Monday, December 28, 2009

Monumen Munir untuk Hak Asasi Manusia


Masa liburan ini saya sekeluarga berkunjung ke satu pemakaman sederhana di kota Batu, sekitar satu jam dari Malang. Satu makam dengan batu nisan kecil. Satu makam dengan tanah longsor. Ia adalah makam Munir bin Said Thalib, salah satu orang besar dari negara bernama Indonesia.

Anisa binti Said Thalib, kakak kandung almarhum, menemani kami berkunjung ke makam. Di samping makam Munir adalah makam ibunda mereka, Jamilah, yang meninggal tahun lalu, lima tahun sesudah anaknya meninggal diracun arsenik, dalam pesawat Garuda Indonesia, jurusan Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004.

Anisa binti Said Thalib duduk di antara nisan adik dan ibunya. Anisa lahir setahun lebih tua daripada Munir. Ibunda mereka, Jamila, meninggal dunia tahun lalu, lima tahun sesudah kepergian Munir.
© 2009 Sapariah Saturi

Kami membersihkan rumput. Kami mengenang keberanian Cak Munir. Mbak Anisa juga cerita soal longsor beberapa waktu lalu sehingga makam Cak Munir terkena. Pinggiran makam rontok. Kami juga jalan-jalan ke rumah keluarga Said Thalib, menikmati kripik dan mengobrol dengan Mbak Anisa.

Cak Munir kelahiran Batu, 8 Desember 1965, setahun lebih muda daripada Mbak Anisa. Ketika kecil, menurut Anisa, Munir badan kecil dan rambut merah. Mungkin karena rambut merah, Munir sering dijadikan olok-olok kawan-kawan dia. Dia lulus pendidikan hukum di Universitas Brawijaya, Malang, dan merintis karir di LBH Surabaya. Munir lantas menjadi seorang pejuang hak asasi manusia.

Saat menjabat koordinator Kontras, namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang, yang diculik pada 1997-1998. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Kopassus. Setelah diktator Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan mantan komandan Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan diadilinya 11 anggota Kopassus.

Munir dibunuh sesudah jatuhnya diktator Soeharto, pada era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Sejak 2005, tanggal meninggalnya Munir, 7 September, dicanangkan sebagai hari pembela hak asasi manusia, atau dalam bahasa Inggris, disebut human rights defender.

Anisa mengatakan keluarga Said Thalib tak mau bila makam dijadikan tidak sederhana. Ini soal kepercayaan dan adat keluarga. Namun soal tempat lain untuk memperingati Munir, Anisa minta saya berhubungan dengan abang sulung mereka.
© 2009 Sapariah Saturi

Saya usul kepada keluarga Said Thalib agar orang diizinkan bikin sebuah monumen guna mengenang keberanian, pengetahuan serta pengorbanan Cak Munir di bidang hak asasi manusia. Saya kira menarik bila ia dibangun di taman kecil, Jl. Imam Bonjol, kota Batu, terletak antara makam maupun rumah keluarga. Tujuannya, tempat merenung untuk tahu betapa beratnya menegakkan hukum dan menghormati hak asasi manusia.

Munir, saya kira, salah satu putra terbaik kota Batu. Monumen ini harus bisa menjadi salah satu daya tarik kota Batu. Orang akan datang ke Batu bukan saja untuk wisata agro --apel dan jambu-- namun juga datang ke monumen hak asasi manusia. Merenung. Monumen ini seyogyanya bisa jadi tempat orang belajar soal prinsip negara-hukum, soal pentingnya kebebasan sipil dan demokrasi. Kebebasan sipil meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, kebebasan pers dan sebagainya.

Titarubi, seorang seniman Jogjakarta, kenalan lama saya, mengatakan lewat Facebook, ide ini sebaiknya dilombakan sehingga banyak seniman yang ikut terlibat, "... berupa sketsa dan konsep, juga puisi pendek, tentang perjuangan hak asasi manusia. Lalu yang menang kita carikan dananya untuk membuat monumen dan taman kecil dengan plakat puisi tersebut." Menurut Tita, sepuluh atau 20 konsep terbaik bisa dibuatkan pameran dan bukunya.

Friday, December 25, 2009


No, no: the real name. It is always awkward doing business with an alias."

-- Sir Arthur Conan Doyle (1859-1930), when rejecting a man using a pseudo name, through his detective character Sherlock Holmes in the short story The Blue Carbuncle

Pastor John Jonga pidato menerima Yap Thiam Hien award di Hotel Borobudur, Jakarta, 10 Desember 2009. Sepuluh tahun lalu, penghargaan ini juga diberikan kepada Papua: Yosepha Alomang.

Kekerasan Berakar di Kalimantan Barat
Lebih dari 70 warga Pontianak dan Singkawang mengeluarkan Seruan Pontianak, minta agar warga berhati-hati dengan tradisi kekerasan di Kalimantan Barat.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Struktur Negara Federasi
Rahman Tolleng bicara soal struktur federasi di Indonesia. Kuncinya, kekuasaan ditaruh di tangan daerah-daerah lalu diberikan sebagian ke pusat. Bukan sebaliknya, ditaruh di pusat lalu diberikan ke daerah: otonomi. Bagaimana Republik Indonesia Serikat?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Saturday, December 12, 2009

John Djonga dan Mama Yosepha



Dua orang pendekar hak asasi manusia bertemu sesudah pemberian penghargaan Yap Thiam Hien award di Jakarta. Pastor John Djonga mendapatkan penghargaan pada 10 Desember 2009. Ia diberikan dalam suatu upacara megah di Hotel Borobudur, Jakarta.

Yosepha Alomang mendapat penghargaan ini pada Desember 1999. Dia minta penghargaan tersebut diserahkan di Jayapura, bukan di Jakarta. Hadiah untuk Mama Yosepha diserahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid di Jayapura. Mama Yosepha mengatur 85 warga Timika datang ke Jayapura.

Pastor John dan Mama Yosepha bukan kenalan baru. Pastor John pernah bekerja di Timika, bahu-membahu dengan Mama Yosepha, melawan berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh aparat negara Indonesia. Baik lewat militer, pemerintahan maupun PT Freeport Indonesia.

Djonga kelahiran Manggarai, Pulau Flores, pada 1958. Dia ditawari bekerja di Papua pada 1986. Mula-mula bertugas di Lembah Baliem, lantas Timika dan belakangan Keerom. Mama Yosepha kelahiran kampung Tsinga, sekarang lokasi penambangan Freeport, pada 1940an.

Riwayat Mama Yosepha sudah dibukukan Yosepha Alomang: Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan karya Benny Giay & Yafet Kambai terbitan Elsham (2003).

"Saya mulai mengenal Pater John sekitar tahun 1994 di Timika. Sejak tahun ini Pater John tugas di Timika, di daerah suku Kamoro juga Amungme. Barangkali Pater John juga mendengar pengalaman kami melawan ketidakadilan dan kejahatan sehingga dia mulai mengerti apa yang kami, mama-mama, lakukan."

