bostonian di kota Berkeley, dekat San Francisco, pada November 2012 ketika hendak jalan kaki, naik gunung, di Yosemite National Park.

Ceritanya, dari Berkeley, saya diminta pergi ke London, ikut sebuah resepsi Human Rights Watch di sebuah balai pertemuan mewah. Saya diminta tak pakai boot. Saya diminta pakai sepatu hitam, kulit, istilah dress ... lawan dari casual.

Maka saya "terpaksa" keluar uang beli sepatu merk Bostonian. Sandal Keen, ditawarkan oleh penjual sepatu di Berkeley dengan rabat lumayan besar. Saya beli sandal tersebut buat naik gunung Yosemite.

Sepatu Bostonian ini adalah sepatu saya paling mahal. Saya sekarang lupa harganya. Mungkin US$100 lebih. Namun memang dipakai enak sekali di kaki. Bahan ringan. Saya kira ia juga kuat.

A shoe has so much more to offer than just to walk," kata Christian Louboutin.

Empat dari enam sepatu saya terbuat dari suede. Timberland usul dibersihkan dengan balm proofer

BILA saya diminta memilih mana dari enam sepatu ini yang paling saya sukai, jawaban saya adalah boot biru Timberland model chukka, saya beli di Senayan City, Jakarta, awal tahun 2014.

Di luar sandal Keen dan sepatu Bostonian yang saya beli di Berkeley, lainnya saya beli ketika ada rabat. Entah di Jakarta atau Cambridge.

Agak sedih lihat sepatu lari Nike. Sejak tulang belakang saya dinyatakan tergencet pada Agustus 2013, saya praktis, tak pernah lari lagi. Saya biasa lari, sejak masih remaja di Jember, buat jaga kesehatan. Sepatu lari tersebut tipe Air Max yang lumayan menyerap benturan.

Saya beli sepatu kapal (boat shoes) merk Blue Harbor di Jakarta gara-gara sepatu sejenis merk Timberland dicuri orang beberapa tahun sebelumnya. Rasanya jengkel sekali. Harga Timberland lumayan tinggi. Blue Harbor lebih murah. Saya pakai sepatu kapal bila diajak naik kapal. Ia praktis, tak perlu pakai kaos kaki, mudah kering bila kena air. Namun Blue Harbor tampaknya tak setara dengan Timberland. Sol karet Blue Harbor tak seempuk dan sekuat Timberland.

Sepatu, tentu saja, bukan urusan remeh. Sepatu yang nyaman bukan saja melindungi kaki tapi tulang belakang. Ia bikin jalan dan lari lebih terlindungi.

Saya penggemar majalah The New Yorker. Mereka bikin ratusan naskah soal sepatu. Saya suka liputan Lauren Collins tentang Christian Louboutin, disainer sepatu perempuan dari Paris, yang terkenal dengan sol warna merah.

Sandal Crocodile saya pakai bila ada acara dengan tetangga dimana tamu diharapkan lepas sepatu bila masuk rumah. Saya kurang suka pakai sandal kulit. Rasanya licin. Tak bisa dibawa jalan cepat. Namun berkunjung ke tetangga dengan sandal jepit kesannya tak menghargai si tuan rumah.

Lama-lama jadi macam Imelda Marcos ya? Bagaimana dengan Anda?

Friday, October 03, 2014

Ibu dari Perancis, Anaknya di Papua


Saya sedang lihat Konser Svara Bumi di Jakarta, ketika Martine Bourrat menelepon dan memperkenalkan diri. Sambungan telepon jelek. Dia ibu Valentine Bourrat. Saya menemui dia di Hotel Kosenda di Jakarta.

MARTINE Bourrat, seorang notaris dari Paris, datang ke Jakarta guna minta bantuan siapa pun yang mau bantu agar putrinya, Valentine, dibebaskan dari tahanan pemerintah Indonesia di Jayapura. Dia bertemu dengan Kedutaan Perancis, pengacara Todung Mulya Lubis --mewakili keluarga Bourrat-- serta kasih wawancara dengan beberapa media.

Anaknya, kameraman Valentine Bourrat, ditangkap di Wamena, bersama wartawan Thomas Dandois, pada 6 Agustus 2014. Mereka bekerja buat Arte TV --televisi bahasa Perancis dan Jerman-- di Eropa. Polisi juga menangkap Areki Wanimbo, seorang guru sekolah dan kepala adat Kabupaten Lanny Jaya, yang jadi nara sumber mereka.

Dandois dan Bourrat hendak bikin film dokumentasi soal pelanggaran hak asasi manusia maupun gerakan kemerdekaan di Papua. Mereka datang dengan visa turis, sesuatu yang melanggar hukum Indonesia, karena mendapatkan visa wartawan buat pergi ke Papua ... sulit sekali.

Mark Davis, wartawan SBS Australia, merekam bagaimana dia dapat izin meliput ke Papua namun dibuntuti intel militer Indonesia. Dia dapat bantuan dari dua orang mantan aktivis kemerdekaan Papua, yang sekarang dukung Indonesia, agar bisa meliput di Papua: Nick Messet dan Franz Albert-Joku.

"Bapak Aku Adalah Pahlawan."
Martine Bourrat juga bawa segepok dokumen, termasuk kliping majalah soal suaminya, Patrick, wartawan perang televisi TF1, yang meninggal ketika bertugas di Kuwait pada 2002. Kliping ini dikumpulkan oleh bapak mertuanya. Ia diberikan ke Martine sebelum dia berangkat ke Jakarta.

Salah satunya cerita soal remaja Valentine, ketika umur 17 tahun dan bapaknya meninggal. Judulnya, "Mon Pere ce Heros." Terjemahannya, "Bapak Aku Adalah Pahlawan." Ia judul sebuah puisi Victor Hugo, belakangan juga dibikin film tentang seorang ayah dan putrinya. Valentine kagum pada bapaknya. Dia ingin juga jadi wartawan.

Valentine kagum bapaknya, Patrick.
Ketika ditangkap, polisi Indonesia menuduh Valentine "agen rahasia Perancis" dengan dasar paspor diplomatik milik Valentine. Dia diduga hendak jual amunisi. Dia hendak dikenakan pasal makar. Valentine juga dicurigai karena pernah magang kerja di Kedutaan Perancis di Tel Aviv.

Martine mengatakan pada saya tuduhan tersebut tak ada buktinya. Paspor diplomatik diberikan pemerintah Perancis ke Valentine sebagai seorang magang di kedutaan Perancis. Valentine sendiri lahir di Yerusalem pada 1985 ketika bapaknya sedang bertugas di Timur Tengah selama tiga tahun.

"Kehamilan saya sulit sehingga tak bisa naik pesawat terbang ke Perancis," kata Martine.

Timur Tengah adalah daerah liputan penting buat TF1 maupun banyak media lain. Ketika dewasa, wajar Valentine tertarik magang di Israel, tempat kelahirannya, yang masih jadi daerah liputan penting. Ini semua legal. Perancis dan Israel juga punya hubungan diplomatik.

Tak ada yang aneh pula ketika Valentine dewasa, meliput Papua. Patrick pernah meliput referendum Timor Timur pada 1999. Valentine tertarik dengan Papua juga karena pengalaman bapaknya. Ketika masih kecil, Valentine diajak orang tuanya ke Rusia, Afghanistan dan berbagai tempat perang lainnya.

Tangan Martine Bourrat bergetar ketika memperlihatkan kliping majalah soal suami dan anaknya.

Martine Bourrat bilang dia sebenarnya tak mau baca majalah soal suaminya. Dia sedih bila ingat almarhum. Namun, majalah ini merekam wawancara dengan remaja Valentine.

Kini Valentine berusia 28 tahun. Sudah bekerja sebagai kameraman. Dia sudah dewasa. Seperti Patrick, yang sering dipenjara dan intimidasi, kini Valentine dipenjara di Jayapura dan kenyang intimidasi dari aparat Indonesia.

Martine bilang anaknya tak salah apapun selain soal visa. Dia cerita isteri Thomas Dandois, Alexandra Kogan, harus bekerja keras mengasuh anak kembar mereka, umur 2.5 tahun, sambil bekerja.

"Mereka berdua bekerja freelance. Bila Thomas ditahan sudah dua bulan, keadaan ekonomi mereka tentu berat sekali," katanya.

Martine mengatakan pada saya, dia akan datang ke Jayapura sendirian, guna minta pemerintah Indonesia bebaskan Thomas Dandois dan Valentine Bourrat.

Thursday, October 02, 2014

Indonesia: Aceh’s New Islamic Laws Violate Rights

Same-Sex Relations Banned; Whipping Imposed as Punishment

Human Rights Watch


(Jakarta) – Indonesia’s central government and the Aceh provincial government should take steps to repeal two Islamic bylaws in Aceh province that violate rights and carry cruel punishments, Human Rights Watch said today.

On September 27, 2014, the Aceh provincial parliament approved the Principles of the Islamic Bylaw and the Islamic criminal code (Qanun Jinayah), which create new discriminatory offenses that do not exist in the Indonesian national criminal code (Hukum Pidana). The bylaws extend Sharia, or Islamic law, to non-Muslims, which criminalize consensual same-sex sexual acts as well as all zina (sexual relations outside of marriage). The criminal code permits as punishment up to 100 lashes and up to 100 months in prison for consensual same-sex sex acts, while zina violations carry a penalty of 100 lashes.

“The two new bylaws deny people in Aceh the fundamental rights of expression, privacy, and freedom of religion,” said Phelim Kine, deputy Asia director. “Criminalizing same-sex relations is a huge backward step that the Indonesian government should condemn and repeal. Whipping as punishment should have been left behind in the Middle Ages.”

Under national legislation stemming from a “Special Status” agreement brokered in 1999, Aceh is the only one of Indonesia’s 34 provinces that can legally adopt bylaws derived from Sharia. Human Rights Watch opposes all laws or government policies that are discriminatory or otherwise violate basic rights. Aceh’s parliament drafted the Principles of the Islamic Bylaw while the province’s official Islamic Affairs Office drafted the Islamic criminal code. These bylaws apply not only to Aceh’s predominantly Muslim population, but to about 90,000 non-Muslims residents, mostly Christians and Buddhists, as well as domestic and foreign visitors to the province.

Aceh’s new criminal code prohibits liwath (sodomy) and musahaqah (lesbian). It also contains provisions that allow Islamic courts to dismiss charges against rape suspects who take sumpah dilaknat Allah (an Islamic oath), asserting their innocence. The Islamic oath provision allows rape suspects who declare their innocence up to five times to be eligible for automatic dismissal of charges should the court determine an absence of incriminating “other evidence.”

The enforcement of existing Sharia laws in Aceh has infringed on human rights. A 2010 Human Rights Watch report “Policing Morality: Abuses in the Application of Sharia in Aceh,” documented human rights abuses linked to enforcement of Sharia bylaws prohibiting adultery and khalwat (seclusion), and imposing public dress requirements on Muslims. The khalwat law makes association by unmarried individuals of the opposite sex a criminal offense in some circumstances. While the dress requirement is gender-neutral on its face, in practice it imposes far more onerous restrictions on women with the mandatory hijab, or veil and long skirts. These “offenses” are not banned elsewhere in Indonesia.

The Principles of the Islamic Bylaw violate the right to freedom of religion enshrined in the Indonesian constitution and international law by requiring all Muslims to practice the Sunni tradition of Islam. The bylaw imposes the Sunni school of Shafi’i as the province’s official religion, while permitting three other major Sunni traditions – Hanafi, Maliki, and Hambal – only on the condition that their followers promote “religious harmony, Islamic brotherhood and security among Muslims.” The law excludes Aceh’s sizable Shia and Sufi minorities as well as the Ahmadiyah Muslim community.

The Principles of the Islamic Bylaw also impose ambiguous, excessive, and discriminatory restrictions on the content of published materials and broadcasts in Aceh that will undermine media freedom throughout the country. The bylaw obligates the media, including those that originate elsewhere in Indonesia, to ensure that their content is “not contrary to Islamic values.” The bylaw also authorizes the provincial government to establish “ethical guidelines” for media.

The two new bylaws violate fundamental human rights guaranteed under core international human rights treaties to which Indonesia is party. The International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia ratified in 2005, protects the rights to privacy and family (article 17), and freedom of religion (article 18) and expression (article 19). The covenant prohibits discrimination on the basis of sex, religion, and other status such as sexual orientation (article 2). It also prohibits punishments such as whipping that could amount to torture or cruel and inhuman punishment (article 7).

Aceh’s provincial legislature should repeal both bylaws, Human Rights Watch said. In the meantime, Aceh Governor Zaini Abdullah should stop the province’s Sharia police from arresting and detaining people suspected of these “crimes.” The authorities should investigate any wrongdoing in enforcing the legislation. In 2009, then-Governor Irwandi Yusuf refused to sign an earlier version of the Aceh criminal code, which included stoning for adultery. This led the Aceh legislature to rewrite the criminal code over the last five years.

Under Indonesian law, the home affairs minister can review and repeal local bylaws, including those adopted in Aceh. Incoming President Joko Widodo (“Jokowi”), who takes office on October 20, should direct the home affairs minister to revoke the new bylaw. Because other local governments in Indonesia have looked to Aceh’s laws as models, it is important for the new administration to act promptly against laws that are discriminatory or are otherwise unlawful, Human Rights Watch said.

“Indonesia’s incoming president should treat Aceh’s abusive new bylaws as an opportunity to demonstrate a commitment to human rights, and have them repealed,” Kine said. “People in Aceh should enjoy the same rights and freedoms as all Indonesians.”

Friday, September 19, 2014

Kursus Jurnalisme Sastrawi XXIII

Jakarta, 5 – 16 Januari 2015


Peserta kursus jurnalisme sastrawi datang dari berbagai tempat di Indonesia, terkadang juga dari luar Indonesia, belajar bersama selama dua minggu di Jakarta.

“Kursus yang memberi cara pandang baru terhadap apa yang sering secara kabur di sebut 'fakta' dan bagaimana menceritakannya.”
Denni Pinontoan, Universitas Kristen Indonesia Tomohon

“Kalau saya menteri pendidikan, ini kursus masukkan dalam kurikulum sekolah lanjut. Ia paksa saya berpikir benar soal apa yg kita lihat, pikir dan tulis.
Firdaus Mubarik, Ahmadiyah, Jakarta

“Kelas ini mengubah hidup saya. Saya jatuh cinta pada jurnalisme. Tak hanya mengajari menulis, ia mengajari saya berfikir urut dan mencintai orang-orang lemah.”
Imam Shofwan, ketua Yayasan Pantau, Jakarta

“Kursus ini memberikan pandangan baru; menjadi jurnalis tak hanya cukup memberitakan, tapi juga harus berpegang teguh pada nurani.”
Indra Nugraha, Mongabay, Bandung

"Ini kursus santai tapi paling kena di hati. Ia membimbing saya menjadi penulis berwawasan sekaligus bernurani."
Lovina Soenmi, Riau Corruption Trial, Pekanbaru

“Ia bikin saya tahu banyak hal tentang jurnalisme. Ia ajarkan menulis karya jurnalisme naratif dan bermutu. Buat saya yakin bekerja sebagai jurnalis adalah kehormatan.”
Tommy Apriando, Mongabay, Yogyakarta

“Ini kursus keren yang mengubah caraku melihat orang-orang, memotret peristiwa dan memaknai dunia. Magic belajarnya masih terasa sampai sekarang bahkan dalam tugas politik sekali pun
Winston Rondo, anggota DPRD Nusa Tenggara Timur, Kupang

Peserta kursus jurnalisme sastrawi angkatan XXII pada Januari 2014 bergaya di atas ruko Yayasan Pantau.

Sejak Juli 2001, Janet Steele dan Andreas Harsono mengampu sebuah kelas soal menulis panjang. Mereka memperkenalkan gerakan yang dimulai pada 1973 di New York, ketika Tom Wolfe menulis definisi genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin jurnalisme, riset akademis dan daya pikat sastra. Genre ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat.

Menurut Nieman Reports, sejak 1980an, suratkabar-suratkabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi membuat suratkabar tampil dengan laporan mendalam. Kini dotcom pun mulai masuk ke format penulisan panjang.

Tak terasa, sudah 13 tahun Steele dan Harsono mengajar kursus tersebut di Jakarta. Mereka kembali membuka kelas baru selama dua minggu. Peserta adalah orang yang biasa menulis untuk media. Setidaknya berpengalaman sekitar lima tahun. Peserta maksimal 18 orang. Calon peserta diharapkan mengirim biodata dan contoh tulisan. Biaya pendaftaran Rp 3.5 juta.

INSTRUKTUR
Janet Steele diskusi buku Email dari 
Amerika di Jakarta. 
Janet Steele dari George Washington University, spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism. Menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia serta Email dari Amerika.

Andreas Harsono di studio
ABC Melbourne.
Andreas Harsono wartawan, peneliti, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen, Institut Studi Arus Informasi, South East Asia Press Alliance serta Yayasan Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Menulis antologi "Agama" Saya Adalah Jurnalisme.

Metta Dharmasaputra menulis
buku Saksi Kunci.
Metta Dharmasaputra (pembicara tamu) sebagai wartawan Tempo, menghabiskan enam tahun menyelidiki dan menulis skandal penggelapan pajak Asian Agri Group. Dia menulis buku Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group. Kini bekerja untuk Katadata.

INFORMASI

Elisabeth Eva 0812-80934947
Khoiruddin 0815-84419200

Yayasan Pantau
Jl. Raya Kebayoran Lama 18CD
Jakarta 12220
Telp/Fax. 021-7221031/021-7221055


Sambungan Relevan
Pengumuman dari Yayasan Pantau
Silabus Jurnalisme Sastrawi pada Januari 2014
Silabus Jurnalisme Sastrawi pada Juni 2007