Friday, February 26, 2021

Perempuan Pemberani Bahas Kemerdekaan Memilih Busana

Mereka Mendesak Sekolah Negeri agar Mengikuti Aturan Baru yang Menjadikan Jilbab Sukarela


Spanduk gerbang SMPN2 Solok degan gambar kepala sekolah berjilbab panjang, tersenyum, dan bertuliskan “Selamat Datang di SMPN 2 Kota Solok. Kawasan Wajib Berbusana Muslim untuk Kota Solok Serambi Madinah,” Agustus 2018.  ©2018 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Andreas Harsono

Pekan ini saya memandu sebuah diskusi bersama tujuh perempuan pemberani –seorang guru, seorang pengacara, seorang ombudsman, dua psikolog, dan dua aktivis. Mereka mengadakan pertemuan pers guna mendukung Surat Keputusan Bersama, yang memungkinkan siswi dan guru perempuan untuk memilih apakah akan mengenakan jilbab (istilah umum di Indonesia untuk kain buat menutupi kepala, leher, dan dada) di sekolah negeri. SKB tersebut memerintahkan semua pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk mencabut peraturan wajib jilbab di hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia.

Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog di Bandung, bercerita soal para pasiennya yang mengalami “body dysmorphic disorder” alias gangguan jiwa gara-gara mengalami perundungan terus-menerus agar memakai jilbab. Dua orang sudah lakukan upaya bunuh diri. Tekanan sosial itu mengingatkan Ifa pada pengalamannya sendiri, karena menerima pertanyaan tiada henti tentang apakah dia seorang Muslimat yang saleh karena memilih untuk tak memakai penutup kepala.

Meski mayoritas beragama Islam, di Indonesia juga ada banyak pemeluk agama lain termasuk yang tidak diakui pemerintah. “SKB 3 menteri ini jadi jawaban penting, memastikan kehidupan beragama tidak lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini jawaban yang sudah ditunggu-tunggu,” kata Alissa Wahid, psikolog keluarga di Yogyakarta. “Ketika merasa ajaran saya paling benar, dan di luar harus dibedakan. Kami mayoritas, maka muncul diskriminasi.”

Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat Yefri Heriani bicara soal sewenang-wenangnya peraturan wajib jilbab di Sumatra Barat. Pengacara Dian Kartika Sari menuntut agar pemerintah daerah mematuhi aturan baru dan mencabut berbagai peraturan yang “inkonstitusional”. Budhis Utami dari Kapal Perempuan, sebuah kelompok pejuang hak-hak perempuan, bicara soal petisi daring mereka yang ditandatangani oleh 184 kelompok yang meminta pemerintah Indonesia untuk menegakkan aturan baru tersebut.

Dwi Rubiyanti Kholifah dari Asian Muslim Action Network bicara tentang tuduhan tak berdasar dari kalangan konservatif bahwa mereka adalah Islamofobia ketika membela perempuan untuk memilih pakaian, tanpa formalisasi busana. “Bagi yang masih menolak, kembali untuk membaca isi dari SKB 3 Menteri,” katanya. “Banyak tafsir dengan salah.” Henny Supolo Sitepu, seorang guru, berbicara tentang perlunya sekolah-sekolah negeri mempromosikan keragaman agama dan menghentikan diskriminasi.

Momen paling pedih tampaknya tiba saat Ifa membacakan sebuah puisi berjudul “Tuhan, Aku Bertanya Pada-Mu,” tentang tiga dekade menghadapi tekanan sosial:  “Tuhan, aku mau jujur pada-Mu. Aku tidak sanggup pakai jilbab. Hatiku memberontak gelisah ketika dipaksa dan ditakuti masuk neraka. Aku tidak mau membohongi-Mu. Aku bisa gila hidup menjadi orang munafik mencari rasa aman tapi membohongi Engkau.”

Beberapa orang menangis selama pembacaan puisi dan percakapan tersebut.

Ketujuh perempuan itu dengan tegas menyampaikan dampak dari aturan wajib jilbab. Pemerintah daerah dan para kepala sekolah seharusnya melindungi hak perempuan dan anak perempuan, serta segera dan sepenuhnya mematuhi SKB baru tersebut.

Thursday, February 25, 2021

Brave Indonesian Women Discuss Freedom to Choose What to Wear

‘Magnificent 7’ Urge Schools to Follow New Ruling Making Jilbab Voluntary


Billboard in front of the gate of SMPN2 school in Solok showing the principal in a long hijab, smiling, with the words “Selamat Datang di SMPN 2 Kota Solok. Kawasan wajib berbusana Muslim untuk Kota Solok Serambi Madinah” (Welcome to Public Junior High School 2 Solok City. Mandatory Muslim clothing area for Solok City, Veranda of Medina), August 2018.  ©2018 Andreas Harsono/Human Rights Watch

By Andreas Harsono
Human Rights Watch

This week I moderated a discussion with seven courageous Indonesian women – a teacher, a lawyer, an ombudswoman, two psychologists, and two activists. They were holding a news conference to support a new government decree that allows schoolgirls and teachers to choose whether to wear a jilbab (the common term in Muslim-majority Indonesia for a head, neck, and chest covering) in state schools. The decree orders local governments and school principals to abandon regulations requiring a jilbab in nearly 300,000 state schools in the country.

Ifa Hanifah Misbach, a psychologist in Bandung, spoke about her clients who had suffered “body dysmorphic disorder” after being bullied into wearing a jilbab. Two have tried to take their lives. The social pressures reminded her of her own experience of receiving constant questions about whether she was a pious Muslim because she chose not to wear a head covering. 

Although Indonesia has a large Muslim majority, it has people of many faiths and no official religion. “The regulation is very important, crucial, to maintain the idea of Indonesia as a cohesive nation-state,” said Alissa Wahid, a family psychologist in Yogyakarta.  “Everyone has the right to religious freedom.”  

Ombudswoman Yefri Heriani spoke about abusive mandatory jilbab regulations in West Sumatra. Lawyer Dian Kartika Sari demanded that local governments obey the new rule and revoke “unconstitutional” regulations. Budhis Utami of Kapal Perempuan women’s rights group talked about their online petition signed by 184 groups asking the Indonesian government to enforce the new rule.

Dwi Rubiyanti Kholifah of the Asian Muslim Alliance Network talked about groundless accusations from conservatives that they are Islamophobic if they choose not to wear the jilbab. “Anyone who criticizes this new regulation should read it first,” she said. “There is too much disinformation.” Henny Supolo Sitepu, a teacher, talked of the need for state schools to promote religious diversity and to stop discrimination.

Perhaps the most poignant moment was when Misbach read a poem, “A Little Girl Is Asking God,” about her three decades facing social pressures: “God, isn’t it possible for me, a girl, to be myself? God, isn’t it possible for me, a girl, not to be a hypocrite? I want to be honest with myself.”

Some people sobbed during the poem and conversation.

The seven women powerfully conveyed the harm of mandatory jilbab regulations. Local governments and school officials should protect women and girls’ rights and promptly and fully comply with the new decree.

Monday, February 22, 2021

Lubang Konstitusional di Indonesia

Persoalan luar biasa pelik buat sistem hukum di Indonesia. Ada lubang konstitusional dimana semua peraturan di bawah undang-undang tak ada mekanisme buat ujian materi bila mereka tak sesuai dengan UUD 1945.

Pada 2016, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar lembaga peradilan tersebut mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan daerah. 

Apkasi mohon pasal dalam UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan perda, dicabut.

Kementerian Dalam Negeri mempertahankan posisi agar pusat bisa tetap punya wewenang. Pada tahun 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa keputusan Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan perda telah melanggar UUD 1945 dan bahwa pembatalan perda hanya dapat dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Agung.

Komisioner Komnas Perempuan, Khariroh Ali, kepada saya menjelaskan dampak putusan tersebut, “Dengan mengakhiri kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan peraturan yang inkonstitusional, MK membuat pemerintah daerah lepas kendali. Perda-perda yang tidak terkontrol ini akan menjadi sumber peraturan yang diskriminatif terhadap minoritas.”

Pemerintah pusat tak pernah membawa kasus ke Mahkamah Agung untuk menyatakan keberatan atas ratusan perda diskriminatif. Meski pihak swasta bisa mengajukan kasus, aturan Mahkamah Agung tak mengizinkan saksi, ahli atau pihak terkait lainnya untuk bersaksi di pengadilan.

Dalam Jurnal Konstitusi terbitan Mahkamah Konstitusi, Tim Lindsey, seorang ahli hukum Indonesia di Melbourne University, menggambarkan situasi tersebut sebagai “lubang konstitusional”. Mahkamah Konstitusi hanya bisa menguji konstitusionalitas undang-undang buatan parlemen namun bukan peraturan yang dibuat berdasar undang-undang. Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan apakah prosedur pembuatan sebuah peraturan dilakukan dengan dengan benar, bukan menguji konstitusionalitasnya. 

Ini berarti tidak ada ruang yudisial untuk menentukan konstitusionalitas ratusan, bila tidak ribuan, peraturan di Indonesia, termasuk lebih dari 60 peraturan soal wajib jilbab. Ini problem raksasa di Indonesia karena peraturan pelaksana undang-undang di Indonesia bisa lebih berpengaruh daripada undang-undangnya sendiri. 

Peraturan wajib jilbab misalnya bisa lebih berpengaruh, bahkan bertentangan, dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Lindsey menyarankan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kembali posisinya untuk menutup lubang hukum ini.

Mahkamah Konstitusi hanya bahas hasil legislasi nasional. Mahkamah Agung hanya uji prosedur pembuatan semua aturan di bawah undang-undang termasuk peraturan daerah --tanpa uji substansi bila mereka inkonstitusional. 

Wednesday, February 17, 2021

Manual Wawancara dari Human Rights Watch

Ini sebuah manual wawancara setebal 260 halaman buatan Human Rights Watch. Ia selalu tersedia dekat meja kerja saya buat saya baca bila ada keperluan praktis soal bagaimana lakukan wawancara tertentu. 

Bab pertama dibuka dengan pentingnya keamanan bagi pewawancara maupun orang yang diwawancara. Wawancara tentu tak perlu membuat reporter maupun korban menderita.

Bab kedua soal “informed consent” atau kesediaan sumber memberikan keterangan dengan akurat serta mendapat informasi yang cukup soal tujuan dan metode wawancara. Reporter tentu tak boleh mencuri informasi. Semua harus transparan. Sumber harus tahu dimana naskah akan terbit. Berapa panjang? Kapan kira-kira terbit? 

Consent ini bukan perkara sederhana. Sumber yang bilang bersedia diwawancarai harus benar yakin bahwa dia tahu akan tujuan wawancara. Pewawancara tentu tak berharap ketika kelak ada kontroversi dari hasil wawancara, sumber lantas mengelak dan bilang tidak bilang sesuai apa yang pernah dia sampaikan. 

Bab ketiga soal wawancara dalam keadaan khusus termasuk multimedia (kamera video atau biasa), interview jarak jauh, hubungan kelembagaan (baik antara reporter dengan organisasinya maupun sumber dengan organisasi, perusahaan atau komunitasnya), maupun kawasan konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan.

Bab keempat paling tebal. Ini soal wawancara untuk populasi khusus, misalnya, anak-anak, anak dengan disabilitas, warga senior, individu LGBT, pekerja seks, korban kekerasan domestik, penyintas penyiksaan, perempuan korban kekerasan seksual, anak lelaki dan lelaki korban kekerasan seksual maupun persyaratan bila lelaki harus wawancara perempuan korban kekerasan seksual.

Saya sempat tercekat ketika baca bagian soal bagaimana wawancara perempuan yang hamil karena diperkosa. Bagaimana tahap pendekatan? Bagaimana tahap wawancara? Apa beda bila si perempuan masih hamil dan sudah melahirkan? Ada perkara kemungkinan aborsi dalam wawancara? 

Ini belum lagi dimensi terjemahan. Lost in translation. Banyak persoalan psikologi dibahas dalam manual ini. Saya kenal Nisha Varia, peneliti hak perempuan yang menulis manual ini, tentu saja, dengan dukungan dari organisasi Human Rights Watch. 

Sebagai seorang lelaki heteroseksual serta lelaki dewasa, saya harus sering buka bab ini bila sedang bekerja dengan sumber perempuan, sumber anak, sumber homoseksual, yang merupakan korban kekerasan. Bab ini juga singgung soal sumber yang trauma karena kekerasan (terorisme, perang) atau bencana (kebakaran, banjir, longsor).

Saya dilatih untuk bisa wawancara perempuan korban kekerasan seksual, termasuk apa yang disebut "tes keperawanan" di Indonesia. Ini bukan praktek yang mudah karena memerlukan berbagai macam tahap yang tidak biasa dalam wawancara biasa. Ini juga makan waktu karena setiap tahap memerlukan waktu untuk menunggu.

Bab lain soal stress dan ketahanan (resilience) dari staf Human Rights Watch. Manual ini memang dibikin untuk internal organisasi kami. Mereka sangat hati-hati dengan kesehatan jiwa (dan badan) dari karyawan mereka. Wawancara dengan orang-orang yang mengalami trauma juga bisa sebabkan trauma sekunder. 

Kadang saya pikir mengapa persoalan kekerasan terhadap perempuan sering tak bisa diungkap karena banyak orang macam saya --peneliti, polisi, jaksa, wartawan dan seterusnya-- sering tak punya waktu buat menunggu berbagai tahap ini. Para korban mengalami trauma. Mereka takut. Mereka ingin melupakan kekeerasan seksual yang mereka alami. 

Ini manual bagus buat siapa pun yang sering bertanya dalam kehidupan mereka.

Friday, February 12, 2021

Perayaan Imlek dan demokrasi di Indonesia

Selamat rayakan Imlek dan berlibur
. Semoga libur tiga hari ini mengisi kembali energi buat bekerja, berpikir, dan berjuang minggu depan. 

Saya punya pengalaman pribadi soal Imlek. 

Saya kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1965. Pada 1968, rezim Soeharto melarang “budaya Cina” termasuk Imlek, buntut dari pemutusan hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1965. Namun pada 1970, papa saya masih jadi ketua perayaan Imlek di Jember. Panitia bikin barongsai dan naga, ramai sekali waktu diperagakan di jalan raya kota. Saya masih ingat ribuan orang menyemut di jalan raya. Semua bergembira, tanpa pandang suku, agama, gender, orientasi seksual dan lainnya. 

Ternyata ia adalah perayaan Imlek terakhir di Jember. Selama tiga puluh tahun, saya tak pernah melihat keramaian Imlek. Orang Tionghoa dirampas identitasnya: nama, agama, bahasa, kesenian dst. Nama saya diganti dari Ong Tjie Liang menjadi Andreas Harsono.

Perlahan saya skeptis terhadap semua hari raya. Idul Fitri. Natal. Tahun Baru. Bahkan hari ulang tahun saya sendiri. Saya suka menyendiri ketika orang gembira. Rasanya lebih tenang naik gunung atau pergi jauh. Jayapura. Phnom Penh. London

Presiden Soeharto mundur Mei 1998. Keadaan berubah di Indonesia. Saya sendiri berangkat ke Amerika Serikat. 


Hari Imlek, 5 Februari 2000, jatuh pada hari Sabtu. Hari itu tak ada kuliah di kampus Harvard, tempat saya belajar di Cambridge. Saya pergi mengajak Norman, anak saya, makan bubur ayam di Chinatown, Boston. Kami naik kereta api Cambridge-Boston. Norman masih umur tiga tahun. Dia suka sekali makan bubur ayam. Selesai makan, kami tak sengaja lihat tarian barongsai, persis di perempatan jalan dekat warung bubur. Ramai. Bunyi drum. Mercon. Angpao. Ia tak sebesar perayaan di Jember. Tapi ingatan masa kecil muncul kembali. 

Saya ingat tiang listrik, peninggalan Belanda, dimana saya berdiri buat lihat naga di Jember. Saya terharu dan merasakan betapa kebebasan berekspresi sangat berharga. 

Kini sudah dua dekade sejak Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 mencabut larangan 1968. Imlek dirayakan dengan terbuka. Ia kini menjadi hari raya yang biasa. 

Namun saya sadar orang Syiah sulit merayakan Asyura. Orang Ahmadiyah sulit bikin jalsah. Banyak agama lokal sulit rayakan hari-hari besar mereka. Komunitas LGBT tak berani merayakan International Day Against Homophobia setiap 17 Mei. 

Jangan tanya soal tanggal 1 Desember buat orang Papua. Bisa masuk penjara hanya karena merayakan hari deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1961. Presiden Wahid memutuskan orang Papua boleh kibarkan bendera Bintang Kejora, sayangnya, keputusan tersebut tidak didukung militer dan birokrasi Indonesia.

Saya tetap kurang suka dengan perayaan apapun. Mungkin saya pernah kecewa dan tak mau merasa memiliki Imlek. Mungkin saya malu pada minoritas yang belum bebas merayakan hari besar mereka: Ahmadiyah, Syiah, Sunda Wiwitan, Kejawen, Dayak, dan minoritas lain maupun individu LGBT. Saya sering bantu orang Papua yang masuk penjara hanya gara-gara urusan bendera. Atau orang Ambon yang secara damai merayakan 25 April 1950 buat Republik Maluku Selatan. Saya ingin semua orang di Indonesia bisa merayakan hari besar masing-masing, tanpa rasa takut, tanpa kuatir ditangkap polisi. 


Hari ini Sapariah
, isteri saya, bersikeras goreng kwetiau, beli jeruk, kukus roti, serta dodol Cina. Saya usul pesan mie ayam lewat delivery online. Toh kami sekeluarga work from home, tak ada tamu. Ini masa wabah. 

Sapariah bilang Imlek harus masak sendiri. Norman, kini sudah wartawan dan tinggal di rumah sendiri, datang buat makan malam dan menginap. Sapariah masak kwetiau buat seluruh karyawan di apartemen kami (hampir 30 orang). Sapariah orang Madura asal Pontianak. Dia lebih repot dari suaminya merayakan Imlek. Norman juga bergurau minta angpao. 

Mungkin ini hikmah dari pernikahan, saling memberi, saling merayakan kebersamaan, dan bersyukur akan kemajuan demokrasi di Indonesia. Ia tentu belum sempurna. Sekali lagi selamat merayakan Imlek. Ini juga seharusnya hari buat mengingat sesama warga Indonesia, yang belum bebas merayakan hari besar mereka, sama dengan orang Tionghoa selama tiga dekade. Semoga semuanya banyak rezeki di tahun kerbau. 🐂 

Wednesday, February 10, 2021

Kartu Pers Majalah Pantau

Bongkar slorogan dan menemukan kartu pers reporter majalah Pantau buatan tahun 2000. Ia membangkitkan banyak kenangan. Majalah ini terbitan 1999 sampai 2003, tutup beberapa bulan, terbit lagi, Desember 2003, lalu tutup lagi Maret 2004. Ia lantas berubah jadi website dan khusus bikin pelatihan menulis dan jurnalisme. 

Bekerja untuk majalah Pantau adalah salah satu periode kehidupan saya yang paling menarik. Saya pulang dari studi di Universitas Harvard pada Juli 2000. 

Di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan, yang dulu ditakuti banyak wartawan karena wewenang mengawasi media bahkan bredel suratkabar. Ketiadaan Departemen Penerangan berarti orang media sendiri makin perlu mengawasi kerja media dan tantangan jurnalisme di Indonesia. 

Institut Studi Arus Informasi, yang menerbitkan Pantau, minta saya jadi redaktur sepulang dari Harvard. Tujuannya, bikin liputan dan analisis soal media dan jurnalisme di Indonesia agar mutunya ditingkatkan. Mereka ingin masyarakat juga tahu bahwa media bisa mengawasi media. Belajar bersama Bill Kovach dan dosen lain di Harvard membuat saya dianggap dapat banyak ilmu baru di bidang jurnalisme. 

Saya juga ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994. Pada 1998-1999, saya juga ikut berbagai rapat koalisi Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia buat merancang Undang-Undang Pers yang akhirnya disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan diteken Presiden B.J. Habibie pada 1999. Ia membuat Dewan Pers jadi independen. Saya juga ikut mempersiapkan Kode Etik Wartawan Indonesia. Mereka anggap saya punya modal cukup untuk meliput media. Saya dengan senang hati menerima pekerjaan ini. 

Pada akhir 2000, sesudah mendapat dana awal dari Ford Foundation, saya lantas jalan naik kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung, mencari wartawan, seniman, dan kartunis muda guna memberikan kontribusi buat majalah ini. Ini perjalanan yang membuat saya kenal banyak orang, termasuk Eka Kurniawan, mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan kini novelis terkemuka, maupun Agus Suwage, pelukis di Yogyakarta, yang bersedia menggambar kulit muka perdana, tentu saja dengan dorongan pasangannya Titarubi, kawan lama saya dalam dunia pergerakan. 

Majalah Pantau terbit dengan wajah baru pada Maret 2001. Bulan demi bulan berlalu, dari laporan satu ke laporan lain, dari gambar dan kartun, maka ia menarik lebih banyak talenta. Saya perkirakan 200 orang lebih, yang tentu tak bisa sebut nama mereka satu demi satu, jadi kontributor Pantau. 

Joko Sudarsono, redaktur disain, memperkenalkan saya dengan banyak sekali seniman. Saya bergaul, diskusi, brainstorming dengan mereka, membuat kehidupan intelektual saya makin kaya.

Pada Maret 2003, Institut Studi Arus Informasi menutup majalah Pantau dan setuju ia dilanjutkan oleh para kontributor dengan mendirikan Yayasan Pantau. Saya ikut mendirikan Yayasan Pantau pada 3 September 2003. 

Pada November-Desember 2003, guru saya, Bill Kovach, bahkan datang ke Indonesia, keliling lima kota: Medan, Jakarta, Bali, Surabaya dan Yogyakarta. Kovach meluncurkan edisi Indonesia dari buku The Elements of Journalism.

Kovach terkesan dengan berbagai ide baru yang dibawa Pantau ke berbagai orang media a.l. elemen-elemen jurnalismebylinekulit muka tanpa textnaskah panjang yang mengawinkan disiplin verifikasi dan kenikmatan sastrapagar api antara iklan dan redaksi, honorarium yang layak buat para kontributor dan seterusnya. Pantau memperkenalkan sistem pembayaran honor per kata, waktu itu, Rp 400 per kata, yang paling tinggi di Indonesia.

Coen Husain Pontoh mengatakan pada saya bahwa ketika ruang redaksi majalah tutup, dia kehilangan tempat yang nikmat untuk berpikir dan menulis serta dapat honor yang baik. Kini Pontoh ada di New York dan mengelola website Indo Progress. 

Yayasan Pantau lebih banyak bekerja dalam bidang pendidikan jurnalistik. Ia menerbitkan buku-buku soal jurnalisme. Berkat bantuan RTS Masli, Yayasan Pantau dapat kantor di Kebayoran Lama sejak 2004. Dari kantor baru ini dibikin puluhan pelatihan setiap tahun, praktis dari Sabang sampai Merauke. Yayasan Pantau pernah menyewa Hotel Sabang Hill serta meminjam sebuah biara Katolik di Merauke. Ia mengandalkan website, pernah punya kantor cabang di Banda Aceh dan Ende, buat dua proyek yang relatif besar. 

Ada lebih dari 10,000 orang pernah ikut pelatihan Yayasan Pantau sejak tahun 2000. Salah satunya Oktavianus Pogau, wartawan muda asal Sugapa, Papua, yang berbakat menulis, haus akan pengetahuan serta pemberani. Dia mendirikan Suara Papua namun meninggal usia 23 tahun. Namanya dijadikan nama penghargaan jurnalisme oleh Yayasan Pantau.  

Pengalaman pelatihan dari kota ke kota, dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Flores, Timor, sampai Ternate, bikin saya lebih mengerti berbagai persoalan media lokal di kepulauan ini. Ia mendorong saya menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. Saya pindah kerja ke Human Rights Watch pada Juli 2008 dengan tugas pertama bikin analisis soal diskriminasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap minoritas Ahmadiyah.

Pengalaman bekerja buat dua organisasi ini, Yayasan Pantau dan Human Rights Watch, membuat saya punya rekam kerja dalam dua bidang: jurnalisme serta riset hak asasi manusia. Saya bersyukur bisa belajar dua hal yang penting buat kemanusiaan dan demokrasi. 

Sayangnya, saya tak mengalami bagaimana memakai teknologi internet buat mengembangkan jurnalisme di Indonesia. Makin cepatnya saluran internet di Indonesia serta menguatnya Google, Facebook, Twitter dan lainnya, terjadi ketika saya sudah pindah ke Human Rights Watch. 

Kartu pers ini dibikin majalah Pantau sebagai tanda pengenal. Geli juga lihat saya juga yang tandatangan kartu ini. 

Bikin sendiri, teken sendiri, pakai sendiri. 



Pidato Soeharto dalam kongres agama Khonghutju di Djakarta 1967

Hadirin jang terhormat

Para peserta kongres dan para penganut agama Konghutju di Indonesia:

Dengan pandjatan do’a sjukur ke hadirat Tuhan Jang Maha Esa, saja yang dapat memberikan sambutan pada kongres ke-VI Gabungan Perhimpunan Agama Konghutju se-Indonesia, jang diselenggarakan di saat ini.

Agama Konghutju mendapatkan tempat jang layak dalam negara kita jang berlandaskan Pantjasila ini. Pantjasila dan agama mempunjai hubungan fungsionil jang sangat kuat, sebab, dalam masjarakat jang ber-Pantjasila, agama dapat madju dan tumbuh subur, dan sebaliknja, agama jang madju dan tumbuh subur dalam masjarakat kita akan memperkuat landasan dan pertumbuhan Pantjasila itu sendiri.

Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan, bahwa Negara kita berdasarkan atas asas ke-Tuhanan Jang Maha Esa dan Negara mendjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanja masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan keperjajaannja itu.

Pantjasila dan Undang-undang Dasar kita telah tegas-tegas menjebutkan dasar ke-Tuhan-an Jang Maha Esa; sehingga soalnja sekarang jang terpenting adalah melaksanakan dasar itu dalam hidup kita sehari-hari. Setiap agama, pada dasarnja bukan sadja mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan, melainkan djuga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dalam hubungan jang lebih luas, agama djuga memberi petundjuk mengenai tata-pergaulan hidup jang sebaik-baiknja. Djelas kiranja, bahwa adjaran-adjaran agama itu harus diamalkan. Bahkan dengan berpegang teguh pada adjaran agama, kita dapat dan harus dapat membawa kemadjuan bagi masjarakat dan kehidupan di dunia. Perlu kita sadari sedalam-dalamnja, bahwa pada sertiap agama selalu terkandung djiwa kemadjuan itu.

Kemadjuan dan kebahagiaan masjarakat jang ditjita-tjitakan oleh Pantjasila, adalah kemadjuan dan kebahagiaan lahir dan batin. Kemadjuan materiil sadja, lebih-lebih jang meninggalkan nilai-nilai mental/spirituil, pada tarap terachir pasti akan mendatangkan bentjana bagi umat mansia sendiri, atau setidak-tidaknja akan menurunkan martabat dan harkat manusia sebagai machluk Tuhan. Sebaliknja, kemadjuan mental/spiritual sadja tanpa kemadjuan kebahagiaan materiil adalah tidak mungkin karena bertentangan dengan kemadjuan dan tuntutan saman modern dewasa ini. Berdasarkan falsafah Pandjasila, maka dalam pengertian kebebasan dan kemerdekaan Agama itu sekaligus melekat kewadjiban melaksanakan toleransi Agama dan saling hormat-menghormati keperdjajaan masing-masing. 

Kita telah mentukan Pandjasila sebagai falsafah Bangsa dan karena kita, oleh sebab itu wadjib melaksanakannja dalam semua bidang kehidupan. 

Dalam toleransi dan saling hormat-menghormati kepertjajaan itu, terkandung pula tanggung djawab terhadap Tuhan Jang Maha Esa, terhadap Negara dan terhadap masjarakat. Rangkaian tanggung djawab itu dapat meniadakan kemungkinan timbulnja pengaruh-pengaruh negatif dari penondjolan kepentingan golongan dan per-orangan sehingga dalam pergaulan antara umat beragama tertjipta suasana harmoni dan dapat dihindarkan fitnah atau adu-domba. Toleransi dan saling hormat-menghormati antara Agama itu adalah djiwa jang terkandung dalam sila ke-Tuhanan Jang Maha Esa, bahkan terkandung dalam setiap Agama. Segala segi pertumbuhan dan perkembangan mental/spiritual Bangsa kita. Harus dilandasi oleh tiap-tiap sila dari Pantjasila, terutama oleh sila ke-Tuhanan Jang Maha Esa sebagai sumber langsung dengan alam fikiran, kepertjajaan dan mental/spiritual.

Dalam kenjataannja, pertumbuhan dan kehidupan batin serta kepertjajaan didalam masjarakat kita ada jang bersumber pada Agama dan ada pula jang berdiri sendiri lepas dari ikatan sesuatu Agama.

Djustru karena Negara kita berazas ke-Tuhanan Jang Maha Esa, maka sebagai konsekwensinja tiap-tiap pertumbuhan alam-kebatinan dan kepertjajaan itu harus pula berdasarkan kepada adjaran agama Jang berasaskan ke-Tuhanan Jang Maha Esa. Dalam rangkaian prinsip inilah, maka pemerintah wadjib mendjaga, memelihara dan membimbing pertumbuhan alam-kebatinan dan kepertjajaan itu pada sumber jang harus berasas pada keagamaan.

Untuk kesekian kalinja, kita harus mengambil peladjaran berharga walaupun sangat pahit dari masa-masa jang lalu, dimana sisa-sisa bekas G30S/PKI ternjata telah menggunakan aliran kepertjajaan dan aliran kebatinan, jang tumbuh dalam masjarakat itu sebagai alat politik untuk memetjah belah masjarakat dan mengatjaukan keadaan. 

Oleh karena itu, dalam rangka kemurnian pelaksanaan Pantjasila dan Undang-undang Dasar 1945, harus pula terdjamin dalam pertumbuhan dan kehidupan aliran kepertjajaan dalam masjarakat agar benar-benar bersumber pada ajaran agama jang berdasarkan keTuhanan Jang Maha Esa.

Saudara-saudara penganut Agama Konghutju; Sungguh pada tempatnja, kita pandjatkan doa sjukur kehadirat Tuhan Jang Maha Esa, bahwa kita telah dilimpahi karunia kebidjaksanaan jang tinggi untuk memiliki dan memegang teguh Pantjasila, dimana agama djustru diletakan pada tempat utama dan tinggi dalam prinsip-prinsip dalam prikehidupan kita. 

Marilah kita nikmati karunia jang luhur ini dengan mendalam dan memperluas ibadah menurut kepertjajaan kita masing-masing bagi keagungan agama, bagi kesempurnaan pribadi, bagi kemadjuan dan kesedjahteraan seluruh rakjat, bangsa dan negara kita.

Achirnja, saya sampaikan utjapan selamat pada kongres ini, mudah-mudahan berhasil dan bermanfaat bagi pembinaan dan pengisian Orde-Baru jang kita tjita-tjatakan bersama. 

Semoga Tuhan Jang Maha Esa selalu melindungi dan membimbing kita semuanja. 

Sekian dan terima kasih. 

Djakarta, 23 Agustus 1967.

PEDJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

DJENDRAL-TNI


Catatan Salinan pidato Pejabat Presiden Soeharto dalam "Pembukaan Kongres VI Gabungan Perhimpunan Agama Konghucu Indonesia" pada 23 Agustus 1967 ini didapat Evi Sutrisno, dosen Fakultas Ilmu Sosial and Politik, Universitas Gadjah Mada. Ia ditaruh di blog ini agar orang banyak bisa membaca. Evi Sutrisno mengungkapkan keberadaan pidato ini dalam sebuah webinar pada 8 Februari 2021 oleh Roemah Bhinneka Surabaya. Pemerintahan Soeharto melarang Konghuchu pada 1978. Larangan ini dicabut Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000.