Mama Yosepha pernah ditahan lebih dari 10 kali. Pada 1994, dia dituduh membantu Kelly Kwalik, seorang pemimpin Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka. Kelly Kwalik, kakak ipar Yosepha, titip uang Rp 1.5 juta dan minta dibelikan barang-barang.

Mama Yosepha membelikan pakaian, jarum, benang jahit dan jaring ikan. Bersama satu mama dan empat gadis Amungme, mereka membelikan keperluan Kelly Kwalik dan mengantar ke hutan.

Namun mereka diketahui oleh intel. Mama Yuliana dan Mama Yosepha ditahan di Polsek Timika. Di belakang Polsek Timika ada WC yang dipenuhi kotoran manusia. Mereka ditahan dalam WC berisi kotoran manusia selama satu bulan. Makanan dilemparkan ke dalam serta jatuh ke air penuh kotoran manusia dan air kencing. Mereka terpaksa makan makanan tersebut.

"Orang Indonesia anggap kami orang Papua itu bukan manusia. Orang Papua itu orang Indonesia punya makanan. Dalam pikiran orang Indonesia, orang Papua mahluk yang tidak punya perasaan, pengalaman, adat dan budaya dan tidak punya akal."

"... kami orang Papua terus-menerus mati dibunuh lalu dibuang seperti tikus atau binatang di parit, atau di kolam, rawa-rawa dan di jurang; atau di kakus atau WC yang Indonesia buat di Tanah Papua. Tindakan pemerintah Indonesia selama ini menyebabkan kami orang Papua mati di penjara-penjara atau sel kecil di Papua, kami makan tidur di atas kami punya kotoran dan air kencing."

Ketika Mama Yosepha menerima Yap Thiam Hien award, Pastor John menciptakan pusisi Doa Anak Telanjang. Puisi tersebut lantas sering dibacakan di Papua. Sepuluh tahun sesudahnya, puisi Doa Anak Telanjang dibacakan lagi di hadapan Pastor John sendiri, yang juga menerima Yap Thiam Hien award.

Yap Thiam Hien Award adalah penghargaan bidang hak asasi manusia, yang pertama di Indonesia. Ia diselenggarakan sejak 1992. Yap Thiam Hien (1913-1989) sendiri seorang Tionghoa kelahiran Kutaraja, Acheh. Dia dikenal sebagai pengacara yang berani, teguh membela keadilan. Yap ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta.

Friday, December 11, 2009

Doa Anak Telanjang


Doa Anak Telanjang karya Pastor John Djonga, diciptakan saat sahabatnya, Yosepha Alomang, mendapat Yap Thiam Hien award pada Desember 1999. Ia juga dibacakan pada lokakarya Yayasan HAMAK Timika, Januari 2002. Doa Anak Telanjang dibacakan lagi oleh Yuliana Langwuyo di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 10 Desember 2009 ketika Pastor John juga menerima Yap Thiam Hien Award.


John Djonga pidato menerima Yap Thiam Hien award.

Tuhan Allah Bapa dan Ibu Kami

Kau sudah tahu toooh
Saya duduk, berdiri, berjalan, di atas lumuran darah dan serakan tulang belulang tete–nenek leluhur bangsa ini.
Bapa telah meninggal, mama juga telah pergi untuk selama-lamanya setelah diperkosa oleh pasukan penyisir.
Kakakku ditembak ketika anak–anak negeri mencari kebenaran dan keadilan.

Tuhan, Sumber dan Tujuan Hidup Kami

Kami anak telanjang duduk seorang diri.
Kayu perahu sudah ditebang.
Dusun sagu telah dibabat jadi lokasi transmigrasi dan kelapa sawit.
Burung kuning sudah mulai punah.
Laut sungai kini telah tercemar.
Rahim bumi kami dikuras demi segelintir orang rakus.
Tanah adat kami dicaplok oleh pemerintah, militer, pedagang, pengusaha, gereja dan barisan panjang amber-amber dorang.

Tuhan, apakah mereka juga anak-anakMu?
Mengapa mereka begitu biadab?
Ataukah urat hati mereka sudah putus?
Tuhan dimanakah anak negeri ini?
Hanya satu pintaku sebagai anak bangsa bumi Cenderawasih:

Tuhan Embunkan Kami


Semangat juang leluhur tanah Papua.
Biarlah darah mengalir menyinari ibu kami Papua, biarlah tulang belulang yang berserakan di belantara tanah ini menjadi anak cucu masa depan.
Biarlah para pejuang satu persatu kembali pada-Mu agar tumbuh seribu.

Tuhan, Allah bapa dan Ibu kami

Biarlah Yosepha semakin senja agar sejuta Yosepha lahir dari rahim Papua Baru.
Anak telanjang mati terbacok badik.
Tertembak peluru api.
Ditabrak pembunuh professional.
Karena anak telanjang dianggap mabuk.
Ia mati, mati, mati ...

Roh anak telanjang membakar semangat juang anak Papua untuk selama-lamanya.

Amien.

Thursday, December 10, 2009

Bermain di Dunia Fantasi


Norman Harsono mulai memasuki masa libur tahunan pada 7 Desember 2009. Dia mengisi liburan dengan membeli satu set buku karya Arthur Conan Doyle (1859-1930). Isinya, cerita soal detektif swasta Sherlock Holmes. Norman memang mengagumi cara kerja Holmes: deduksi. Mungkin ini terkait dengan kesukaan Norman terhadap pelajaran ilmu pengetahuan. Aku tak pernah kuatir dengan mata pelajaran ini. Norman selalu dapat salah satu nilai tertinggi di sekolah untuk pelajaran science. Sherlock Holmes juga menggunakan pemikiran deduksi, ilmiah, guna menarik kesimpulan.

Namun melihat Norman membaca Sherlock Holmes juga "bikin cemas." Anak ini membaca dengan kecepatan tinggi. Dia bisa habiskan dua atau tiga buku dalam sehari. Satu buku berisi sekitar satu lusin cerita pendek. Norman cerita dengan mudah plot demi plot yang muncul dari 221B Upper Baker Street: tempat tinggal Sherlock Holmes di London dimana dia sering diskusi dengan sahabatnya Dr. John Watson. Dalam waktu seminggu, semua karya Doyle sudah dilahap Norman. Padahal Doyle menciptakan semua karyanya dari 1886 hingga 1927, selama 31 tahun. Beberapa karya bahkan dibaca ulang oleh Norman karena ada bagian dimana dia kurang mengerti.

Aku senang saja melihat Norman membaca. Walau aku pernah marah karena dia membaca sambil jalan di tempat umum. Aku kuatir dia kena tabrak orang. Tapi aku ingat pengalaman masa kecil dimana sering diomeli Papa bila membaca buku terlalu lama. Aku tak mau mengomeli Norman. Dia sangat intense bila membaca. Pikirannya bisa masuk ke khayalan dalam buku. Sulit mengganggu Norman bila dia sudah membaca. Kebetulan pula, serial televisi yang disukainya adalah Monk, tentang seorang detektif San Fransisco, yang jagoan membongkar kejahatan. Serial Monk diciptakan oleh Andy Breckman dan diperankan aktor Tony Shalhoub

Suatu pagi, Norman bangun, sesudah sarapan, dia tanya apakah dia bisa diajak pergi ke Dunia Fantasi. Aku dengan senang hati menerima ajakan Norman. Ini selingan penting untuk dunia membaca dia. Sapariah dan Sri Mulyani, pengasuh Norman sejak dia kelas dasar satu, juga dimintanya ikut. Kami datang pada hari Rabu dengan asumsi hari kerja dan Dunia Fantasi tak begitu ramai. Kami sering capek antri di Dunia Fantasi. Suatu permainan bisa antri hingga satu jam.

Ternyata harapan kami sia-sia. Dunia Fantasi tetap penuh. Kami hanya ikut permainan-permainan yang kurang populer. Antrian ringan. Kini Norman yang datang ke Dunia Fantasi bukan Norman kecil. Dia seorang remaja umur 12 tahun. Dia tak sabar menunggu antrian. Dia juga menolak diminta berpose. Jerawatnya juga mulai muncul.

Namun lumayan juga seharian ini bisa bermain di Dunia Fantasi. Aku juga jengkel lihat tumpah ruah pengunjung Dunia Fantasi. Ini belum lagi dengan para perokok yang sibuk merokok sambil antri. Aku kira Jakarta memerlukan tempat bermain alternatif. Kami terpaksa meninggalkan Dunia Fantasi lebih awal karena tak banyak yang bisa kami ikuti dengan antrian-antrian super panjang. Norman mengomel sesorean. Dia lagi berpikir bagaimana cara bisa bermain roller coaster atau ontang-anting tanpa terkena asap rokok dan antrian panjang?

Monday, December 07, 2009

Tropenmuseum Collection on Wikimedia Commons


Men performed Seudati dance in Samalanga, Bireun, Aceh, in 1907. Tropenmuseum donated more than 35,000 old pictures to Wikimedia Commons in December 2009, including this file.

Pranala luar

  • Koleksi gambar sumbangan Tropenmuseum di Commons
  • Contoh sumbangan

Wednesday, November 18, 2009

Release Papuan Flag-Raisers

President Yudhoyono Should Uphold Free Expression

(New York) - Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono should exonerate three Papuan men convicted of rebellion on November 12, 2009, for raising a pro-independence flag, Human Rights Watch said today.

Indonesian courts have long treated the raising of flags associated with pro-independence sentiment as a symbol of sovereignty and, as such, a banned form of expression. Human Rights Watch said that the prosecutions violate internationally protected rights to freedom of expression and peaceful assembly codified in the International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia ratified in 2006.

Human Rights Watch urged Yudhoyono to drop the charges promptly to deter future arrests on these grounds. On November 18, police charged two more Papuans who raised a flag on November 16. More flag-raising ceremonies are expected in the days leading up to December 1, an anniversary that signifies independence for many Papuans.

"President Yudhoyono has a chance to show Papuans before the December 1 anniversary that Indonesia is a rights-respecting country that upholds free expression," said Elaine Pearson, deputy Asia director at Human Rights Watch. "Yudhoyono should have these men freed without delay."

On November 12, a Manokwari district court convicted Roni Ruben Iba, Isak Iba, and Piter Iba, members of the Iba clan of makar (rebellion), for raising a pro-independence flag on January 1 outside the Bintuni Bay district government office near Manokwari, in West Papua province.

Police arrested them at 7:30 a.m. on January 1 after a flag-raising ceremony involving about 35 people, and they have been held in custody ever since. At their trial, the defendants said they had been mistreated during the arrest and at the Bintuni Bay police station. They said that police at the station kicked them, beat them, and used a rifle butt to strike them on their heads and bodies.

The court sentenced Roni Ruben Iba, a hotel security officer, to three years in prison, while Isak Iba, a civil servant, and Piter Iba, a farmer, received two years each.

The flag raised on January 1 resembled, but was not the same as, the Morning Star flag, a symbol of Papuan independence that the courts have frequently convicted Papuan activists for raising. The offense of treason or rebellion is often invoked against persons alleged to have shown support for the armed separatist group, Organisasi Papuan Merdeka (Free Papua Organization or OPM). Article 6 of Government Regulation 77/2007 prohibits the display of the Morning Star flag in Papua, as well as the South Maluku Republic flag in Ambon, and the Crescent Moon flag in Aceh, other areas with separatist movements.

However, a former Indonesian president, Abdurrahman Wahid, once called the Morning Star flag a cultural symbol, and in 1999 and 2000 allowed the flag to be flown on the condition that it was raised alongside and lower than the Indonesian flag. Under the 2001 Papuan Special Autonomy Law, symbols of Papuan identity such as a flag or song are permitted.

In the November 16 episode, police arrested and questioned two men for raising the Morning Star flag at the Papua People's Council in Jayapura, the capital of Papua province. They were protesting the failure of the special autonomy law and distributing flyers saying "Special autonomy has failed" and "Papua doesn't believe in Jakarta." On November 18, police charged them with rebellion.

Human Rights Watch said such arrests are likely to intensify around December 1. In 1961, under Dutch rule, an elected council consisting mostly of indigenous Papuans commissioned the creation of a national anthem and flag. On December 1, 1961, the Morning Star flag was flown beside the Dutch tricolor for the first time. Indonesia took control over Papua with United Nations recognition in 1969.

More than 170 people are currently imprisoned throughout Indonesia for peaceful expression, particularly in Papua and the Moluccas, where there are separatist movements. Some have been sentenced to lengthy prison terms, including two Papuan activists. Filep Karma is serving a 15-year sentence and Yusak Pakage a 10-year sentence, both for rebellion.

Human Rights Watch renewed its call for the Indonesian government to release without delay all persons detained for exercising the rights to freedom of expression and peaceful assembly and to remove archaic laws that criminalize these rights.

"President Yudhoyono needs to end the arrests of people for simply raising a flag," Pearson said. "These prosecutions fly in the face of Indonesia's commitments to free expression."

Thursday, November 05, 2009

Bagaimana Mempersiapkan Suatu Naskah?

ARITA Soenarjono, mantan wartawan TVRI dan kini ibu rumahtangga di New York, pernah chatting dengan saya. Dia mengatakan paling sulit menulis berita. Ini lebih sulit dari menulis esai, katanya. Terutama bikin lead, susah banget. 

Keluhan Arita, saya kira, keluhan banyak orang. Bagaimana sih mempersiapkan sebuah naskah? Bagaimana caranya bikin naskah hard-news? Feature? Bagaimana menulis kolom opini? Atau bagaimana cara menulis buku? 

Menulis bisa diibaratkan membangun rumah. Ada rumah bambu, dibuat sehari selesai. Ada rumah dari batu bata dan genteng, mungkin perlu waktu sebulan. Ada juga rumah bertingkat dari beton, butuh waktu setahun. 

Naskah mana yang hendak Anda bangun? Naskah rumah bambu? Naskah rumah beton? Atau naskah gedung pencakar langit? 

Banyak naskah hanya memerlukan satu atau dua jam. Sekarang, lewat Blackberry, saya sering lihat reporter mengetik naskah dan mengirimkan ke ruang redaksi ketika peristiwa sedang berlangsung. Mungkin hanya 15-30 menit. Wooossssshhh. Dan lima menit kemudian sudah online. 

Add caption
Namun, ada juga naskah yang perlu waktu lama. Wartawan Neil Shehan menulis buku A Bright Shining Lie: John Paul Vann and America in Vietnam (1988) selama 16 tahun! 

Lantas daerahnya di mana? Bikin apartemen di Manhattan, New York, yang penuh sesak, tempat Arita tinggal, tentu memerlukan sikap berbeda dari bikin rumah di Namlea, yang penduduknya cuma 109.000 orang di seluruh Pulau Buru. 

Jumlah penduduk Manhattan 1,6 juta orang dengan kepadatan 27,500 orang per kilometer persegi. Logikanya, orang tak perlu-perlu amat membangun gedung bertingkat di Namlea karena harga tanah murah. Sebaliknya, Anda bisa dibilang gila bila membangun rumah satu tingkat di Times Square, Manhattan! 

Artinya, Anda tak perlu bikin buku untuk suatu subjek yang tak begitu penting. Anda cukup bikin berita pendek, bukan sebuah buku, untuk melaporkan sebuah pertemuan pers. 

Namun mau bikin naskah apapun, entah berita pendek 30 menit atau buku-16-tahun-pembuatannya, saya kira, seorang wartawan lebih dulu perlu bikin riset dan perlu melakukan interview. 

Riset diperlukan agar Anda tahu apa yang sudah dikerjakan orang terhadap isu yang hendak dikerjakan. Jangan bikin sesuatu tanpa sadar bahwa ada wartawan lain yang sudah mengerjakannya. Apalagi sekarang sudah ada Google. Minimal bisa google dengan cepat. Tergantung perlu seberapa dalam, riset bisa memerlukan banyak buku, menghabiskan banyak waktu dan membutuhkan pengendapan. 

Saya pribadi menghabiskan waktu tiga tahun untuk membaca buku-buku dan dokumen-dokumen penting tentang Acheh sebelum akhirnya merasa mengerti cukup soal Gerakan Acheh Merdeka dan Hasan di Tiro, walinanggroe Acheh. 

Memahami Papua ternyata perlu waktu lebih lama lagi. Saya perlu pengendapan enam tahun. Papua jauh berbeda—secara sejarah, kebudayaan, politik, pergerakan, botani, zoologi dan sebagainya—dari Aceh maupun Jawa. 

Sebaliknya, suatu berita cepat juga tak memerlukan riset panjang. Tapi selalu lakukan riset sebelum pergi liputan. 

Berhati-hatilah dengan pertemuan pers. Pertemuan pers selalu dirancang agar mereka bisa membuat wartawan mengikuti arah pemberitaan mereka. Pertemuan pers ibaratnya menyuapi alias spoon feeding wartawan. Jangan mau disuapi. Usahkan untuk makan sendiri. Berpikirlah secara kritis dalam pertemuan pers. Berpikir kritis memerlukan riset awal. 

Interview sangat vital dalam pembuatan naskah. Interview akan membuat seorang wartawan tahu aspek-aspek kebaruan dalam suatu isu. Interview bukan pekerjaan mudah. Saya suka dengan “Ten Tips For Better Interview” dari International Center for Journalists. 

Interview one-on-one berbeda dengan door-stop interview. Banyak sekali yang boleh dan yang tak boleh dalam interview. 

Interview juga senantiasa harus terbuka … kecuali dalam kasus tertentu. Wartawan yang terlatih akan biasa membuat pertanyaan terbuka. Bukan pertanyaan tertutup, yang bisa dijawab “ya” atau “tidak.” Pertanyaan terbuka senantiasa dibuat dengan memperhatikan 5W 1H (what, where, who, when, why, how). 

Saya juga tak mau menulis bila sumbernya tidak cukup. Narasumber tidaklah cukup bila hanya satu orang. Sering saya merasa geli bila membaca sosok seseorang, entah di suratkabar atau majalah, dan sumbernya hanya satu orang … ya si sosok itu sendiri. 

Bagaimana si reporter bisa melihat sosok itu dari sudut lain bila dia cuma interview orang yang di-sosok-kan? 

Saya kira, sumber satu orang hanya cocok untuk Facebook atau Twitter! 

Panjang-pendeknya naskah juga mempengaruhi persiapan. Makin banyak bahan yang didapat, biasanya, saya makin leluasa untuk menulis panjang. Makin sedikit bahan, sebaliknya, ya makin pendek pula hasilnya. 

Tapi, harus ingat pula, rumah kecil juga bisa indah dan mahal. Artinya, disain interior selalu bisa dimainkan agar sebuah rumah kecil menjadi tinggi nilainya. Naskah pendek juga bisa bernilai tinggi karena ia dikerjakan dengan bahan-bahan dan alat-alat yang mahal. 

Goenawan Mohamad menulis esai “The Death of Sukardal” dengan indah, bertenaga walau hanya 470 kata (Tempo, Juli 1986). 

Bila sudah riset dan interview, maka naskah sudah bisa disiapkan penulisannya. Ibaratnya, bahan-bahan dasar sudah siap—lokasi, modal, baja, semen dan lain-lain—maka bangunan pun bisa mulai digambar. 

Tentukan dulu mau dijadikan naskah piramida terbalik, naskah feature, esai atau narasi? Piramida terbalik, yang menjadi masalah Arita Soenarjono, pada dasarnya adalah menaruh sebanyak mungkin unsur 5W 1H pada alinea pertama. 

Apa yang terjadi, di mana, siapa yang terlibat, bagaimana, kapan dan mengapa? Pembaca harus bisa mendapatkan informasi hanya dengan membaca alinea-alinea awal. Makin ke bawah, alinea dari struktur ini makin kurang penting. Struktur naskah ini bisa ditinggalkan pembaca—tanpa harus selesai. Artinya, lead atau alinea pertama bisa merangkum isi naskah. 

Saya beri contoh dari lead sebuah naskah saya “BIN Menyewa Perusahaan Lobby Washington” (Pantau, September 2006): 

Badan Intelijen Negara memakai yayasan sosial milik mantan presiden Abdurrahman Wahid untuk menyewa sebuah perusahaan di Washington DC sejak Mei 2005. Maksudnya, mendekati tokoh-tokoh penting Kongres agar menghapus semua hambatan bantuan dan pelatihan militer Amerika untuk Indonesia.

Sementara untuk penulisan feature, saya biasa memperhatikan focus, angle dan outline lebih dulu. Fokus adalah titik perhatian dari naskah itu. Ia berupa sebuah pertanyaan, lagi-lagi, dari unsur 5W 1H. Misalnya, “Apa yang terjadi di Sungai Dareh pada Januari 1958?” Atau “Mengapa anak muda membuat Sastra Minahasa?” 

Benedict Anderson pernah menulis sebuah feature buat Tempo soal Soeharto berjudul “Petrus Dadi Ratu.” Fokus feature itu pada Presiden Soeharto. Petrus singkatan “penembak misterius”—sebuah upaya pembunuhan teratur yang dilakukan militer Indonesia pada 1983 guna membunuh orang-orang yang dianggap penjahat. 

Petrus Dadi Ratu” plesetan dari lakon wayang “Petruk Dadi Ratu.” Maknanya, ya seorang pembunuh misterius dadi atau jadi Presiden Indonesia. Anderson menyebut Soeharto sebagai “preman” dari Kemusuk, sebuah dusun di Yogyakarta. 

Angle adalah titik masuk. Anda harus mencari sesuatu yang segar, yang belum dikerjakan wartawan lain, untuk masuk dalam feature Anda. 

Outline adalah kerangka karangan. Alinea awal suatu feature juga tak perlu sepadat piramida terbalik. 

Saya pernah menulis suatu feature, “Panasnya Pontianak, Panasnya Politik” (Gatra, Juli 2008). Menurut beberapa wartawan Pontianak, termasuk Nur Iskandar dari Borneo Tribune dan Andi Fahrizal dari Jurnal Nasional, naskah itu dijadikan pembicaraan seluruh warung kopi Pontianak ketika Gatra beredar.

Warung kopi, kebanyakan dikelola orang Tionghoa, adalah media khas Pontianak. Ini ajang diskusi berbagai kelompok, dari politikus, wartawan, birokrat sampai preman. Mereka tersebar dari Jl. Gajah Mada hingga Jl. Tanjung Pura, dari Sungai Jawi sampai Sungai Raya.

Alinea pembuka feature itu sederhana saja: 

Awalnya acara tahlilan. Ia diadakan satu keluarga Melayu, di Gang Tujuhbelas No. 4. Rumahnya tembok dan atap seng, dalam sebuah lorong, sepanjang kurang lebih 100 meter, di daerah Tanjung Pura, pusat kota Pontianak.

Ketika Mei lalu saya mengunjunginya, lorong ini terkesan asri, jalanan semen cor. Rumah dua lantai atau tiga lantai, ada juga yang rumah kayu. Andrew Yuen, seorang wartawan yang dibesarkan di sini pada 1990an, mengatakan nama “tujuhbelas” muncul karena dulu hanya ada 17 rumah. 

Esai dan narasi juga memerlukan persiapan sama dengan menulis piramida terbalik dan feature. 

Bedanya, pesiapan narasi tentu lebih lama dari lainnya. Pada esai, tentu saja, Anda perlu punya kemampuan analisis yang tajam. Anda perlu membaca buku-buku teoritis hingga pisau analisis dibuat dengan lebih tajam. 

Saya misalnya, menganjurkan wartawan untuk baca beberapa buku klasik sebelum berkunjung ke Banda Aceh. Misalnya, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 oleh Alfian Ibrahim (1987), Shock Therapy" Restoring Order in Aceh, 1989-1993 oleh Amnesty International (1993) maupun karya-karya Anthony Reid, Denys Lombard, M. Isa Sulaiman, Otto Syamsuddin Ishak, Snouck Hurgronje, Tim Kell dan sebagainya. 

Saya kira wartawan wajib membaca tiga karya utama Hasan di Tiro: The Case and the Cause of the National Liberation Front of Acheh-Sumatra, The Legal Status of Acheh-Sumatra Under International Law serta biografinya The Price of Freedoms: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro

Kalau liputan politik di Indonesia, rasanya, seorang wartawan harus belajar soal pemikiran di bidang nasionalisme lewat Benedict Anderson, Ernest Renan dan lain-lain. Saya juga ingin wartawan belajar sejarah—bukan sejarah-sejarahan karya “pakar sejarah Indonesia”—dan hasil riset bermutu. 

Narasi biasa dipakai untuk naskah panjang, mulai dari 5.000-7.500 kata. Roy Peter Clark dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru. 

Pada narasi, “who” berubah menjadi siapa, “what” menjadi plot atau alur narasi, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi. 

Struktur naskah juga makin hari makin bertambah ragamnya. Seorang wartawan harus senantiasa membaca, termasuk karya-karya rujukan, agar mampu mengikuti perkembangan dalam teknik penulisan. ***



Naskah ini ada dalam antologi "Agama" Saya Adalah Jurnalisme terbitan Kanisius (Yogyakarta: 2010).

Wednesday, November 04, 2009

Upi Asmaradhana di Makassar

"Kepada semangat para petarung. Jangan berhenti berlawan demi idealisme dan integritas profesi jurnalis kalian. Tetap berlawan!"

-- Upi Asmaradhana dari Makassar

Upi Asmaradhana, wartawan Makassar, adalah seorang pejuang kebebasan berpendapat. Aliansi Jurnalis Independen beruntung memiliki anggota dengan kejernihan pikiran dan keberanian macam Asmaradana. 

Pada Mei 2008, kepala polisi Sulawesi Selatan dan Barat Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto mengatakan di hadapan para pejabat publik di Makassar bahwa mereka tak perlu kuatir pada wartawan. Sisno mengatakan dia akan menerima laporan dari pejabat yang merasa dirugikan pemberitaan media. Wartawan akan diperiksa dengan pasal-pasal hukum pidana. 

Pernyataan Sisno dimuat dua suratkabar Makassar. 

Beberapa organisasi wartawan protes. Wartawan memang sangat bisa salah namun kesalahan mereka bisa diralat lewat hak jawab, sesuai undang-undang hukum pers. Bukan dilaporkan ke polisi dan dipidanakan, tindakan represif yang sudah ditinggalkan oleh banyak negara-negara demokratis. 

Mereka menuntut Sisno minta maaf kepada publik serta menghentikan kampanya "kriminalisasi pers." Sisno menolak. 

Selama Mei dan Juni, ketegangan antara wartawan dan Sisno memuncak. Upi Asmaradhana menjadi koordinator protes. Maka kekesalan Sisno diarahkan pada Asmaradhana. Sisno, sang kepala polisi, melaporkan Asmaradhana kepada polisi Makassar.

 
Pesan dari +62 878 41421575: "Nikmatilah sisa hidup saudara dan segera minta maaf pada orang tua, keluarga dan sahabat karena tidak lama lagi saudara akan mati mengenaskan dengan otak yang berantakan."

Upi Asmaradhana menerima macam-macam SMS teror. Di Jakarta, dia juga ditekan oleh manajemen Metro TV, tempatnya bekerja, agar tak meneruskan gerakannya. Bila dia terus, maka Metro TV akan menilai Asmaradhana menolak perintah atasan. Asmaradhana memutuskan secara gentleman mundur dari Metro TV pada 20 Juni 2008. 

Polisi Makassar bekerja cepat. Asmaradhana mengatakan pada saya bahwa selama Agustus-September diusahakan negosiasi. Persatuan Wartawan Indonesia di Makassar juga minta Asmaradhana minta maaf serta mundur. 

Namun Asmaradhana tetap percaya bahwa dia melakukan tindakan benar. Dia menolak minta maaf.

Pada 2 Februari 2009, sidang dimulai. Aliansi Jurnalis Independen dan LBH Pers mendukung perjuangan Asmaradhana. Ada 29 kali persidangan. Proses yang lama dan melelahkan. 

Asmaradhana terpaksa jual mobil serta minta bantuan dari kawan-kawannya untuk biaya hidup. Dia bekerja freelance. Dia membuka sekolah broadcasting

Pertunangannya juga putus karena calon mertua dari Palembang tak setuju dengan pilihan perjuangan Asmaradhana.

Pada 14 September 2009, majelis hakim pengadilan negeri Makasar, diketuai Parlas Nababan, menilai Asmaradhana tak bersalah. Hakim menilai dia tak melakukan pelanggaran KUHP pasal 207 (menghina penguasa di depan umum), 310 (menyerang nama baik), 311 (fitnah), 317 (pengaduan palsu), yang dirasa merugikan Sisno. 

Persoalan belum selesai. Sisno mengajukan banding. 

Ketika bertemu Upi Asmaradhana siang ini di Makassar Golden Hotel, saya setidaknya senang karena kebanyakan wartawan Makassar mendukung Asmaradhana. 

Saya kira orang dengan keberanian moral macam Asmaradhana memberi harapan terhadap perjuangan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia, setidaknya, di Makassar. 

Saya berharap Upi Asmaradhana bersedia untuk diberi tanggungjawab lebih besar dalam Aliansi Jurnalis Independen. Orang macam Asmaradhana adalah pemimpin yang bermutu, yang punya keberanan moral dan sudah terbukti berani berjuang membela kebenaran. 

Monday, November 02, 2009

The Man in the Iron Mask


Norman Harsono dan kawan-kawannya dari Grade 8 mementaskan karya Alexander Dumas "The Man in the Iron Mask" pada 31 Oktober 2009. Mereka bikin pertunjukan besar di auditorium Gandhi Memorial International School.

Ceritanya, ada seorang narapidana dalam penjara Bastille, yang selalu memakai topeng, selama pemerintahan Raja Louis XIV dari Prancis. Ternyata narapidana ini adalah saudara kembar Louis XIV. Dia dipenjara karena Louis XIV ingin berkuasa tanpa orang tahu bahwa dia punya saudara kembar. Tiga Musketeer berjuang membebaskan "Phillip" serta mendudukkan dia sebagai raja Prancis, menggantikan Louis XIV, yang kejam.

Para pemain dan guru berpose dengan kepala sekolah sesudah pertunjukan selama dua jam. Atas dari kiri ke kanan: Norman Harsono, Nishad Gunawardena, Principal AP Singh, Lee Dong Hyun, Sarthak Srinivas. Tengah: Ms. Nita, Ms. Nirmala, Mr. Alex Reyes, Ms. Meena, Ms. Shalini. Bawah: Joice, Lee Hyeon Ju, Ms. Priyanka.

Pertunjukan yang serius. Para pemain berlatih setiap hari, termasuk Sabtu dan Minggu, untuk melatih pertunjukan mereka. Norman membawa hafalan setebal 50 halaman. Dia mendapat salah satu peran utama: Amos. Dia adalah satu dari tiga Musketeer. Ketika pertunjukan berlangsung, aku terpesona melihat permainan mereka, juga kostum para pemain maupun panggung. Norman bekerja keras untuk pertunjukan ini. Aku perhatikan rasa percaya dirinya juga meningkat karena memainkan pemain utama.

AP Singh, kepala sekolah GMIS, memuji pertunjukan ini. Dia bilang mutu pertunjukan ini, untuk murid-murid kelas delapan, adalah "world class." Dia bilang mungkin dia bias karena dia kepala sekolah GMIS. Namun dia bilang pertunjukan ini benar-benar luar biasa.

Kami sekeluarga pergi menonton pertunjukan ini. Sapariah, Sri Maryani dan aku. Kami ikut mendukung Norman selama latihan. Mulai dari jadi sparing partner dalam hafalan dialog hingga mengingatkan Norman untuk terlalu sering menunduk.

Tuesday, October 27, 2009

Warming Up!

Pemikiran soal Pelatihan Pers Mahasiswa
di Universitas Negeri Padang
Oleh Meiriza Paramita

WALAU akan dilaksanakan Juni 2009, panitia inti --ketua, sekretaris dan bendahara-- Pekan Ketrampilan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional, telah terbentuk pada September 2008, sebelum Idul Fitri 1429 H. Kami menerima banyak sekali masukan dari teman-teman, senior dan alumni. Ada yang mengusulkan tema, jumlah pemateri, jumlah peserta dan sumber dana. Usulan tema: media online, jurnalisme investigasi, literary journalism, jurnalisme televisi. Ada juga yang mengusulkan jurnalisme dasar (menulis berita, fiksi, artikel, layout, dan fotografi). Hampir semua panitia tertarik dengan jurnalisme investigasi, tanpa sadar kalau itu adalah tema yang berat. Panitia pun mulai menghitung hari dan menghasilkan kesepakatan, pelatihan akan diadakan lima hari: 9-13 Juni 2009.

Jurnalisme adalah sebuah ketrampilan. Ia tak cukup hanya dengan diskusi dan ceramah. Ia harus berlatih. Ganto mengadakan proses berlatih interview. Satya Sandida dari Semarang sedang diinterview oleh Anies Zenevieva dari Makassar. Peserta lain mencatat. Berapa panjang kalimat tanya? Berapa kata setiap kaliman? Seberapa tertutup pertanyaannya? Sekitar tujuh menit lalu peserta saling menilai.

SUSUNAN ACARA DAN MEMILIH PEMATERI

Masalah hampir tak ada hingga kami mulai masuk dalam tahap menyusun susunan acara, silabus dan memilih pemateri. Pemateri dipilih berdasarkan kompetensi terhadap tema. Ketika itu, hampir semua panitia, alumni, dan senior memberi masukan: lebih banyak pemateri lebih baik dan menarik. Berkali-kali ditekankan, peserta akan lebih tertarik jika banyak pemateri di dalam pelatihan.

Desember 2008, proposal dikirimkan lewat email ke pemateri. “Mereka orang-orang sibuk, apalagi Andreas Harsono, sebaiknya proposal dimasukkan secepat mungkin,” usul alumnus Romi Mardela. Meri Fitriani, seksi acara segera mengirimkan proposal ke Andreas Harsono --sering dipanggil AH. Memasukkan proposal jauh hari sebelum tahun 2009 merupakan trik agar pemateri bisa mempertimbangkan untuk hadir. Sebab, besar kemungkinan agenda mereka pada tahun berikut belum terisi.

Di suatu malam Desember 2008, sebuah pesan singkat masuk dari Meri. Katanya: “AH bersedia menjadi pemateri. Tadi dia menelepon kak dan bercerita banyak.” AH punya usul untuk menambah waktu pelatihan menjadi enam hari dan menjadi pemateri tunggal. Aku bahagia sekali, walaupun detik kemudian termenung bingung ... proposal sudah dikirim ke pemateri lain.

Memasuki bulan Januari, usulan berbeda datang beruntun dari AH, saat itu. Aku sedikit dimarahi lewat telepon, chattingan dan pesan Facebook: Hati-hati menggunakan kata investigasi, karena ia membutuhkan pemahaman tentang accounting, bla ... bla ... bla .... Investigasi itu sulit, apakah cukup mengenal dan mempelajari investigasi hanya dalam beberapa hari? Mahasiswa belum pantas mendapatkan materi investigasi. AH hanya akan memberikan materi investigasi perkenalan saja. “Lihat di blog saya kritik tentang pelatihan jurnalisme mahasiswa.”

Juga. Agar lebih efektif dan hasilnya bermutu, cukup satu pemateri utama agar pemateri dan peserta saling mengenal dan jumlah peserta kalau bisa dibatas maksimal 16-20 orang. Dan: kalian yakin akan mengangkatkan pelatihan tingkat nasional? Jangan jauh-jauh lah!

Padahal saat itu, susunan acara telah selesai, pamflet dan undangan peserta telah disebar. Selain itu, sudah menjadi tradisi di setiap pelatihan mahasiswa menggunakan banyak pemateri. Wartawan mahasiswa jarang sekali memakai pemateri tunggal, sehingga kebanyakan panitia menilai tidak bisa mengurangi jumlah pemateri karena itu termasuk daya tarik.

Namun, mutu tetap harus jadi pertimbangan. Usulan-usulan AH dibicarakan di dalam rapat panitia. Beberapa usulan AH diterima dan susunan acara dirombak untuk yang kesekian kalinya. Juga, diputuskan untuk menggunakan chief trainer dan mendatangkan trainer dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (untuk materi accounting), kejaksaan tinggi Sumatera Barat (white collar crime), dan Kodam 032 Wirabraja (materi senjata dan amunisi). Trainer berfungsi memberikan penjelasan langsung sesuai dengan kondisi lapangan. Mereka (seharusnya) bukan memberikan materi, namun menambahkan wawasan, berbeda dengan chief trainer. Ini juga mengurangi ice breaking. Chief trainer akan berada di tempat selama beberapa hari sehingga dia bisa mengenal semua peserta.

Demi mutu, faktor istirahat juga harus diperhatikan.

Mengutip pertanyaan AH, “Kamu jika kuliah dari pagi hingga malam tanpa henti gimana rasanya?”

Jadi, tingkat kejenuhan dan kelelahan peserta tak boleh luput dari perhatian. Agar semua materi yang diterima bisa diingat dan peserta bisa memulai pelatihan esok dengan otak yang sudah fresh. Tak lupa, dalam rencana acara, setiap hari pelatihan diberi waktu khusus untuk praktik dan mempersiapkan bahan bacaan yang relevan.

Interview yang baik adalah interview yang terbuka. Ia dimulai dari kata tanya: where, who, when, what, why atau how. Pertanyaan juga harus dimulai dari isu lingkaran kecil dimana si nara sumber benar-benar menyaksikan atau terlibat. Bukan sesuatu yang besar: opini. Pelatihan Ganto, dengan peserta 40 lebih, dibagi dalam kelas-kelas kecil. Tuti Handriani memimpin kelompok bawah pohon ini agar peserta biasa memulai pertanyaan bukan dari opini.

Itulah sedikit kisah tentang perombakan susunan acara. Pelajaran dari pengalaman menyusun silabus:
  • Pertimbangkan soal memakai satu chief trainer serta daya serap peserta dalam menyusun silabus dan susunan acara pada pelatihan yang akan datang;
  • Hindari peserta menemukan susunan acara dan silabus yang berbeda pada hari H.
PENDANAAN

Hingga April, kas panitia masih kosong, malah minus. Beberapa proposal tembus, namun tidak mencukupi biaya awal.

Oleh karena itulah, dibutuhkan rapat panitia secara rutin. Sedikit banyaknya, rapat rutin menjadi tempat saling tukar informasi. Permasalahan dana juga dipaparkan dalam rapat, paling tidak, ada panitia yang tergerak hatinya semakin giat mencari dana.

Selain itu, seluruh panitia harus tahu perkembangan acara, karena itu adalah hak mereka. Mereka bebas berasumsi, menyatakan setuju, atau keberatan.

Di dalam rapat rutin juga, setiap masukan yang bagus dari luar dibicarakan, termasuk dari AH. Ketua panitia tidak boleh memutuskan suatu hal sendiri tanpa diskusi (kecuali dalam keadaan darurat tingkat itnggi). Paling tidak membicarakan dengan seksi masing-masing jika seluruh anggota berhalangan berkumpul.

Ketika rapat, Masing-masing per seksi ditanya tentang masalah yang ditemui dan perkembangan terakhir di lapangan dan wajib menjawab. Tips lainnya yang bisa dicoba, komunikasi dengan pemateri, yang sudah fix, tidak boleh terputus. Ini penting untuk update informasi dan menghindari pemateri yang membatalkan kedatangan beberapa hari sebelum hari H.

Akan ditemui anggota-anggota panitia yang terlihat tidak berminat ikut campur. Kebanyakan mereka merasa tidak dilibatkan atau merasa "terlalu sibuk."

Libatkan mereka semua dengan tidak melupakan koordinasi dan komunikasi rutin. Selain itu, teman-teman anggota tetap harus diingatkan akan waktu yang terus berjalan. Kadang aku mengirimkan SMS ke setiap anggota panitia tentang perkembangan terakhir acara. Di dinding sekretariat Ganto kupasang count down (itung mundur) PKJTL-N, dengan harapan bisa membangkitkan semangat panitia. Berpengaruh atau tidaknya, yang penting aku telah mencoba.

Namun, sepandai-pandai manusia berencana, tidak semua berjalan sesuai semulus rencana.

Monday, October 19, 2009


Misfortune shows those who are not really friends."

-- Aristotle (384BC - 322BC) Eudemian Ethics

Gempa bumi 30 September 2009 membuat lantai sekretariat tabloid Ganto dari Universitas Negeri Padang naik 30 cm. Ganto sebuah penerbitan mahasiswa. Juni lalu mereka bikin pelatihan wartawan. Ia cukup populer di kalangan wartawan mahasiswa.

Kekerasan Berakar di Kalimantan Barat
Lebih dari 70 warga Pontianak dan Singkawang mengeluarkan Seruan Pontianak, minta agar warga berhati-hati dengan tradisi kekerasan di Kalimantan Barat.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Struktur Negara Federasi
Rahman Tolleng bicara soal struktur federasi di Indonesia. Kuncinya, kekuasaan ditaruh di tangan daerah-daerah lalu diberikan sebagian ke pusat. Bukan sebaliknya, ditaruh di pusat lalu diberikan ke daerah: otonomi. Bagaimana Republik Indonesia Serikat?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Saturday, October 17, 2009

SMS Gangguan soal Seruan Pontianak

Harian Tribune Pontianak memuat iklan Seruan Pontianak di halaman kiri. Ini beda dengan harian Pontianak Post dan Borneo Tribune yang terletak di sebelah kanan pada Senin, 28 September 2009. Ini hanya soal penempatan. Iklan kanan lebih terbaca daripada iklan kiri. Namun namanya juga iklan sosial, penempatan kiri atau kanan, lebih ditentukan si suratkabar

Sabtu dan Minggu, 10-11 Oktober, saya menerima SMS yang isinya tak menyenangkan dari tiga nomor beda. Semua pesan ditulis dengan huruf besar. Kalau diperhatikan, mereka dikirim pada waktu hampir bersamaan. Saya ketikkan semua pesan ini agar ia on the record.

Indosat, operator telepon saya, juga membuatkan print out official Indosat, yang bisa digunakan sebagai barang bukti bila kelak diperlukan. Secara hukum, setidaknya pesan-pesan ini bisa dikategorikan "tindakan tidak menyenangkan" sesuai pasal 335 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (ancaman hukuman paling lama satu tahun penjara). Namun secara hukum masih belum sampai pada ancaman sesuai pasal 336 (ancaman paling lama lima tahun penjara).

Saya menjawab SMS pertama. Saya minta nama dan alamatnya agar bila saya ke Pontianak, saya bisa datang menemui. Namun tak ada jawaban. Saya kira si pengirim pesan juga sadar kalau tindakannya bisa berujung di jalur hukum.

Di Pontianak, pada hari yang sama, Agustinus dan Yohanes Supriyadi, dua aktivis dari etnik Dayak yang ikut Seruan Pontianak, juga mendapatkan SMS gangguan. Mereka juga belum bisa mendapatkan identitas dari orang-orang tsb. Agustinus melaporkan gangguan tersebut kepada polisi Pontianak Timur. Lagi-lagi dengan pasal 335. Saya juga sudah memberitahu polisi Tanah Abang, daerah dimana saya tinggal, soal SMS ini.

Agustinus dan Supriyadi masing-masing ketua dan sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat. Ini semacam organisasi early warning system. Agustinus dulu guru matematika di sebuah sekolah Katholik di Pontianak. Supriyadi kini juga salah satu ketua Dewan Adat Dayak kota Pontianak.

Polisi menjelaskan tak mudah mencari identitas nomor. Sekarang orang mudah beli SIM card. Uang Rp 5,000-Rp 10,000 sudah bisa dapat nomor. Orang bisa daftar dengan nama dan alamat palsu. Polisi memberikan nomor telepon yang bisa dihubungi bila kami merasa perlu. Keamanan gedung tempat saya tinggal juga tahu.

Sesuai UU Telekomunikasi, sebuah operator telepon bisa membuka identitas telepon yang terekam bila tindakan buruk si pemilik nomor terancam hukuman penjara lima tahun. Katakanlah, ia sudah berupa ancaman dengan "tenaga bersama" dan dilakukan "secara tertulis," sesuai KUHP pasal 336. Polisi bisa minta identitas pengirim SMS kepada operator telepon.

Saya kira informasi bahwa beberapa aktivis, yang ikut Seruan Pontianak, mengalami gangguan dan intimidasi, perlu diketahui masyarakat. Saya juga minta nasehat hukum kepada Fredi Simanungkalit dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia untuk urusan ini.

Sabtu lalu saya makan malam dengan George Junus Aditjondro ketika SMS ini mulai masuk. Aditjondro seorang investigative reporter dan dosen Universitas Sanata Dharma di Jogjakarta. Dia dikenal sebagai orang yang mengumpulkan data-data korupsi Presiden Soeharto ketika Soeharto masih berkuasa. Ketika tahu masalah ini, komentarnya pendek saja, "Kalau kau tidak pernah difitnah atau menerima ancaman, apa yang kau lakukan artinya tidak punya pengaruh. You don't make a dent."


SMS dari nomor 0812-57491378


Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.09)

BORNEO TRIBUNE TAK PANTAS DENGAN MOTTONYA IDEALIS KEBERAGAMAN @KEBERSAMAAN. TAPI LINTAHTAIK PENGOBAR RESAH DAN ADU DOMBA KEBARAN PKI…BIADAB MUNAFIK

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.15)
KAMU DAN NUR ISKANDAR MEMANG BIADAB DAN MAFIA @ MANUSIA FIKIRAN ANJING @

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.35)
AKU ORANG PTK YG JUSTRU MUAK DNG KAU DAN AKU HANYA TAU NAMA DAN KELAKUAN KONYOL DAN TENGIL CINA SEPERTI KAMU,! DATANG KAU KE PTK KALAU MAU KETEMU AKU.

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.40)
KALAU KAU MAU TAHU AKU TANYA DENGAN MICHAEL YAN SIAPA AKTIVIS LSM YG BENCI DENGAN MODEL GERAKAN KAU YG TAK TAHU DIRI DAN TAK BERMORAL..

Sabtu, 10 Oktober 2009 (18.44)
KAU JANGAN MIMPI MAU MENJADIKAN INDONESIA SEPERTI MALAYSIA.! SAMSENG2 BUDUK YG BERKUASA

Sabtu, 10 Oktober 2009 (19.07)
BG AKU SEBAGAI AKTIVIS TIDAK TAKUT PADA SIAPAPUN KECUALI DNG KELICIKAN. SAMA2 KITA TIDAK SALING KENAL JADI BEGITU KAU ADA DI PTK SMS SAJA AKU AKAN DATANG SENDIRIAN.

Sabtu, 10 Oktober 2009 (19.11)
HIDUP MATI MILIK ALLAH SWT TAPI JIKA GILIRAN MATI ITU SAAT KITA KETEMU ITU AJALKU NAMANYA! PAHAM BUKAN.

SMS dari nomor 0878-19058329


Sabtu, 10 Oktober 2009 (19.06)

KAMI MENANTI DAN MENUNGGU KEHADIRAN ANDA DI PONTIANAK. TKS

Sabtu, 10 Oktober 2009 (20.03)
KAMI MENANTI DAN MENUNGGU KEHADIRAN ANDA DI PONTIANAK, TKS, KAMI YAKIN ANDA SEORANG YG PERLU TAMPIL ISTIMEWA DI HADAPAN KAMI DI PONTIANAK DNG BERBAGAI ARGUMENTASI ANDA BAGAIMANA INDONESIA KEDEPAN KHUSUSNYA KALBAR UNT ANDA,

Sabtu, 10 Oktober 2009 (21.49)
KAMI SANGAT MENGHARGAI KEBERANIAN ANDA, MAKANYA SANGAT MENGHARAPKAN KEHADIRAN ANDA DI BUMI KHATULISTIWA,

Sabtu, 10 Oktober 2009 (22.04)
TIDAK ADA JAWABAN DARI ANDA BAGI KAMI TIDAK ADA MASALAH, KARNA DI JKT JUGA ANDA TETAP BISA KITA BERJUMPA, KAMI JUGA SUDAH INGIN BERJUMPA ANDA DI JKT, DALAM WAKTU DEKAT INI, ASAL ANDA TAHU SAJA KARENA KAMI SANGAT INGIN BERJUMPA DNG ANDA YG SANGAT GIGIH DLM MERESPON DAN MENGANTISIPASI STIAP masalah yg ada,

Minggu, 11 Oktober 2009 (08.13)
KARNA KEHEBATAN ANDA, MAKA KAMI INGIN JUMPA DNG ANDA.

SMS dari nomor 0561- 7932449


Minggu, 11 Oktober 2009 (13.42)
ANDA AKAN TERPOJOK SEBENTAR LAGI. PASTI.