Thursday, October 28, 2010

Chik Rini di Padang Halaban


PADA Oktober 2010, Chik Rini dan saya mengampu sebuah kelas penulisan untuk mahasiswa bekerja sama dengan Suara USU, penerbitan kampus dari Universitas Sumatera Utara, dengan sponsor Eka Tjipta Foundation. Pelatihan diadakan di sebuah fasilitas training di perkebunan Padang Halaban.

Chik Rini sekarang bekerja di Yayasan Leuser, sebuah NGO lingkungan hidup di Banda Aceh. Dulu dia pernah bekerja untuk harian Analisa (Medan) serta Pantau (Jakarta). Dia dikenal karena karya panjang, termasuk Sebuah Kegilaan dari Simpang Kraft serta Surat dari Geudong.

Sudah beberapa kali saya sparing partner dengan Chik Rini. Dia pelatih yang sabar dan teliti. Dia juga suka memotret. Saya kira para peserta diuntungkan dengan kehadiran instruktur macam Rini.

Stasiun kereta api Padang Halaban. Chik Rini bersama beberapa peserta training: Andika Bakti, Kartini Zalukhu, Richka Hapriyani dan Januar Rizki (dari kiri ke kanan). Mereka sedang menunggu jemputan mobil. ©Ahmad Hidayat

Dalam kereta api Medan-Padang Halaban, selama lima jam, melihat kebun dan pemandangan sepanjang jalan. Chik Rini (baju merah) bersama Moyang Kasih Dewimerdeka (jilbab pink), Andika Bakti (satu-satunya lelaki), Richka Hapriyani (paling kanan) serta Wan Ulfa Nur Zuhra (duduk, jilbab putih). Chik Rini pernah bekerja sebagai fotografer Associated Press untuk Aceh saat perang Aceh melawan Jakarta 1990an hingga tsunami 2004. ©Ahmad Hidayat

Naik mobil dalam kebun. Padang Halaban memiliki kebun sawit tertua di Sumatera. Ia dibuka pada zaman Belanda awal abad XX. Chik Rini (jilbab pink) duduk di tengah bersama Haqqi Lutfitha atau Lulu (kiri jilbab hitam), Richka (jilbab ungu), Andika (lelaki di ujung mobil), Kartini (jilbab hitam di belakang) dan Moyang (jilbab biru tua). ©Ahmad Hidayat

Saturday, October 23, 2010

Transkrip Video Puncak Jaya

VIDEO penyiksaan dua lelaki Papua oleh beberapa tentara Indonesia menciptakan tanda tanya siapa dua orang tersebut. Mengapa mereka ditangkap dan disiksa?

Dari analisis data elektronik bisa dilihat bahwa video tsb direkam pada Minggu, 30 Mei 2010. Tepatnya, rekaman mulai pukul 13:26 selama 10 menit lebih dgn kamera 3G. File tersebut bernama "PUJA 1.3GP." PUJA singkatan dari Puncak Jaya. Ia terjadi dua hari sesudah deadline militer Indonesia bagi panglima OPM Goliat Tabuni untuk "menyerahkan diri" pada 28 Mei 2001 di Puncak Jaya.

Dari database korban pelanggaran HAM di Puncak Jaya, rekaman Piron Moribnak dari Puncak Jaya pada Juli 2010, dua lelaki: Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire. Mereka ditangkap dan disiksa oleh tentara dekat Gurage, nama sungai dan sebuah daerah dekat Tingginambut, Puncak Jaya. Kiwo lebih tua dari Gire.

Transkrip dari video tersebut juga penting. Aliansi Mahasiswa Papua memutuskan bikin transkrip dgn asumsi lelaki tua adalah Kiwo dan lelaki muda Gire. Translator seorang Lani yang mengerti bahasa Lani. Kiwo terkadang bicara dalam bahasa Lani. Asumsi ini bisa salah karena mereka berdua belum muncul. Apakah masih hidup? Atau sudah hilang?

Transkrip dibuat dgn memakai bahasa-bahasa asli dalam video: Bahasa Indonesia dan bahasa Lani. Seorang atau dua serdadu bicara dgn aksen Jawa, ada satu lagi dgn aksen Ambon, namun tak muncul dalam transkrip karena mereka tak memakai kosakata Jawa maupun Alifuru.

Dalam interogasi terhadap Kiwo, seorang tentara sebut nama Werianus "Werius" Telenggen. Dia seorang gerilyawan OPM, rekan perjuangan Goliat Tabuni, ditembak pihak Indonesia pada 17 Mei 2010. Dia dimakamkan oleh pihak gereja di Mulia.

Korban penyiksaan yang lebih muda pada video tertanggal 20 Mei 2010. Dia diduga bernama Telangga Gire.

SOLDIER: Tunjukkan senjata, tunjukkan senjata tidak? Kamu tahu senjata ada di Gurage, tunjukkan senjata!

KIWO: Saya tidak tahu, saya warga sipil biasa, tolong …

SOLDIER: Hei kau diam! Saya potong lehermu nanti, hei kau orang mana?

KIWO: Saya tidak tahu … e … e …

SOLDIER: Hei kau diam suaramu. Kalo tidak ditanya kau tutup mulutmu.

KIWO: Saya tidak tahu…

SOLDIER: Senjata dimana ? di Gurage disini dimana?

KIWO: Gurage? Ti Pilia (Translator: Orang Pilia)

SOLDIER: Baru dekat sini ada tidak? Baru Tanabaga dimana? Tanabaga senjata ada tidak?

KIWO: Tanabaga ada?

SOLDIER: Kita ke Tanabaga sekarang, Tanabaga dimana?

KIWO: Tanabaga sama Obet.

SOLDIER: Obet Siapa? Obet Tabuni? Dimana rumahnya, tahu rumahnya tidak? Tunjukkan dia sekarang dimana rumahnya?

KIWO: Tidak tahu … rumahnya tidak ada

SOLDIER: Jangan alasan, saya bunuh kau, bakar lolonya … Kau harus tunjukkan senjatanya, temanmu berada dimana? Tunjukkan temanmu kalo tidak sudah selesai.

KIWO: Ae ... (Translator: Tolong)

SOLDIER: Teman-temanmu yang bawa senjata dimana?

KIWO : Siapa?

SOLDIER: Temanmu orang-orang hutan, tunjukkan satu orang saja yang bawa senjata

KIWO: Yamuneri (Translator: Nama kampung)

SOLDIER: Ko tipu … bakar … bakar … ambil api ... bakar dia … bakar dia… Kau yang ambil. Masyarakatmu bilang kau yang ambil.

SOLDIER: Kau ambil senjata tidak?

GIRE: Senjata disini tidak ada … Di Yamoneri kah? Dimana saja disini tidak ada.

SOLDIER: Kau pernah lihat senjata tidak?

GIRE: Tidak…

SOLDIER: Kau tahu bahasa Indonesia tidak? Kau tipu.

GIRE: Saya tidak tahu bahasa Indonesia karena tidak sekolah.

SOLDIER: Kalau dikasih tahu jawab! Enak kan disiksa begini. Kau harus tahu bahasa Indonesia.

GIRE: Saya tidak tahu. Disini kami tinggal beberapa orang saja.

SOLDIER: Kau tipu, kenapa tipu? Kau tahu senjata, tadi dibilang Tinggineri, kau bilang tidak tahu to?

GIRE: Tingginambur tidak ada

SOLDIER: Kau tipu

Telangga Gire ketika kembali ke honai dia sesudah ditangkap dan ditahan tentara Indonesia di Tingginambut, menurut laporan Piron Moribnak dari Puncak Jaya pada Juli 2010.

KIWO: Kau tahu senjata to? Cepat kita pigi ambil.

SOLDIER: He senjata itu dimana? Kau tau to? Cepat … he… he ... he ...

KIWO: Yogorinip ... hae wae ... (Translator: Kau kasih tahu mereka … saya tidak tahu)

SOLDIER: Senjata taru dimana? Di honai kah? Di gereja kah? Di hutan kah? Di kandang babi kah?

KIWO: Ei ei (Translator: Aduh aduh)

SOLDIER: Di taruh dimana? Hei …! Senjata dimana?... Iyo ditaruh dimana? Di kandang babi kah? Taruh dimana? Tuli? Taruh dimana? Di honai kah? Di gereja kah? Di hutan kah? Cepat kau taruh dimana?

KIWO: Di kandang babi?

SOLDIER: Hei…betul ? Kau taruh di kandang babi? Kau taruh dimana? Hei kau jujur… ngomong jujur.

KIWO: Saya jujur, saya tidak tahu.

SOLDIER: Cepat kau jujur… kau taruh di kandang babi? Cepat ? Kau bisa ikut to? Kau taruh di kandang babi to? Kau tipu, kau taruh di kandang babi to?

Orang tua korban penyiksaan dalam video yang keluar Oktober 2010. Kalau benar dia bernama Tunaliwor Kiwo, dia belum diketahui nasibnya sekarang. Piron Moribnak dari Puncak Jaya melaporkan bahwa Kiwo belum diketahui keberadaannya ketika dia menulis laporan pada Juli 2010.

KIWO: Dimana? Tidak tahu.

SOLDIER: Kau tipu…bakar….bakar dia….bakar dia….he…he…bakar dia

KIWO: Ei…. ei…..ei…

SOLDIER: Bakar….bakar dia….bakar lolonya.

KIWO: Ei jujur be… jujur be … ei… ei… ei jujur be ….

SOLDIER: Cepat tunjukkan senjatanya ... mau jujur tidak?

KIWO: Ae jujur be … jujur be ... ae jujur be ... ae aye jujur be.

SOLDIER: Ko sama kita ambil senjata, ko ke Jogorinip sama kita ambil senjata.

KIWO: Dimana?

SOLDIER: Kita ke Yogorim ambil senjata, saya bisa ambil senjata, sama kita ambil senjata … bakar …bakar… lolonya … bakar…

KIWO: Ei ei ae ….

SOLDIER: Ko diam… saya tembak ... tembak … kau mau saya tembak mulutmu… he … kau jujur sekarang. Kau bisa ambil senjata tidak? He lolomu saya bakar lagi ... hei kau mau damai tidak? Kami tidak mau kekerasan. Saya sama kamu ke Yogorinim baru ambil senjata. Ko taruh di gereja kah? Di honai kah? Di hutan kah? Di sungai kah? Di dalam tanah kah? Kita ambil. Kau kasih tau dimana!

KIWO: Tingginambur saja , an nawi Tingginambur me, we yai me ikut yaga o… wagara… (Translator: Saya tinggal di Tingginambur, saya punya rumah di Tingginambur, saya disini cuma ikut jaga … saya tinggal)

SOLDIER: Bakar.

KIWO: Ei … aye ...

SOLDIER: Hei … kau jujur saja.

KIWO: Jujur yigirak tiarer o ... (Translator: Saya bicara jujur, tidak ada)

SOLDIER: Kalo ko di Tingginambut, senjata itu sekarang dimana? Disimpan di rumahnya siapa itu?

KIWO: Jujur ti arer o….ei…ye…eyeee.. jujur selesai (Translator: Saya bicara jujur itu saja)

SOLDIER: Kau mau antar tidak? Hei ... kau mau antar tidak? Senjata itu sekarang dimana, hei senjata sekarang dimana?

KIWO: Tinggineri

SOLDIER: Ya Tinggineri itu dimana? Di rumah siapa?

KIWO: Di rumah tidak tahu o ….

SOLDIER: Tidak tahu apa! Ko bilang ada taruh di kandang babi, mau jujur tidak?

KIWO: Honai … honai di bawah… tidak tahu o… honai di bawah me an nenggolek o (Translator: Honai … honai saya di bawah, saya tidak tahu)

SOLDIER: Weries mana? Weries!

KIWO: Weries siapa?

SOLDIER: Kau tipu saja … Weries Telenggen

KIWO: Werius mati … Brimob …

SOLDIER: Dia mati kenapa? Kau mau mati juga to, ko mau bawa pesan!

Sunday, October 10, 2010

Membakar al Quran di Cisalada


Kitab suci Al Quran yang dibakar dalam masjid Ahmadiyah di Cisalada.

PADA 1 Oktober 2010, saat peringatan apa yang disebut sebagai "Hari Kesaktian Pancasila," segerombolan orang menyerang kampung Cisalada, sekitar tiga jam naik mobil dari Jakarta, dan membakar sebuah masjid Ahmadiyah, belasan rumah, sebuah sekolah dan mobil.

Ia adalah puncak dari agitasi terhadap Ahmadiyah dari sekelompok orang, yang menyebut diri mereka "Team 10" terhadap keberadaan kaum Ahmadiyah di Cisalada. Sejak Juli, Team 10 memasang spanduk dimana mereka mengatakan Ahmadiyah "menodai Islam" ... argumentasi yang mula-mula dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia pada Juli 2005.

Saya tak hendak membahas kasus Cisalada secara khusus. Saya sudah pernah menulis panjang soal bantahan Ahmadiyah terhadap tuduhan mereka menciptakan nabi baru. Namun pembakaran itu, secara tak sengaja, juga membakar beberapa buah al Quran miliki masjid dan warga Ahmadiyah. Firdaus Mubarik, seorang aktivis Ahmadiyah yang mertua tinggal di Cisalada, mengambil gambar-gambar pembakaran.

Kejadian pembakaran Quran di Cisalada terjadi hanya tiga minggu sesudah seorang pendeta Florida, Rev. Terry Jones, membatalkan rencana membakar Quran di Gainesville. Jones sedianya hendak membakar Quran pada peringatan tragedi 11 September 2001. Dia tak setuju dengan rencana pendirian sebuah masjid dekat Ground Zero di Manhattan, New York, lokasi dimana dulu World Trade Center dihancurkan oleh al Qaeda. Jones berpendapat Ground Zero adalah "tempat suci" buat kenangan banyak warga Amerika, yang mayoritas Kristen. Pembangunan masjid di tempat itu dianggap tak peka perasaan mayoritas. Saya pribadi tidak setuju dengan pembakaran kitab apapun.

Di Indonesia, rencana Jones dapat pemberitaan luas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan minta Presiden Barack Obama mencegah Jones. Yudhoyono berpendapat al Quran adalah kitab suci. Pembakaran Quran akan meningkatkan kesalahpahaman antara Kristen dan Islam.

Obama sendiri tak setuju dengan Jones. Namun dia juga tahu di Amerika Serikat, selama seseorang tak melakukan kekerasan maupun melukai orang lain, pemerintah tak berhak melarang atau menghukum Jones. Walikota New York Michael Bloomberg juga mendorong masjid dekat Ground Zero didirikan karena semua izin sudah lengkap. Bloomberg mengatakan ide pendirian Amerika adalah kebebasan. Orang bebas beragama, orang bebas berpendapat. Agama Islam, sebagai agama kaum minoritas, tentu saja, juga boleh dipraktekkan dengan bebas di Amerika Serikat. Negara tak boleh ikut campur urusan iman.

Obama mengimbau Jones membatalkan rencana itu. Pada 9 September 2010, sesudah Jones bertemu dengan Feisal Abdul Rauf, imam masjid di Ground Zero, Jones mengumumkan pembatalan rencana membakar Quran.

Masjid Cisalada dijaga polisi sesudah dibakar.

Lalu terjadilah penyerangan Cisalada. Masjid Ahmadiyah dibakar. Al Quran dibakar. Saya kira kasus pembakaran Quran di Gainesville berbeda dengan Cisalada. Sengaja dan tidak sengaja. Namun esensi dari dua kasus ini sama: pelanggaran terhadap kebebasan beragama kaum minoritas. Ironisnya, Yudhoyono tak bicara sepatah kata pun soal isu kekerasan terhadap kaum beragama minoritas di Indonesia.

Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, sejak Yudhoyono jadi presiden pada 2004, ada lebih dari 140 gereja ditutup, sebagian dibakar. Ahmadiyah praktis tak ada masalah zaman Soekarno dan Soeharto lalu muncul sekali atau dua pada zaman B.J. Habibie, Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri. Namun kelima presiden tak mengeluarkan aturan melarang Ahmadiyah. Kok zaman Yudhoyono banjir sentimen anti-Ahmadiyah? Kok zaman Yudhoyono keluar larangan dakwah Ahmadiyah?

Cisalada hanya satu dari deretan panjang kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah: Pulau Lombok, Manis Lor, Tasikmalaya, Parung, Garut, Ciaruteun, Sadasari dan lain-lain tempat.

Halo, halo "kesaktian Pancasila"?

Masih ingat kau punya propaganda?


Ahmadiyah, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia