Monday, December 22, 2014

Reuni Alumni Yayasan Pantau


Pertemuan diawal dengan perkenalan karena datang dari berbagai kelas

ADA kejutan menyenangkan dari Firliana Purwanti, Nenden Tjahjadi, dan Titi Moektijasih. Mereka bertemu dan sepakat bikin reuni alumni Yayasan Pantau di Jakarta. Mereka datang dari kelas yang berbeda-beda serta bekerja di tempat berbeda-beda pula. Namun mereka menemukan bahwa mereka semua pernah belajar menulis di Yayasan Pantau.

"Saya dapat kelas yang gratisan," kata Titi, mengacu pada kelas yang disponsori Eka Tjipta Foundation.

Titi masih bekerja buat United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. Dia juga meminjam sebuah ruang pertemuan UNOCHA buat makan siang. Dia mengelola sebuah perpustakaan buat anak-anak, serta mengajar bahasa Inggris, di sebuah perumahan Tiga Raksa, Tangerang.

Nenden Tjahjadi bekerja buat sebuah proyek United States Agency for International Development. Firliana kini bekerja di New Zealand Aid Programme. Dia juga dikenal sebagai seorang feminis serta memiliki blog The Orgasm Project.

Tiurlan Sitompul belajar soal makanan Amerika Latin di University of Warwick.

Dia mengingatkan saya cerita kami pertama kali bertemu di airport Jakarta pada Desember 2004. Dia minta tolong agar saya mau menerima sebagian bagasinya karena keberatan. Lucu juga.

Ada sekitar 20an orang ikut pertemuan ini. Makan siang berupa nasi pecel lele. Ada cerita macam-macam. Dari mereka yang menulis buku sampai bikin web, dari Balikpapan sampai Coventry. Dari soal diskriminasi sampai Timor Leste, dari sunat perempuan sampai Parkinson.

Intinya, soal janji mau menulis dalam setahun ke depan. Kami semua dikumpulkan karena keinginan menulis panjang. Ada yang sudah bikin buku maupun film. Namun ada yang masih belum.

Ada Muhammad Husnil, yang baru selesai menulis biografi Anies Baswedan, kini menteri pendidikan, dengan judul Melunasi Janji Kemerdekaan. Atau Ucu Agustin dengan film Ragat'e Anak soal pekerja seks di Tulungagung maupun film Di Balik Frekuensi soal mutu rendah televisi Indonesia.

Leila Mona Ganiem sudah selesai Ph.D di Universitas Indonesia, Jakarta. Kini dia mengajar komunikasi di Universitas Mercu Buana. Leila sudah menulis beberapa buku soal komunikasi antar pribadi.

Saya juga lihat beberapa alumni bekerja buat organisasi internasional, termasuk Mellyana Frederika di United Nations Development Programmer serta Sri Dewi Susanty di Australian Aid. Sely Martini bekerja buat Indonesia Corruption Watch.

Rasanya tak bisa diceritakan satu demi satu alumni dalam acara tersebut. Saya kira forum ini forum alumni.

Kalau rata-rata setahun Yayasan Pantau bikin minimal tujuh kali pelatihan --sebenarnya antara 2005 sampai 2008 diadakan minimal 12 kali dalam setahun-- dan setiap program ada 15 orang berarti selama 14 tahun sudah ada minimal 1,470 orang pernah ikut program Pantau.

Di Jakarta, pelatihan diadakan minimal empat kali setahun, antara 2001 dan 2014. Di luar Jakarta lebih acak, dari Banda Aceh sampai Jayapura, dari Manado sampai Kupang. Pernah sekali diadakan di Davao City, Mindanao. Saya perkirakan jumlah mereka yang datang dari luar Jakarta lebih besar daripada mereka yang dari Jakarta.

Lovina Soenmi, yang bekerja buat Riau Corruption Trial, sedang mengumpulkan nama-nama dari berbagai kelas menulis yang pernah dibikin Yayasan Pantau sejak tahun 2001. Dia juga usul semua alumnus bisa daftar lewat Facebook milik Yayasan Pantau.

Ia cara praktis buat bertemu. Minimal tahun depan akan ditagih janji hari ini.

No comments: