Wednesday, February 10, 2021

Pidato Soeharto dalam kongres agama Khonghutju di Djakarta 1967

Hadirin jang terhormat

Para peserta kongres dan para penganut agama Konghutju di Indonesia:

Dengan pandjatan do’a sjukur ke hadirat Tuhan Jang Maha Esa, saja yang dapat memberikan sambutan pada kongres ke-VI Gabungan Perhimpunan Agama Konghutju se-Indonesia, jang diselenggarakan di saat ini.

Agama Konghutju mendapatkan tempat jang layak dalam negara kita jang berlandaskan Pantjasila ini. Pantjasila dan agama mempunjai hubungan fungsionil jang sangat kuat, sebab, dalam masjarakat jang ber-Pantjasila, agama dapat madju dan tumbuh subur, dan sebaliknja, agama jang madju dan tumbuh subur dalam masjarakat kita akan memperkuat landasan dan pertumbuhan Pantjasila itu sendiri.

Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan, bahwa Negara kita berdasarkan atas asas ke-Tuhanan Jang Maha Esa dan Negara mendjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanja masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan keperjajaannja itu.

Pantjasila dan Undang-undang Dasar kita telah tegas-tegas menjebutkan dasar ke-Tuhan-an Jang Maha Esa; sehingga soalnja sekarang jang terpenting adalah melaksanakan dasar itu dalam hidup kita sehari-hari. Setiap agama, pada dasarnja bukan sadja mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan, melainkan djuga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dalam hubungan jang lebih luas, agama djuga memberi petundjuk mengenai tata-pergaulan hidup jang sebaik-baiknja. Djelas kiranja, bahwa adjaran-adjaran agama itu harus diamalkan. Bahkan dengan berpegang teguh pada adjaran agama, kita dapat dan harus dapat membawa kemadjuan bagi masjarakat dan kehidupan di dunia. Perlu kita sadari sedalam-dalamnja, bahwa pada sertiap agama selalu terkandung djiwa kemadjuan itu.

Kemadjuan dan kebahagiaan masjarakat jang ditjita-tjitakan oleh Pantjasila, adalah kemadjuan dan kebahagiaan lahir dan batin. Kemadjuan materiil sadja, lebih-lebih jang meninggalkan nilai-nilai mental/spirituil, pada tarap terachir pasti akan mendatangkan bentjana bagi umat mansia sendiri, atau setidak-tidaknja akan menurunkan martabat dan harkat manusia sebagai machluk Tuhan. Sebaliknja, kemadjuan mental/spiritual sadja tanpa kemadjuan kebahagiaan materiil adalah tidak mungkin karena bertentangan dengan kemadjuan dan tuntutan saman modern dewasa ini. Berdasarkan falsafah Pandjasila, maka dalam pengertian kebebasan dan kemerdekaan Agama itu sekaligus melekat kewadjiban melaksanakan toleransi Agama dan saling hormat-menghormati keperdjajaan masing-masing. 

Kita telah mentukan Pandjasila sebagai falsafah Bangsa dan karena kita, oleh sebab itu wadjib melaksanakannja dalam semua bidang kehidupan. 

Dalam toleransi dan saling hormat-menghormati kepertjajaan itu, terkandung pula tanggung djawab terhadap Tuhan Jang Maha Esa, terhadap Negara dan terhadap masjarakat. Rangkaian tanggung djawab itu dapat meniadakan kemungkinan timbulnja pengaruh-pengaruh negatif dari penondjolan kepentingan golongan dan per-orangan sehingga dalam pergaulan antara umat beragama tertjipta suasana harmoni dan dapat dihindarkan fitnah atau adu-domba. Toleransi dan saling hormat-menghormati antara Agama itu adalah djiwa jang terkandung dalam sila ke-Tuhanan Jang Maha Esa, bahkan terkandung dalam setiap Agama. Segala segi pertumbuhan dan perkembangan mental/spiritual Bangsa kita. Harus dilandasi oleh tiap-tiap sila dari Pantjasila, terutama oleh sila ke-Tuhanan Jang Maha Esa sebagai sumber langsung dengan alam fikiran, kepertjajaan dan mental/spiritual.

Dalam kenjataannja, pertumbuhan dan kehidupan batin serta kepertjajaan didalam masjarakat kita ada jang bersumber pada Agama dan ada pula jang berdiri sendiri lepas dari ikatan sesuatu Agama.

Djustru karena Negara kita berazas ke-Tuhanan Jang Maha Esa, maka sebagai konsekwensinja tiap-tiap pertumbuhan alam-kebatinan dan kepertjajaan itu harus pula berdasarkan kepada adjaran agama Jang berasaskan ke-Tuhanan Jang Maha Esa. Dalam rangkaian prinsip inilah, maka pemerintah wadjib mendjaga, memelihara dan membimbing pertumbuhan alam-kebatinan dan kepertjajaan itu pada sumber jang harus berasas pada keagamaan.

Untuk kesekian kalinja, kita harus mengambil peladjaran berharga walaupun sangat pahit dari masa-masa jang lalu, dimana sisa-sisa bekas G30S/PKI ternjata telah menggunakan aliran kepertjajaan dan aliran kebatinan, jang tumbuh dalam masjarakat itu sebagai alat politik untuk memetjah belah masjarakat dan mengatjaukan keadaan. 

Oleh karena itu, dalam rangka kemurnian pelaksanaan Pantjasila dan Undang-undang Dasar 1945, harus pula terdjamin dalam pertumbuhan dan kehidupan aliran kepertjajaan dalam masjarakat agar benar-benar bersumber pada ajaran agama jang berdasarkan keTuhanan Jang Maha Esa.

Saudara-saudara penganut Agama Konghutju; Sungguh pada tempatnja, kita pandjatkan doa sjukur kehadirat Tuhan Jang Maha Esa, bahwa kita telah dilimpahi karunia kebidjaksanaan jang tinggi untuk memiliki dan memegang teguh Pantjasila, dimana agama djustru diletakan pada tempat utama dan tinggi dalam prinsip-prinsip dalam prikehidupan kita. 

Marilah kita nikmati karunia jang luhur ini dengan mendalam dan memperluas ibadah menurut kepertjajaan kita masing-masing bagi keagungan agama, bagi kesempurnaan pribadi, bagi kemadjuan dan kesedjahteraan seluruh rakjat, bangsa dan negara kita.

Achirnja, saya sampaikan utjapan selamat pada kongres ini, mudah-mudahan berhasil dan bermanfaat bagi pembinaan dan pengisian Orde-Baru jang kita tjita-tjatakan bersama. 

Semoga Tuhan Jang Maha Esa selalu melindungi dan membimbing kita semuanja. 

Sekian dan terima kasih. 

Djakarta, 23 Agustus 1967.

PEDJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

DJENDRAL-TNI


Catatan Salinan pidato Pejabat Presiden Soeharto dalam "Pembukaan Kongres VI Gabungan Perhimpunan Agama Konghucu Indonesia" pada 23 Agustus 1967 ini didapat Evi Sutrisno, dosen Fakultas Ilmu Sosial and Politik, Universitas Gadjah Mada. Ia ditaruh di blog ini agar orang banyak bisa membaca. Evi Sutrisno mengungkapkan keberadaan pidato ini dalam sebuah webinar pada 8 Februari 2021 oleh Roemah Bhinneka Surabaya. Pemerintahan Soeharto melarang Konghuchu pada 1978. Larangan ini dicabut Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000.


No comments: