Friday, March 29, 2019

Sesudah 15 tahun, akhirnya buku terbit

Kesulitan pendanaan, harus bekerja penuh waktu, sulit atur waktu, ditolak beberapa penerbit di Pulau Jawa, akhirnya terbit di Melbourne.


BUKU saya, Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia, tiba di rumah tadi malam. Saya segera perhatikan, dari halaman ke halaman, periksa bila ada salah cetak, huruf miring dst, total 280 halaman. Syukurlah tak saya temukan.

Memeriksa 280 halaman.
Buku ini sudah beredar di Australia dan Selandia Baru walau belum resmi diluncurkan. Monash University Publishing, Melbourne, penerbit buku ini, akan resmi mengeluarkannya pada 10 April 2019.

Sekarang buku mungkin sedang dalam perjalanan ke berbagai distributor dan toko buku namun bisa pesan online lewat website Monash University Publishing.

Di Amerika Serikat dan Eropa, Amazon, distributor buku raksasa, akan mulai menjual buku ini pada 1 Mei 2019. Kini sudah bisa pre-order lewat website Amazon. Saya kira ia juga perlahan-lahan akan dijual di berbagai toko buku di kedua benua tersebut. Ia juga akan dijual di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Pacific dan Afrika.

Pemandangan dekat ruang kerja.
Saya sering ditanya di Indonesia dimana bisa dibeli?

Saya belum tahu jawabnya. Monash sedang berunding dengan beberapa distributor buku di Indonesia. Ini soal harga, pajak, biaya pengiriman dan seterusnya.

Belum lagi, bagi saya, kemungkinan buku dibajak.

Indonesia seharusnya adalah pasar penting buku ini. Saya harap pada bulan Mei, setidaknya Juni, buku ini sudah beredar di Indonesia juga, terutama kota besar macam Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan seterusnya.

Buku ini saya kerjakan sejak pertengahan 2003 ketika saya mulai meliput Perang Aceh dan sempat jalan ke Pulau Sabang. Perlahan-lahan saya mengumpulkan uang, lalu jalan, dari Sumatra ke Kalimantan ke Sulawesi dan seterusnya sampai Papua. Total saya wawancara lebih dari 700 orang dalam tiga tahun pertama, lalu berhenti berhitung pada tahun keempat sampai ke-10. Saya perkirakan saya wawancara lebih dari 2000 sumber dalam 10 tahun.

Saya mengunjungi Pulau Sabang dekat Aceh sampai kota Merauke, berdekatan dengan Papua New Guinea, dari Pulau Miangas, paling utara berbatas dengan Pulau Mindanau milik Filipina, sampai Pulau Ndana, selatan Pulau Rote, yang berbatasan dengan Australia. Dalam tiga tahun pertama, saya mengunjungi 63 tempat termasuk beberapa kuburan massal, namun saya berhenti berhitung sesudahnya.

Ini belum lagi urusan dengan penerbit buku. Setiap kali menawarkan buku, diminta mengisi formulir, mulai dari detail pribadi sampai ringkasan buku, lalu perbandingan dengan buku lain. Jawaban bisa datang beberapa bulan kemudian. Bila ditolak, proses dimulai lagi dengan penerbit lain.

Monash University Publishing adalah penerbit bermutu milik Universitas Monash, universitas terbesar di Australia.

Lega lihat buku ini akhirnya terbit sesudah 15 tahun.

Friday, March 22, 2019

王志良


“When copies are free, you need to sell things which cannot be copied. The first thing of these is trust. Trust must be earned, over time."

Kevin Kelly Wired internet magazine editor.

Antologi saya, Agama Saya Adalah Jurnalisme, terbit Desember 2010 oleh Kanisius Jogjakarta. Ia merupakan buku-bukuan dari 34 naskah saya terbitan antara 1999 dan 2010. Banyak berasal dari blog saya khusus bagian media dan jurnalisme. Ia kritik terhadap liputan media soal Acheh, Pontianak, Papua dsb maupun campur-aduk kepentingan bisnis dan redaksi. ©2010 Andreas Harsono

Pembelian Buku
Bila sulit cari antologi Agama Saya Adalah Jurnalisme, cara lain adalah pesan lewat Yayasan Pantau.

Kriminalisasi Aspirasi Politik
Mereka menaikkan bendera RMS atau bendera Bintang Kejora. Mereka ditangkap, disiksa, dihukum dengan proses peradilan yang buruk dan kini dipenjara tahunan.

Obama Has the Power to Help Papua
Young Barack Obama noticed his stepfather’s great unease and silence about his one-year military service in New Guinea. Obama has the power to "the weak man."

Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia
Selama satu dekade warga Ahmadiyah di Pulau Lombok diusir dari satu desa ke desa lain. Bagaimana melihat pelanggaran hak asasi manusia ini dari kenegaraan Indonesia?

Monumen Munir di Batu
Munir bin Said Thalib, pejuang hak asasi manusia dari Batu, dimakamkan di kuburan sederhana. Bagaimana dengan ide bikin monumen hak asasi manusia di Batu?

Tokoh Papua Filep Karma menjalani perawatan prostate di rumah sakit PGI Cikini, Jakarta, selama 11 hari. Seorang perawat mengecek tekanan darah Karma sesudah operasi. ©2010 Ricky Dajoh

Kekerasan Berakar di Kalimantan Barat
Lebih dari 70 warga Pontianak dan Singkawang mengeluarkan Seruan Pontianak, minta agar warga berhati-hati dengan tradisi kekerasan di Kalimantan Barat.

Clinton's Chance to Push Beyond Cliche
Hillary Clinton should be careful not to say that Muslims in Indonesia are “moderate” as for members of persecuted religious groups in Indonesia, it is a useless and inaccurate cliche.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Struktur Negara Federasi
Rahman Tolleng bicara soal struktur federasi di Indonesia. Kuncinya, kekuasaan ditaruh di tangan daerah-daerah lalu diberikan sebagian ke pusat. Bukan sebaliknya, ditaruh di pusat lalu diberikan ke daerah: otonomi. Bagaimana Republik Indonesia Serikat?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Resensi buku-buku soal majalah The New Yorker. Saya menulis dari redaktur Harold Ross, lalu William Shawn hingga David Remnick. Bagaimana ia menjadi icon kebudayaan Amerika Serikat?

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Didekatnya


Yael Stefany Sinaga

Harus bagaimana aku baru disebut manusia? Melentang, merayap, atau merunduk?


Catatan: Cerita fiksi ini mulanya dimuat di Suara Universitas Sumatera Utara, sebuah web mahasiswa, di Medan, pada 12 Maret 2019. Namun Rektor Universitas Sumatera Utara Runtung Sitepu tak terima dan minta naskah dicabut. Alasannya, cinta antar individu LGBT "... tidak lagi mencerminkan visi misi USU." Sitepu hentikan web Suara USU dan mengancam akan hentikan selamanya. Blog ini memutuskan memuatnya agar orang bisa menentukan sendiri bagaimana bersikap terhadap cerita fiksi soal LGBT. Blog ini menganggap ia adalah persoalan kebebasan berekspresi. 



©2019 Surya A.D. Simanjuntak
“Kau penyakit bagi kami. Kau tak layak hidup. Bahkan di neraka saja orang-orang akan enggan dekat dengamu. Terkutuk lah kau wanita laknat!”

Aku tertunduk di tengah mereka. Bahkan sudah tak tahu berapa banyak ludah dari mulut mereka mendarat di badanku. Kurasakan alirannya lambat. Menetes dari atas ke bawah. Terpikirkan saat itu bahwa akan ada malaikat pelindung baik bersayap dan tidak bersayap menolongku.

“Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percaya lah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu.”

Begitu lah hujatan tanpa henti yang kurasakan saat itu. Semenjak aku ketahuan memiliki perasaan yang lebih kepada Laras.

Apa yang salah?

Bedanya aku tidak menyukai laki-laki tapi aku menyukai perempuan walau diriku dilahirkan dengan kelamin perempuan.

***

Aku berasal dari keluarga yang sangat hancur. Berkeping-keping tanpa tersisa. Dulu aku mempunyai keluarga idaman banyak orang. Bapak seorang pemilik perusahaan kayu jati terbesar di Sumatera. Ibu seorang wartawan lokal yang bergerak dengan isu hak asasi manusia. Bapak tak mempermasalahkan kesibukan ibu yang melebihi dirinya. Bapak paham begitulah resiko menjadi wartawan.

Sempat ibu ingin mengundurkan diri menjadi wartawan untuk mengurus bapak dan membantu usaha bapak. Namun bapak menolak dengan alasan masyarakat masih membutuhkan ibu untuk memperjuangkan hidup, pendidikan, kesehatan serta tanah yang kini hampir terkikis. Jika dipikirkan bapakku sosok yang romantis namun klasik.

Lima tahun pernikahan bapak dan ibu, akhirnya lahir lah aku. Anak tunggal yang diberi nama Kirana Cantika Putri Dewi. Lahir secara normal. Ibu begitu kuat hingga sekali nafas panjang aku langsung lahir ke dunia ini. Kasihannya bapak yang menunduk akibat genggaman tanggan ibu yang begitu kuat dirambutnya. Kata bapak saat itu demi ibu dan si buah hati.

Ritual dan doa selalu dipanjatkan demi pertumbuhanku. Berharap aku berguna bagi masyarakat setidaknya untuk keluarga sendiri. Namun semua berubah semenjak kejadian itu. Para penguasa-penguasa jabatan dan tanah datang menindas.

Bapak terpaksa menutup usahanya. Dirinya ditipu oleh teman kerjanya. Kala itu menjanjikan keuntungan penjualan kayu ke Singapura sebesar 25 juta U$ dollar. Fantastis pikir bapak. Namun setelah transaksi pengiriman selesai, bapak kehilangan kontak. Mendadak teman kerja bapak tidak bisa dihubungi. Kabar terakhir, teman kerja bapak melarikan diri membawa uangnya ke negara adikuasa. Pilu yang dirasakan bapak saat itu. Karena stress bapak pun terserang stroke berat dan akhirnya meninggal dunia.

Makin parah ketika melihat situasi ibu. Kala itu krisis moneter. Banyak eksploitasi besar-besaran yang dilakukan pemerintah saat itu. Rakyat banyak kehilangan tanah dan sumber daya alamnya. Ibu yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk HAM terjun tanpa ingat anak dirumah.

Lebih parah lagi. Ketika ibu menjadi buronan pemerintah. Ketika itu ibu menuliskan sebuah tulisan panjang yang berisikan kebohongan pemerintah dalam kurun waktu lima tahun belakangan. Ibu membuat kritikan tajam yang saat itu sangat membahayakan oknum siapapun. Dua minggu setelah tulisan ibu beredar, dikabarkan ibu hilang tanpa jejak. Ada yang bilang mati ada juga yang bilang melarikan diri. Dan nyatanya ibu tak pernah kembali.

Aku diadopsi oleh kakek dari ayah. Bukannya kasihan kakek malah mengumpatku dengan kata yang memilukan hati. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan menunduk diam.

“Sudah kubilang dulu sama bapakmu. Jangan menikah dengan wartawan. Tidak ada masadepan dan tidak pernah peduli sama suami dan anak. Lihat dirimu dan ayahmu. Ditinggal demi rakyat. Cuihh... pencitraan.”

Bantingan pintu pun mengakhiri pembicaraan. Aku tetap diam. Tidak tahu harus berbuat apa. Sejak itu aku menjadi wanita yang takut akan kehidupan luar.

***

Ada perubahan dalam diriku ketika berjumpa dirinya. Larasati Kesuma Wijaya mahasiswa arsitektur tiga tahun lalu. Senang berteman dengan kertas dan pensil. Rumah keduanya adalah bangku putih dibawah pohon belakang kampus. Anak legislatif. Cuman penampilan merakyat.

Berawal dari menyukai manga Jepang serta isu keberagaman. Kami akhirnya sangat akrab. Padahal aku bersumpah tidak akan berteman dengan siapapun. Karena menurutku manusia semuanya adalah serigala penghisap kebahagiaan. Jika tidak menguntungkan siap-siap saja kau akan dibuang.
Aku beragama kristen sedangkan dia memeluk agama islam. Tak apa. Tidak ada yang berbeda.

Sama-sama mengajarkan untuk saling mengasihi sesama manusia. Bahkan baginya Tuhan, agama dan kepercayaan adalah hal yang berbeda.

“Kalau setiap hari bawa-bawa agama, lama-lama Tuhan bosan juga,” ucap Laras.

Dia mirip ibu. Keras kepala serta ambisius. Tak segan-segan mengutarakan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Tak peduli siapa dan latar belakangnya. Ini pernah terbukti saat dirinya melawan seorang dosen yang selalu menekan mahasiswa dengan nilai.

Keistimewaannya ini lah yang berhasil memunculkan perasaan ini. Perasaan yang kurasakan semakin menjadi. Entah kenapa nyaman sekali berada didekatnya. Merasa bahagia ketika melihat dia dengan penuh semangat melukis diatas kertas. Dia cantik. Bahkan cantik luar biasa. Banyak lelaki menunggu. Termasuk perempuan sepertiku.

Kuberanikan diri untuk mengakui. Lama-lama tak sanggup juga menyimpan perasaan aneh ini. Pertama-tama memberikan tanda terlebih dahulu. Aku sering membelikkannya kopi botolan agar tidak mengantuk dikelas. Lalu cokelat setiap kali dirinya merasa sedih. Memeluknya dan membelai kepalanya ketika menangis. Semua kulakukan karena aku sudah jatuh cinta.

Menggenggam tangannya ketika kami keliling mall untuk membeli sesuatu. Tak jarang bersandar dibahunya hanya untuk melepas lelah. Saat itu terasa sangat indah. Ternyata semua berubah semenjak kejadian itu. Para penguasa mayoritas datang untuk menindas.

Waktu itu dirinya ingin bertunangan dengan Aryo teman sekelasnya semasa SMA. Rupanya Laras dijodohkan dengan orang tuanya. Ibu Aryo adalah teman kecil ayah Laras. Mereka pun berjanji untuk menikahkan anak mereka. Mengetahui kabar ini hatiku hancur untuk kesekian kalinya. Kejadian dua belas tahun yang lalu seakan terjadi lagi.

Namun seakan tidak mau hancur terlalu dalam, aku beranikan diri untuk jujur kepada Laras. Aku datang ke acara pertunangannya. Teriak di kerumunan banyak orang. Semua terdiam dan menatapku heran. Bahkan Laras juga terlihat bingung. Aku berjalan ke atas panggung, mengambil microfon dan mulai berbicara.

“Aku minta maaf. Terimakasih untuk semuanya, Laras. Tapi harus bagaimanakah aku disebut sebagai manusia? Kau mengingatkanku pada ibu. Sejak saat itu aku mulai mencintaimu. Mencintai semua yang ada padamu. Sakit sekali ketika aku harus tahu kau akan berbahagia dengan Aryo bukan denganku. Kau boleh bilang aku gila. Boleh bilang aku wanita tak tahu malu. Tapi izinkan wanita murahan sepertiku untuk menyatakan apa yang kurasakan. Bukankah kau mengajarkan aku untuk berani mengungkapkan perasaan? Kini kubuktikan, Laras. Bahwa aku mampu membuatmu bahagia. Menikahlah denganku.”

Tiba-tiba seseorang menyeretku dengan paksa. Baju yang baru kujahit koyak sebagiannya. Aku didorong ke tengah-tengah tamu yang datang. Sejuta mata memandangku dengan amarah. Hujatan dan ludah yang keluar dari mulut terus datang menghampiri.

Tidak ada satupun yang iba menolong. Bahkan Laras hanya menatapku nanar.

***