Wednesday, December 31, 2008

Dari Cemorolawang Memandang Bromo


NORMAN, Sapariah dan aku berlibur akhir tahun di Cemorolawang guna mendaki Gunung Bromo. Kami naik kereta api Mutiara Timur dari Jember ke Probolinggo. Seorang sopir dan keneknya menjemput kami di stasiun Probolinggo. Kami naik mobil Isuzu besar dari Probolinggo, Sukapura, Ngadisari hingga Cemorolawang. Jarak Probolinggo hingga Cemorolawang sekitar 55 KM.

Kami menginap di Hotel Cemoro Indah Rp 600,000 semalam. Kamarnya sederhana. Namun pemandangan dari jendela kamar luar biasa. Kami langsung melihat Gunung Bromo dan Gunung Batok. Malam hari, Norman sempat batuk dan susah tidur karena kasurnya kurang bersih. Norman punya asma. Dia sangat peka terhadap debu. Aku duga mereka kurang rajin menjemur kasur springbed serta selimutnya. Namun kamar kami menyediakan air panas. Ini penting mengingat kawasan Tengger cukup dingin. Suhu berkisar 5-18 Celcius. Kami datang saat musim hujan dimana suhu kurang begitu dingin. Angin juga kurang kencang. Suhunya sejuk saja.

Norman dan aku di Cemorolawang, petang hari, menjelang makan malam. Cemorolawang terletak 2.5 KM dari Gunung Bromo. Ia dusun terdekat ke Bromo bila ditempuh dari Probolinggo. Kawasan Tengger adalah daerah Hindu di Pulau Jawa. Para warga Tengger, sekitar 6,000 orang, berpendapat moyang mereka adalah orang-orang Hindu Majapahit yang lari dari serbuan kerajaan Islam Demak. Kata "Bromo" asalnya dari "Brahmana." Artinya, pendeta atau kaum suci dalam agama Hindu. Kata "Tengger" dari Roro Anteng dan Joko Tengger. Pasangan ini dipercaya sebagai nenek moyang kaum Tengger. Bromo gunung api yang aktif, menyemburkan asap belerang setiap hari. Pemandangan dari Cemorolawang sangat menakjubkan.

Sapariah menyukai pengalaman naik kuda di Lautan Pasir. Menurut hipotesa geologist Belanda B.G. Escher, sekitar sejuta tahun lalu Gunung Tengger terbentuk dengan dua puncak gunung. Ia gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 4,000 meter. Ia meledak beberapa kali sehingga terciptalah Kaldera Tengger dengan beberapa anak gunung: Watangan (2601 meter), Widodaren (2614), Kursi (2581), Batok (2440) dan Bromo (2392). Luas kaldera ini 5,250 hektar. Garis terpanjang 8 KM dan terpendek 6 KM. Semua gunung ini dihubungkan oleh lautan pasir. Ia sangat cepat menyerap air. Ada setidaknya 50 sungai bermata air dari kawasan Segara Wedi. Kaldera ini sangat penting sebagai sumber air di kawasan Jawa Timur.

Norman merasa "excited" naik kuda dari Cemorolawang ke Gunung Bromo. Dia masih dituntun oleh tukang kuda, seorang petani Tengger. Kami membayar Rp 250,000 untuk dua ekor kuda, pergi-pulang Cemorolawang-Bromo. Seekor kuda sewanya Rp 125,000. Si petani dapat Rp 40,000. Dia membayarkan sisanya untuk perantara Rp 25,000 serta si pemilik kuda Rp 60,000. Sekitar Rp 15,000 dipakainya untuk makanan kuda. Kawasan Tengger adalah daerah tertutup. Mereka tak mengizinkan orang luar membeli tanah. Norman minta diajak ke Tengger lagi dalam liburan yang akan datang.

Norman suka memakai tutup kepala dan syal yang dibelinya di Cemorolawang. Katanya, mirip "assasin" apalagi kalau pakai menempel dinding dan pagar rumah. Dia sedang pura-pura menjadi seorang "assasin," katanya. Kami main-main depan kamar kami di Hotel Cemoro Indah. Pemandangan dari jendela kamar ini langsung menghadap Gunung Bromo dan Gunung Batok.

Reuni SMPK Maria Fatima Jember


Maria Retno Susanti (batik coklat) serta Lie Pey Sian (baju putih), Tjioe Lan Sian (baju abu-abu), Sioe Gim (baju putih totol hitam), Tek Hoo (baju kotak-kotak) dan Inge Surjono (berkacamata, ujung kanan), menghadiri reuni SMPK Maria Fatima di Jember.
-- Foto oleh Sapariah Saturi-Harsono


ADA suatu kejutan yang menyenangkan ketika aku datang dalam acara reuni SMPK Maria Fatima di Jember pada 26 Desember. Sesudah tidak bertemu selama 27 tahun, aku bertemu dengan beberapa teman lama, kawan-kawan ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. It was a very nice surprise indeed.

Mulanya, aku ditelepon oleh Suster Theresella Karti, kepala sekolah SMPK Maria Fatima, yang kebetulan membaca naskah aku, "Hoakiao dari Jember." Aku ada menyebut sekolah ini. Kami jadi sering bicara via telepon hingga bulan November lalu ketika Suster Theresella mengundang aku datang dalam reuni.

Sekolah ini didirikan pada 1 Juli 1952 oleh organisasi Katolik Santa Perawan Maria dari Probolinggo. Dalam buku Catholics in Indonesia 1808-1942, Karel Steenbrink menulis bahwa organisasi suster-suster ini dibentuk mulanya di Amerfoort, Belanda, pada 1822. Namanya, Zusters van Onze Lieve Vrouw van Amersfoort. Mereka bergerak di bidang pendidikan. 

Pada 1926, mereka mendirikan cabang di Probolinggo. Mereka banyak melakukan misi pendidikan Katholik di Pulau Jawa. Kebanyakan siswa mereka di Jawa adalah anak-anak Tionghoa. 

Mereka kini memiliki Perkumpulan Dharma Putri di Surabaya, yang mengelola 49 sekolah Katholik di beberapa kota Indonesia. 

Di Jember, sekolahku kadang disebut "SMP Putri" karena dulu murid-muridnya hanya perempuan. Sejak zaman aku sekolah, murid lelaki dan perempuan separuh-separuh. Menurut Suster Theresella, kini sekitar separuh muridnya beragama Katholik dan sekitar 75 persen orang Tionghoa.

Aku sekolah disini antara 1977 dan 1981. Ketika duduk di kelas satu, aku sekolah selama 1.5 tahun. Periodenya memang diperpanjang setengah tahun oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan Daoed Joesoef guna menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan internasional. Dulu tahun ajaran dimulai Januari dan selesai Desember. Joesoef membuatnya macam sistem internasional dimana tahun ajaran sekolah dimulai pada bulan Juli. Jadinya, aku sekolah 3.5 tahun di SMPK Maria Fatima.

Aku mengajak isteriku, Sapariah, dan anak kami, Norman, ikut hadir dalam reuni. Acaranya ramai. Ada pertunjukan tari, musik, band maupun khotbah dari Andreas Yudhi Wiyadi O. Carm, pastor Gereja Santo Yusuf. Romo Yudhi khotbah Natal. Pidato-pidato bikin Norman segera jadi bosan.

Tjioe Lan Sian, ketika melihatku, menyapa, “Kamu Ong Tjie Liang ya?”

Dalam reuni ini, memang teman-teman dari zaman sekolah dasar, SDK Maria Fatima, mengenal aku sebagai “Ong Tjie Liang.” 

Aku mendapatkan identitas “Andreas Harsono” ketika hendak lulus sekolah dasar pada 1976. Ini warisan kebijakan "asimilasi" Orde Baru dimana orang-orang Tionghoa dipaksa melepaskan identitas ketionghoaannya dan dipaksa “ganti nama.” 

Aturan ini antara lain didorong oleh pemikiran sebagian orang Tionghoa sendiri macam Harry Tjan Silalahi, P.K. Ojong, Arief Budiman dan sebagainya. Aku pribadi tak setuju orang dipaksa diganti namanya. Tapi aku masih kecil dan tak mengerti duduk persoalan. Kini sesudah dewasa, aku anggap aku bukan mengganti identitas, namun menambah identitas.

Lan Sian, tentu saja, mengingatku sebagai Liang. Sebaliknya, aku tak mengenal “Lanny Chandra” –nama baru Tjioe Lan Sian. Kami semua masih memanggil nama-nama dengan nama Tionghoa kami. Tjioe Lan Sian kini bekerja di Bank Mega di Surabaya. 

Aku kaget sekali melihat Lan Sian. She does not change much. Secara fisik, dia masih kurus dan baru melahirkan anak satu-satunya. Kalau ada perubahan, mungkin Lan Sian sekarang lebih ramai. Dulu Lan Sian termasuk pendiam. Rambutnya dulu kuning, kini menjadi hitam.

Tek Hoo alias Teguh Anggara kini bekerja di sebuah perusahaan konstruksi di Surabaya. Orangnya ramai. Rambutnya mulai menipis. Tek Hoo dulu suka main sepak bola. Dia salah satu penyerang kami. Sepak bola adalah kegiatan rutin murid-murid lelaki. Orang tua Tek Hoo juga teman orang tuaku.

Maria Retno Susanti sekarang bekerja sebagai guru SDN Kedung Jati II di daerah Kabuh, Jombang. Dulu Retno seorang gadis pendiam. Dia bekerja di tempat yang relatif jauh dari keramaian. Dalam acara reuni, Retno datang awal dan duduk bersama Liem Yek Ming. Kalau Retno baru pindah ke Jember saat SMP, Yek Ming sudah satu sekolahan dengan aku sejak sekolah dasar. Yek Ming kini membantu orang tuanya menjalankan sebuah warung ayam goreng di daerah Tembakan, Jember. Orang tua kami berteman lama. Sama-sama orang Jember.

Banyak cerita kami tukar. Pasangan Inge Surjono dan Sioe Gim lantas mengajak kami makan ayam goreng di tempat Yek Ming. Inge melanjutkan usaha ayahnya di Jember. Sioe Gim asal Banyuwangi. Dia sekolah di SMAK Santo Paulus Jember. Aku baru kenal Sioe Gim malam ini. Suaminya, Inge Surjono, teman sekolah dasar aku. Kami juga cerita-cerita beberapa kawan kami yang sudah meninggal dunia. Ada juga yang belum menikah. Ada yang sedikit mengalami sakit ingatan. Ada yang pindah ke kota ini atau kota itu. Kerja ini atau kerja itu. Kebanyakan kerja di sektor swasta. Namun mereka rata-rata tak pernah menyangka aku akan bekerja sebagai wartawan.

Yong Djiang alias Widodo Susanto penampilan masih gagah macam zaman dulu. Aku sudah gendut sekali. Yong Djiang badannya bagus. Dia cerita tokonya ikut terendam lumpur Lapindo di Sidoarjo. Yong Djiang dulu suka jadi goal keeper ketika kami masih sekolah. Dia mengatakan malam sebelum tokonya terendam, dia masih melekan di daerah korban Lapindo, bagi-bagi makanan. Dini hari, ternyata lumpur mendekati tokonya, yang terletak di jalan besar Sidoarjo. Dia berusaha memindahkan barang-barang dagangan saniter. 

“Delapan puluh persen bisa dipindah,” kata Yong Djiang.

Lie Pey Sian alias Paulina Sieny Liettezia adalah teman sebangku ketika kelas satu. Kami dulu sering tak saling sapa. Entah kenapa aku lupa. Mungkin anak kecil. Sekali bergurau, besok tak saling tegur. Tek Hoo mengingatku sebagai "anak nakal." Lan Sian mengatakan aku ini "pendiam tapi nakal." Dia berpendapat aku masih tetap "serius" macam dulu. Pey Sian kini bekerja di sebuah perusahaan asuransi Surabaya. Keluarganya memiliki toko jam Rado di Jember.

Sapariah memahami sekali betapa gembiranya aku bertemu dengan orang-orang dari masa laluku. Namun Norman minta diantar pulang lebih dulu. Mereka naik becak, pulang ke rumah keluarga besar kami di daerah Drayer. Norman suka sekali naik becak. Sapariah sering tak tega pada tukang becaknya. Dia membayar ongkos tiga kali lipat lebih mahal!

Reuni ini mendorong nomor-nomor telepon bertukar. Bambang Sutjipto, seorang sahabat lama, datang ke rumah dua hari sesudah reuni. 

Bambang dulu pemain bola belakang tangguh alias back. Kakinya keras sekali. Bambang juga jagoan lukis kami. Dia juga terkenal suka otak-atik sepeda motor. Kini Bambang membuka bengkel mobil di Jember. Aku bahagia sekali bertemu Bambang. Sejak dulu aku kagum pada kesederhanaan dan kelurusan hati Bambang.

Di Tunjungan Plaza, aku kebetulan bertemu dengan Sunarjo Tirtodjojo (berkacamata) dan Moeliani Tedjo Sukmana (kanan). Mereka sudah memiliki dua anak lelaki, sama-sama sudah duduk di bangku sekolah menengah atas.
-- Foto oleh Sapariah Saturi-Harsono

Lantas di Surabaya, ketika makan malam dengan Sapariah di restoran 369, Tunjungan Plaza, kami kebetulan bertemu dengan Sunarjo Tirtodjojo dan Moeliani Tedjo Sukmana. Aku agak heran kok Sunarjo jalan bareng Moeliani? Kami sama-sama teman sekolah dasar dan menengah. Mudah ditebak. Mereka ternyata kini sepasang suami-isteri! Mereka sama-sama bekerja untuk perusahaan asuransi Axa Life di Surabaya.

Kami minum juice serta memperkenalkan mereka dengan Norman, yang lagi makan beef burger di Oranje Hotel alias Hotel Yamato alias Hotel Majapahit alias Hotel Mandarin Oriental, tempat kami menginap di Surabaya. Hotel ini terletak di depan Tunjungan Plaza. Moeliani membawakan pizza untuk Norman. 

Sunarjo mengingatkan aku bahwa kini dia masih terkadang dipanggil “Markeso” –nickname miliknya sejak SMP. 

Iki gara-gara Andreas. Aku diceluk Markeso,” katanya kepada Sapariah.

“Cak Markeso” seorang pemain ludruk terkenal pada 1970an di Jawa Timur. Aku suka lawakan Cak Markeso. Sunarjo lucu tanpa berusaha jadi lucu. 

Dia sendiri mengingatku sebagai pemain bola yang ngototan. Aku dulu pemain tengah. Maka muncullah panggilan “Markeso” dan aku senang sekali bisa bertemu dengan Markeso, Yek Ming, Tek Hoo, Pey Sian, Lan Sian, Bambang dan kawan-kawan masa kecil lainnya. Aku kira Suster Theresella bekerja keras guna mengadakan reuni ini.

Monday, December 22, 2008

Lumpur Lapindo di Sidoarjo


Norman melihat hamparan lumpur, dampak dari pengeboran PT Lapindo Brantas. Ia menyebabkan sekitar 11,000 warga tergusur dari rumah dan toko mereka dari delapan desa di daerah Porong.

Kami sekeluarga berhenti di jalan raya Sidoarjo, melewati satu river bank dan terpukau melihat hamparan luas lumpur. Luasnya sekitar 240 ha. Minimal 25 pabrik ukuran besar tergenang lumpur, termasuk pabrik arloji dimana aktivis buruh Marsinah pernah bekerja

Ceritanya, pada 28 Mei 2006, PT Lapindo Brantas mengebor permukaan daerah ini untuk mendapatkan gas bumi dari kawasan Brantas PSC. Mulanya, pengeboran berjalan lancar, menembus tanah liat, lalu pasir, batu-batuan vulkanis dan batu karang hingga kedalaman 1,300 meter. Pengeboran berjalan lancar dengan protective casing guna melindungi pengeboran. Bungkus protective casing ini biasanya dipasang di sekeliling lubang bor.

Pukul 5 pagi, pengeboran tahap kedua dimulai. Kali ini tanpa protective casing hingga sedalam 2,834 meter. Tiba-tiba air, uap dan gas meledak sekitar 200 meter dari pengeboran. Maka mulailah lumpur Lapindo membanjiri Sidoarjo. Pada bulan Juni 2006, dua ledakan muncul sekitar 800 dan 1,000 meter dari lokasi pengeboran. Saat kami datang, diperkirakan 100,000 meter kubik lumpur keluar setiap hari.

Kemacetan lalu lintas sepanjang river bank. Jarak sekitar dua atau tiga kilometer ditempuh satu jam. Semburan lumpur raksasa merusak jalan tol Sidoarjo-Gempol. Orang terpaksa lewat jalan sepanjang lumpur dan macetnya alamak! Kereta api jurusan Banyuwangi-Surabaya, bila melewati daerah ini, jalan pelan sekali. Mereka kuatir getaran rel kereta bisa membongkar bendungan lumpur.

Ribuan rumah dan toko rusak berak. Sebagian besar terendam lumpur. Sebagian kecil masih muncul di pinggir jalan, dekat river bank. Mengerikan sekali melihat bangkai-bangkai toko sepanjang jalan.

Wednesday, December 17, 2008

Bagaimana Meliput Agama?

Saya lagi mengikuti sebuah pertemuan kecil Faith in Media di Istanbul. Isinya, diskusi soal bagaimana wartawan harus meliput agama. Diskusi dilakukan dalam tiga bahasa: Inggris, Arab dan Prancis. Senang bisa bertemu wartawan dari Kairo, Jeddah, Ankara, Sana'a, Teheran, Beirut maupun New York, Washington DC, Detroit dan Atlanta.

Ada empat isu yang dibahas: Covering Your Own Religion; Covering Religious Minorities in the Muslim World; Religion as a Beat dan Covering Religion: Where to Draw the Line.

Salah satu isu yang dibahas adalah ide harian Jyllands-Posten dari Copenhagen untuk menerbitkan kartun tentang Nabi Mohammad. Kami banyak bicara soal alasan editor budaya Jyllands-Posten, Flemming Rose, untuk menerbitkan kartun-kartun tersebut. Dia sering dianggap "menghina Islam" dengan kartun-kartun tersebut. 

Reason Online menurunkan wawancara menarik dengan Rose soal bagaimana dia banyak belajar dari para pembangkang Uni Soviet. Rose membedakan antara Solzhenitsyn dan Sakharov. Ide soal Uni Soviet inilah yang mendorong Rose untuk bikin penugasan tersebut. Ini salah satu diskusi menarik.

Mustapha Ajbaili dari Islam Online dan Khaled Hamza dari Ikhwanweb, media milik Ikhwanul Muslimin, bicara soal media mereka. Mereka menunjukkan situs web mereka dalam ruang seminar.

Islam Online banyak meliput soal lemparan sepatu kepada President George W. Bush. Ada banyak gurauan soal Muntadhar al-Zaidi, reporter TV Al-Baghdadia, yang melemparkan sepatunya kepada Presiden Bush di Baghdad kemarin. Bahkan Islam Online menyebut Muntadhar al-Zaidi sebagai "pahlawan nasional" Irak.

Hamza mengatakan Ikhwanweb diadakan dalam bahasa Inggris khusus untuk menerangkan kepada dunia Barat soal Ikhwanul Muslimin. Ia lebih merupakan pembahasan dalam khasanah intelektual ketimbang khotbah atau keimanan. Ikhwanweb juga memakai Facebook, You Tube, Flicker maupun Twitter.

"Argumentasi bahwa Ikhwanul Muslim memakai demokrasi untuk menghancurkan demokrasi adalah tidak benar. Kami memakai teknologi dan demokrasi untuk memperkaya kebudayaan kita." Hamza simpati sekali.

Acara ini diadakan oleh International Center for Journalists dan disponsori Carnegie Corporation. Banyak nama-nama besar hadir dalam acara ini.

Saya kagum dengan seorang wartawati Saudi Arabia. Pikirannya kritis. Rambutnya ikal berombak, indah. Saya terkaget-kaget mendengar argumentasinya. Dia bilang banyak perempuan Saudi melepas abaya (jilbab dan gamis) begitu masuk pesawat terbang. Dia bilang pemakaian abaya adalah pemaksaan di Saudi. Ada juga wartawati dari Teheran. Lebih pendiam. Namun tak kalah menarik.

Ari Goldman dari Columbia Graduate School of Journalism menyebut pertemuan ini "sophisticated" dan "more nuanced" dari bermacam seminar yang pernah dihadirinya. Goldman, seorang Yahudi, mengajar liputan soal agama di Columbia. Dia menulis tiga buku: The Search for God at Harvard; Being Jewish serta Living a Year of Kaddish.

Ada juga anak muda, Matthew Streib, yang punya pengalaman meliput agama-agama di Maroko, Mesir, Lebanon, Palestina dan Jordania. Dia juga seorang pecinta alam. Dia bersepeda 10,000 mil di Amerika Serikat dan menuliskannya dalam blognya American Pilgrimage.

Anthony Shadid, wartawan Washington Post, juga hadir disini. Shadid seorang warga Amerika kelahiran Oklahoma City, keturunan Lebanon. Dia menang Pulitzer Prize pada 2004 dengan liputannya soal Irak. Yayasan Pantau sering memakai liputan Shadid untuk bahan kursus menulis. 

Liputan soal Islam relatif lebih terbuka di negara macam Turki atau Amerika Serikat. Namun ia sangat tertutup di Saudi Arabia atau Yaman. Shadid memberikan komentar yang lebih kelabu di Lebanon. Shadid seorang moderator dalam acara ini. 

Dua moderator lainnya, Maria M. Ebrahimji, executive editorial producer dari CNN di Atlanta, serta Amberin Zaman, koresponden mingguan The Economist di Turki. Zaman juga kolumnis untuk harian Taraf di Istanbul. Taraf terkenal membenarkan terjadi genocide terhadap orang-orang Armenia saat Perang Dunia I oleh Kesultanan Ottoman. Ini gerakan yang kanan habis. 

Debra L. Mason menyediakan macam-macam pedoman soal liputan agama. Mason adalah direktur Center on Religion and the Professions di Missouri School of Journalism serta menyunting buku Religion Reporting: A Guide to Journalism's Best Beat, A Religion Stylebook. Mason menekankan pentingnya menjaga jarak dengan agama yang diliput maupun agama yang dia anggap dia kenal.

Berkunjung ke Istanbul, tak lengkap tanpa melihat-lihat Hagia Sophia, gereja Romawi Ortodox, yang dibangun oleh Kaisar Justitian pada 532-537. Pada 1453, ketika kaum Turki Ottoman menaklukkan Byzantine, Sultan Memed II mengubah gereja ini jadi sebuah masjid. Pada 1935, ketika Republik Turki didirikan, masjid ini diputuskan jadi sebuah museum.

Saya kira pertemuan Istanbul ini membuka mata saya soal menariknya liputan agama-agama. Saya juga dikenalkan dengan macam-macam referensi untuk melihat liputan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan. 

Tuesday, December 16, 2008

“... orang Papua tahu dan mengalami bahwa kolonisasi di bawah kekuasaan Indonesia jauh lebih kejam, lebih biadab, dan tak berperikemanusiaan ketimbang perlakuan pada masa kolonisasi Belanda terhadap orang Papua."

-- Agus A. Alua dari Majelis Rakyat Papua dalam bukunya Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan

Yosias Syet ditemukan mati terbunuh di kamarnya di kampung Waibron, Sentani Barat, pada 17 Oktober 2008. Kelihatannya, dia mati dicekik dalam keadaan tertidur. Kemungkinan pembunuhan politik. Syet anggota Pembela Tanah Papua, sebuah organisasi milisi, yang menginginkan kemerdekaan Papua Barat lewat jalan damai. Syet juga pengawal pribadi ketua Dewan Adat Papua Fokorus Yaboisembut
.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Panasnya Pontianak, Panasnya Politik
Borneo Barat adalah salah satu wilayah perang di Indonesia. Jamie Davidson menyebutnya sebagai "the unknown war" atau perang yang tak disadari. Bagaimana memahami perang yang sudah makan ratusan ribu korban ini?

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Media dan Jurnalisme LINK
Saya suka menulis masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Dari Sabang Sampai Merauke
Sejak Juli 2003, saya berkelana dari Sabang ke Merauke, guna wawancara dan riset buku. Intinya, saya pergi ke tujuh pulau besar, dari Sumatra hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana. Inilah catatan kecil perjalanan tersebut.

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta.

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Monday, December 15, 2008

Samuel Mulia: Jadilah Dirimu Sendiri


Amini Ratna, salah satu peserta kelas menulis, merekam gaya centil Chrestella Budyanto dalam sesi bersama pembicara tamu Samuel Mulia. Samuel duduk serius. Stella action untuk kamera. Ratna, Stella, Irma Dana dan Charles Wiriawan adalah teman-teman sekelas. Mereka peserta kelas pertama jurnalisme sastrawi di Eka Tjipta Foundation. Ini kelas yang riuh rendah. Para pesertanya suka bergurau.


Lagi-lagi dalam kursus Jurnalisme Sastrawi mendapat pelajaran yang berharga. Dalam pertemuan terakhir, Sabtu 13 Desember lalu, di lantai 29 Plaza BII 2 kami kedatangan Samuel Mulia, penulis Parodi harian Kompas. Walaupun suhu ruangan masih terasa hangat, sebagian teman sudah mulai kepanasan. Bahkan dahi Charles Wiriawan sudah berkeringat, kami pun duduk manis di ruangan. Samuel menduduki kursi pembicara, kelihatan tenang dan tak kepanasan seperti kami.

Takjub! Sejak dipersilahkan bicara, Samuel terus berbicara tanpa henti seperti petasan cabe rawit, kecuali peserta mengacungkan tangan untuk bertanya. Lelaki flamboyan ini awalnya kuliah di fakusltas kedokteran, hanya sampai di tahun ketiga dia langsung berhenti dan menekuni dunia mode. Dan pernah menjadi pemenang dalam lomba perancang mode yang diadakan majalah Femina.

Menurutnya, memang sejak remaja dia kurang tertarik dengan hal yang berbau “lelaki.” Saat ayahnya mengajari dia untuk mengganti oli mobil, dia lebih tertarik bermain dengan blush on. Samuel menceritakan keberadaan dirinya sebagai banci. Tentang disiplin dan kepiawaiannya dalam menulis pun dia ungkapkan sebagai "kebodohan" dia semata.

Dia mengatakan dirinya bodoh, karena dia tak suka membaca Truman Capote. Tidak suka dengan tulisanya Goenawan Mohamad. Tapi dia suka dengan karya-karyanya Romo Mangun, seperti Burung-burung Manyar dan juga karyanya Ahmad Tohari. Bahkan dia bilang, saking bodohnya, dia tidak bisa menulis dalam bahasa Inggris walau dia konsultan majalah The Weekender dari harian The Jakarta Post.

Samuel menulis apa adanya. Biasanya dia menulis dari hasil mengamati orang-orang di sekelilingnya, seperti dalam Parodi "Di Dadaku Ada Kumismu" yang terbit 14 Desember kemaren. Semua penulis itu punya ciri khas masing-masing. Dan penulis harus mencerminkan keperibadiannya sendiri, termasuk, dalam hal Samuel Mulia, homoseksualitasnya.

“Saya tidak suka menulis dengan bahasa yang susah. Seperti kenapa harus ditulis marginal? Atau menulis, saya pergi ke kota Kiprit ... kedengaran seperti di luar negeri, di Rusia, padahal adanya di Bojong, misalnya. Jadi tiap orang itu punya ciri khas dalam menulis.” Dia terus nyerocos tentang tulisan-tulisannya. Dia pun tak suka apabila diminta untuk mengomentari tulisan orang lain.

“Jadi menulislah apa yang ada dipikiranmu. Jangan takut salah dan dikritik. Dan jangan pernah menulis karena dendam atau ingin menyakiti orang lain,” katanya. Dia mengatakan tentang dirinya dahulu, yang sering menulis karena perasaan frustasi, kecewa dan sakit hati. Bahkan sempat menjauhi dan memusuhi Tuhan. Dia menulis untuk kemarahannya.

Tapi, itu semua berlalu. Sejak tiga tahun ini dan terkena gagal ginjal bahkan harus transplantasi, Samuel mulai kembali ke pelukan Tuhan dan sering bersaksi di gereja-gereja. Dia sudah meninggalkan dunianya yang kelabu.

Saat ditanyakan apakah dia tidak ingin menulis yang berkaitan dengan dunia homoseksual. “Saya ingin menulis tentang itu, tapi untuk para orangtua. Biar bagaimanapun, itu semua dimulai dari keluarga. Seperti saya dan ayah saya lakukan. Family value sangat penting!” kata Samuel.
-- Irma Dana

Saturday, December 13, 2008

Pembicara Tamu dalam Kursus Pantau


Dalam sebulan terakhir ini, Yayasan Pantau mengundang tiga orang penulis untuk bicara soal pengalaman mereka dalam berkarya. Tiga pembicara ini bicara di tiga lokasi berbeda.

Daoed Joesoef, penulis buku Emak serta Dia dan Aku, bicara di rumahnya di kawasan Kemang. Satu kelas dipakai untuk menampung kedatangan rombongan kami. Sutradara Riri Riza, yang memimpin pembuatan film Gie serta Laskar Pelangi, datang ke kantor Pantau di bilangan Kebayoran Lama. Dia setir mobil sendiri, malam-malam. Samuel Mulia, kolumnis kolom Parodi di Kompas Minggu, bicara di lantai 39 gedung Wisma BII di Gondangdia, daerah mahal Jakarta.

Para peserta datang dari dua kelas berbeda. Satu kelas dari kursus Narasi setiap Selasa malam di Kebayoran Lama. Kelas satunya datang dari karyawan NGO yang ada kerja sama dengan Eka Tjipta Foundation. Saya mendapat macam-macam komentar dari para peserta kursus. Mereka rata-rata senang dengan para guest speaker.

Riri Riza cerita soal kesukaannya pada film Gie. Dia merasa mendapat kebebasan dalam mengubah buku Catatan Harian Soe Hok Gie ke layar lebar. Riset dan penulisan dua tahun. Ketika skenario selesai, Arief Budiman alias Soe Hok Djin, kakak kandung almarhum Gie, diminta membaca dulu. Arief, menurut Riri Riza, mengatakan skenario ini bukan cerminan sosok Hok Gie.

"'Tapi tidak apa-apa,' kata Pak Arief," ulang Riri.

"Pak Arief kan orang yang liberal."

Orang bikin film bisa punya sudut pandang sendiri. Ia mungkin mencerminkan pesan beda dari fakta.

Sesudah diskusi selesai, para peserta antri minta tanda tangan dari Daoed Joesoef. Sri Soelastri, isteri Daoed Joesoef, diminta suaminya ikut menemani. Diskusi diadakan dalam satu ruangan SD Kupu-kupu milik keluarga Joesoef pada 15 November. Stephanie Halim, Shanice Oen dan Elisa Yuniastuti ikut antri.

Selasa, 9 Desember, Riri Riza diserbu pertanyaan soal Laskar Pelangi. Ada saja peserta yang mempertanyakan mana fakta, mana fiksi. Riri Riza menegaskan novel maupun film Laskar Pelangi adalah fiksi. Dia bilang hanya sekali membaca novel Andrea Hirata tersebut.
Kiri-kanan: Maria Sari Estikarini, Riri Riza, Sri Dewi Susanty, Farah Sofa
.
Sabtu, 13 Desember, Samuel Mulia mengundang tawa dan kesegaran dengan pembicaraannya soal gay maupun pandangannya soal kekristenan. Dia jadi "Kristen Lahir Baru" sejak operasi ginjal beberapa tahun lalu. Dia menekankan para peserta untuk menjadi diri mereka sendiri. Menulis adalah pekerjaan mencari jati diri.
Kiri-kanan: Diana Wahyuni, Maria Sari Estikarini, Siti Nurrofiqoh, Sheilla Agustin, Samuel Mulia, Sri Dewi Susanty, Juliarti Sianturi dan Enaliya Sudartama.
.
Saya punya kesan, dari gambar-gambar ini, seakan-akan semua peserta kursus menulis adalah perempuan. Faktanya, tentu saja, lelaki juga ada. Ini suatu kebetulan saja.

Pasangan Daoed Joesoef dan Sri Soelastri tampaknya banyak mengundang kekaguman karena kemesraan mereka. Umur sudah kepala delapan, namun mereka masih akrab, tertawa bersama. Daoed Joesoef mungkin lebih dikenal karena dia pernah jadi Menteri Pendidikan.

Samuel Mulia cerita beratnya deadline. Setiap Selasa, dia harus setor kolom ke Kompas. Mau operasi ginjal, dia harus setor naskah. Dia sekaligus setor tiga naskah untuk tiga Minggu.

Related links
Daoed Joesoef Bertutur oleh Mellyana Silalahi
Obrolan di Rumah Daoed Joesoef oleh Siti Nurrofiqoh

Friday, December 12, 2008

In Memoriam Ali Alatas



Suatu malam beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan Menteri Ali Alatas di rumah pasangan wartawan The New York Times, Jane Perlez dan Raymond Bonner, di daerah Menteng. Rumah besar. Ada gazebo untuk mobil masuk dan menurunkan penumpang, persis depan pintu ruang tamu. Saya ingat juga ada Sidney Jones dari International Crisis Group.

Ali Alatas sedang menunggu mobil. Sidney memperkenalkan saya kepada Pak Ali. Saya bilang dari majalah Pantau. Wajahnya sumringah. Dia bilang dia sangat enjoy membaca Pantau. Dia bilang dia merasa cocok dengan gaya penulisan panjang, analitis dan sebagainya. Sayang majalah itu sudah tidak terbit lagi. Saya senang mengetahui Ali Alatas ternyata berlangganan majalah Pantau. Kami jadi sering mengobrol bila bertemu di pesta atau seminar.

Agustus lalu, ketika kami lagi mengobrol di seminar Center for Strategic and International Studies, Frans Tshai, seorang dokter asal Singkawang, minta kami menoleh ke kameranya. Sama-sama tersenyum. Kami sedang bicara soal Islamisasi di beberapa tempat di Indonesia. Saya tahu Pak Ali senantiasa terbuka terhadap wartawan. Banyak wartawan minta background information dari Pak Ali.

Saya punya perasaan campur aduk bila bicara soal Ali Alatas. Pada satu sisi, saya sangat menghargai kemampuannya dalam diplomasi. Jose Ramos-Horta dari National Congress for Timorese Reconstruction pernah mengatakan pada saya, ketika Timor Leste masih diduduki Indonesia, bahwa Ali Alatas adalah lawan tangguh dalam dunia diplomasi. Ini pujian yang jujur dari sesama diplomat. Ramos-Horta juga lawan tangguh Ali Alatas. Saya juga kagum pada background Arab, sebuah kelompok minoritas di Pulau Jawa, pada diri Pak Ali. Namun saya juga sadar Pak Ali bekerja untuk sebuah negara, termasuk untuk rezim Orde Baru, yang banyak menindas bangsa-bangsa kecil dalam negara Indonesia. Dia adalah "wajah manis" dari penindasan brutal Indonesia terhadap bangsa Timor Leste. Dia terkenal dengan ungkapan Timor Leste sebagai "kerikil dalam sepatu" untuk Indonesia. Bukunya berjudul The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor. Dia pernah mengeluh soal sulitnya membuat tentara Indonesia bekerja profesional.

Kemarin Pak Ali meninggal dunia di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura, pada usia 76 tahun. Pak Ali kena serangan jantung. Saya kehilangan sosoknya dalam seminar dan diskusi masalah internasional. Saya mengambil waktu untuk mengheningkan diri guna mengenang Pak Ali. Semoga keluarga yang ditinggalkan tetap tabah. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun.

Related Links
Alatas, Sudwikatmono, Dita Sari - The Great River
A Book About East Timor Jabs Indonesia’s Conscience

Writing Tips untuk David Khoirul


Dear David,

Saya bingung juga kalau ditanya apa writing tips dari saya. Saya kurang tahu persis bagaimana harus menulis tips untuk penulisan. Pastinya banyak sekali. Banyak banget. Mulai dari hal sederhana hingga teknik yang njelimet. Mulai dari tata bahasa, logika hingga bridging dan cliff hanging.

Tapi pikir-pikir, di dunia ini selalu ada orang yang sudah memikirkannya. Saya usul Anda membaca "Fifty Writing Tools" karya Roy Peter Clark. Dia seorang instruktur penulisan di Poynter Institute. Kelasnya sangat terkenal. Kita terkadang harus antri untuk ikut kelas dia di Florida.

Anda bisa baca 50 tips tersebut pada situs Poynter Institute. Clark mengajar menulis hampir pada semua tingkatan --dari anak sekolah hingga para pemenang Pulitzer Prize-- selama lebih dari 30 tahun. Dia pernah bicara soal ketrampilan menulis dalam The Oprah Winfrey Show, NPR and Today; di berbagai konferensi, dari Singapura hingga Brazil; dan di berbagai organisasi berita dari The New York Times hingga Sowetan di Afrika Selatan. Clark mengarang buku Writing Tools: 50 Essential Strategies for Every Writer.

Clark menerangkan semua tips dengan sederhana. Anda bisa juga baca maupun dengar via Podcast. Misalnya, tips pertama, Clark mengatakan, "Begin sentences with subjects and verbs." Dia menekankan pentingnya pakai kalimat aktif. Ini tips pertama.

Saya suka mengkritik wartawan yang menulis berita dengan kalimat pasif. Clark meletakkan pentingnya kalimat aktif. Saya sempat main ke kantor Papua TV di gedung Bank Papua, Jayapura. Mayoritas penulisan berita dilakukan dengan kalimat pasif. Ini bukan monopoli Papua TV. Ini dilakukan mayoritas ruang redaksi di Indonesia.

Lalu Clark mengatakan, "Order words for emphasis. Place strong words at the beginning and at the end."

Saya kira 50 tips dari Clark ini adalah permulaan yang baik untuk belajar menulis. Sisanya, ya belajar dari karya-karya raksasa. Saya banyak belajar dari karya-karya klasik untuk tahu teknik.

Wednesday, December 10, 2008

Quotes on Nationalism

“Absolutely, my country, right or wrong. When right, keep it right. When wrong, make it right. Sometimes loving your country demands you must tell the truth to power.”

--John Kerry remarked to the Democratic National Convention
on August 27, 2008 in Denver


“If the rest of the world wants to help, it should run toward the explosion. It should fly to Mumbai, and spend money. Where else are you going to be safe? New York? London? Madrid?

So I’m booking flights to Mumbai. I’m going to go get a beer at the Leopold, stroll over to the Taj for samosas at the Sea Lounge, and watch a Bollywood movie at the Metro. Stimulus doesn’t have to be just economic.

--Suketu Mehta professor of journalism at
New York University, the author of Maximum City:
Bombay Lost and Found
.


“... orang Papua tahu dan mengalami bahwa kolonisasi di bawah kekuasaan Indonesia jauh lebih kejam, lebih biadab, dan tak berperikemanusiaan ketimbang perlakuan pada masa kolonisasi Belanda terhadap orang Papua."

-- Agus A. Alua dari Majelis Rakyat Papua dalam bukunya Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan

Monday, December 01, 2008

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama


Makam James Richardson Logan dan saudaranya, Abraham Logan, di Protestant Cemetery di Pulau Pinang, dulu disebut bagian dari Straits Settlement, kini daerah khusus Malaysia dan Singapura.
-- Foto-foto oleh Himanshu Bhatt


OKTOBER lalu saya berkunjung ke Protestant Cemetery di Penang guna mencari makam James Richardson Logan, salah satu warga kehormatan Penang, yang juga menciptakan kata, thus khayalan tentang, Indonesia.

Francis Loh Kok Wah, seorang profesor dari Universiti Sains Malaysia, blogger Anil Netto dan wartawan Himanshu Bhatt menemani saya mencari makam tersebut. Francis Loh saya kenal dengan bukunya Democracy in Malaysia: Discourses and Practices. Dia juga lulusan Cornell University serta teman dekat Arief Budiman, dosen Universitas Melbourne, yang pernah mengajar saya pada 1980an di Salatiga.

Kami naik mobil Anil Netto dan berangkat dari The Gurney Resort Hotel, tempat saya menginap, menuju Jalan Sultan Ahmad Shah, dekat Lebuh Farquhar. Pemakaman terdapat di Jalan Sultan Ahmad Shah. Pintu masuk terletak persis depan Pusat Servis Kereta Toyota. Di belakang Protestant Cemetery terletak Catholic Cemetery. Mungkin ini pengaruh Inggris dimana orang Protestan dan Katholik dimakamkan terpisah. Di Jakarta, Salatiga, Semarang atau Surabaya, saya lihat kuburan Belanda tak dipisahkan antara Protestan dan Katholik.

Mulanya, kami mengamati sebuah papan dimana nama-nama orang penting yang dimakamkan dicatat. Pemakaman ini yang paling tua di Pulau Pinang. Ia didirikan oleh Francis Light, orang Inggris yang menyewa pulau ini dari Sultan Kedah pada tahun 1786, guna mendirikan koloni Inggris dengan nama resmi Straits Settlement. Posisi Pulau Pinang memang strategis di Selat Malaka. Kelak posisi strategis Selat Malaka juga memancing Thomas Raffles mendirikan pelabuhan Singapura pada 1819. Kerajaan Belanda, seabad sesudah Francis Light mendirikan koloni Penang, membangun pelabuhan Sabang di Pulau Weh, juga di Selat Malaka, pada 1887. Pemakaman Protestan ini didirikan pada 1789 atau tiga tahun sesudah kontrak dengan Sultan Kedah mulai. Francis Light juga dimakamkan disini. Dia meninggal karena malaria pada 21 Oktober 1794.

Francis Loh memimpin rombongan kecil kami menelusuri makam demi makam. Francis Loh kelahiran Penang. Dia lincah sekali, mencari batu nisan, satu demi satu. Banyak pepohonan tua dan rindang di makam ini. Tapi juga banyak nyamuk kecil. Saya sering memukul nyamuk di lengan dan kaki. Secara umum, ini pemakaman yang indah. Saya sering lihat kuburan ini diterakan dalam brosur turisme Penang. Ia juga bagian dari Penang Heritage Walk --sebuah route khusus jalan-jalan di Penang dimana tempat-tempat bersejarah diberi pengumuman, peta dan sejarahnya. American Express adalah sponsor dari Penang Heritage Walk.

Francis, Anil dan Himanshu tertarik membantu ketika saya beritahu bahwa James Richardson Logan adalah orang yang menciptakan kata "Indonesia." Mereka kenal nama Logan. Di Penang ada Logan Street. Namun mereka tak sangka Logan pula yang menciptakan kata Indonesia.

Akhirnya, kami menemukan batu makam James Richardson Logan serta saudaranya, Abraham. Mereka dimakamkan bersama-sama. Tinggi makam ini sekitar 1.5 meter. Disana tercantum tanggal kelahiran dan kematian mereka. Saya duduk dan merenung. Himanshu mengambil gambar.

Di papan pengumuman, James Logan diterangkan sebagai, "Penang's foremost man of the press and champion of the natives causes, enshrined in the Logan Memorial in the grounds of the high court." Antara 1847 dan 1859, dia menerbitkan Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, yang kadang juga disebut Logan’s Journals total 27 volume, serta buku Language and Ethnology of the Indian Archipelago. Logan juga dikenal sebagai pembela hak asasi orang non-Eropa. Saya senang dengan keterangan ini. Logan dinilai sebagai seorang wartawan.

Menariknya, kami juga menemukan makam George Samuel Windsor Earl, mentor dan kolega James Logan. Earl adalah orang yang mula-mula membuka diskusi soal bagaimana mereka harus menamakan pulau-pulau yang terletak di Selat Malaka itu? Baik Semenanjung Malaka, Pulau Sumatra, Borneo, Jawa dan sebagainya. Dalam papan pengumuman, Earl diterangkan sebagai "asistant resident councillor" Straits Settlement pada 1805 hingga 1865 serta mengarang buku The Eastern Seas. Terminologi "eastern seas" mengacu pada kepulauan yang sekarang disebut Indonesia, Singapura, Brunei, Filipina dan Malaysia.



KATA "Indonesia" pertama kali dibuat pada 1850 --mulanya dalam bentuk "Indu-nesians"-- oleh George Samuel Windsor Earl. Dia menulisnya dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Earl sedang mencari-cari terminologi etnografis untuk menerangkan "... that branch of the Polynesian race inhabiting the Indian Archipelago" atau "the brown races of the Indian Archipelago."

Namun, walau sudah menggabungkan dua kata itu, masing-masing dari kata "Indu" atau "Hindu" dengan kata "nesos" atau "pulau" dari bahasa Yunani, Earl menolaknya sendiri. Dia menganggap kata "Indunesia" terlalu umum. Earl menawarkan terminologi lain, yang dinilainya lebih jelas, "Malayunesians."

Himanshu Bhatt mengatakan pada saya bahwa kata "mala" atau "malaya" artinya "gunung" dari bahasa-bahasa Tamil atau Dravidia di kawasan India. Dia mengingatkan saya nama Puncak Himalaya. Kata "him" --termasuk dalam nama Himanshu sendiri-- artinya es atau dingin atau salju. Maka Himalaya artinya "gunung salju." Para pendatang Tamil atau Kerala dari waktu tiu British India, ketika tiba di Pulau Penang mengikuti Francis Light, menyebut orang-orang lokal, yang tinggal di sekitar gunung, sebagai "Malayan" alias "orang gunung." Malayan lantas berubah jadi Malay dan Melayu.

James Logan menanggapi usul George Earl soal "Indunesians." Logan berpendapat "Indonesian" merupakan kata yang lebih menjelaskan dan lebih tepat daripada kata "Malayunesians," terutama untuk pemahaman geografi, daripada secara etnografi.

"I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders."

R. E. Elson dalam bukunya The Idea of Indonesia menulis James Logan adalah orang pertama yang menggunakan kata "Indonesia" untuk menerangkan kawasan ini. Logan lantas memakai kata "Indonesian" maupun "Indonesians" untuk menerangkan orang-orang yang tinggal di kawasan ini. Dia membagi "Indonesia" dalam empat daerah, dari Sumatra hingga Formosa.

Namun kata "Indonesia" tak segera populer. Elson menerangkan bahwa pada 1877, E. T. Hamy, seorang anthropolog Prancis, memakai kata "Indonesians" untuk menerangkan kelompok-kelompok pra-Melayu di kepulauan ini. Pada 1880, anthropolog Inggris A. H. Keane mengikuti Hamy. Perlahan-lahan kata "Indonesia" dipakai para ilmuwan sosial, termasuk Adolf Bastian, ahli etnografi terkenal dari Berlin, yang setuju dengan penjelasan James Logan serta memakai kata "Indonesia" dalam karya klasiknya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel, lima jilid terbitan 1884–1894. Reputasi Bastian membuat kata "Indonesia" jadi pindah dari jurnal kecil terbitan Penang ke tempat terhormat di kalangan akademisi Eropa.

Ia mendorong profesor-profesor di Belanda ikut memakai terminologi ini. G. A. Wilken, profesor di Universitas Leiden, pada 1885 memakai kata "Indonesia" untuk menerangkan Hindia Belanda. Wilken mengagumi karya Adolf Bastian. Profesor lain termasuk H. Kern (ahli bahasa kuno), G. K. Niemann, C. M. Pleyte, Christiaan Snouck Hurgronje maupun A. C. Kruyt, mengikuti Wilken.

Pada awal abad 20, kata benda "Indonesier" dan kata sifat "Indonesich" sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa politik etis, baik di Belanda maupun Hindia Belanda. Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra, organisasi Indische Vereeniging di Belanda mengubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Perhimpunan ini banyak berperan dalam merumuskan nasionalisme Indonesia. Pada 1926, ketika Mohammad Hatta menjadi ketua Indonesische Vereeniging, pembentukan nasionalisme Indonesia makin dimatangkan. Ia hanya soal waktu sebelum terminologi "Indonesia" digunakan oleh orang-orang berpendidikan di kota-kota besar Hindia Belanda.



Francis Loh Kok Wah juga mengajak saya melihat Logan Memorial. Pada batu marmer dijelaskan bahwa James Logan kelahiran Berwickshire, Skotlandia, pada 10 April 1819. Dia kuliah hukum di Edinburg. Dia tiba di Penang pada 1840, saat berumur 20 tahun, bersama saudaranya, Abraham. Mereka pindah ke Singapura pada 1842 namun James kembali ke Penang pada 1853. Dia membeli dan menyunting Penang Gazette. Abraham tinggal di Singapura serta mendirikan suratkabar Singapore Free Press.

Namun James Logan meninggal sakit malaria pada 20 Oktober 1869 dalam usia 50 tahun. Kematian James Logan dianggap sebagai kehilangan besar di Penang. Masyarakat Straits Settlement, termasuk orang Eropa, India, Cina maupun Melayu, mengumpulkan uang dan mendirikan peringatan untuk menghormati James Richardson Logan. Dudukan dari memorial ini punya empat sisi. Masing-masing dicantumkan kata sifat yang mencerminkan kepribadian James Logan: temperance (kesederhanaan), justice (keadilan), fortitude (tabah, ulet) dan wisdom (bijak).

Memorial ini mulanya didirikan di depan Supreme Court guna mengingat apa yang dilakukan James Logan untuk masyarakat Penang. Saat Perang Dunia II, memorial ini dipindahkan, namun dikembalikan lagi ke posisi semula. Tahun lalu, ia dipindahkan ke tempat sekarang, mengikuti renovasi dan perluasan gedung mahkamah hukum ini. Di memorial marmer ini ditulis, "He was an erudite and skillful lawyer, an eminent scientific ethnologist and he has founded a literature for these settlements ...."

Francis Loh mengatakan bahwa saya adalah orang kedua yang minta bantuannya keliling Penang serta mencari sesuatu dari masa lalunya. Orang pertama adalah Benedict Anderson, profesor dari Cornell University, yang terkenal dengan buku Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.

Dalam Penang Heritage Trust Newsletter edisi Mei-Juli 2003, Anderson menulis pengalamannya menelusuri Penang. Dia bilang ayahnya, James Carew O'Gorman Anderson, meninggal pada 1946 ketika Benedict baru berumur sembilan tahun, adik lelakinya umur tujuh dan adik perempuan tiga tahun. Anderson bersaudara kurang mengenal ayah mereka kecuali tahu bahwa dia dilahirkan di Penang pada Juli 1893. James Anderson tinggal di sebuah bungalow bernama Grace Dieu di Penang Hill. Dia seorang insinyur militer dengan pangkat kapten. Dia menikah dengan Veronica Beatrice Mary. Anak pertama mereka, Benedict, lahir di Kunming, Tiongkok, pada 1936. Keluarga Anderson pindah ke California pada 1941.

Ini kebetulan yang menarik sekali. James Richardson Logan adalah orang yang menciptakan khayalan soal Indonesia, betapa pun kaburnya terminologi tersebut, pada 1850. Benedict Anderson adalah guru nasionalisme terkemuka, yang banyak menggunakan Indonesia sebagai bahan studinya dalam buku Imagined Communities, terbitan 1991. Mereka terkait dengan Penang. Karya mereka terpaut sekitar 150 tahun.

Hari ini, terminologi Indonesia lebih dilekatkan pada negara Indonesia, yang menggantikan Hindia Belanda, pada 1950, seratus tahun sesudah polemik George Earl dan James Logan. Indunesia dalam terminologi Logan berubah menjadi beberapa negara, termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia. Ironisnya, Penang, tempat dimana nama dan khayalan ini diciptakan, tidak masuk dalam wilayah negara Indonesia. Penang masuk Malaysia. Semenanjung Malaka dan Pulau Sumatra, yang kebudayaannya kental Melayu, terpisah menjadi dua negara. Papua Barat, yang sama sekali tak masuk dalam khayalan Logan, malah masuk wilayah Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara berbeda karena mulanya mereka disatukan secara administrasi oleh dua kerajaan Eropa yang berbeda: Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda. Lucunya, dalam buku-buku pelajaran sejarah-sejarahan, Indonesia dikatakan ada sejak zaman Majapahit, lengkap dengan Sumpah Palapa oleh pati Gajah Mada dan gula-gula lainnya. Perjalanan ke Protestant Cemetery mengungkapkan politik real.

Saya senang bisa berjalan-jalan di Protestant Cemetery bersama Francis Loh, Anil Netto dan Himanshu Bhatt. Francis cerita dengan passionate bagaimana dia menemani Anderson, mantan profesornya di Cornell, jalan-jalan di kuburan dan Penang Hill. Sore yang indah. Kami kembali ke The Gurney Resort Hotel dengan banyak kenangan. Saya lega bisa melihat makam orang yang menciptakan khayalan Indunesia.

***

Diskusi bersama George J. Aditjondro soal Melanesia, Polynesia dan Micronesia
Notes for ASWA (Anthropological Society of Western Australia)
Seminar Series at University of Western Australia
Perth 10 April 1995

Video Andreas Harsono tentang makam James Richardson Logan
Penang, December 2010

Siapa Membunuh Yosias Syet?

Yosias Syet ditemukan mati terbunuh di kamarnya di kampung Waibron, Sentani Barat, pada 17 Oktober 2008. Kelihatannya, dia mati dicekik dalam keadaan tertidur. Kemungkinan pembunuhan politik. Syet anggota Pembela Tanah Papua, sebuah organisasi milisi, yang menginginkan kemerdekaan Papua Barat lewat jalan damai. Syet juga pengawal pribadi ketua Dewan Adat Papua Fokorus Yaboisembut
.

Sunday, November 30, 2008

Jonli Awalla's Tomb



An Indonesian policeman beat Jonli Awalla, a Miangas islander, to death in May 2005 over drinks. One year earlier, Awalla helped me reaching his island from Manado. I remember an afternoon drink that I had in his home. His death prompted the whole Miangas to fly a Filipino flag, protesting not only against the policeman but also showing their distaste toward Indonesia.

A Filipina scholar took this photo in March 2008, sending it electronically to me. I feel so sorry to Jonli Awalla. I remember our first encounter, four years ago, on a Manado-Miangas ship. He was a warm guy. He talked to me about his beloved island. He was the secretary of the island.

May Jonli rests in peace!

Related Stories
Miangas, Nationalism and Isolation
Warga Miangas Sempat Kibarkan Bendera Filipina
Blog Miangas

Saturday, November 29, 2008

Norman Played Puppets Inside Taxi

It was Sunday, May 22, 2005, when Norman and I were taking a taxi ride in Jakarta. He used his new gloves to play puppets, laughing and entertaining his old man. I recorded the scenes. It was one of our most memorable days. I love you Son.



Kebetulan mulai 28 November 2008, saya berlangganan Speedy Telkom di rumah. Model pemakaian internet pun akan berubah. Dulu senantiasa pakai sambungan telepon. Kini ada promosi Speedy. Harga relatif murah. Saya akan mulai memasang video dalam blog saya.

Anak-anak adalah objek video yang menarik. Ketika dulu masih punya kamera, saya sesekali merekam kegiatan anak saya. Norman suka menyanyi, main sandiwara, melawak. Saya merekamnya. Video Norman melawak dalam taxi ini saya rekam ketika Norman berumur delapan tahun.

Kamera saya dicuri orang dalam kereta api rute Jogjakarta-Solo. Saya akan menabung untuk bisa memiliki kamera lagi. Kelak blog ini akan berisi macam-macam video soal jurnalisme dan liputan-liputan saya.

Friday, November 28, 2008

Rumah Toko Para Kuli di Singapura


Suatu siang Oktober lalu, sesudah pertemuan dengan perusahaan buku di downtown Singapura, aku memutuskan makan siang di daerah Chinatown. Aku pernah diberitahu ada satu "ruko" dimana suasana Chinatown tempo doeloe dipajang apik. Aku ingin melihatnya.

Aku ambil taxi dan berhenti depan pagoda Hindu Tamil, Sri Mariamman Temple, yang didirikan pada 1827 oleh pengusaha Naraina Pillai. Ini salah satu kuil paling terkenal untuk pemujaan dewa Sri Mariamman. Pada 1819, Pillai tiba di Singapura bersama pendiri koloni ini, Thomas Raffles. Pillai mendirikan bisnis, menjadi kaya raya dan mendirikan kuil. Ia menjadi salah kuil paling menonjol di Singapura. Di sebelah kuil inilah terletak Pagoda Street, yang dianggap sebagai Chinatown di Singapura.

Dulunya, Pagoda Street dikenal sebagai sarang opium. Pada 1850an hingga 1880an, Pagoda Street dianggap sebagai tempat mencari kuli Cina. Setiap pagi, para kuli, lelaki maupun perempuan, duduk di Pagoda Street guna menanti para pencari kuli. Pada awal abad 20, berbagai macam rumah toko di sepanjang jalan ini, berubah jadi tempat kontrakan para kuli.

Aku sering membayangkan kontrakan pada buruh pabrik di daerah Palmerah dan Kebagusan pada 1990an ketika aku sering meliput isu perburuhan untuk The Jakarta Post. Kamar-kamarnya kecil. Satu kamar ditempati dua hingga empat orang. Bila sudah berkeluarga, ayah dan ibu campur anak-anak hidup satu kamar, lengkap dengan alat-alat masak mereka.

Agak sulit mencari musium kecil ini. Pagoda Street hari ini adalah jalan penuh dengan toko-toko penjual souvenir untuk turis. Aku harus tanya tiga kali. Keempat kalinya, malah sudah kelewatan, tanpa sadar sudah melewati musium ini dua kali. Ia terdiri dari bangunan tiga lantai. Aku membayar tiket dan menaiki lantai demi lantai Chinatown Heritage Center.

Mereka mencoba menghidupkan kembali suasana ruko dengan minta sumbangan barang-barang asli dari mereka yang pernah tinggal di Pagoda Street. Rantang, kursi, meja, dingklik, gantungan baju, kain, kompor, koper kulit asli buatan Fukian, mesin jahit Singer maupun macam-macam produk tahun 1920an hingga 1950an, diatur rapi, sedekat mungkin dengan situasi asli. Setiap kamar sempit juga diberi televisi yang menceritakan penghuni kamar tersebut pada periode tertentu. Setiap tingkat menceritakan periode berbeda dari Pagoda Street. Pelacuran, perjudian, organisasi rahasia maupun premanisme mewarnai kemiskinan di daerah ini.

Arsitektur ruko sepanjang Pagoda Street, serta berbagai daerah Chinatown sekitarnya, berasal dari Raffles Town Plan buatan 1822. Peraturan itu mensyaratkan materi yang harus dipakai membangun ruko maupun keharusan membangun trotoar dengan lebar lima kaki, sekitar 1.5 meter. Akibatnya, muncul terminologi "five-foot ways" atau jalanan-lima-kaki. Pada 1950an, Pagoda Street terkenal sebagai daerah pertokoan kain dan tukang jahit. Di musium, aku juga mengamati lantai satu yang dijadikan toko tukang jahit pada jam kerja --dan tempat tidur pada malam hari.

Senang bisa melihat musium yang secara jujur mencoba memajang sesuatu apa adanya. Konteks sejarah juga dibuat transparan. Aku rasakan hal sama dengan Penang Heritage Walk dimana turis diajak mengelilingi kota Penang serta melihat bangunan demi bangunan, lengkap dengan keterangan historis masing-masing. Aku juga pernah mengamati rumah-rumah dengan lingkaran biru di London. Artinya, lingkaran biru menerangkan siapa dan apa yang pernah terjadi pada bangunan tersebut. Aku membeli buku, beberapa souvenir dan maket Chinatown shophouse. Aku kira penting untuk Jakarta buat membuat label-label macam begini. Aku memutuskan makan siang bubur ikan asin, di kedai persis sebelah musium-cum-ruko tersebut.

Tuesday, November 25, 2008

Mendengar, Meliput dan Mencatat


Toto Santiko Budi dari Jiwa Foto Agency berbaik hati mengambil gambar saya ketika lagi meliput sidang pengadilan Jenderal Muchdi Purwopranjono di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Saya senang melihat hasil jepretan ini.

Komentar saya, "Oh gini toh posisi aku kalo lagi ngeliput."

"Aku gendut banget. Udah pendek, gendut lagi!"

Saya agak capek berdiri. Saya duduk sambil mendengarkan keterangan saksi Suciwati, seorang aktivis hak asasi manusia, lewat pengeras suara. Banyak wartawan lain juga duduk mengelilingi pengeras suara.

Toto seorang fotografer muda yang penting untuk dicatat. Karya-karyanya pernah diterbitkan majalah Time, Stern dan DestinAsian serta harian The Australian dan Jakarta Globe serta Bloomberg News. Kini dia lagi ikut sanggar kerja Panna Institute of Photography dan World Press Photo Foundation. Ini salah satu lembaga pendidikan foto jurnalisme yang terbaik di Jakarta.

Saya sendiri sebenarnya lagi menunggu sidang pengadilan kasus pengasuhan anak saya, Norman Harsono, setiap Selasa atau Kamis, dua minggu sekali. Sidang ini sudah jalan sejak Januari dan belum selesai. Namun waktu menunggu sidang sering perlu waktu hingga empat dan lima jam. Terkadang hakim-hakimnya sibuk sidang lain atau mendadak dipanggil Mahkamah Agung. Sering kali pihak tergugat, mantan isteri saya, dan pengacaranya, yang terlambat.

Dampaknya, saya kenal banyak orang di pengadilan ini, dari hakim hingga panitera, dari tukang parkir hingga tukang jaga sepatu di musholla. Saya juga sering memakai waktu menunggu untuk meliput sidang-sidang yang menarik perhatian saya. Pendek kata, notes wartawan selalu tersedia di ransel, siap mencatat apapun yang menarik perhatian.

Sidang terhadap Jenderal Muchdi, tentu saja, menarik perhatian saya. Dia dituduh membunuh aktivis hak asasi manusia Munir dalam penerbangan Garuda Jakarta-Amsterdam. Sidang-sidangnya rame. Saya suka mencatat kaos-kaos yang dipakai para pendukung Muchdi maupun pendukung Munir. Suciwati ikut bersaksi untuk almarhum suaminya. Setiap kali ada keramean, saya duduk, mencatat, mendengar dan meliput. Toto tampaknya tertarik dan mengambil gambar ini.

Sunday, November 23, 2008

Kesibukan Baru, Riset Baru


Sejak Agustus lalu saya mundur dari manajemen Yayasan Pantau serta mendapatkan sebuah kontrak setahun untuk menasehati sebuah yayasan Jakarta. Tugasnya, membantu yayasan tersebut membuat sebuah program pendidikan jurnalisme. Saya melakukan riset, interview serta menulis sebuah proposal. I enjoy this work.

Tampaknya saya kembali ke habitat lama: riset, liputan dan penulisan. Bekerja dari rumah. Memandang jendela dari apartemen dan meluangkan waktu untuk antar-jemput Norman setiap hari. Saya menikmati bekerja dari rumah. Saya menikmati bekerja sendirian tanpa pusing dengan urusan manajemen.

Saya juga makin sibuk November ini ketika mendapat kontrak riset dan menulis dari sebuah organisasi di New York. Pekerjaannya sangat menantang. Anda tunggu deh tanggal mainnya. Saya lagi bikin liputan yang dahsyat. Mudah-mudahan awal tahun depan sudah terbit.

Pekerjaan jadi penasehat juga membuat saya harus merancang sebuah perpustakaan media, memikirkan macam-macam kuliah untuk wartawan serta mendisain struktur sebuah portal. Semuanya terkait jurnalisme dan wartawan. Kini diskusi dan rapat-rapat masih berjalan. Saya minta masukan dari banyak kenalan wartawan, dari Bill Kovach (Washington DC) hingga Goenawan Mohamad, dari Sheila Coronel (New York) hingga Endy Bayuni. Saya minta masukan lebih dari 20 wartawan. Mungkin sudah takdir untuk senantiasa mengurus wartawan.

Juga ada undangan seminar sana dan sini. Penang. Istambul. Semarang. Batam. Jakarta. Davao City. Pontianak. Sejauh permintaan tersebut tak tabrakan dengan jadwal kerja, saya usahakan untuk memenuhinya. Saya sulit untuk menghindar dari memenuhi permintaan mahasiswa atau wartawan. Ini semacam balas budi kepada guru-guru saya, yang selama ini sudah baik hati memberikan waktu dan ilmu mereka kepada saya.

Saya bekerja untuk Pantau selama delapan tahun sejak pulang dari Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Kini saya punya waktu untuk mengerjakan isu-isu yang tak terkait langsung dengan jurnalisme. Kebebasan sipil. Hak asasi manusia. Saya juga bisa menemani orang-orang yang jadi korban kekuasaan negara. Saya juga lebih leluasa mengajar orang belajar menulis.

Secara finansial juga lebih nyaman. Ketika Barack Obama memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat, Sapariah dan saya meneken kredit kepemilikan apartemen dengan Bank Central Asia. Kami mulai menempati rumah baru kami pada 8 November 2008. Masih berantakan semua. Tiada gorden. Tiada meja tamu. Tiada kitchen set. Tiada sofa dan sebagainya. Namun hati rasanya tenang. Norman mendapatkan kamar yang lebih besar dari tempat kontrakan kami. Memandang dari jendela apartemen setiap pagi. Jakarta terpampang luas.

Monday, November 17, 2008

Pelatihan Narasi Pontianak


Pelatihan usai, kami pergi naik sampan di Sungai Kapuas, menyeberang dari pelabuhan Senghi ke daerah Beting guna melihat Masjid Jami' dan keraton Kadriah.
-- Foto-foto oleh Jessica Wuysang

Selama seminggu aku pergi melatih sebuah kelas penulisan narasi di Pontianak. Tribune Institute, sebuah NGO Pontianak, mengorganisasikan acara ini di Hotel Peony, Jalan Gajah Mada. Ada tiga orang dari Bonn, Jerman, juga ikutan. Jadinya, isi kelas beragam. Ada Melayu, Dayak, Tionghoa, Jerman maupun Flores.

Kelas ini diadakan dari 10 November hingga 14 November. Aku mengajar tunggal guna menghemat ongkos. Setiap sore, sesudah mengajar, rasanya badan remuk semua. Aku biasanya mencoba istirahat sebentar, mungkin satu jam. Lalu petang hari, aku gunakan untuk bertemu kenalan lama atau keluarga. Isteriku, Sapariah, orang Madura asli kelahiran Pontianak. Mertua dan ipar aku maupun keluarga besarnya tinggal di Pontianak. Jadi, cukup banyak yang harus ditemui.

Mereka mengadakan pelatihan ini sesudah membaca liputan aku Panasnya Pontianak, Panasnya Politik. Naskah itu tampaknya sempat dibicarakan banyak orang di Pontianak. Secara pribadi, aku merasa perang antar etnik di Kalimantan adalah bahan liputan penting. Sejak 1967, ketika ribuan orang Tionghoa dibantai oleh kekuatan Dayak dengan provokasi tentara Indonesia, kekerasan sudah menjadi bahasa sehari-hari di Kalimantan Barat. Pada 1997 dan 2000, puak Dayak dan Melayu masing-masing melakukan pemberishan orang Madura di daerah Sanggau Ledo dan Sambas.

Kamis, 14 November, guna menutup pelatihan ini, kami menuju Pelabuhan Senghi dan mejeng bareng. Kalau Anda perhatikan, di seberang Sungai Kapuas, terlihat keraton Kadriah. Ini keraton dari kesultanan Pontianak. Setiap kali berkunjung ke Pontianak, aku selalu menyempatkan diri melihat-lihat keraton ini. Kesultanan Pontianak didirikan penjelajah keturunan Hadramaut, Syarif Abdurrahman Alkadrie. Dia membangun keraton Kadriah pada tahun 1771.

Aku senang melihat antusiasme di kalangan wartawan Pontianak. Nur Iskandar dari Borneo Tribune menulis pelatihan ini di suratkabarnya. Nur Iskandar, Alexander Mering serta beberapa wartawan lain pernah mengikuti kursus ini di Jakarta. Mereka juga ramai-ramai bikin blog. Aku kira multiplier effect dari kursus ini cukup besar di Pontianak. Mungkin perlu dipikirkan membuat acara serupa di Singkawang, Ketapang dan Kapuas Hulu.


Related Links
Laptop in Memoriam oleh Alexander A. Mering
Jurnalisme Sastrawi oleh Budi Miank
Catatan Harian Pelatihan Narative Reporting oleh Johan Wahyudi
Narative Reporting untuk Pontianak oleh Nur Iskandar
"Sripta Manen Verba Volent" oleh Nur Iskandar
Narative Reporting untuk Pontianak (2) oleh Nur Iskandar
"Hati-hati Ini Daerah Perang" oleh Yusriadi