Monday, February 22, 2021

Lubang Konstitusional di Indonesia

Persoalan luar biasa pelik buat sistem hukum di Indonesia. Ada lubang konstitusional dimana semua peraturan di bawah undang-undang tak ada mekanisme buat ujian materi bila mereka tak sesuai dengan UUD 1945.

Pada 2016, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar lembaga peradilan tersebut mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan daerah. 

Apkasi mohon pasal dalam UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan perda, dicabut.

Kementerian Dalam Negeri mempertahankan posisi agar pusat bisa tetap punya wewenang. Pada tahun 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa keputusan Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan perda telah melanggar UUD 1945 dan bahwa pembatalan perda hanya dapat dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Agung.

Komisioner Komnas Perempuan, Khariroh Ali, kepada saya menjelaskan dampak putusan tersebut, “Dengan mengakhiri kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan peraturan yang inkonstitusional, MK membuat pemerintah daerah lepas kendali. Perda-perda yang tidak terkontrol ini akan menjadi sumber peraturan yang diskriminatif terhadap minoritas.”

Pemerintah pusat tak pernah membawa kasus ke Mahkamah Agung untuk menyatakan keberatan atas ratusan perda diskriminatif. Meski pihak swasta bisa mengajukan kasus, aturan Mahkamah Agung tak mengizinkan saksi, ahli atau pihak terkait lainnya untuk bersaksi di pengadilan.

Dalam Jurnal Konstitusi terbitan Mahkamah Konstitusi, Tim Lindsey, seorang ahli hukum Indonesia di Melbourne University, menggambarkan situasi tersebut sebagai “lubang konstitusional”. Mahkamah Konstitusi hanya bisa menguji konstitusionalitas undang-undang buatan parlemen namun bukan peraturan yang dibuat berdasar undang-undang. Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan apakah prosedur pembuatan sebuah peraturan dilakukan dengan dengan benar, bukan menguji konstitusionalitasnya. 

Ini berarti tidak ada ruang yudisial untuk menentukan konstitusionalitas ratusan, bila tidak ribuan, peraturan di Indonesia, termasuk lebih dari 60 peraturan soal wajib jilbab. Ini problem raksasa di Indonesia karena peraturan pelaksana undang-undang di Indonesia bisa lebih berpengaruh daripada undang-undangnya sendiri. 

Peraturan wajib jilbab misalnya bisa lebih berpengaruh, bahkan bertentangan, dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Lindsey menyarankan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kembali posisinya untuk menutup lubang hukum ini.

Mahkamah Konstitusi hanya bahas hasil legislasi nasional. Mahkamah Agung hanya uji prosedur pembuatan semua aturan di bawah undang-undang termasuk peraturan daerah --tanpa uji substansi bila mereka inkonstitusional. 

No comments: