Thursday, July 22, 2021

Carmel Budiardjo: A Lifetime Campaigning for Everyone in Indonesia

Andreas Harsono

Multatuli Project

In August 2005, I visited Carmel Budiardjo, then an 80-year-old human rights campaigner, in her London townhouse. We talked on the second floor, which was also the office for Tapol, the human rights organization that she helped set up in 1973 (in Indonesian, the word “tapol” stands for tahanan politik – political prisoner).

In the 1970s, Tapol led a global campaign to release the approximately 30,000 political prisoners held by the then-dictator, Soeharto. It prompted US President Jimmy Carter in 1978 to call for the prisoners’ release. Soeharto released almost all of them, keeping several dozen jailed in Jakarta. Tapol later became a leading voice on rights issues in Indonesia, particularly in the troubled areas of Aceh, East Timor and West Papua.

Carmel, who passed away in London on July 10 at 96, is among the very few people whose work in the region has been recognized in both conservative Muslim areas, like Aceh, and predominantly Christian areas, like East Timor and West Papua. Her efforts to release and then help political prisoners were immeasurable. In 1995, she received the Right Livelihood Award in Sweden. In August 2009, East Timorese President José Ramos-Horta, who had helped campaign for East Timor’s independence from Indonesia, presented her with the Order of Timor Leste. She also received awards from independent groups in Aceh and West Papua. She is probably the only person to receive such wide recognition from so many diverse groups in this archipelago.

In 2005, she and I talked about why many people living in Java, Indonesia’s most populous island and home to the capital, were oblivious to the disparities between Java, as Indonesia’s “core”, and the “outer islands” (which the Dutch colonists called the Buitengewesten, or Outer Territories). 

“It also applied to me when I lived in Jakarta in the 1950s,” she told me. 

“Only when I left Indonesia in 1971, I began to understand the problem. I was caught up by the concept of the liberation of West Papua in the 1960s. I had to be outside Indonesia to begin to think about the reality of Indonesia. West Papua is not necessarily a legitimate part of Indonesia.”

Carmel also spoke about the underlying causes of human rights abuses in Indonesia. The notions of a nation-state and a sense of equal citizenship are very thin in Indonesia. Many dominant identities, whether as Muslims or ethnic Javanese, are often used to discriminate against and repress minorities, which frequently led to violence. 

“I am not an advocate of breaking apart Indonesia,” she told me. 

“But in West Papua and Aceh, there are strong feelings of injustice and their own nationalisms. West Papua was an international issue. The Act of Free Choice in 1969 was an absolute fraud.”

Carmel was born in London in 1925, between the two world wars, into a Jewish family, whose anti-fascist views influenced her left-wing politics. In 1947, she met Suwondo Budiardjo, a young Indonesian official, in Prague. They married and moved to Jakarta in 1952. She worked as a translator and later wrote economic analyses and speeches for both President Sukarno and the Indonesian Communist Party. When General Soeharto toppled Sukarno in 1965, her husband was jailed for “political offenses” and spent 12 years in prison without trial. Carmel herself spent three years in detention, also without trial, before her deportation in 1971. She wrote about these years in her heartbreaking memoir, Surviving Indonesia’s Gulag.

When she returned to London, her townhouse became a gathering place for activists from all backgrounds. Over Chinese food, she told me about the need for raising awareness about nation building and the stories of political prisoners, as well as about her hopes for Timor Leste, a new nation that ended Indonesia’s occupation and had no political prisoners.

Though much time passed since we last spoke, all of our conversations are still relevant to the challenges Indonesians and others face today. Carmel was a towering figure. As James Ross, a longtime Human Rights Watch colleague, wrote after hearing of her passing, “If there were a human rights movement Hall of Fame, Carmel would have been one of the first inductees.”


Andreas Harsono works for Human Rights Watch. He is the author of Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia (2019), in which excerpts of his interview with Carmel Budiardjo were first published.


Friday, July 16, 2021

Covid Diary - Senayan, Jakarta

Saya menulis catatan harian ketika keluarga kami terkena virus corona. Kebanyakan berupa catatan medis, termasuk obat dan indikator. Kami beruntung sudah divaksin. Gejalanya tidak berat. Belakangan saya share sebagian di Facebook buat kerabat dan teman-teman yang ingin tahu. Ternyata ia dianggap berguna buat sesama penyintas Covid19 maupun keluarga mereka. Saya taruh saja di blog ini buat kepentingan publik. 


Minggu, 4 Juli 2021 - Sapariah Positif dan Isolasi Mandiri

Siang ini, Sapariah Saturi, partner saya, tes Antigen dan hasilnya positif. Dia langsung ambil tes PCR, yang lebih akurat, dan menunggu hasilnya besok. Putri kami Diana dan saya negatif. Putra kami, Norman, tinggal di apartemen berbeda, tak terpengaruh tentu.

Kami tak tahu dari mana Sapariah bisa terpapar virus corona. Terakhir kami berempat tes pada 21 Juni --dua minggu lalu-- tak ada satu pun yang positif. Sapariah sehari-hari hanya berkebun. Awal minggu dia sempat ke pasar Palmerah. Dia praktis kerja di rumah sepenuhnya buat Mongabay.

Untungnya, Sapariah sudah vaksinasi. Gejalanya, hanya pilek dan suhu 36 sampai 37.4 Celsius. Normal. Dia juga sakit kepala. 

Rumah kami kecil, hanya dua kamar tidur, satu kamar mandi. Sapariah memutuskan isolasi mandiri di sebuah hotel dekat apartemen. Diana dan saya harus tes lagi hari Rabu. Saya bantu Sapariah untuk check in, bawa barang-barang yang diperlukan. 

Apartemen kami dibersihkan dengan desinfektan. Malamnya, kami mengungsi, tidur di hotel lain, persis depan apartemen. Diana senang sekali dengan kamar yang kami tempati. Kasur empuk, kamar mandi dengan bathtub, AC kencang. 

Senin, 5 Juli 2021 - Hasil PCR buat Sapariah

Hasil tes PCR (polymerase chain reaction) dari Oikos Drive Through sudah sampai. Sapariah Saturi positif terkena virus corona dengan  nilai CT 20.03. Artinya, dia menular sekali. Dia juga kehilangan indra penciuman. 

Kami dapat masukan dari beberapa orang, termasuk dua dokter, serta kawan yang sudah mengalami Covid19, agar isolasi mandiri serta kemungkinan konsumsi beberapa obat. Penting minum air banyak, olah raga, dan kena sinar matahari (Vitamin D). Mencari rumah sakit belum perlu, dan kalau pun perlu, juga sulit sekali. Namun Sapariah daftar teleconsultation di sebuah rumah sakit. Tak ada jawaban kecuali otomatis bahwa mereka akan hubungi kembali. 

Banyak pesanan yang saya kirim sore ini ke hotel Sapariah, dari thermometer sampai air mineral lima liter. Sapariah juga minta makanan kesukaan --banyak sayur, banyak buah-buahan. 

Kami juga minta Sri Maryani, karyawan rumah tangga kami, untuk tes Antigen dekat rumahnya. Saya minta Maryani tidak masuk kerja agar tak tertular. Hasilnya, negatif. Maryani tentu orang yang juga sering berdekatan dengan Sapariah. Ini melegakan. Kami yang di rumah banyak makan vitamin guna menaikkan stamina tubuh. 

Selasa, 6 Juli 2021 - Bagaimana Sapariah bisa terpapar virus corona? 

Kami sekeluarga terakhir tes pada 21 Juni sepulang dari Lasem, Jawa Tengah. Hasilnya negatif. Saya mengingat semua kegiatan Sapariah antara 21 Juni sampai 2 Juli ketika saya perhatikan dia pilek. 

Sabtu malam, 3 Juli, dia minta dibawa tes di Oikos Drive Through, Lapangan Tembak. Ini tempat tes praktis bawa mobil, diambil sample dari dalam mobil. Hasilnya dikirim lewat WhatsApp. Ia terletak persis depan apartemen kami. Praktis tentu. Biayanya Rp 990,000 per orang. 

Saya tahu ada ratusan juta orang di Indonesia, bila harus ambil tes PCR, harus menunggu hasil tes selama beberapa hari karena sample dikirim ke ibukota kabupaten atau provinsi. Kebanyakan memakai laboratorium Dinas Kesehatan. Di dekat apartemen kami ada tiga tempat buat lakukan PCR. 

Sapariah adalah orang cerewet soal kesehatan. Dia selalu sedia masker, bisa sampai beberapa box di rumah, dari model kain sampai N95 untuk tenaga kesehatan. Dia juga sering kirim masker ke kerabat dan kawan kami, dari Pontianak sampai Jember. Dia juga beli vitamin dari berbagai jenis. Dia rutin masak empon-empon (minuman jahe dan sejenisnya). Di rumah dan mobil selalu ada sanitizer. Dia memasukkan sanitizer kecil ke tas saya dan anak-anak. Setiap orang dimintanya cuci tangan.

Kantornya, Mongabay Indonesia, praktis sudah work from home. Mereka bahkan tak pernah bertemu tatap muka sejak Maret 2020. Kadang kami berdua jalan kaki di stadion Senayan. Pakai elevator tentu untuk naik turun di apartemen. Jarak tentu aman. Stadion Senayan relatif sepi.  

Unit kami hanya ada satu pekerja rumah tangga, Sri Maryani, yang datang empat hari seminggu. Maryani juga tes negatif. 

Sapariah juga segera ikut vaksinasi dari Dewan Pers ketika dibuka. Kami berdua sudah lengkap dapat vaksin Sinovac pada 6-7 Mei. Sri Maryani vaksin AstraZeneca. Namun kami belum menguji tingkat antibodi dari vaksin tersebut. 

Lima hari sebelum tes, Sapariah sempat belanja sekali di Pasar Palmerah dan sekali ke Bank BNI, Ratu Plaza (cabang Palmerah tutup). Dia bukan saja pakai masker tapi face shield

Selama di hotel, setiap hari saya antar makanan, obat, vitamin dan segala pesanannya –termasuk kompor listrik buat penguapan. Sapariah, belajar dari pengalaman ketika Norman masih kecil, merebus air. Ini membantu mengencerkan dahak dan bikin nafas lega. Kali ini Sapariah menambah jahe, serai, sirih, mint atau minyak kayu putih.  

Kami sudah terdaftar di Puskesmas Gelora Senayan untuk dapat layanan konsultasi dokter Yunike Simanjuntak secara online. Istilahnya, telemedicine. Mereka hendak lakukan tes PCR terhadap semua orang yang ada kontak erat dengan Sapariah selama dua minggu terakhir. Kami beli alat-alat pengukur yang relatif tidak mahal: thermometer, pulse oximeter, electronic blood pressure monitor bahkan tangki oksigen dengan regulator. 

Jadi bagaimana Sapariah tertular? Saya sementara menyimpulkan virus ini airborne (mengawang) dan menulari orang dengan cepat. Mungkin tak sengaja memegang sesuatu yang ada virus? Kemungkinan varian Delta seperti dijelaskan pemerintah.

Kamis, 8 Juli 2021 - Diana dan Saya Terima Hasil PCR Positif

Saya baru menerima hasil PCR dari Oikos Drive Through, Senayan. Ia menyebutkan bahwa Diana dan saya positif terkena coronavirus. Nilai CT (Cycle Threshold) masing-masing 17 dan 24. Artinya, Diana punya lebih banyak virus (CT 12-20) dan saya dalam fase penyembuhan (CT 21-30). Ini hanya bacaan amatir saya. 

Sri Maryani, pekerja rumah tangga, hasilnya negatif. Maryani sudah dapat vaksin AstraZeneca. Sapariah Saturi, isteri saya, dan saya vaksin Sinovac. Saya kuatir dengan Diana yang belum vaksin. Gejala saya batuk kering dan badan pegal. Diana mengeluh tenggorokan gatal. 

Sapariah sudah lapor ke Puskesmas Gelora. Mereka juga sudah dapat hasilnya. Mereka minta kami isolasi mandiri. Tingkat oksigen di atas 95, tak ada kesulitan buat nafas. Diana dan saya isolasi di rumah. Sapariah masih di hotel. Puskesmas bilang kami bertiga bisa isolasi bersama. 

Saya lega karena sekarang tahu hasil tes. Manajemen gedung juga sudah saya beritahu. Ini penting karena kami tinggal di bawah satu atap dengan tiga elevator. Para tetangga perlu tahu soal keluarga kami terkena Covid19. 

Kami ada persediaan vitamin, masker, obat-obatan, air panas (kompor dengan gas penuh), maupun makanan sehat (sayur-sayuran dan buah-buahan). Bahkan ada tabung oksigen. Terima kasih buat kiriman banyak kawan. 

Malam pertama isolasi mandiri, suhu badan Diana dan saya, masing-masing, 36.2 dan 35.8 Celsius. Level oxygen sama 97. Detak jantung juga normal. Takut namun harus tenang. Cerita buat pengantar tidur: Bagaimana papa dan mamanya bertemu di Pontianak 🙂

Kami akan tinggal dalam rumah selama 2 minggu. Sesudah dua minggu, saya harap, nilai CT kami sudah di atas 35 sehingga sudah tidak menular lagi.

Jumat, 9 Juli 2021 - Isolasi Mandiri Sekeluarga

Sapariah balik ke rumah siang hari saat saya masih bicara online dalam acara Asia Democracy Network bersama Haris Azhar, Sandra Moniaga, Soe Tjen Marching, dan Taufik Basari. Seorang panitia bilang saya terlihat “lemas.” 

Dokter Yunike Simanjuntak dari Puskesmas Gelora Senayan memberikan satu paket obat: azithromycin; vitamin B complex, hustab. Kawan saya dari Papua, Ruth Ogetay, bantu jemput paket tersebut dan dikirim ke rumah. Kami sekeluarga tidak keluar dari unit kami sejak positif Covid19. 

Sapariah Saturi terlihat lebih segar daripada hari Minggu, 4 Juli,  ketika mulai isolasi di hotel. Dia bilang indra penciuman sudah pulih berkat penguapan. Rasanya lebih tenang hadapi krisis Covid19 bersama isteri 😷 

Saya tak menjenguknya di hotel sejak ketika saya sendiri dan Diana dinyatakan positif. Dokter dan manajemen apartemen memperbolehkan kami isolasi bersama. Ini memudahkan koordinasi, minum obat, periksa oxygen, detak jantung dan seterusnya. 

Diana langsung merangkul mamanya ketika tiba. Dia senang sekali lihat mamanya pulang. Dia "mengeluh" ke mama bahwa masakan papanya tak nyaman ... kecuali kalau order online. Diana tentu rindu masakan mamanya. Saya kira di layar webinar Asia Democracy Network terlihat anak dan isteri saya mondar-mandir. 

Saya sendiri masih batuk dan pilek. Mudah-mudahan dengan obat pemberian Puskesmas, ia akan segera berkurang. Nilai oxygen kami berkisar 96 dan 97. Detak jantung antara 80 sampai 110. Ini masuk kategori orang normal. Saya duga vaksin Sinovac membantu pertahanan tubuh kami. Diana masih kecil sehingga tubuhnya lebih sehat. 

Diana rekam data medis tiap enam jam. Diana bertugas sebagai "dokter rumah" dan mencatat setiap pagi, siang dan malam. Diana juga jadi pelatih kami buat olahraga ringan. Mulai dari angkat kaki dan kembungkan dada, sampai loncat kecil.  

Ada banyak sekali kawan mengirim pesan, mengirim makanan dan minuman. Ada tetangga juga mencantolkan kantong kertas ("wedang sereh") ke pintu rumah. Pesan berdatangan bukan saja dari Indonesia tapi luar negeri: Amerika Serikat, Australia, India, Korea Selatan dan lainnya. 

Wartawan Kanada Jeff Hutton kirim jamu Jawa: jahe, temulawak, kunyit asem, temu kunci. Pilihan yang unik. Orang bule ngasih jamu. Novita Sari Simamora, wartawan Bisnis Indonesia, kirim satu paket masakan Batak. Saya mohon maaf tak bisa sebut semuanya. Kami sangat berterimakasih dengan perhatian kawan-kawan. 

Aliansi Jurnalis Independen tanya apa yang bisa mereka bantu. Saya mohon bila bisa, dibantu dengan tabung oxygen kecil, buat jaga-jaga. Saya kuatir bila level oxygen turun dari 95.

Brad Adams, atasan saya dari Human Rights Watch, minta saya berhenti kerja total tapi permintaan interview dan bicara, yang sudah saya sepakati, sulit dibatalkan. Setidaknya, ini jauh lebih ringan daripada lakukan riset, wawancara, berpikir dan menulis. 

Ini hari-hari awal pertempuran tubuh saya dengan virus corona. Saya tentu ada rasa takut. Susah tidur. Kematian bukan sesuatu yang tidak dekat dengan wabah ini. Saya berusaha taati nasehat dokter, minum obat teratur, olah raga, dan istirahat.

Senin, 12 Juli 2021 - Obat apa buat selamat dari Covid19?

Sapariah sudah hari ke-8. Keadaannya membaik, tampaknya sudah lewat puncaknya. Diana dan saya sudah hari ke-5. Diana tanpa gejala. Dia sepanjang hari main depan komputer: Minecraft, Roblox. Permainan online bersama kawan-kawannya: Kyra, Gaby, Tiffany. 

Saya masih batuk dan pilek. Obat dari Puskesmas Senayan diganti dari tablet huztab menjadi fluimucil 200mg. Saya harus membeli sendiri fluimucil. Namun tak dapat. Saya dapat dengan obat generik, namanya acetyulcysteine. Ini obat pengencer dahak. 

Saya tanya pada dokter Yunike Simanjuntak apakah saya bisa minum obat Cina bernama Lian Hua? Ini juga obat batuk. Dia keberatan. Dia minta saya tak makan obat lain di luar apa yang disarankan Kementerian Kesehatan. 

Ini pertanyaan klasik. Mau sembuh pakai obat modern atau obat tradisional? 

Kami menerima saran dan kiriman macam-macam obat tradisional dari banyak kawan. Dari minuman jahe sampai kelapa muda hijau. Ada immunomodulator “untuk kalangan terbatas.” Ada juga obat semprot ke hidung dan mulut. Seorang petani organik dari Garut mengirim madu lengkap dengan sarang lebahnya. 

Di Indonesia, banyak sekali orang mengatasi virus corona ini dengan jahe, bawang putih, minyak kayu putih dan seterusnya. Banyak yang berhasil. Ada puluhan kenalan saya, yang tinggal di desa-desa, kasih saran jahe, serai dan lainnya. Saya makan saja sarang lebah yang super manis dan kenyal macam permen karet. 

Mungkin agak berantakan. Semua saya coba kecuali dokter melarang. Boleh jadi gejala kami ringan, kata Puskesmas. Sapariah, Norman (anak sulung) dan saya sudah vaksin Sinovac. Norman Harsono tinggal di apartemen lain sehingga tak kena virus ini. 

Intinya, dari Kementerian Kesehatan mengatakan pasien Covid19 harus memasukkan vitamin B, C, D plus zinc serta obat anti-virus. Lainnya, anti-batuk, anti-pilek atau anti-pusing, tergantung keadaan masing-masing.

Selasa, 13 Juli 2021 - Rontgen Thorax

Sapariah Saturi dan saya lakukan tes darah dan rontgen thorax. Ini penting buat alat analisis dokter Yunike Simanjuntak. Kami lakukan tes di Bio Medika, Gandaria, dekat rumah. 

Rontgen untuk mengetahui bila virus corona berhasil masuk ke paru-paru atau saluran pernafasan. Darah buat macam-macam tentu. 

Bila virus berhasil masuk ke paru-paru, kita perlu memperhitungkan dampaknya kelak sesudah sembuh.

Ada penjelasan para peneliti kesehatan di New York Times soal bagaimana virus corona menyerang paru-paru. Persoalan pandemi ini adalah pertempuran di paru-paru. Makin dalam virus menyerang, makin berkurang daya kerja paru-paru pasien. 

Jumat, 16 Juli 2021 - Bronchopneumonia

Hari kedelapan sesudah tes Covid19 pada 8 Juli. Hasil laboratorium Bio Medika mengesankan ada bronchopneumonia. Gejalanya, saya sering batuk. Ia terjadi karena pipa pernafasan, sesudah leher, yang menuju ke dua paru-paru, mengandung cairan kental. Ini terjadi karena virus corona masuk ke sistem pernafasan saya. Hasil rontgen menunjukkan hanya bronchus sebelah kanan yang terkena. Bronchus kiri aman. 

Virus apapun tentu tak diharapkan masuk ke paru-paru. Ia akan menghalangi paru-paru dapat oksigen, thus menurunkan saturasi oksigen. Saya catat saturasi oksigen pagi, siang dan malam. Selalu aman. Kalau virus sudah sampai paru-paru, saya harus masuk rumah sakit. Sulit sekali bukan? Apalagi dalam krisis kesehatan macam sekarang. 

Saya sulit tidur nyenyak. Ini entah sudah berapa malam sulit tidur. Saya baru tertidur pukul 5 pagi. Semalaman banyak berpikir tapi juga nonton Secrets of Great British Castles. Selama isolasi mandiri, saya sudah tonton episode yang penting tentang Carrickfergus Castle (Irlandia Utara), Tower of London, Caernarfon Castle (Wales), Edinburgh Castle (Skotlandia). Setengahnya saya belajar soal nasionalisme dan kerajaan Britania. 

Dokter Yunike Simanjuntak dari Puskesmas Gelora Senayan minta saya tetap minum tablet  acetyulcysteine. Ini obat pengencer dahak. Dia minta saya minum Vitamin D (5000 IU) serta olah pernafasan. Olahraganya macam meniup balon. Tahan nafas, lepas nafas. Hasilnya mulai terasa. Batuk jauh berkurang. Tadi malam saya tidur dengan nyaman. Saya harap hari ke-10 batuk sudah reda.

Sabtu, 17 Juli 2021 - Mulai Bisa Tidur Tenang

Saya tidur dari pukul 23 sampai pukul 7, termasuk lama sekali buat saya. Hanya sempat bangun sekali buat buang air kecil --kebanyakan minum air putih, selalu terbangun dari tidur. 

Batuk masih ada namun dahak jauh berkurang. Saya masih minum tablet  acetyulcysteine (buat mencairkan dahak) maupun vitamin C dan D (pagi hari), vitamin E dan zinc (malam hari). 

Sedih sekali saya mengetahui Zed Abidien, wartawan Surabaya dan salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen, meninggal dunia dengan Covid19. Kami kenal sejak pembredelan 1994, sering kerja sama, dan 2019 sebetulnya janjian mau bertemu tapi tertunda karena wabah. Zed meninggal di sebuah rumah sakit di Mojokerto. Semoga isteri Yudiarini Swastiwulan dan ketiga anaknya tabah.

Albertus Amboro Putranosa dari Salatiga mengabarkan bahwa bapaknya, Ari Purwanto, meninggal dunia di rumah sakit Salatiga dengan Covid19. Mereka sekeluarga dulu tetangga saya ketika tinggal di Jalan Ki Penjawi, Salatiga, pada 1990an. Amboro dan kedua adiknya, Anastasia Arimbi dan Agatha Aritami, dulu belajar bahasa Inggris di terminal dokar. 

Pada 28 Juni, Ari sudah mendaftar untuk vaksinasi di Salatiga namun ditolak petugas vaksinasi karena dia sedang flu dan batuk. Bulan Juli, isterinya, Cecillia Ambar Rustami, terpapar Covid19 terlebih dahulu dan masuk rumah sakit 11 Juli. Ari merawat isterinya, juga terpapar, namun ketika mulai sakit, dia kesulitan dapat ranjang rumah sakit selama lima hari. Agatha merawat bapaknya dan mengatakan, "Bapak masuk rumah sakit tanggal 15 juli, Bapak meninggal tanggal 16 juli pukul 21.45." Ambar keluar dari rumah sakit pada 17 Juli. Saya sedih dengar telepon dari Agatha, Arimbi dan Amboro. 

Minggu, 18 Juli 2021 - Batuk Reda, Pilek Reda

Sapariah hari ke-14, saya hari ke-10. Kami masih belum tes tapi dokter senang dengan perkembangan kami. Batuk sudah mereda. Pilek juga reda. Sapariah seharusnya sudah selesai isolasi mandiri tapi dia sekalian menunggu anak dan suaminya. 

Saya menawarkan diri untuk tes rontgen atau lainnya. Dokter bilang tidak usah karena gejala sudah membaik. Dia tak mau saya terpapar coronavirus lagi dengan pergi keluar dari isolasi rumah termasuk pergi ke laboratorium. 

Semua obat-obatan sudah selesai. Kami masih konsumsi vitamin, madu, wedang jahe dan berbagai makanan yang enak-enak serta olahraga, terutama pernafasan 😉

Senin, 19 Juli 2021 - Kuncinya Vaksinasi

Pagi ini bangun, cuci piring, dan cek detak jantung (77) serta saturasi oksigen (95). Semalaman ada belasan kawan kirim pesan lewat Whatsapp dan Facebook, cerita soal bagaimana mereka juga terkena virus corona. Menariknya, beberapa dari mereka menolak vaksinasi. 

Lumayan lama saya menerangkan apa yang saya dengar dari Pandu Riono dari Universitas Indonesia serta Irma Hidayana dari Lapor Covid soal bagaimana vaksinasi, apapun jenisnya, membantu tubuh agar siap bila terkena virus. Ia tak membuat orang kebal tapi kalau terpapar, gejalanya ringan sampai sedang --tergantung stamina masing-masing. 

Saya sudah main gitar, lagi belajar lagu Sara Bareilles "She Used to be Mine." 

Saya mau memakai kesempatan ini buat mendorong semua kawan saya untuk segera lakukan vaksinasi. Ia bukan saja melindungi diri kita sendiri tapi juga lingkungan. Ia juga membuat kita tak bisa jadi inang buat virus tersebut.

Sudah ada banyak argumentasi ilmiah untuk membantah semua keraguan kita. Silahkan baca website Centers for Disease Control and Prevention. Vaksinasi terutama penting buat tokoh masyarakat, termasuk wartawan, agar warga mendapat teladan.

Segeralah vaksinasi bila belum. Dorong kerabat dan kawan Anda untuk vaksinasi. Tak perlu pilih-pilih vaksin. Bila kuatir dengan ada penyakit bawaan, konsultasi dokter. Saya menemukan banyak jawaban dari website CDC

Selasa, 20 Juli 2021

Sapariah hari ke-16, saya hari ke-12. Hari ini hari raya Idul Adha. Ini sudah tahun kedua umat Muslim merayakan Idul Adha dengan pandemi. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas minta tak ada pelaksanaan shalat Idul Adha di masjid atau lapangan. Saya lihat di timeline Facebook, masih banyak masjid yang bikin shalat. Tak mudah memang mengatasi pandemi di Indonesia. 

Kesehatan kami makin stabil. Saya tidur dari pukul 23.30 sampai pukul 6.30. Tujuh jam lebih dari cukup bukan? Saya biasa hanya tidur enam jam. 

Kamis, 22 Juli 2021 - Surat Selesai Pemantauan Covid19


Puskesmas Gelora Senayan menyatakan pemantauan terhadap keluarga kami sudah selesai. Sudah lewat 15 hari apalagi Sapariah Saturi, sudah 19 hari, sejak positif. Kami dianggap sudah sembuh, tak perlu dipantau. 

Namun ada surat-surat yang harus diurus. Mulai dari bikin "surat minta izin isolasi mandiri" sampai surat pernyataan dari RT dan RW agar kami dipantau. Saya mencari tujuh tandatangan, dalam dua hari ini, sudah tiga kali ke Puskesmas, dua kali ke tempat Satgas Covid19 tingkat lingkungan. Kami sekeluarga --Diana, Sapariah dan saya-- juga ambil tes PCR di Oikos Drive Through. 

Walau sudah sembuh, kami tentu masih dalam pemulihan. Kami takkan keluar rumah, setidaknya seminggu lagi, apalagi dalam suasana Jakarta dimana virus corona ada di mana-mana. Setidaknya saya lega karena kami sudah tak menularkan virus ini ke orang lain. 

Selasa, 27 Juli 2021 - Surat Selesai Pemantauan Puskesmas

Siang ini saya menjemput surat dari Puskesmas Gelora Senayan yang menyatakan bahwa Diana, Sapariah dan saya sudah selesai dari proses pemantauan mereka. Kami sudah dinilai bisa keluar rumah, sudah tak menular. Sebenarnya softcopy surat sudah saya terima akhir pekan namun hardcopy baru saja ambil hari ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Puskesmas Gelora, termasuk dokter Yunike Simanjuntak, yang menjadi "petugas karantina" keluarga saya.