Friday, August 22, 2008

Andreas: Aku Paparkan Fakta, Selanjutnya Terserah Anda...

Di Balik Kasus Pembunuhan di Mile 63


SEJAK 18 Agustus lalu, masyarakat dibikin heboh dengan sebuah laporan karya oleh S. Eben Kirksey, seorang antropolog dari Universitas California, dan jurnalis serta penulis Jakarta, Andreas Harsono.

Sebenarnya, laporan ini bukan isu terhangat di Indonesia. Namun hasil laporan yang disusun selama dua setengah tahun, dengan cara mengolah data, riset dan wawancara tersebut, berdampak pada statmen yang pernah diungkapkan Condoleezza Rice, menteri luar negeri Amerika Serikat.

Laporan tersebut bertajuk, 'Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika'. Ia menggali info dari hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tujuh warga Papua Barat yang jadi tersangka kasus pembunuhan dua guru warga negara Amerika dan seorang warga negara Indonesia, serta melukai sebelas orang lainnya.

Tujuh warga Papua tersebut dihukum antara lima tahun hingga seumur hidup. Laporan tersebut menjadi menarik, lantaran menyebut sejumlah nama anggota TNI. Mereka dilaporkan berada di tempat kejadian perkara pada waktu yang sama dengan kelompok Antonius Wamang, dan sama-sama melakukan penyerangan. Mereka masih aktif serta tidak semua diperiksa.

Laporan juga memakai radiogram Kedutaan Besar Amerika di Jakarta kepada Kementrian Luar Negeri di Washington. Mereka juga menulis sejumlah cerita mengenai perdagangan senjata secara ilegal di Jakarta ketika Wamang membeli. Joyo Indonesia News di New York dan Yayasan Pantau di Jakarta mendukung penyusunan laporan ini. Kirksey dan Andreas mendedikasikan laporan untuk almarhum Gordon Bishop, pendiri Joyo Indonesia News di New York. Berikut ini wawancara dengan Andreas Harsono, Jumat siang, di kediamannya.

Oleh Aseanty Pahlevi
Jawa Pos News Network

Ternyata laporan akademik ini cukup bikin heboh?
Saya sebenarnya capek dengan kehebohan ini. Banyak pejabat yang memberi tanggapan tanpa membaca makalah aku. Repotnya wartawan yang bertanya juga tidak membaca. Sehingga menjadi rancu. Laporan ini terbit di jurnal South East Asia Research di London. Ini jurnal akademik, harus langganan, dan memang hanya dibaca oleh pelanggannya saja. Seharusnya awal Agustus, namun telat sehingga terbit 18 Agustus.

- Andreas memperlihatkan laporan akademik sebanyak 33 halaman, dengan catatan kaki sebanyak 147 buah. Laporan ditulis dalam bahasa Inggris. Dia juga memperlihatkan kumpulan berita yang terkait dengan laporan, yang dituliskan di media massa. Kata dia, berita-berita tersebut cenderung menyimpulkan, istilahnya “jumping into conclusion”.

Kesan saya, secara umum kasus ini secara tergesa-gesa ditutup. Baik oleh pemerintah Indonesia dan Amerika. Eben dan aku memperkirakan, kedua pemerintah ingin bisa segera bekerjasama di bidang militer. Sejak referendum Timtim 1999, Amerika menghentikan hubungan militer dengan Indonesia. Namun peristiwa 11 September 2001 dan apa yang disebut Presiden Bush sebagai “perang terhadapi terorisme” plus bom Bali, membuat kedua pemerintah merasa sangat perlu bekerjasama di bidang militer.

Dalam laporan ini diungkapkan, misalnya, kedua pemerintah ingin International Military Education and Training (IMET), Counter Terorrism Fellowship Program (CTFP), dan Foreign Military Finance (FMF) segera dibuka lagi. Kerjasama-kerjasama ini melibatkan jumlah dollar yang cukup besar. Bahkan Indonesia adalah penerima bantuan program anti terorisme terbesar di dunia, lebih tinggi dari Yordania, dan Pakistan. Data Pentagon menyebutkan Indonesia menerima dana sebesar US$6,2 juta, sejak 2002 hingga 2005. Yang terbaru di tahun 2007, Amerika memberikan bantuan US$18,4 juta. Selang beberapa jam setelah Wamang diputus hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pentagon menyebutkan “era baru” kerja militer kedua negara dimulai.

Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh militer Indonesia harus segera diselesaikan, sebab Kongres Amerika tidak bersedia mencairkan bantuan jika masalah-masalah ini tidak dibereskan. Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk menyelesaikan, walaupun dengan mutu asal-asalan. Misalnya, di kasus Timtim, tidak ada satupun perwira TNI yang dihukum. Sama dengan di Timika.

- Dengan laporan ini, seorang senator, Joseph Biden mempertanyakan statmen Rice mengenai penyelesaian kasus Timika. Pasalnya, Rice menyatakan, “although the investigation is not complete, the FBI has uncovered no evidence indicating TNI involvement in the Timika murders.” -

Bisa Anda jelaskan, bagaimana metodologi penulisan laporan?
Kami memakai tiga kategori sumber. Pertama, dokumen-dokumen dari Indonesia. Terutama BAP, hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, peliputan langsung selama jalannya persidangan tujuh tersangka. Kedua, ada juga dokumen dari Amerika, berupa radiogram maupun dokumen-dokumen Pentagon. Ketiga, kami interview lebih dari 50 sumber di Timika, Jayapura, Jakarta, Washington dan lainnya.

Jadi laporan ini disusun dengan cara menganalisa dokumen-dokumen yang ada?
Benar. Tapi tidak semudah itu prosesnya. Satu BAP meliputi pemeriksaan enam tersangka tebalnya saja sekitar 2.500 halaman, ini ada dua buku. Belum lagi dokumen-dokumen dari Amerika. Kami melakukan verifikasi karena banyak informasi simpang siur.

- Andreas memperlihatkan sejumlah dokumen, bersampul kuning bertuliskan Berkas Perkara, dari Bareskrim Direktorat Keamanan dan Transnasional.Beberapa dokumen lainnya berbentuk fotokopi, sebuah buku pedoman kunjungan milik Freeport. Andreas menjelaskan dokumen-dokumen tersebut -terutama dari Amerika- diperoleh berkat bantuan National Security Archive, lembaga swadaya masyarakat di Washington, yang mengumpulkan dokumen-dokumen publik dari pemerintah Amerika dengan memanfaatkan Freedom of Information Act. Sedangkan BAP para tersangka diperoleh dari kuasa hukum mereka Ecoline Situmorang.

Lalu, bagaimana cara menganalisis data yang telah didapat?

Memperoleh data tidak terlalu sulit. Hanya perlu sabar. Lebih sulit pada tahapan menganalisa data. Pertama-tama yang dilakukan membuat kronologi, lalu pemetaan. Banyak keterangan yang berbeda. Yang utama, aku tidak mempercayai semua keterangan saksi begitu saja. Verifikasi satu per satu. Dalam laporan, tidak ada satu pun sumber yang tak disebut namanya. Aku tidak mau menggunakan sumber tanpa nama, karena sumber bisa lempar batu sembunyi tangan. Bisa jadi bumerang buat kami nanti. Beberapa yang minta anonim adalah orang-orang Freeport karena karyawan Freeport tidak boleh memberikan keterangan tanpa izin perusahaan.Tapi aku bisa menerangkan cara kerja dan mereka percaya.

Ada kesulitan dalam menyusun laporan ini?
Aku tidak mengenal Eben sebelumnya. Namun Gordon Bishop mengatakan laporan ini harus dibuat oleh dua orang. Satu dari Amerika dan satu lagi dari Indonesia. Laporan ini harus dikerjakan dari dua sisi. Kami harus menguasai bagaimana mencari dan menggali dokumen di masing-masing daerah. Komunikasi juga hambatan karena jauh. Semua dokumen harus diperiksa oleh aku maupun Eben. Dia di California dan aku di Jakarta. Tempat kejadian jauh di Papua. Kami baru belakangan ketemu. Ini kerja sama yang menyenangkan. Kami menghormati keahlian masing-masing. Eben seorang anthopolog yang menulis thesis bagus soal Papua.

Lalu sejauh mana keterlibatan TNI dalam laporan Anda?
Dalam laporan, yang kami ungkap adalah nama-nama tentara dalam kejadian tersebut dari kesaksian tersangka, saksi dan korban. Misalnya, dari keterangan Wamang; kami menulis soal Sersan Puji, Kapten Hardi Heidi, serta seorang perwira Kopasuss, Sugiono, yang disebut-sebut membantu mencarikan senjata untuk Wamang di Jakarta.

Kapten Hardi membawa senjata dari Jakarta ke Surabaya, kemudian dikirim ke Timika via pelabuhan Tanjung Perak. Namun apesnya, Wamang ditipu. Senjata-senjata yang dibeli tersebut tidak pernah dikirimkan ke Timika. Uang setengah miliar milik Wamang pun lenyap.Dia hanya membawa peluru dari Sersan Puji.

Lalu, dari informasi Decky Murib, seorang informan militer di Timika, kami menyebut nama Kapten Margus Arifin, Lettu Wawan Suwandi, Sertu I Wayan Suradnya, dan Pratu Jufri Uswanas. Mereka bersama tiga tentara lainnya mengajak Murib menuju mile 63. Decky Murib dan empat tentara lainnya menunggu di mile 62.

Sebagian dari mereka adalah anggota Yonif 515 Kostrad dari Tanggul, Jember, yang saat itu ditugaskan di Timika. Sedangkan Margus adalah anggota Kopassus. Dalam kesaksiannya, Murib mengatakan; “Seharusnya Kapten Margus ada di Bandung.”

Lalu, dengan nama-nama tersebut, dapat dipastikan TNI terlibat?
Kami tidak menyebut lembaga TNI terlibat. Pertanyaannya, mengapa orang-orang ini tidak pernah dihadirkan dalam pengadilan? Padahal hasil penyidikan Polda Papua dan Puslabfor Bareskrim Polri, mengarah kepada senjata dan anggota TNI. Kapolda Papua (saat itu) I Gede Mangku Pastika (sekarang Gubernur Bali) pernah mengatakan kepada Brigjen M Yasin (saat itu Deputi Menkopolkam), “Mas, negara ini kan punya kita semua. Kalau demi bangsa dan negara, ya kasih tahu dulu, supaya kita tidak repot semua.”

Pembicaraan ini terjadi di Polres Timika saat mereka bertemu pasca penembakan. Saul Tahapary, seorang purnawirawan polisi dan konsultan Freeport, mendengarkan percakapan dan memberitahu aku. Maknanya, Polda Papua kuatir pembunuhan itu memang melibatkan banyak tentara.

Fakta lainnya?
Ditemukan pecahan dan selongsong peluru, sebanyak 208 butir. Dari Puslabfor Bareskrim Polri, diketahui selongsong tersebut berasal dari 13 pucuk senapan jenis M16, SS1 dan Mauser. Mungkin bahkan lebih dari 13 senjata mengingat lokasi kejadian berupa jalan pinggir jurang. Padahal Wamang hanya punya tiga senapan.

Fakta lainnya, adalah orang yang dikatakan ditembak oleh anggota Kostrad Yonif 515, Koptu Wayan Ardana, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Mr X. Ternyata dia bukan salah satu anak buah Wamang. Identitas Mr X disebutkan adalah Elias Kwalik. Belakangan mayat tersebut dikenal oleh penduduk kampung sebagai Deminus Waker. Hasil visum rumah sakit Tembagapura, waktu kematian Mr X, lebih awal dari tanggal kejadian penembakan. Sekitar 24 hingga 36 jam.

Dari print out radiogram Kedubes Amerika di Jakarta kepada Kementerian Luar Negeri Amerika, menyebutkan Menkopolkam (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono, menghadiri beberapa pertemuan soal Timika dengan Dutabesar Amerika Ralph Boyce. SBY melakukan “koordinasi” antara TNI dan Polda Papua, agar temuan polisi tidak kontroversial. Buntutnya, independensi polisi Papua dan sebenarnya, juga FBI, dikompromikan. Pihak Indonesia oleh SBY. Pihak FBI oleh Jaksa Agung John Ashcroft dan Direktur FBI Robert Mueller. Mereka seharusnya mendorong kedua polisi bekerja maksimal. Bukan cepat-cepat ditutup agar kerja sama militer bisa segera dibuka.

Tujuan dari pelaporan Anda sendiri apa?
Aku cuma wartawan. Tugasku melaporkan kebenaran sebisaku, sedekat mungkin. Bisa baik, bisa buruk. Kadang menyenangkan orang, kadang bikin sakit hati. Biar warga yang memutuskan sendiri. Tugas wartawan memang hanya jadi pembawa pesan. Terserah pembaca untuk mengambil sikap. (*)

Wednesday, August 20, 2008

Criminal Collaborations di Timika


Reverend Isak Onawame, a Timika church leader known for his human rights work, entered the Central Jakarta district court. Onawame helped FBI investigators to meet Papuan guerilla fighter Antonius Wamang in December 2003 and March 2004 at Hotel Sheraton Timika over the Freeport killing. But Onawame and his two church workers were also arrested and sentenced to imprisonment. He now stays in the Cipinang prison in Jakarta.
Photo by Andreas Harsono

Pagi ini saya baru tahu bahwa ada lebih dari selusin media nasional dan internasional mengutip makalah S. Eben Kirksey dan saya, Criminal Collaborations?" soal dugaan keterlibatan militer Indonesia dalam pembunuhan di Timika pada 31 Agustus 2002.

Beritanya muncul di situs harian Kompas, Koran Tempo, AFP, Channel Nine, BBC Indonesia, Radio Hilversum, harian Belanda AD, Radio Australia, harian The Age (Melbourne) dan sebagainya. Saya senang makalah itu menarik perhatian orang.

Tapi saya kurang happy ketika tahu makalah itu dipetik sepotong-sepotong. Saya duga wartawan yang menulis berita-berita itu belum membaca Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika. Dalam makalah, kami menyebut lebih dari selusin nama --tentara, polisi maupun politisi-- yang disebut-sebut dalam keterangan saksi-saksi maupun dalam sidang pengadilan. Namun pengadilan negeri Jakarta Pusat tak memanggil orang-orang itu.

Harap maklum. Jurnal South East Asia Research tak menaruh makalah itu dalam situs mereka. Jurnal ini memang untuk langganan. Saya juga tahu wartawan terbatas waktu kerjanya sehingga kesempatan membaca makalah puluhan halaman jadi sempit.

Kirksey dan saya sepakat dengan SEAR bahwa kami takkan memuat makalah dalam blog kami hingga enam bulan sesudah penerbitannya 18 Agustus 2008. Artinya, kami baru bisa menaruhnya dalam blog pada 18 Februari 2009. Namun saya menawarkan kepada wartawan yang masih hendak membaca makalah itu untuk menghubungi saya via email pribadi. Saya akan kirimkan makalah tersebut kepada siapa pun yang memerlukannya.

Update Juli 2009: Download Gratis
Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika

TNI Tidak Terlibat Insiden Timika

Rizky Andriati Pohan

Pemerintah Amerika belum memberikan fakta lain terkait insiden itu.

JURNAL NASIONAL - Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memastikan TNI tidak terlibat dalam kasus penyerangan terhadap konvoi bus karyawan PT Freeport di Timika, Papua pada 2002. Insiden ini menewaskan dua warga negara Amerika Serikat (AS). Pernyataan keterlibatan TNI ini sempat diungkapkan di jurnal South East Asia Research edisi bulan lalu.

"Saya tidak tahu fakta ini versi siapa," kata Hassan usai menghadiri acara Foreign Policy Briefing dalam rangka memperingati hari ulang tahun Departemen Luar Negeri di Jakarta, Kamis (19/8). Lebih lanjut Hassan meyakinkan, Pemerintah Amerika tidak pernah mengungkapkan fakta tersebut kepada Indonesia. Malah menurutnya, Amerika cukup puas dengan proses penyelidikan yang dilakukan polisi Indonesia serta mengundang Biro Penyelidik Federal (FBI).

"Yang jelas dengan keterbukaan kita, khususnya proses penyelidikan oleh Polri yang juga mengundang tim FBI. Kita saksikan pemerintah Amerika cukup puas dengan proses itu sendiri. Ada apresiasi besar dari Amerika," katanya.

Amerika juga puas dengan hasil akhir penyelidikan yang pada ujungnya menemukan kesalahan dan tanggung jawab kasus ini pada pihak-pihak di dalam negeri. "Hasil akhir penyelidikan ini bukan seperti fakta yang dikatakan sekarang yang menuduh TNI yang bertanggung jawab," kataya.

Hassan mengatakan sebenarnya kasus ini sudah diselesaikan sejak beberapa waktu lalu. Dengan merebaknya isu ini kembali, dia menduga, ada pihak yang ingin memanaskan masalah ini. "Masalah ini sebagai kasus sudah ditutup buku. Mungkin saja ada pihak-pihak yang mencoba menghidup-hidupkan kembali," katanya.

Di tempat berbeda, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso menyatakan, proses hukum atas kasus penyerangan di Timika, Papua, 31 Agustus 2002, telah selesai dan berkekuatan hukum tetap.

"Masalah itu sudah diselesaikan dan pelakunya sudah dihukum," katanya, usai menerima Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, Selasa (19/8). Meski begitu, Mabes TNI akan meneliti kebenaran laporan jurnal itu.

"Kita pelajari, kita nilai sejauh mana berita itu kebenarannya," katanya seperti dikutip Antara. Insiden itu menewaskan dua warga negara Amerika Serikat (AS), Ted Burcon dan Rickey Lean Spear itu. Dalam tulisannya, jurnal itu menyatakan menemukan bukti baru tentang sejumlah orang yang diduga mengotaki kasus penembakan terhadap korban.

Bahkan di dalamnya disebutkan adanya seseorang yang disebut memiliki hubungan dekat dengan TNI dan membantu pemimpin Organisasi Papua Merdeka Antonius Wamang, menyiapkan penyeranga di Mil 62 Tembagapura, Papua.

Kejadian ini dimulai dari serombongan staf PT Freeport Indonesia termasuk guru sekolah yang menumpang sebuah bis. Di Mil 62, rombongan ini diserang sekelompok orang bersenjata. Selain dua guru asal AS itu, warga negara Indonesia FX Bambang Riwanto, turut tewas. Proses penyidikan melibatkan Biro Penyelidik Federal AS (FBI) yang ujungnya membawa Antonius Wamang sebagai tersangka.

Tuesday, August 19, 2008

Indonesia dan Amerika Sama-Sama "Bermain" di Timika

Radio Netherlands Siaran Indonesia


Temuan-temuan baru terkuak dalam kasus penembakan karyawan Freeport McMoran di Timika tahun 2002. Insiden itu menewaskan dua guru Amerika dan seorang warga Indonesia. Temuan baru itu berupa keterlibatan militer dalam kasus penembakan tersebut. Padahal selama ini Antonius Wamang merupakan terdakwa utama dan telah diganjar penjara seumur hidup di tahun 2006. Apa saja temuan itu dan apa maknanya bagi kelanjutan kasus tersebut? Ikuti wawancara Radio Nederland dengan Andreas Harsono, yang berhasil menemukan bukti-bukti lain kasus tersebut.

Andreas Harsono [AH]: Maknanya kira-kira menunjukan bahwa pengadilan dan penghukuman Antonius Wanang dan kawan-kawan tidak berarti bahwa kasus ini sudah selesai. Laporan kami itu menunjukan ada kejanggalan-kejanggalan terhadap pengadilan Wamang. Di dalam pengadilan jaksa maupun polisi mengatakan Wamang dan kawan-kawan hanya punya tiga senapan. Satu M16, satu SS 1 dan satu mauser dan peluru mereka maksimal hanya 180 butir.

Namun di lokasi kejadian ditemukan 208 selongsong peluru maupun pecahan peluru ya. Artinya ada senapan lain di balik tiga senapan yang dimiliki oleh Wamang dan kawan-kawan. Dari hasil pemeriksaan polisi yang juga dikatakan di pengadilan total 208 selongsong tersebut berasal dari 13 pucuk senapan. Padahal jaksa mengatakan Wamang hanya punya tiga senapan, tetapi selongsongnya menyatakan ada 13 senapan. Jadi 10 itu milik siapa?

Nah itu suatu pertanyaan yang tidak dikejar lebih jauh di pengadilan. Orang bisa mengatakan itu dari peluru Kostrad 515 yang datang di tempat kejadian dan sempat terjadi tembak menembak. Tetapi tetap ada pertanyaan, tembaknya ke arah mana, ke arah mobil? ke arah Wamang? Wamang katanya berada di balik gunung kalau gitu harusnya kan tembaknya ke arah gunung, bukan ke dalam mobil. Nah, hal-hal begini yang kami pertanyakan, selain itu misalnya soal rekonstruksi.

Indonesian Armed Forces Accused of Timika Attack

TEMPO Interactive, Jakarta:

The Indonesian Armed forces has been accused of involvement in the assault against a PT Freeport employee bus convoy in Timika, Papua, back in 2002. The accusation was exposed in last month’s edition of the South East Asia Research journal.

“We found not just one mastermind behind this action, but many,” American anthropologist, S. Eben Kirksey and journalist Andreas Harsono wrote in the journal.

Antonius Wamang, one the leaders of the Papua Armed Forces, a member of the Free Papua Organization (OPM), was charged with masterminding the attack that killed two American teachers. Wamang was sentenced for life
following a trial.

The journal revealed the involvement of someone who was connected within the army and helped Wamang to prepare the attack. “This person told Wamang to purchase the weapons for the attack, in Jakarta”, said Andreas,
as quoted by the AFP.

The chief of the Indonesia Armed Forces Headquarters’ Information Center, Air Marshall Sagom Tamboen urged the matter to be followed up if there is evidence. “But if the findings are linked to the recent American Congress declaration, we can regard this as a series of interventions on Indonesian’s internal affairs,” he said.
TITIS SETIANINGTYAS

TNI dituduh berada di belakang serangan Freeport 2002

Laporan baru mengenai serangan dalam tahun 2002 di tambang emas Freeport Papua yang menewaskan dua orang guru warga Amerika dan seorang warga Indonesia menyatakan bahwa TNI berdiri di belakang serangan itu.

Artikel tulisan ahli antropologi Amerika, S Eben Kirksey, dan jurnalis Andreas Harsono itu dimuat dalam jurnal South East Asia Research.

Didasarkan pada dokumen-dokumen dari pengadilan dan Departemen Luar Negeri Amerika beserta wawancara, laporan itu menyimpulkan bahwa tentara dan orang-orang yang berkaitan dengan TNI memanipulasi dan membantu mempersenjatai anggota separatis Papua, Antonius Wamang, yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di tahun 2006 karena memimpin serangan tadi.

Laporan itu menyebutkan, oknum2 TNI menyulut kekerasan untuk meyakinkan Freeport agar terus membayar jutaan dollar setiap tahunnya kepada militer untuk menjaga operasinya.
Radio Australia

Panglima TNI: Kasus Timika Sudah Selesai

Jakarta (ANTARA News) - Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso menyatakan, proses hukum atas kasus penyerangan di Timika, Papua pada 31 Agustus 2002, telah selesai dan berkekuatan hukum tetap.

"Masalah itu sudah diselesaikan dan pelakunya sudah dihukum," katanya, usai menerima Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, Selasa, menanggapi laporan jurnal South East Asia Research bulan lalu yang menyatakan TNI terlibat dalam kasus itu.

Meski begitu, tambah Panglima TNI, pihaknya akan meneliti kebenaran dari laporan jurnal tersebut. "Kita pelajari, kita nilai sejauh mana berita itu kebenarannya," katanya.

Seperti dilansir Kantor Berita Perancis AFP, Jurnal South East Asia Research edisi bulan lalu menyatakan tidak menemukan dalang tunggal dalam kasus penembakan yang menewaskan dua warga negara Amerika Serikat (AS) tersebut.

Jurnal itu malah menemukan bukti baru tentang sejumlah orang yang diduga mengotaki kasus penembakan terhadap korban. Bahkan jurnal tersebut menyebutkan adanya seseorang yang disebut memiliki hubungan dekat dengan TNI dan membantu pimpinan Tentara Papua Nasional, Antonius Wamang, menyiapkan penyerangan.

Orang tersebut bahkan disebut menyarankan Antonius untuk membeli senjata di Jakarta dan menggunakannya untuk menyerang.

Hasil pengungkapan kasus yang melibatkan FBI itu, menetapkan Antonius sebagai dalang tunggal dalam insiden tersebut dan pengadilan menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap terdakwa. (*)

COPYRIGHT © 2008 ANTARA
PubDate: 19/08/08 15:02

Menlu: TNI Tak Terlibat Penyerangan Timika


KOMPAS, Jakarta - Tentara Nasional Indonesia (TNI) dituduh terlibat dalam penyerangan terhadap konvoi bus karyawan PT Freeport di Timika, Papua pada 2002. Tuduhan yang terungkap dalam jurnal South East Asia Research edisi bulan lalu itu dibantah Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirajuda.

Seperti diberitakan, peristiwa tersebut menewaskan dua guru berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS). Salah satu pemimpin Tentara Papua Nasional, bagian dari Organisasi Papua Merdeka yakni Antonius Wamang dituduh sebagai dalang tunggal dan kini menjalani hukuman seumur hidup.

"Saya tidak tahu fakta yang terungkap dalam jurnal itu versi siapa, tapi yang saya tahu dari pihak AS tidak ada ungkapan dan tuduhan seperti itu," kata Menlu seusai acara Ultah Deplu RI di Gedung Deplu, Pejambon, Jakata, Selasa (19/8).

Ia menegaskan dengan keterbukaan dalam proses penyelidikan Polri yang juga mengundang FBI, pemerintah AS cukup puas dengan proses hukum tersebut. "Masalah ini sebagai kasus sudah ditutup buku, mungkin ada pihak-pihak tertentu yang ingin menghidupkan kembali. Saya mendengar sendiri dari pihak AS sudah puas dengan proses yang sangat terbuka dengan pihak kita dan hasil akhirnya juga mereka terima," kata Menlu.

Dalam jurnal yang dituls antropolog AS, S Eben Kirksey, dan wartawan Andreas Harsono itu mengungkap keterlibatan seorang yang memiliki hubungan dengan tentara dan membantu Wamang menyiapkan penyerangan. MYS

TNI Dituduh Terlibat Penyerangan Timika

Koran Tempo - Indonesia dituding terlibat dalam penyerangan terhadap konvoi bus karyawan PT Freeportdi Timika, Papua, pada2002. Tuduhan itu terungkap dalam jurnal South East Asia Research edisi bulan lalu.“Kami tidak menemukanbukti tentang dalang tunggal. Sebaliknya, malah menemukan sejumlah pelaku yang mengotaki penyerangan ini,” demikian ditulis antropolog Amerika, S. Eben Kirksey, dan wartawan Andreas Harsono.

Dalam serangan yang menewaskan dua guru berkewarganegaraan Amerika itu, Antonius Wamang, salah satu pemimpin Tentara Papua Nasional, bagian dari Organisasi Papua Merdeka, dituduh sebagai dalang tunggal. Wamang kini menjalani hukuman seumur hidup.

Jurnal itu mengungkap keterlibatan seorang yang memiliki hubungan dengan tentara dan membantu Wamang menyiapkan penyerangan. “Dia telah mengusulkan kepada Wamang untuk membeli senjata di Jakarta dan menggunakannya untuk menyerang,” kata Andreas seperti dikutip AFP.

Kepala Pusat PeneranganMarkas Besar TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen mempersilakan untuk melanjutkan temuan jika memang ada. “Kalau temuan ini terkait dengan surat Kongres Amerika kemarin, bisa dikatakan ini rangkaian intervensi terhadap masalah dalam negeri Indonesia,” ujarnya. TITIS SETIANINGTYAS

Monday, August 18, 2008

Leger betrokken bij schietpartij Freeport

Door HILDE JANSSEN

JAKARTA - Indonesische militairen blijken betrokken bij een schietpartij in Papoea in 2002 waarbij twee Amerikaanse docenten werden gedood, aldus een recente studie. FBI en andere VS officials negeerden gemakshalve belastend bewijsmateriaal.

De 27-jarige Papoea politicus Agus Anggaibak uit Timika vormt de ‘vergeten’ cruciale schakel tussen de Indonesische militairen en de schietpartij bij de goudmijn Freeport.

Dat claimen de Amerikaanse antropoloog Eben Kirksey en de Indonesische onderzoeksjournalist Andreas Harsono in een net verschenen studie in het wetenschappelijk tijdschrift SEAR. Ze spreken van ‘criminele collaboratie’. ‘Maar senior medewerkers van Bush, waaronder Condoleeza Rice, hebben bewijzen van betrokkenheid van Indonesische militairen bij de moord van Amerikaanse staatsburgers verdoezeld,; stelt Kirksey.

De politicus Anggaibak zou geholpen hebben bij het plannen van de overval op 31 augustus 2002. Die dag werd een groep Amerikaanse en Indonesische docenten van de Freeport goudmijn in hun auto’s beschoten op het Freeport terrein. Twee Amerikanen en een Indonesiër werden op slag gedood.

Indonesische militairen, die met 3000 manschappen de goudmijn beveiligen, werden van meet af aan verdacht door zowel politie als FBI onderzoek. Ze vonden ruim 200 kogels afkomstig uit 13 verschillende geweren, waarvan een groot deel van militaire troepen bleek te zijn. De Papoea onafhankelijkheidsstrijder Antonius Wamang die later schuld bekende aan de aanval op wat hij dacht Indonesische militairen, bleek slechts 3 geweren te bezitten.

Zijn getuigenis evenals dat van Amerikaanse docenten en Freeport medewerkers wees op het bestaan van een ‘tweede groep schutters’, vermoedelijk militairen. Die militairen hadden De militairen hadden reden genoeg om mee te werken aan een ‘overval’ op Freeport, stelt Harsono. Ze wilden zo goed betaalde militaire beveiliging afdwingen, die Freeport dreigde te staken. Uiteindelijk werden alleen Wamang en zes ‘handlangers’ veroordeeld.

‘De FBI is halverwege van mening veranderd. Gemakshalve hebben ze bewijsmateriaal genegeerd,’ constateert Harsono na twee jaar intensief onderzoek. In de oorlog tegen terrorisme na ‘9/11’ wilde Bush maar al te graag samenwerken met de Indonesische militairen. In zo’n politiek klimaat had de FBI geen behoefte om zijn kritische vragen te stellen.

Sleutelfiguur Agus Anggaibak werd niet eens verhoord, ook al claimen Wamang en andere getuigen dat Anggaibak ‘het geld, de militaire contacten en de wapens heeft geregeld’. Anggaibak zelf ontkent dat, hoewel hij contacten zegt te hebben met de veiligheidsdienst en met Wamang.

Op de dag dat Wamang werd veroordeeld tot levenslang, tekende de Verenigde Staten een nieuw militair samenwerkingsverband met Indonesië. Dat levert de militairen 19 miljoen dollar op.

Sunday, August 17, 2008

Indonesia linked to teacher deaths

Tom Hyland
The Age

NEW evidence has emerged linking the Indonesian military to the 2002 murder of two American teachers and an Indonesian colleague in a remote region of Papua, according to research by a US academic and an Indonesian investigative journalist.

"Credible sources link Indonesian intelligence agents to the planning of this attack," said Eben Kirksey, an anthropologist at the University of California, who co-wrote a new report on the killing with journalist Andreas Harsono.

Teachers Ricky Spier, Ted Burgon and Bambang Riwanto were shot dead and five others wounded in an ambush near the giant Freeport gold and copper mine on August 31, 2002.

Pro-independence guerillas were blamed, but human rights groups have long accused the Indonesian military of involvement in the attack.

The new allegations will be published in a report in a British academic journal tomorrow, drawing on what the authors say are more than 2000 pages of Indonesian court documents, recently declassified US State Department cables, and more than 50 interviews.

Dr Kirksey said senior US officials, including Secretary of State Condoleezza Rice, had helped cover up evidence of military involvement, while the FBI had failed to bring the case to a definitive resolution.

The US was keen to have the case resolved so it could resume defence co-operation with the Indonesian armed forces as part of the war on terrorism.

A possible motive for military involvement in the attack was to convince the Freeport mine's owners of the need to continue to pay for security. Seven men were sentenced over the killings, including alleged ringleader Antonius Wamang, a guerilla fighter in Papua's independence movement, who received a life term.

Military involvement was not seriously considered at the trial, which was a sham, said Mr Harsono, the journalist.

The researchers quote "reliable sources" saying Agus Anggaibak, a 27-year old member of the regional parliament, helped plan the ambush and facilitated contacts between the shooters and military agents.

In an interview with the authors, Mr Anggaibak admitted to links with Indonesia's intelligence agency, BIN, but denied any involvement in the attack. He also admitted to meeting Mr Wamang.

The report will appear in the journal South East Asia Research.

Monday, August 11, 2008

Oversmiling dari Agus Suwage


Sesudah menyimpan lukisan "Oversmiling" selama enam tahun, dengan berat hati, akhirnya aku menjual lukisan ini. Lukisan ini karya Agus Suwage. Ia pernah dipakai sebagai kulit muka majalah Pantau edisi Maret 2001.

Kami memerlukan uang untuk membayar tunjangan hari raya untuk karyawan Yayasan Pantau. Aku juga harus membayar utangku kepada Pantau. Aku serahkan lukisan ini ke sebuah balai lelang lukisan. Mereka yang mengatur penjualannya.

Suwage menggambarkan suasana di Pulau Jawa pasca Soeharto. Ada euphoria terhadap kebebasan sipil sesudah diktator itu dipaksa mundur. Tapi Suwage kuatir kita tertawa berlebihan ... oversmiling. Aku kira Suwage benar. Soeharto sudah minggir tapi sistem yang dia tinggalkan, lengkap dengan orang-orangnya, belum berubah.