Friday, November 23, 2018

Cerita Budi Pego soal Spanduk Komunis ‘Siluman’ di Aksi Tolak Tambang Tumpang Pitu

Andreas Harsono
Mongabay

Juli lalu, selama tiga jam, saya naik mobil, dari Kota Banyuwangi menuju Dusun Pancer, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Berkendara dengan medan meliuk-liuk di daerah Blambangan –dulu kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa—sampai ke Pantai Merah, daerah wisata instagramable, dekat Pancer.

Mobil kami melewati gerbang tambang Tumpang Pitu, sekitar 100 meter dari sana kediaman Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis lingkungan, seorang pedagang kayu dan tahanan politik gara-gara melawan tambang emas di Tumpang Pitu.

Tujuan kami datang, solidaritas terhadap Budi Pego dan puluhan warga di Pesanggaran, yang melawan tambang emas dan pernah ditahan atau dipenjara. Dwi Ratna Sari, perempuan yang berjuang menolak tambang, juga korban kriminalisasi, ikut menemani kami mengobrol. Laeliyatul Masruroh, aktivis Nahdlatul Ulama dari Depok, ikut serta.

Anda bisa lihat Tumpang Pitu lewat Google Earth. Di sana, bisa lihat bahwa Pesanggrahan, maupun Pantai Merah, sudah krowak --dirusak oleh penggalian besar-besaran tambang emas. Lubang-lubang menganga, beberapa kali lipat ukuran Pancer. Jalanan berdebu. Tanah, air dan udara rusak. Google Earth mengingatkan saya pada lubang dan galian sekitar Freeport di Papua.

Budi Pego, aktif menyuarakan penolakan tambang emas Tumpang Pitu karena berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia. Lewat aksi damai dia bersama warga menyuarakan penyelamatan Tumpang Pitu dan lingkungan sekitar dari kerusakan dampak tambang emas.

Budi dituduh menyebarkan “komunisme” lewat pengibaran spanduk dengan logo palu dan arit dalam suatu demonstrasi pada 4 April 2017. Dia diadili dan kena penjara 10 bulan, antara 4 September 2017-1 Juli 2018.

Kami datang ke rumah Budi sekitar tiga minggu sesudah dia bebas dari penjara Banyuwangi namun masih menunggu kasasi dari Mahkamah Agung. Budi Pego bersikeras mencari kebenaran. Dia ngotot tak bersalah.

Keputusannya, keluar pada November 2018, Mahkamah Agung menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur bahkan menghukum Budi Pego, jauh lebih berat, empat tahun penjara. Dia kecewa. Langkah berikutnya, mungkin mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Budi Pego, petani dan pedagang, aktivis menolak tambang emas Tumpang Pitu.

Ringkasan perbincangan Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch dan Laeliyatul Masruroh dari Nahdlatul Ulama dengan Budi Pego dan Dwi Ratna Sari:

Harsono: Ceritakan asal usul bisa bendera palu arit muncul saat aksi?

Budi: Tambang ini ada dua perusahaan: PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo. DSI produksi. BSI eksplorasi. Dampaknya, kita rasakan sekarang, bukan hanya rusak gunungnya, sampeyan bisa lihat sendiri jalanan –mulai dari tahun 2016 rusak sampai sekarang. Kalau panas berdebu, kalau hujan jadi lumpur.

Kita sudah lapor ke Dinas Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah Banyuwangi, ngomong juga ke Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Tak ada tanggapan. Kita rencana aksi 4 April 2017. Sama Polsek Pesanggaran, pukul 6.00 pagi itu sudah ada di sini. Kapolsek sudah ada di sini. Ada enam polisi. Anggota Kodim Banyuwangi juga.

Harsono: Anggota kepolisian itu siapa saja?

Budi: Kalau semua nama saya nggak hapal. Tapi ada Pak Rudi, Wakapolsek. Intelnya Pak Rauf. Waktu kita buat spanduk, Pak Rauf mendokumentasikan. Saya menulis (spanduk) soal Bupati Anas. Itu ada rekamannya. Tak ada satu pun yang gambar palu arit. Kalau waktu pembuatan ada, paling tidak salah satu dari anggota kepolisian sudah mencegah atau menangkap pembuatnya.

Harsono: Berapa spanduk yang dibikin di rumah sampeyan?

Budi: Sebelas. Semua tak ada satu pun yang bergambar palu arit. Kita aksi di Kecamatan Pesanggaran. Kita masang spanduk 10. Setelah itu ada muncul beberapa orang yang kita tidak kenal. Ratna yang memegang spanduk. Saya menyentuh spanduk saja tidak. Aksi sampai selesai, Polsek Pesanggrahan ada semua.

Anehnya, ada orang BSI katanya lewat, dalam laporan kepada polisi. Saya nggak yakin orang BSI berani lewat. Setiap saya aksi bersama teman-teman, nggak ada satu pun orang BSI berani lewat. Pasti menghindar. Ini kayak sebuah rekayasa.

Harsono: Yang melaporkan palu arit siapa?

Budi: General Manager BSI Bambang Wijanarko. Satunya lagi, yang jadi saksi, Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Pesanggrahan. Namanya Madinudin --(Budi Pego juga anggota Nahdlatul Ulama).

Harsono: Bendera itu muncul pukul berapa?

Budi: Sekitar jam empat.

Harsono: Tulisannya apa?

Budi : Tulisannya, “Karyawan Dilarang Lewat Jalur Ini” … terus ada gambar katanya “palu arit.”

Ratna Sari: Sesudah aksi di Kecamatan Pesanggaran, kita istirahat sebentar, minum makan. Jalan itu satu-satunya untuk lewat. Aksi kita sekitar 50 orang. Di kecamatan ada ratusan orang. Kan makin sore.

“Wah, ada orang demo, ada orang apresiasi, jadi banyak.”

Kita tidak mengenali siapa-siapa saja yang ada di situ. Ketika kita habis istirahat, kita duduk bersama warga.

Terus ada segerombolan wartawan. Dia membawa kamera. Dia menyuruh, “Ayok bu, kita foto semua. Ayok bapak-bapak biar kelihatan rame. Nanti kalau kita masukan ke media, biar kelihatan ramenya.”

Ya sudah, semua warga itu foto depan kantor kecamatan. Habis foto, terus segerombolan wartawan itu bilang, “Ayo spanduknya dibentangkan semua. Kita jalan ke pertigaan Lowi.”

Aku bawa sepeda. Ada bapak-bapak bilang, “Ayo pegangan ini biar kelihatan rame ibu-ibunya”

“Lah saya bawa sepeda motor, pak.”

“Taruh di situ saja, nanti diambil lagi.”

Ya udah. Aku taruh sepedaku di Kecamatan, aku ikut jalan sama teman-teman tapi aku nggak melihat sama sekali apa tulisan yang ada di spanduk itu. Aku kan langsung, spanduk sudah jalan, aku menggantikan orang lain. Aku baru tahu spanduk yang aku pegang ada gambar palu aritnya, dua hari setelah aksi, setelah Mas Budi ditelepon sama petugas.

Budi: Setelah aksi hari itu sebenarnya tidak ada yang tahu ada spanduk baru. Bahkan petugas yang ngawal, polisi maupun TNI, tidak ada yang melihat adanya gambar itu. Malamnya, saya ditelepon sama intel Kodim, yang mengawal sama Koramil, “Mas ada di mana?”

“Ada di rumah, pak.”

Lalu dua orang datang ke rumah. Dari Koramil sama Kodim.

“Mas, tadi waktu aksi sampeyan itu bermasalah. Ini ada masalah spanduk.”

“Masalahnya dimana?”

Mereka bilang ada gambar palu arit. Saya tanya, spanduknya yang mana? Spanduknya buatan kita masih utuh semua. Spanduk yang difoto itu nggak ada. Itu saya ditunjukin fotonya. Kepolisian dan TNI juga menyaksikan saat pembuatan spanduk di (rumah) sini. Bahkan sekuriti ngikutin terus dari Pulau Merah sampai Kecamatan, ngambil fotonya. Ini hanya untuk menjerat saya, barang buktinya hanya foto. Kan foto itu belum tentu dibuktikan keasliannya.

Dwi Ratna Sari, warga Pesanggaran, menolak tambang Tumpang Pitu.

Harsono: Itu yang motret siapa?

Budi : Saya juga nggak kenal. Katanya dari wartawan.

Masruroh: Itu wartawan yang motret jadi saksi?

Budi: Nggak. Katanya dapat dari ngopy wartawan lain.

Masruroh: Spanduknya nggak ada?

Budi: Spanduk itu fisiknya nggak ada. Di pengadilan nggak pernah ada spanduk sebagai barang bukti. Cuma video dan foto.

Harsono: Kalau spanduk yang kalian bikin itu?

Budi: Ada. Sampai sekarang masih ada di Jaksa Penuntut Umum.

Masruroh : Tidak ada satu pun polisi maupun TNI yang bersaksi di persidangan?

Budi: Ada polisi siap bersaksi. Dari pengadilan tidak ada yang memanggil untuk bersaksi. Kalau mau jadi saksi, katanya, saya harus lapor ke Mabes Polri. Pokoknya, nggak ada satu pun polisi yang dihadirkan dalam persidangan. Siangnya (5 April 2017) saya ditelepon sama Kapolsek. Dia nanya ke saya, “Mas kira-kira siapa ya yang membuat spanduk itu?”

Saya jawab, “Pak, kalau saya tahu, saya akan tangkap bersama teman-teman. Lah sampeyan nanya ke saya, sampeyan sendiri waktu itu menyaksikan pada saat aksi. Tak ada satu pun orang yang tahu dengan keberadaan spanduk itu.”

Saya bilang begitu waktu itu. Waktu orang-orang memegang spanduk itu, saya lagi makan. Saya sempat ditelepon Pak Galuh, orang kecamatan, “Mas tolong dibantu lalu lintasnya agar tak macet.”

Sampai sekarang, setelah saya keluar dari penjara, spanduk itu kemana juga tak ada yang tahu.

Harsono: Dalam kesaksian di pengadilan soal keberagamaan Anda bagaimana?

Budi: (Ketua NU Pesanggrahan Madinudin) di pengadilan ditanya, “Saudara saksi apakah mengenal terdakwa?”

Dijawab kenal.

“Kenal baik?”

Dijawab kenal.

“Apakah pernah ke rumahnya?”

Pernah.

“Apakah saudara terdakwa sering mengikuti kegiatan keagamaan?”

Gak tahu, katanya.

Kemarin ke sini (dia) waktu baru saya pulang dari penjara. Dia bilang katanya "teman baik."

Saya bilang, “Kamu kalau teman baik, di kesaksian harusnya ngomong seadanya. Di masjid Pak Anwar, waktu jumatan, kita bertemu berapa kali? Apakah itu bukan merupakan kegiatan keagamaan? Aku melakukan aksi istighosah depan tambang, itu yang ngundang kyai-kyai itu saya. Apa itu bukan merupakan kegiatan keagamaan?”

Itu kegiatan keagamaan dalam bentuk berdoa menolak pertambangan agar bumi itu tetap utuh gak dirusak oleh mereka.

Harsono: Kalau polisi dan militer Pesanggaran mengatakan Anda tak ada garis merah, kenapa Anda dituduh menyebarkan komunisme?

Budi:  Ini kan awalnya dari perusahaan BSI. Kalau saya menyebarkan paham komunis, pasti Koramil, Kapolsek tahu. Saya memang tidak menyebarkan paham komunis. Waktu aksi, tak ada satu pun yang menyinggung soal komunis. Tulisan PKI juga gak ada. Setelah pelaporan BSI, bukan ke Polres, tapi ke Kodim. Orang Kodimnya waktu malam mendatangi rumah saya, “Ini mas, ada laporan dari perusahaan, kalau aksi tadi katanya ada logo palu arit.” Orang yang ngomong itu yang ngawal aksi. Dan juga ada di video waktu persidangan. Dia tidak memakai pakaian dinas, tapi memakai pakaian preman. Ini semua dari perusahaan.

Monday, November 12, 2018

"Kasih tahu aku, kalau laki-laki itu datang!"

Siti Nurrofiqoh

Seperti mentari yang tak pernah ingkar janji. Demikianlah ia memercayai seorang lelaki.

Tubuh jangkung berleher jenjang. Kaki mulusnya terlihat sempurna, di ujung lipatan celana yg memperlihatkan pangkal paha.

Jemarinya gemetar menyibak-nyibak lipatan kertas penuh catatan angka. Kulihat tulang besar di dadanya yg kurus dan ringkih. Kemaskulinannya tertutup nyaris sempurna.

"Aku dipukuli saat menagih hutang padanya. Andai saat itu punya duaratus ribu utk visum..."

Ia menerawang, mendesah. Mengibaskan rambut panjangnya. Dan udarapun mewangi. Aku menangkap aroma cinta, luka, dan kesedihan yg tak terperi.

Pria yg katanya mencintainya selalu meminjam uang. Katanya untuk usaha dan ia akan diberi keuntungan.

Ia memijat-mijat lengannya yg kurus nan mulus, meski otot lelakinya menyembul kuat. Air matanya jatuh dan ia menyekanya sendiri. Ia terlihat begitu anggun.

"Rumahku sdh ditarik bank, sekarang aku tinggal di kontrakan," ia terus bercerita dan aku membiarkan.

"Aku kumpulin duit sedikit-sedikit sejak dua tahun lalu. Tak mudah kan? Hasil aku kerja di warung mami malam hari. Dan kini ludes semuanya."

Kulirik sebuah warung yg berada tak jauh dari tempatku berdiri. Warung malam yg menawarkan hangat canda, kopi dan mie instan, yang dinikmati di bawah cahaya remang-remang.

"Skrg aku jualan telor keliling. Memulai lagi dari nol. Ini sudah mulai terkumpul segini."

Jemari kurusnya memilin lembaran uang pecahan dalam dompetnya.

"Aku selalu makan sama tempe, kadang sama kecap, kadang hanya pakai sambel. Tapi dia selalu makan enak."

Aku tak berkata apapun. Sunyi. Berharap pada udara untuk membasuh lukanya.

"Kasih tahu aku, kalau laki-laki itu datang!"

Aku mengangguk. Ia menarik nafas berat berusaha menyudahi sedu-sedannya, menguatkan hatinya.

Ah, andai aku bisa menyusut kepedihan itu. Kubiarkan ia berlalu. Kubayangkan lelaki yg telah berlaku keji itu. Sungguh biadap!

Tuesday, August 28, 2018

Kehilangan kawan masa kecil, tambahan sunyi dalam hidup kita



Hanarko Puspowijono atau Oey Han Siang, sepupu saya, meninggal dunia Sabtu lalu, dalam usia 50 tahun di Jakarta. Jenasahnya dikremasi hari ini di Tangerang.

Dia terakhir bekerja di Four Seasons Hotel, Bali. Karirnya, dunia pariwisata. Dia mengatakan dia menderita obsessive compulsory disorder (OCD) sampai sulit tidur, kelelahan, juga rusak paru-parunya ... walau dia tak merokok.

Kami dulu tumbuh bersama di Kalisat dan Jember pada 1970an. Mulai dari main kelereng sampai berenang di pantai. Jalan di pematang sawah sekitar Kalisat. Menelusuri Kali Bedadung.

Rabu lalu dia minta kawan-kawan masa kecilnya diundang ke rumah sakit. Dia mengajak saya bicara --tepatnya berbisik-- mengenang masa lalu. Dia bilang "ada yang aneh" dalam dirinya sejak remaja. Dia baru resmi mengetahui dia ada OCD pada Januari 2018. Saya tanya berapa besar kemungkinan dia sembuh. Han Siang jawab kalau paru-paru masih bisa sembuh tapi OCD takkan bisa sembuh, dia selalu merasa kelelahan, sulit tidur.


Han Siang juga cerita kenangan ketika dia pernah tinggal di tempat saya di Jakarta pada 2004. Sebuah masa yang pendek, mungkin hanya setahun dalam hidupnya, ketika dia dekat dengan seorang perempuan Minahasa. Dia minta tolong saya memberitahu kawan perempuan tersebut soal dia sakit.

Han Siang minta agar teleponnya diperlihatkan pada saya. Riko Handoyo, adik bungsunya, memberikan telepon tersebut. Saya berhasil melacak kawan tersebut lewat Facebook.

Saya kirim pesan. Dia terkejut dan menyempatkan diri menemui Han Siang di ruang rumah sakit. Entah mereka bicara apa. Namun beberapa jam kemudian Han Siang meninggal.

Oey Han Siang diantar kepergiannya oleh ibu serta ketiga saudara kandungnya. Sedih lihat tante saya, kini umur 80 tahun, didahului kematian anaknya sendiri.

Han Siang hidup membujang hingga akhir hayatnya. Dia tak mau bikin susah orang lain. Saya mengenangnya di rumah duka Oasis Lestari, Tangerang. Seorang pendiam, hidup mandiri, tak mau merugikan orang lain, berjuang dengan dirinya sendiri.

Kehilangan kawan masa kecil adalah sebuah tambahan sunyi dalam hidup kita.

Friday, July 20, 2018

Micronesia President Should Help Ambonese Political Prisoners


In June 2017, families of these political prisoners visited the Communion 
of Churches in Indonesia. Chairwoman Ery Lebang and secretary
general Gomar Gultom listened to the tortures the prisoners had suffered
plus the discrimination in their Aboru village, Haruku Island.


Federated States of Micronesia President Peter M. Christian should raise the suffering of eight Ambonese political prisoners, jailed more than 3,000 kilometers from their home island, when visiting his ancestors’ and their Ambon Island in Indonesia’s Moluccas archipelago this week.

These prisoners suffer not only from physical illness but also from isolation. Six prisoners, including school teacher Johan Teterisa, are now jailed on Indonesia’s Nusa Kambangan prison island. Two others are jailed in Porong, Java Island, and Pamekasan, Madura Island. They’re serving prison terms between 15 and 20 years.

Their prisons are very far from their home Haruku Island, a 30-minute speed boat ride from Ambon. The multiple travel is also expensive which severely handicaps the prisoners’ ability to stay in close touch with their friends and family members.

Indonesia's presidential guards and police arrested
Johan Teterisa on June 29, 2007, when he was dancing
in the Ambon stadium. He's now still in Nusa Kambangan
prison, more than 3,000 kilometers from Ambon.
On June 29, 2007, Johan Teterisa led a group of 27 Moluccan independence activists to join in a national Family Day festival at the Ambon stadium. They scandalized then-President Susilo Bambang Yudhoyono, who was in the audience with a group of foreign diplomats, by performing the Moluccan cakalele traditional war dance and unfurling the officially banned Republic of South Maluku flag.

Police arrested them and 48 other pro-independence activists. Police tortured them and within months an Ambon court had convicted them for “treason,” sentencing them to prison terms of seven to 20 years. Most of them have been released but the remaining eight men who joined the dance with Teterisa.

The convictions were under articles 106 and 110 of the Indonesian Criminal Code, which effectively criminalize freedom of expression. Human rights organizations, including Amnesty International and Human Rights Watch, have repeatedly asked the Indonesian government to release them, arguing that they just aired their political aspiration peacefully. Three other Moluccan political prisoners –Fredy Akihary, Jusup Sapakoly and Frangky Simiasa-- died inside their prisons.

Johan Teterisa's sons, 
Rivaldo and Yohanis Relton Teterisa, 
in their housing complex in Cikarang, 
outside Jakarta
President Christian is on an one-week visit in Indonesia, meeting President Joko Widodo and visiting an airplane factory in Bandung, a three-hour drive from Jakarta, where he’s inspecting the possibility to buy some planes. When meeting Widodo, he praised Indonesia for joining the United Security Council and promised to support Indonesia in international arena including in the Pacific Islands Forum where West Papua issue is getting more heated.

In April 2016, Indonesia’s Minister of Law and Human Rights Yasonna Laoly promised to transfer these prisoners back to Ambon, getting them closer to their families. Laoly has not delivered his promise. I learned that his bureaucrats had complained that they cannot buy airline tickets to transfer these prisoners back to Ambon. President Peter Christian could probably remind his Indonesian hosts that they’re selling him new airplanes. How could they have no money to buy airplane tickets? 

Saturday, July 07, 2018

Amir Husin Daulay dalam Ingatan

Oleh Imran Hasibuan


Poster Amir Husin Daulay.
Kemarin malam, aku ikut acara Mengenang AHD (Amir Husin Daulay) di Guntur 49, bersama banyak kawan aktivis. Dari yang paling senior, Hariman Siregar, hingga anak-anak muda yang sudah tak kukenal lagi. Semuanya pasti kenal AHD, paling tidak pernah dengar namanya. Sebagai tuan rumah, Isti Nugroho dan Sri Hidayati (istri AHD).

Lantas apa yang layak dikenang dari AHD? Dalam memori ingatanku, kenangan itu lumayan panjang, merentang masa sekitar 27 tahun (1986-2013). Selama itu tentu ada pasang surut dalam hubungan personal kami, tapi tak pernah putus.

Sayup-sayup masih teringat ketika suatu hari sebagai mahasiswa baru di FISIP Universitas Nasional, aku menjenguk ruang kerja redaksi Politika. Seminggu sebelumnya, bersama beberapa kawan --diantaranya Nuku Soleiman-- sudah mengikuti pelatihan jurnalistik Politika.

Ruang redaksi itu berada di lantai 4 Gedung B, Kampus Sawo Manila. Ruangannya sempit, menyempil di pojok gedung dan berseberangan dengan toilet. Lokasinya sama sekali tak strategis, tak ada lalu lalang mahasiswa yang melintas. Sepi kalau tak ada aktivitas redaksi. Dan untuk mencapai ruang redaksi itu, harus menaiki tangga berliku.

Di anak tangga terakhir, aku lihat pintu ruangan Politika terbuka.

"Ada orang," pikirku.

Langsung saja, aku masuk. Tepat di mulut pintu, mata ku bersirobok dengan sosok lumayan sangar: tambun dan berjenggot lebat. "Bah... Siapa orang ini?"

Tak ada orang lain di sana. Aku sapa dia, tapi diam saja, sambil terus membaca berkas-berkas yang terserak di meja kecil. Belum lagi pikiran ku bergerak kemana-mana, orang sangar itu sudah bertanya:

"Siapa nama kau?"

"Imran Hasibuan, tapi biasa dipanggil Ucok."

"Dari mana asal kau?"

"Medan, bang"

Mendengar kata Medan, keningnya langsung berkerenyit. "Medan nya dimana?"

"Glugur Hong, bang"

"Owhh... Kau yang ikut pelatihan minggu lalu ya."

"Iya bang"

"Ya sudah. Kau beres-beresin kantor ini," perintahnya sampai ngeloyor pergi, tanpa memperkenalkan diri sama sekali.

Baru beberapa hari ini kemudian aku bertanya kepada salah seorang senior Politika tentang orang sangar itu. "Itu Bang Amir. Nanti kau juga tahu siapa dia," jawab senior itu. Menggantung betul informasinya.

Berbilang bulan kemudian, baru aku tahu bahwa AHD-lah yang menghidupkan lagi Politika, beberapa tahun sebelumnya. Pada 1986, ia sudah memimpin Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Nasional dan menerbitkan koran mahasiswa Solidaritas.

Pertengahan 1980-an itu pers mahasiswa di kampus Sawo Manila sedang di puncak aktivitasnya. Hampir tiap minggu ada saja kegiatan yang digelar pers mahasiswa di Universitas Nasional: pelatihan jurnalistik, diskusi dengan tema sosial-politik, sampai pembacaan puisi WS Rendra. Kegiatan tahunan yang paling ikonik adalah Pekan Orientasi Jurnalistik Mahasiswa berskala nasional. Setiap kali digelar pesertanya mencapai 200-300 orang dari berbagai kampus seluruh Indonesia.

Pokoknya, kampus Sawo Manila benar-benar semarak. Bagaikan magnet, Universitas Nasional menarik perhatian para aktivis pers mahasiswa dari seluruh penjuru negeri. Tak hanya itu, hampir setiap bulan masuk kampus para jurnalis terkemuka Indonesia, mantan aktivis mahasiswa, sastrawan, akademisi, dan orang-orang terkemuka dari berbagai profesi. Motor utana semua kegiatan itu adalah AHD. Rupanya, ia berhasil meyakinkan Rektor Universitas Nasional Sutan Takdir Alisjahbana tentang perlunya menyemarakkan kampus Sawo Manila.

Dan aku "terperangkap" di tengah kesemarakan itu. Tak lama kemudian, aku malah "terperangkap" dalam jaring aktivitas di di sekitar AHD.

Begini ceritanya. Setelah aktif sebagai reporter di Politika, tentu aku terlibat dalam kerja-kerja jurnalistik pers mahasiswa dan kegiatan lainnya. Kala itu, AHD telah membentuk satu markas di luar kampus. Yang disebut markas ini tak lain rumah kontrakannya, di gang kecil di kawasan Jalan Siaga, Pasar Minggu. Tak jauh dari markas itu ada kandang sapi milik tetangga, yang setiap waktu mengirimkan bau kotoran sapi. Karena itu, di kalangan aktivis mahasiswa yang hilir mudik ke sana, rumah itu disebut "Markas Kandang Sapi".

Amir Husin Daulay (tengah) bersama aktivis mahasiswa.
Suatu kali, saat lagi berkumpul di "Markas Kandang Sapi" AHD bilang: "Cok, kau tinggal di sini aja. Itu ada kamar kosong di belakang". Rupanya, penghuni kamar itu telah keluar. Aku mengiyakan.

Seminggu kemudian, aku sudah menempati kamar kecil di sebelah dapur. Kamar utama yang paling luas, tentu saja, ditempati AHD. Dua kamar lainnya, ditempati dua senior lain: Imron Zein Rolas dan Nurdin Fadli. Semuanya "Anak Medan". Sejak itu jadilah aku anak bawang di Markas Kandang Sapi.

Ya betul-betul anak bawang, karena kebagian tugas-tugas yang gak penting: mulai cuci piring sampai disuruh beli rokok. Kalau ada tamu para aktivis dari kampus lain (yang paling sering datang Agus Edy Santoso alias Agus Lennon, sambil bawa selebaran atau pamflet) aku hanya boleh mendengarkan percakapan mereka saja.

"Kau masih anak bawang, belum boleh komentar," kata AHD, juga dua senior lain itu.

Tapi, sebagai anak bawang di "Markas Kandang Sapi" ada juga untungnya. Tentu aku jadi kenal para pentolan aktivis mahasiswa 1980-an dari berbagai kampus. AHD juga sering mengajak kami berkunjung dan berdiskusi dengan aktivis mahasiswa yang lebih senior. Yang paling sering dikunjungi adalah Hariman Siregar di markas Jalan Lautze. Selain diskusi, hal lain yang paling menyenangkan adalah disuguhi gulai kepala ikan kakap dari resto Medan Baru.

Juga para jurnalis terkemuka di masa lalu --seperti Mochtar Lubis dan Aristides Katoppo-- tak lupa disambangi. Yang dibicarakan tak semata soal pengalaman jurnalistik, tapi juga soal-soal politik aktual.

Tapi, yang paling seru, jika di malam hari mengeluarkan sepeda motor Binter Mercy-nya, lantas bilang: "Cok, ikut kau..."

Kalau sudah begini, biasanya yang dikunjungi adalah para narapidana politik atau tokoh-tokoh kiri. Perjalanan naik sepeda motor itu biasanya muter-muter dulu, mungkin untuk mengecoh intel yang mungkin mengikuti.

Pelan tapi pasti, statusku mulai meningkat: dari anak bawang menjadi (salah seorang) asisten AHD. Ketika Yayasan Pijar berdiri, di akhir 1980-an, aktivitas AHD di luar kampus makin intens. Pijar, dimana sosok AHD dominan, segera menjadi salah satu simpul utama jaringan aktivitas mahasiswa masa itu. Selain anak-anak UNAS, di Pijar bergabung juga aktivis dari kampus lain: Rachland Nashidik, Tri Agus Susanto Siswowiharjo, Eddy Junaidi, Lucky Savor dan lain-lain.

Mau tak mau, aktivitas ku sebagai salah satu asisten AHD makin intens. Selain mengkoordinir pelatihan/kursus jurnalistik dan diskusi di kantor Pijar (yang sudah berpindah ke kawasan Cawang, kemudian di Jalan Penggalang, sekitar Jalan Pramuka), juga terlibat dalam aksi-aksi demo jalanan.

Ketika AHD sibuk mengurus persidangan karibnya, Bonar Tigor Naipospos, yang dituduh rezim Orde Baru mengorganisir distribusi buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang sudah dinyatakan terlarang oleh rezim Orde Baru, aku juga jadi ikut-ikutan sibuk. Pasalnya, begitu Coki --nama panggilan Bonar Tigor-- ditangkap aparat di Jakarta, AHD memutuskan tinggal di Yogyakarta selama persidangan. Nah, untuk membantunya menangani urusan-urusan sepele --membawa buku-buku titipan buku dari Penerbit Sinar Harapan dan Kompas Gramedia, pakaian, dan sebagainya-- terpaksalah aku yang kerap bolak-balik Jakarta-Yogyakarta.

Imran Hasibuan
Aku baru lepas dari "jeratan" AHD dan Pijar, setelah bekerja sebagai wartawan di majalah Forum Keadilan. Tugasku jadi lebih ringan: mengajar di kursus jurnalistik Pijar (tanpa honor) dan mentraktir ketika gajian. Dan harus siap dipanggil AHD untuk mendengarkan ceramah AHD tentang berbagai gagasannya, kebiasaan di markas Pijar yang masih terus berlanjut. Bedanya kali ini, aku sudah bisa kasih komentar bahkan berdebat. Dan seperti dulu pula, tak semua gagasan AHD sukses dalam pelaksanaannya. Misalnya, lembaga riset dan sejumlah media yang didirikannya bubar di tengah jalan. Bagi AHD, sebuah gagasan yang diyakininya harus diuji dan dikerjakan. Soal sukses atau gagal itu urusan kesekian.

Pikirannya selalu bergerak kesana-kemari, melintas ke berbagai bidang. Ia, misalnya, ikut menggagas pembentukan Indemo. Juga menginisiasi milis grup penggemar Leo Kristi --yang kemudian menjadi LKers. Lantas menggarap produksi pementasan teater Mastodon dan Burung Kondor. Dan masih banyak lagi kegiatan dan institusi lainnya.

Bahkan, ketika dia sudah divonis mengidap sirosis hati kronis, AHD masih terus berpikir dan bergerak. Tak heran, ketika kabar wafatnya AHD beredar 6 Juli 2013, ucapan duka cita ramai melintas di media sosial dari berbagai kalangan.

AHD, Bang Amir, kau layak dikenang. Sampai hari ini pun aku yakin kenangan itu bersemayam di hati dan memori ribuan sahabatmu. Jadi, tersenyumlah kau di sisi Allah.

Sunday, July 01, 2018

Indonesia’s Anti-LGBT Tirade’s Disastrous Impact on Health


Philippa H Stewart
Senior Media Officer
Human Rights Watch

Human Rights Watch report
The men were nearly identically dressed. Matching fresh crewcuts almost hidden under baseball caps pulled down to shade their eyes, pollution masks covering their faces, and matching dark t-shirts.

You would be forgiven for thinking they were on their way to do something illegal, especially if you spoke with them and realized how on edge they were, nervously looking around and stopping their conversation whenever a security guard on his usual patrols came near.

But these men, who work to prevent HIV in vulnerable populations in Jakarta, Indonesia’s capital, were simply meeting the Human Rights Watch researcher Andreas Harsono and cameraman Goen Guy Gunawan for a pre-arranged interview about a new report, “Scared in Public and Now No Privacy,” which looks at the rising anti-LGBT hysteria in Indonesia, and what that means for public health. HIV rates among men who have sex with men in Indonesia have increased five-fold since 2007, from 5 percent to 25 percent. And while the majority of new HIV infections in Indonesia occur through heterosexual transmission, one-third of new infections occur in men who have sex with men.


For over two years now, politicians and government officials in Indonesia have been whipping up the public into an anti-LGBT fury. What started in 2016 as hateful rhetoric has now become violent actions, with raids by police and militant Islamists on places they suspect LGBT people are socializing. This has included raids on everything from gay clubs, to the private homes of suspected lesbians, to waria (transgender women) community events.

The atmosphere of fear and moves to break up safe gathering spaces is having devastating health consequences. HIV outreach workers are struggling to locate the people who need their help – which comes in the form of condom distribution, blood testing, education, and psychological counselling.

The masked men – who asked not to be named to protect their identities – had arranged to meet Harsono outside the now-shuttered T1 nightclub. The men used to work inside and outside the club – giving out condoms and educational pamphlets, and providing some counselling. There was even a mobile clinic where at-risk people could go for blood tests and counselling services.

“It turned out they’d been looking at us from a distance to check us out,” Harsono said. “They had been walking around the area to make sure it was safe.”

When the men eventually approached, they stood out because of their appearance in the business neighborhood where T1 used to be. Harsono took them into a restaurant to shield them. But it was Ramadan, so the two HIV outreach workers did not order food, and the atmosphere remained stressful.

“I was so shocked by their concealed appearance, but of course they were doing it because they were nervous,” Harsono said, adding that it seemed the men were traumatized because hundreds of LGBT people had been arrested in recent raids on nightclubs and in private homes.

“People have been sentenced to 18 to 30 months in prison after being arrested in these raids.”

In 2017, police apprehended at least 300 people perceived to be LGBT – the highest number of such arrests ever recorded in Indonesia. In some cases, if they were carrying condoms, that was used as evidence of homosexuality. That leads people to decide against carrying condoms, which only adds to the HIV epidemic.

When the clubs were open, the outreach workers were easily able to make contact with men at-risk of HIV, but now with the safe spaces shuttered and networks scattered, there are risks of an even bigger spike in HIV rates.

Indonesian authorities are fueling an HIV epidemic through complicity in discrimination against lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) people. The government’s failure to halt arbitrary and unlawful raids by police and militant Islamists on private LGBT gatherings has effectively derailed public health outreach efforts to vulnerable populations. ©Beawiharta/Reuters 2017

The fear the crackdown is causing is palpable. “A security man came by when we were discussing the film shoot, just on his normal rounds, and they were so scared,” Harsono said. “They were terrified he would come over and see them. It says so much about the feeling in Jakarta now.”

The anti-LGBT rhetoric has had a deep impact on society in Indonesia. In a 2016 opinion poll, 26 percent of those interviewed said they didn’t like LGBT people. It was the largest percentage for any group. By 2017, that number was even higher.

“In February 2016 the minister of defense even said the LGBT movement was more dangerous than nuclear war.”

But despite the shrinking space and the very real risk to their safety and freedom, some outreach workers like the two men Harsono spoke to are still trying to make a difference to communities at-risk of HIV.

“They are turning to social networks and the internet,” Harsono said, “I’m really amazed to see how these workers are adapting. They know that they can be arrested, stopped by the police, stopped by security every time they are seen to be chatting with transgender women, but they are courageous and persistent.”

Sunday, June 24, 2018

Dokar Coachman Achmadi in Salatiga

In 1989, when I was 24 years old and almost graduating from university, I met Achmadi (1949-2001), a coachman who led a network of horse-drawn cart coachmen, to resist a government plan to ban their vehicles --locally called "dokar" in Salatiga, Central Java. 

I helped them, writing op-ed pieces, learning about the failures of motorization, organizing their union, and finally securing a plot of land near the Salatiga hospital to be the dokar terminal. 

Achmadi outside the office of the Dokar Coachmen Union in Salatiga.

Achmadi was a good listener. He's a radical in fighting against motorization policy. But he also wants to understand the limitation of the local government. He opposed Suharto's Golkar Party ruling party to overcome the union, called the Persatuan Said Dokar (Dokar Coachmen Union), but he also knew he should be diplomatic.

It was under the Suharto authoritarian rule. The Indonesian military basically controlled the civilian government.

Achmadi, himself a Javanese Muslim, now I realized, also a champion of religious freedom. I worked with the union for three years. Achmadi asked all street vendors in the dokar terminal to open during the Ramadan fasting month (until now). He also insisted his Noborejo village cemetery not to divide between Muslim and Christian villagers. It remains a single cemetery today.

I left Salatiga in 1993, working as a journalist in Jakarta. I still called him from Cambridge, doing my Nieman Fellowship on Journalism. I remember we talked about how expensive to make such a call. In 2001, our friend, Sukardi, sent me a letter from Salatiga, informing me about Achmadi's death. I was already back in Jakarta, editing the monthly Pantau magazine. 

I visited his grave in 2004, meeting his two children Mujiono and Tri Wulandari. The dokar terminal is still there. His two children are still in touch with me.

Saturday, June 23, 2018

A Political Prisoner Died Inside Prison

By Andreas Harsono

Fredy Akihary plays keyboard
inside the Porong prison.
Fredy Akihary, a Moluccan political prisoner, died in a hospital near his prison in Porong, East Java, on June 18 after a heart attack inside his cell. He was 60 years.

Yonathan Dji, a Christian pastor in the prison, said Akihary had usually played keyboard during Sunday services, “He never complained, he never grumbled. He’s such a gentle soul.”

Dji organized the service before the body being brought to the airport in Surabaya, near Porong, flying 2,000 kilometers to the east of Indonesia, landing at the Ambon airport, brought to the seaport for nearby Haruku Island, and finally a truck to bring him back to his native Aboru village.

His wife Yacomina (nee Usmany) Akihary welcomed her husband, “He left home 11 years ago healthy and fit, now he is going home in this coffin.”

On June 28, 2007, farmer Fredy took a boat from Aboru, joining a group of Moluccan activists, mostly farmers like him, going to Ambon. The following morning, they took part in the Family Day festivities at the Ambon stadium.

They scandalized President Susilo Bambang Yudhoyono, who was in the audience with a group of foreign diplomats, by performing the cakalele dance and unfurling the officially banned Republic of South Moluccas flag.

Yudhoyono immediately ordered arrest. Police got those 28 activists, later also their supporters. They were tortured and within months the Ambon court had convicted 66 of them for “treason,” sentencing them to prison terms of seven to 20 years. Akihary got 15. They were moved to various prisons on Java Island in 2009.

Their families –parents, wives, children-- cannot afford to fly to Java. Too expensive. Isolation has taken emotional and psychological toll on the men. Some suffered mental illness. Many suffered physical traumas. Divorces also took place.

In May 2015, President Joko Widodo, who succeeded Yudhoyono, promised to release them. Minister of Law and Human Rights Yasonna Laoly promised to move them to Ambon prison, at least, closer to their families. Nothing happened.

Fredy Akihary (sitting in the middle) with his visiting wife Yacomina (white and pink shirt) in the Porong prison in June 2016. Pantau Foundation in Jakarta helped facilitate these families to visit the political prisoners in Porong. 

Only in June 2016, Yacomina got some non-governmental help to fly to Surabaya and to meet her husband in the prison. It was their last meeting. In Aboru on Thursday, Yacomina and her six adult children, relatives and friends, held a prayer, played music and buried Fredy Akihary.

May he rest in peace.



Tuesday, June 05, 2018

Jakarta: Ketika Menulis Buku Masuk Babak Terakhir

BUKU Race, Islam and Power sudah masuk fase penyuntingan. Saya menyewa sebuah ruang kecil di sebuah mall di Jakarta, guna sprint menjawab pertanyaan dan memeriksa naskah. Saya bawa printer, kertas, dan memeriksa lebih dari 400 halaman. Ini sebuah co-working space. Tempatnya sunyi dan terang sekali. Ada kaca dimana saya bisa melihat keluar. Tapi orang dari luar, bila mau menjinjit, juga bisa lihat ke dalam. Kayak berada dalam aquarium. 

Saya datang pagi lalu membaca, mencoret, lantas masukkan ke komputer. Makan siang, ngopi, lantas kembali ke ruang kecil ini, memeriksa hasil print. Saya mencetak cukup banyak sehingga bisa ditinggal buat makan siang. 

Ruang kecil ini bahkan membuat saya bisa tidur siang. Lumayan 30 menit. Kadang lebih. Tidur di lantai yang pakai karpet. Saya pakai ransel sebagai bantal. Begitu bangun, sekali lagi proses diulang, membaca, mencari hal yang kurang, salah ketik. Juga harus bikin glossary, referensi dan seterusnya. 

Biaya sewa ruang tentu lumayan mahal tapi ia relatif murah daripada harus ke luar Jakarta. Ia juga lebih murah daripada sewa kamar hotel. Ia juga terletak dekat beberapa kedai kopi yang saya suka. Bisa minum kopi buat bantu kerja. 

Saya suka sekali membaca segelas kopi dalam ruangan ini. Menikmati kopi sambil memeriksa bab demi bab. Biasanya selesai petang hari. Pulang, makan malam dengan keluarga, nonton televisi, tidur dan besok diulang lagi. Saya hanya perlu tiga hari bekerja disini. Ini cara konsentrasi menulis dalam jarak waktu yang relatif lama. 




Wednesday, May 23, 2018

Arief Budiman: Yang Akrab dengan Yang Murni

Goenawan Mohamad

SEORANG anak muda 19 tahun, sebaya saya, tapi lebih kurus, lebih tinggi, dengan baju dan celana yang lusuh tapi bersih, dengan cara bicara yang lempang tapi tak agresif, dan dipanggil “Djin”, mengatakan ia sudah menerjemahkan satu bab dari L’Étrangère: sejak kami berkenalan buat pertama kalinya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, di tahun 1960, Arief Budiman —waktu itu memakai nama “Soe Hok Djin“— sudah tampak sebagai seorang yang luar biasa.

Ia menyukai sastra dan filsafat sejak SMA, ia melukis, ia bermain gitar klasik dengan ketrampilan awal yang lumayan, dan kemudian saya ketahui, ia pintar matematika.

Kami berdua dengan cepat jadi akrab.

Mungkin sekali kami sama-sama agak asing dari pergaulan dengan mahasiswa lain, yang di Fakultas Psikologi UI waktu itu barangkali tak lebih dari 150 orang. Sebagian besar mahasiswa tak dekat dengan hal-hal yang kami sukai, dan kami merasa tak pas untuk bersama mereka menikmati yang mereka sukai, di sebuah universitas yang waktu itu mencantumkan semboyan, “buku, pesta, dan cinta”.

Persahabatan kami diperkuat lingkungan yang terbentuk kemudian. Arief memperkenalkan saya dengan seniman dan cendekiawan yang terkenal: Trisno Sumardjo (penerjemah Shakespeare dan perupa), Nashar (perupa), Zaini (perupa), P.K. Ojong (wartawan dan kelak pendiri Kompas), Onghokham (sejarawan), dan, setelah 1967, memperkenalkan saya dengan orang yang ia kagumi dan dekat kepadanya, Mochtar Lubis. Itu pengalaman tersendiri. Arief anak Jakarta yang tanpa rikuh beredar bersama mereka, sedang saya baru datang dari sebuah kota kecil di pantai utara Jawa Tengah.

Segera saya jadi bagian (meskipun bukan bagian yang sentral) lingkungan ini — meskipun saya, yang dibesarkan dalam bahasa Jawa, lengkap dengan kromo inggil-nya, tak seberani Arief menyebut seniman atau penulis yang lebih tua “kau”.

Ya, Arief anak Jakarta tulen, dibesarkan di keluarga Tionghoa yang hanya berbahasa Indonesia (ayahnya dahulu seorang sastrawan yang menulis dalam bahasa Melayu-Tionghoa), dan tentu punya adat bertutur yang berbeda.

Lagi pula, ia — tanpa keangkuhan — tak melihat dirinya inferior. Ia sudah sering menulis esei di majalah Star Weekly waktu itu. Saya sesekali dapat tempat untuk sajak-sajak saya di majalah Sastra. Selama kami berkuliah bersama (saya setahun lebih dahulu), kami akan ketemu dan bicara tentang yang kami masing-masing pikirkan, dan hampir ke mana-mana kami berjalan berdua, dengan mulut dan kepala penuh seni dan filsafat.

Arief memang sudah menerjemahkan satu bab dari L’Étrangère. Ia mengagumi Albert Camus; ia bahkan merasa punya persamaan dengan pengarang kelahiran Aljazair itu ketika ia, seperti Camus di umur 17, didiagnosa kena TBC dan harus dirawat. Ia membaca, dalam bahasa Inggris, hampir semua buku Camus yang bisa diperoleh di Jakarta entah bagaimana caranya. Ia melahap The Myth of Sisyphus, dari mana ia mengembangkan filsafatnya yang anti-utopisme. Buku itu, di mana tertera nama “Djin“ di halaman depan, masih saya simpan, sejak hampir setengah abad yang lalu.

Arief bukan fotokopi Camus, tentu. Ia tak pernah aktif dalam dunia pentas, dan tak seperti Camus, Arief tak punya hubungan dengan perempuan-perempuan yang memikat. Tapi pandangan anti-utopismenya memang dibentuk mithos Sisyphus yang dipakai Camus sebagai alegori bagi sejarah manusia yang tak pernah selesai dan lengkap — sejarah yang tak akan menghasilkan surga di bumi.

Ini terutama tampak ketika ia, dalam umur 22, ikut merumuskan Manifes Kebudayaan. Petisi tahun 1963 itu (ketika itu kata “petisi” sama sekali tak lazim, dan orang sampai kini tetap salah sangka melihat “Manikebu” sebagai sebuah organisasi) mengimbau dijaganya kemerdekaan ekpresi seni. “Manikebu” bertolak dari tesis bahwa tak semestinya kemerdekaan itu dikorbankan untuk kepentingan perjuangan politik yang hendak mencapai masyarakat yang sempurna — yang tak akan tercapai. Justru dengan merawat kemerdekaan, menurut Manifes Kebudayaan, kesenian akan mampu untuk tak henti-hentinya jadi bagian perjuangan pembebasan.

Dalam hal itulah petisi yang diejek sebagai “Manikebu” itu bertentangan dengan “realisme sosialis”. Doktrin yang digariskan Stalin ini, dan harus diikuti setiap seniman, tak memperkenankan kesenian menyimpang dari garis politik Partai. Kemerdekaan kesenian, bagi paham yang dirumuskan untuk mendukung Rencana Lima Tahun Stalin itu, adalah sebuah kemewahan. Kemerdekaan hanya pantas ada setelah masyarakat sosialis lahir. Sebelum itu, harus ditunda.

Kami berkeberatan. Dalam prakteknya: kemerdekaan dimasukkan ke dalam loker. Arief dan saya dan penandatangan Manifes Kebudayaan anggap bahwa penundaan itu akan mengorbankan banyak hal, seperti yang terjadi dalam kehidupan kesenian Uni Soviet. Dan korban itu sia-sia, karena seluruh usaha bertolak dari sebuah ilusi tentang masyarakat masa depan yang sempurna, masyarakat yang tak akan pernah lahir. Terbukti eksperimen Stalin dan Uni Soviet gagal membangun masyarakat itu, sementara doktrin “realisme sosialis” — yang telah menyebabkan banyak sastrawan dibungkam — ditinggalkan setelah Stalin mangkat.

Waktu itu Arief jauh dari Marxisme. Ia tampaknya tak tertarik. Ia tak pernah bersama saya melihat-lihat buku terbitan Moscow Foreign Publishing House di Jalan Kramat Raya, Jakarta, di bagian bawah kantor CC PKI, di mana karya Dostoyewski, Gorki, Turgenev, Plekhanov, Lenin, Marx, Engels — dalam jilid yang tebal dan menarik — dijual dengan harga murah. Saya banyak belanja di sana; buku-buku dengan sampul bergambar wajah dua orang berjenggot lebat mengingatkan saya kepada buku-buku dalam perpustakaan ayah saya waktu saya kecil, ketika saya belajar menyanyikan Internasionale. Arief mendapatkan bacaan utamanya dari tempat lain, mungkin dengan bantuan P.K. Ojong, wartawan senior Star Weekly yang sangat dekat dengan dia. Ojong, selama majalahnya ditutup Demokrasi Terpimpin (karena dianggap dekat dengan Partai Sosialis Indonesia yang dibubarkan Bung Karno), punya cara mendapatkan buku dari Eropa dan Amerika, yang waktu itu tak boleh masuk ke Indonesia. Dalam koleksinya Arief punya karya-karya Camus dan Jean-Paul Sartre yang tak dapat masuk ke toko buku Indonesia.

Saya kagum Arief menguasai bagian-bagian yang sulit dari Being and Nothingness, versi Inggris karya Sartre. Filsafat yang biasa disebut sebagai “eksistensialisme” itu baginya tak membingungkan, dan jika ia menyukainya bukan karena itu mode intelektual waktu itu; eksistensialisme menyertai pandangan Arief sejak mula. Ia bahkan menulis skripsi untuk gelar sarjana psikologi dengan fokus Chairil Anwar, bukan dari sisi psikologi, tapi sang penyair sebagai “eksistentialis”. Saya takjub bahwa ia diberi kesempatan untuk itu — dan ini terjadi di Fakultas Pskiologi UI yang lazimnya tak pernah menyentuh sastra Indonesia. Jauh sebelumnya, saya kaget campur heran ketika Arief, masih mahasiswa baru, bersedia berbicara, semacam pidato kecil, di depan api unggun waktu acara perploncoan selesai: ia berbicara tentang eksistensialisme — di depan teman-temannya yang sama sekali tak tertarik.

Saya kira, yang menyentuh ke dalam hati dan pikiran Arief dari para penulis Prancis sehabis pendudukan Nazi itu adalah semangat perlawanan dan ide kemerdekaan di dalam karya mereka — dua thema yang akan jadi corak pemikiran Arief Budiman selamanya.

Perlawanan dan kemerdekaan: dalam kedua hal itu Arief tak menyukai sikap yang konformistis, atau apa saja yang mengambil posisi di tengah-tengah dalam spektrum pikiran dan sikap. Saya ingat ia pernah mengatakan ia tak menyukai tokoh Cherea dalam lakon Caligula — dan ini menarik, karena setahu saya, Camus justru menyampaikan pikirannya lewat tokoh ini. Cherea adalah orang yang menampik nihilisme sang maharaja muda, Caligula, yang melihat hidup dengan getir dan kecewa: hanya menunda kekalahan, dan manusia fana dan mereka tak berbahagia. Cherea hendak meneguhkan makna bagi hidup yang absurd; hidup, baginya, tak bisa hanya dilihat sebagai “sejumput debu.” Maka rencana utama adalah “hidup dan jadi bahagia”, meskipun kematian menunggu.

Dibandingkan dengan Cherea, bagi Arief, sikap Caligula lebih konsisten, lebih logis: manusia mati, dan bahkan kesedihan yang timbul karena kematian itu tak akan kekal; maka ketidak-bahagiaan ada di poros hidup itu sendiri. Kebahagian hanyalah cara mengelak dari absurditas itu: berpura-pura bahagia menunjukkan sebuah sikap yang tak konsekuen.

Pada Arief, bersikap konsekuen kadang-kadang terasa seperti memilih jalan lempang yang keras — jalan ide yang solid di atas jasad yang rekalsitran, tubuh yang pada dasarnya mudah lemah dan lunak. Ada sikap seorang puritan dalam diri Arief. Kita tak akan pernah menemukan cendekiawan ini dengan santapan lezat, pakaian berwarna-warni yang mentereng, paras yang pesolek. Kesederhanaan hidupnya berkaitan dengan keyakinan bahwa tubuh tak begitu penting dalam struktur manusia.

Murid-murid Arief Budiman merayakan ulang tahun ke-77 guru mereka di rumahnya di Salatiga pada 13 Januari 2018. Arief menderita sakit Parkinson lebih dari sepuluh tahun terakhir, menurut Leila Ch. Budiman, isteri Arief. @Andreas Harsono

PADA ARIEF, dunia ideal lebih penting. Saya ingat ia pernah menunjukkan tulisannya di Star Weekly, mungkin di tahun 1963: sebuah tulisan yang ringan yang mencoba memberi argumen mengapa filosof hampir semuanya laki-laki. Menurut Arief, kalau saya tak salah, karena pria lebih serebral, lebih bisa melintasi keterbatasan tubuh. Sedangkan perempuan sebaliknya: hidup dari laku, pragmatis, tak jauh dari badannya.

Tulisan ini, yang ditulis ketika ia berumur 22 tahun, pasti akan disesalinya jika ia baca sekarang: di dalamnya ia cenderung mengutamakan pria; kini ia akan dituduh sebagai “misoginis” — dan percaya akan adanya “esensi” laki-laki dan “esensi” wanita.

Tapi disadarinya atau tidak, dalam esei yang tak penting itu sayup-sayup bergaung pemikiran Sartre, atau latar berpikir yang menyebabkannya mudah menerima pembagian biner ala Sartre: di satu pihak ada kehidupan en-soi — yang tak digerakkan oleh kesadaran/pikiran/refleksi, yang terutama hanya akrab dengan apa yang konkrit, yang praktis dan statis. Di lain pihak adalah kehidupan pour-soi, yang sadar akan kesadarannya, yang bisa membentuk keadaan, dan tidak hanya dibentuk keadaan. Manusia adalah gabungan kedua kehidupan itu — meskipun (atau sebab itu) manusia tak pernah lengkap.

Perspektif biner seperti itu kuat dalam pandangan Arief: yang terkenal misalnya, ia melihat adanya beda yang tegas antara “gerakan moral” dan “gerakan politik”. Dan sebagaimana lazimnya, perspektif biner mengutamakan yang satu di atas yang lain. Arief tentu saja memilih “gerakan moral”. Ia meyakini yang-moral bahkan dalam hidup sehari-hari, dan ia menjaga kemurnian yang-moral bahkan sampai hal yang sepele. Saya ingat, misalnya, ketika ia jadi anggota Badan Sensor Film di akhir tahun 1968, mewakili seniman, ia menolak menerima rokok ‘555’ yang dibagikan importir film, bukan karena ia tak merokok, tapi karena baginya itu penyuapan dengan langkah-langkah kecil.

Kecenderungan idealisme kuat dalam diri Arief: ia meyakini bahwa kesadaran, komitmen, akan bisa mengubah keadaan; sementara gerakan politik, juga yang dengan agenda mengubah struktur, selalu terjebak dalam “tangan-tangan kotor”.

Marxisme-nya, yang ia dapat selama belajar dan bergaul di kampus Amerika di akhir 1970-an, saya kira juga menunjukkan itu. Ia terpikat karya-karya Marx muda, seperti pernah dikatakannya. Saya tak tahu sejauh mana ia memisahkan pemikiran Marx sebelum dan sesudah Das Kapital, ataukah ia justru melihat kesinambungan dan keutuhan filsafat bapak “sosialisme ilmiah” itu. Kesan saya, apapun pikiran Arief tentang itu, ia lebih cenderung kepada kalangan “humanis” dalam Marxisme — yang umumnya membawa warna “Marxisme etis”. Marxisme Arief bermula dari kesadaran akan ketidak-adilan, dan kemudian membentuk konstruksi theoritis masyarakat. Dari sana ia menganalisa keadaan. Disertasinya di Harvard tentang Chile, negeri yang tak pernah dikunjunginya, khususnya Chile dan pemerintahan Salvador Allende, adalah contohnya.

Ia tampaknya orang yang, dalam pemikiran ilmunya, dalam pendekatan risetnya, mempraktekkan apa yang disebut sebagai “idealisasi”: menangkap realitas dengan cara membentuknya dalam ide dan menangkap problem yang disoroti dengan gamblang, sederhana.

Sebab itulah kita, dan banyak orang, menikmati esei Arief Budiman: prosa yang terang, clair et distinct. Kompleksitas, keruwetan, dan inkonsistensi dalam detail di dunia tak dibiarkan merecoki thesis yang hendak dikemukakan. Bukan kebetulan jika Arief, seorang yang dengan kapasitas yang ulung, mampu mencerna problem dan pemikiran yang rumit, dan sangat pintar dalam menguraikan persoalan secara sederhana. Saya pernah melihat ia menjelaskan sebuah problem ilmu statistika yang pelik kepada teman-teman sekuliahnya. Mereka senang, perkara jadi gamblang — sebagaimana kalau orang mengikuti paparan Arief Budiman tentang, misalnya “teori dependensi” dari Amerika Latin.

Dari ini juga tampak wajar transformasi Arief dari seorang penggemar filsafat menjadi seorang man of action, dari seorang yang bergerak dengan penuh gairah dalam kesenian dan pemikiran, menjadi seorang yang siap turun ke jalan sebagai sebuah statemen politik. Aktivisme menghendaki arah yang jelas.

Tak mengherankan bila Arief akhirnya tertarik kepada Marxisme, setelah di masa muda ia begitu “masuk” ke dalam pemikiran Camus dan Sartre.

Saya tak tahu prosesnya. Tapi saya menduga Sartre sebuah jembatan — atau bisa kita rekonstruksi sebagai jembatan. Pemikir Prancis ini, setelah mencoba memaparkan filsafatnya sebagai alternatif bagi Marxisme, di akhir tahun 1950-an berubah. Dalam Critique de la Raison Dialectique yang terbit di tahun 1960 Sartre menyatakan bahwa eksistensialisme berada di bawah Marxisme. Ia seorang “Marxis”, katanya merumuskan dirinya sendiri.

Arief tak pernah menjelaskan hal ini dalam tulisannya, (atau saya tak pernah mengetahuinya jika ia pernah) tapi seperti Sartre, ia mempunyai keyakinan humanistis yang unik: manusia dihukum untuk merdeka, dan dengan kemerdekaan itu ia tidak bisa dirumuskan sebagai makhluk dengan esensi tertentu. Ia menjadi sebagaimana dirinya karena ia memilih, berbuat, membuat.

Aktivisme Sartre — filosof ini, kita ingat, bukan hanya menulis karya-karya pemikiran yang tebal, tapi juga seorang penggerak demonstrasi dan petisi menentang kapitalisme dan imperialisme — bertolak dari pandangan tentang manusia yang saya sebut di atas: pandangan yang menolak ketentuan takdir. Aktivisme Arief juga demikian. Tapi harus segera saya tambahkan: pada Arief, ada pelbagai elemen lain dengan sejarah yang berbeda.

Arief tak memandang orang lain sebagai ancaman, dan tak menganggap kehadiran liyan di dunia sebagai “neraka” (Sartre, dalam lakon Huis Clos: “Neraka, itulah orang lain.”). Sebaliknya Arief. Ia suka menemui orang lain. Ia mudah bertegur sapa, bertukar pikiran dengan tanpa ngotot. Komunikasi merupakan dorongan yang dominan dalam dirinya. Ia tokoh yang dihormati anak-anak muda, tapi ia sangat mudah mereka dekati sebagai kakak: seorang egalitarian par excellence.

Bahkan ia melihat konflik sebagai komunikasi. Ia sabar. Ia tak bisa menista orang. Tak pernah tercetus kata “babi” “anjing”, “kontol”, “bangsat” dari mulutnya. Arief sangat sopan dalam umpatan dibandingkan dengan saya atau, misalnya, dengan Marsillam Simanjuntak, sahabat dan teman seperjuangan kami dari masa ke masa. Ia tak pernah tercetus untuk menghina pendapat lain, juga yang bertentangan dengan pendiriannya. Kata negatif yang paling kasar dari mulut Arief: “payah!”. Ia punya kapasitas untuk mendengarkan, juga mendengarkan kritik yang paling keras.

Dengan sangat wajar ia bergabung dalam “pergerakan” dan jadi aktivis.

Tapi ada satu faktor lain yang membuatnya “bergerak”: Soe Hok Gie, adik kandungnya, persisnya sejak Gie meninggal dalam kecelakaan di Gunung Semeru.

Kakak beradik ini jarang bicara satu sama lain jika bertemu di antara orang banyak. Mereka saling menjauh, tampak tak ingin ada keakraban. Dunia pergaulan mereka berbeda. Gie akrab dengan aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis dan kalangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan Bung Karno dan pemimpinnya, Sjahrir, dipenjarakan. Gie lebih akrab dengan aktivis politik — bahkan dengan bekas peserta Pemberontakan Permesta. Di luar itu, ia akrab dengan kawan-kawannya di Fakultas Sastra, khususnya mereka yang gemar mendaki gunung. Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain.

Tapi ketika ia menulis obituari pendek tentang adiknya, Arief terasa tergetar, dan tergerak, oleh perjuangan Gie yang selama ini mungkin tak ia pedulikan. Ia menjemput jenazah Hok Gie dari Gunung Semeru. Di sana ia diberitahu ada tukang peti mati yang menangis karena kematian “orang yang berani” itu. Ketika Arief berbicara dengan seorang pilot AURI yang mengemudikan pesawat pembawa jenazah, pilot itu mengatakan, Gie mungkin bisa berbuat banyak kalau dia hidup terus.

Ini memberi Arief sebuah insight baru. Pada suatu saat, menurut Arief, Gie pernah menyatakan kebimbangannya: dalam perjuangan untuk “menolong rakyat kecil yang tertindas”, ia merasa makin lama makin banyak musuhnya dan “makin sedikit” orang yang mengertinya. Kata Gie pula, “kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”

Tapi di kaki Semeru itu Arief tahu, tak demikian halnya. Di sebelah peti mati adiknya ia berkata, “Gie, kamu tidak sendirian.”

Kemudian Arief membuktikan itu dengan bergerak sebagai aktivis, seakan-akan mengambil bendera keberanian yang terjatuh yang dibawa adiknya yang tewas. Ia tahu bahwa seorang “yang jujur dan berani” yang melawan ketidakadilan akan “mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang.”

Kepercayaan Arief kepada “banyak orang” itu bagi saya memperlihatkan sikapnya: dalam dirinya, tak ada arogansi, tak ada kekenesan seorang aktivis yang sedang berada di atas panggung perjuangan — malahan sebaliknya ada penghargaan kepada kemampuan seorang tukang peti mati yang jauh di udik sekali pun untuk jadi bagian dari demos, orang kebanyakan yang ikut membentuk nilai-nilai, yang ikut meneguhkan apa yang adil dan yang tidak, yang palsu dan yang tulus.

Berbeda dari Gie, Arief tak pernah mengatakan ia sendirian. Ia tahu ada yang heroik dalam posisi bersendiri (“Eagle flies alone”, atau “Lonely are the brave”). Tapi kesendirian dalam perspektif Arief sangat dekat dengan keikhlasan. Ketika ia memakai tokoh Shane dalam film western yang terkenal itu sebagai tauladan, ia menunjukkan nilai seorang yang menghadapi kesewenang-wenangan tanpa melibatkan orang lain ke dalam bahaya, seorang yang menghilang setelah melaksanakan keadilan tanpa menunggu, tanpa perlu, aplaus dalam pengorbanannya.

Keikhlasan itulah yang membuat motif etis dalam aktivisme Arief Budiman. Ia bedakan gerakan yang ia prakarsai dari aktivisme “politik. Tapi sebenarnya secara paradoksal ia justru menunjukkan bahwa konstruksi biner yang memisahkan “gerakan moral” dan “gerakan politik” tidak selama-lamanya valid dan berlaku. Yang penting dari semua itu: Arief mengutamakan kemurnian.

Arief Budiman bersama isterinya, Leila, di rumah mereka.
Perjuangannya murni, sepi ing pamrih. Persahabatannya selamanya murni, tak pernah ada agenda lain. Percintaannya kepada Leila murni, sejak ia jatuh cinta, tak pernah ada orang lain. Ekpresinya murni, tak pernah ada dusta dan tipu muslihat.

Saya ingat apa yang dikatakan seorang sahabat yang mengagumi dan mencintainya: Ivan Kats, yang bekerja di Congres for Cultural Freedom di Paris di tahun 1960-an.

Sebelum Arief dan keluarga pindah ke Paris di tahun 1972 untuk bekerja bersama Ivan, di tahun 1964 Arief pernah tinggal di rumah keluarga Kats di Marly-le-Roi, sebuah kota kecil tua dengan hutan yang rindang di luar Paris. Kepada saya, yang mampir berlibur ke rumah itu waktu saya kuliah di Brugges, Belgia, mendiang Ivan dan isterinya, Evelina, seorang pelukis, bercerita: mereka beberapa kali mengajak Arief berjalan menyusuri hutan. Mereka tertegun anak muda Indonesia yang kurus itu akan berhenti di tepi sebuah kali kecil dengan air yang jernih, dan dalam cuaca musim gugur, langsung minum dari tempat itu.

“Ia sungguh akrab dengan apa yang murni”, kata Evelina.

Jakarta, 5 Januari 2018



Naskah ini terbit dalam antologi Arief Budiman (Soe Hok Djin) Melawan Tanpa Kebencian terbitan Galangpress (2018). Ia diterbitkan dalam blog ini dengan persetujuan Goenawan Mohamad.

Monday, April 23, 2018

Indonesian President Jokowi to Ban Child Marriage

Pending Presidential Decree Will Raise Minimum Marriage Age

Andreas Harsono
Indonesia Researcher
Human Rights Watch

A girl is seen through a fence before prayers for the Muslim holiday of Eid Al-Adha on a street in Jakarta, Indonesia September 12, 2016.  © 2016 Reuters

When celebrating R.A. Kartini, a Javanese feminist (1879-1904) who wrote about women’s rights in the early 20th century, President Joko “Jokowi” Widodo invited a number of women rights’ defenders in Jakarta to talk about women’s empowerment.

Naila Rizqi Zakiah of the Community Legal Aid Institute, took the opportunity to ask Jokowi to end child marriage in Indonesia. Zakiah made a reference to a recent viral social media discussion about a 14-year-old Indonesian girl who had wanted to register her marriage to her 15-year-old boyfriend.

Jokowi told Zakiah that he was committed to ending child marriage. He said two ministries, the Coordinating Ministry for Human Development and Cultural Affairs and the Ministry of Women Empowerment and Child Protection, are now preparing a presidential decree to amend the 1974 Marriage Law.

It was a bold statement in a country in which child marriage is widespread. According to UNICEF, 14 percent of girls in Indonesia are married before age 18, and one percent marry before age 15. The 1974 Marriage Law permits women and men to marry at 21 but allows girls to marry at 16 and men to marry at 19 with parental permission. Parents can also ask religious courts or local officials to authorize marriages of girls even earlier, with no minimum age in such cases. UNICEF reported that more than 90 percent of these exemption requests are accepted.

Globally, there is overwhelming evidence child marriage has devastating consequences. Married children often leave school, sinking them into poverty. Married girls often have early – and closely spaced – pregnancies, which carries serious health risks, including death for both the girls and their babies. They are also more likely to experience domestic violence.

In June 2015, Indonesia’s Constitutional Court rejected a petition to end child marriage by an 8-to-1 vote. It was a setback, but the ruling also energized many to push for the end of child marriage. Yohana Yembise, the Minister of Women’s Empowerment and Child Protection, frequently spoke out against the court’s ruling. She also urged the parliament to amend the Marriage Law.

Indonesia is a party to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women and the Convention on the Rights of the Child and has obligations to end child marriage. Jokowi should follow through on his commitment without delay.

Friday, February 23, 2018

Citra Dyah Prastuti Dapat Penghargaan Keberanian Dalam Jurnalisme


Rombongan Yayasan Pantau menyerahkan penghargaan Pogau kepada Citra Dyah Prastuti (baju kuning) di kantor Kantor Berita Radio pada 23 Februari 2018. 

Siaran Pers Yayasan Pantau: 31 Januari 2018

Citra Dyah Prastuti, seorang wartawan yang kini memimpin ruang redaksi Kantor Berita Radio (KBR) di Jakarta, mendapat penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

“KBR sejak berdiri dikenal dengan liputan demokrasi, toleransi dan hak asasi manusia. KBR punya program ‘Kongkow bersama Gus Dur’ dari 2005 sampai Gus Dur meninggal pada 2009. Gus Dur bicara soal toleransi lewat program tersebut. Citra Dyah Prastuti mempertahankan tradisi ini dengan segala kesulitannya,” kata Andreas Harsono dari Yayasan Pantau.

Citra Prastuti mulai karir wartawan KBR pada 2002, setahun sesudah lulus dari Universitas Indonesia. Dia meliput Aceh ketika operasi militer dilancarkan dari Jakarta pada 2003. Citra juga berangkat ke Ambon membuat liputan soal suratkabar yang ikut bikin panas suasana.

Citra terlibat liputan atau menugaskan peliputan banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dari upaya menemukan kuburan massal pembantaian 1965 sampai pembunuhan pengacara Munir Thalib, dari diskriminasi terhadap Ahmadiyah sampai penutupan gereja-gereja. Citra menyunting program Saga –sebuah program feature radio KBR yang banyak dapat penghargaan. Pada 2012, Citra bikin liputan soal anak-anak Timor Timur yang diambil oleh berbagai pihak dari Indonesia –militer, sipil, organisasi Islam maupun Kristen-- dan dibawa ke Indonesia. Mereka dicabut dari masyarakat Timor Timur. Citra juga sering bikin pelatihan buat wartawan khusus liputan hak asasi manusia.

KBR adalah media radio berita yang diproduksi PT Media Lintas Inti Nusantara. Ia menyediakan berita audio sejak 1999 dan dipakai sekitar 600 radio berbagai kota di Indonesia. KBR bisa didengar lewat internet di website KBR.ID juga lewat aplikasi telepon genggam.

Pada 2006, beberapa saat sesudah berita kelaparan di Yahukimo, Papua, KBR bikin program ‘Kabar Tanah Papua’ dengan harapan bila ada jurnalisme independen, kelaparan dan kematian tersebut bisa dicegah. Filep Karma, seorang tahanan politk Papua, memuji program tersebut. Ia memberi banyak manfaat bagi suara warga Papua. Sayangnya, program in berhenti pada 2012.

Pada 2014, Citra diangkat direktur produksi PT Media Lintas Inti Nusantara merangkap pemimpin redaksi KBR. Dia mempertahankan kebijakan redaksi KBR. Pada 2016, ketika kampanye homophobia muncul di Indonesia, KBR juga terus-menerus menyiarkan pandangan yang masuk akal soal seksualitas.

Citra sendiri bergulat dengan kanker payudara ganas sejak April 2016. Dia jalani operasi pengangkatan payudara, kemoterapi dan terapi hormon. Kanker membuat Citra sering menganjurkan kenalan perempuan periksa kesehatan. Dia tetap memimpin KBR ketika mereka meliput berbagai demontrasi terhadap Gubernur Jakarta Basuki Purnama maupun pemakaian pasal penodaan agama buat kegiatan politik.

Made Ali dari Pekanbaru serahkan
penghargaan kepada Citra.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono. Mereka menilai Citra Dyah Prastuti memiliki keberanian dalam menjaga editorial KBR.

Yayasan Pantau adalah organisasi yang bekerja di bidang riset dan pelatihan jurnalisme sejak 1999. Penghargaan Oktovianus Pogau tak diberikan uang maupun seremonial. Ia diberikan guna merangsang diskusi soal keberanian dalam jurnalisme. Yayasan Pantau ingin penghargaan ini berumur selama mungkin tanpa dibebani pendanaan.

Elisa Sekenyap, sahabat Oktovianus Pogau dari Suara Papua, mengatakan, “Citra mewakili cita-cita sahabat saya Oktovianus, yang telah pergi tapi keberanian dan keinginannya untuk menyuguhkan fakta di Papua Barat, salah satu daerah paling direndahkan di Indonesia, masih diteruskan. Ia bukan saja diteruskan di kalangan wartawan Papua namun juga produser Citra Dyah Prastuti di Jakarta.”

Background Oktovianus Pogau

Oktovianus Pogau depan White
House, Washington DC.
Oktovianus Pogau, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992 dan meninggal di usia 23 tahun, pada 31 Januari 2016 di Jayapura.

Pada Oktober 2011, dia melaporkan pelanggaran terhadap ratusan orang Papua ketika mereka bikin Kongres Papua III di Jayapura buat Jakarta Globe. Pogau wartawan pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua dipenjara dengan vonis makar.

Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011, persis pada hari hak asasi manusia internasional.

Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya. Dia bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat, organisasi pemuda Papua, yang menggugat pemerintahan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia dianiaya polisi ketika meliput demonstrasi KNPB di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.

Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga protes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 minta birokrasi Indonesia hentikan pembatasan wartawan asingmeliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi.

Coen Husain Pontoh, salah seorang juri Yayasan Pantau yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “Dia berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”

Keberanian dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak mereka membuat Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai aspek.