Tuesday, March 28, 2006

Pram soal Fasisme Jawa

Resensi Buku

Saya Terbakar Amarah Sendirian:
Pramoedya Ananta Toer Dalam Perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira

Penyusun Andre Vltchek & Rossie Indira
Editor Candra Gautama & Linda Christanty
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Januari 2006
xxix + 131 halaman


PRAMOEDYA Ananta Toer kembali angkat bicara. Kini Pram menggugat apa yang disebutnya sebagai “fasisme Jawa” atau ”Jawanisme” --faham yang berkembang di kepulauan ini sejak ratusan tahun silam hingga hari ini.

”Jawanisme adalah taat dan setia membabi buta pada atasan,” kata Pram. Kesetiaan dan ketaatan ini membuat orang mudah bertekuk lutut kepada rezim Belanda, Jepang dan sekarang Indonesia. Fasisme Jawa ini mengakar. Fasisme Jawa ini membuat orang Indonesia hanya berdiam diri saat dijajah dan dijarah.

Dulu bangsawan-bangsawan Jawa membantu pemerintah Hindia Belanda mengatur dan mengisap kekayaan alam dan manusia di Jawa, Sumatera, Borneo, Ambon, Celebes dan sebagainya. Selama berpuluh-puluh tahun, kata Pram, Jawa mengirimkan serdadu-serdadu bayaran ke luar Jawa. Pasukan ”kumpeni” ini ikut membantai para pejuang Aceh dan lainnya yang melawan Belanda.

Keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Belum bebas dari kolonialisme Belanda, kuku-kuku Jepang datang mencengkeram. Cuma dalam tempo tiga hari setelah mendarat di Pulau Jawa, nyaris semua serdadu Nippon terlibat pemerkosaan massal perempuan lokal. Jepang merekrut 700 ribu petani dalam program romusha. Mereka jadi tenaga kerja paksa dan sekitar 300 ribu orang mati.

Lalu Indonesia merdeka. Tapi kenangan Pram terkait erat dengan kudeta militer di tanah Jawa pada 1965. Hiruk-pikuk Jakarta berubah menjadi sunyi. Di Sungai Brantas mayat-mayat mengapung.

Naiknya Jenderal Soeharto ke kursi presiden Indonesia dibayar nyawa dua juta penduduk di Jawa. Itu menurut versi Laksamana Sudomo, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ketika itu. Hitungan komandan Para Komando Angkatan Darat Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, yang langsung memimpin operasi, jumlahnya lebih mengerikan: tiga juta jiwa!

Jumlah korban itu belum ditambah lagi yang dibui, hilang entah di mana rimbanya, atau terpaksa mengasing ke negeri orang. Sedangkan Pram, dia ditangkap dua minggu setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal.

Dari keseluruhan tahanan Pulau Buru yang berjumlah 14.000, Pram termasuk 500 orang tahanan pertama. Dia menjalani kerja paksa selama sepuluh tahun di kamp konsentrasi tersebut. Di sanalah lahir empat novel sekuel dengan judul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Mahakarya yang dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru ini mensejajarkan Pram penulis kelas dunia.

Sadar bahwa pemerintah akan merampas tulisannya, di Pulau Buru Pram mengetik naskahnya dalam beberapa salinan. Satu salinan disebarkan di antara para tahanan, yang lain dilayangkan ke gereja. Nah, rupanya salinan naskah inilah yang kemudian diselundupkan ke luar Pulau Buru dan dikirim ke Eropa, Amerika dan Australia.

Sampai sekarang Pram masih merasa marah bila mengingat peristiwa pembakaran perpustakaan pribadi dan delapan naskahnya oleh segerombolan tentara Indonesia. ”Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan!” ungkapnya, geram.

Amarah Pram ini direkam dalam wawancara selama empat bulan dengan pasangan suami-isteri Andre Vltchek, jurnalis dan pembuat film asal Amerika, serta Rossie Indira, mantan seorang aktivis Partai Komunis Indonesia, yang bekerja sebagai arsitek dan kolumnis. Mereka merekam jawaban atas 150 pertanyaan yang diajukan Vltchek-Indira dari Desember 2003 hingga Maret 2004.

Sebelum diterbitkan di Jakarta, versi Inggris muncul duluan dengan judul Exile: Conversations With Pramoedya Ananta Toer. Dalam edisi bahasa Melayu, buku ini disunting Linda Christanty, penerima Khatulistiwa Literary Award.

Pram memaparkan bagaimana Jawanisme masih dominan Indonesia hari ini. Rezim Soeharto telah merontokkan cita-cita pendiri bangsa dan menggantinya dengan Jawanisme. Sejak terhentinya ”revolusi nasional” pada 1965, Pram melihat proses pembusukan yang terus-menerus. Korupsi di birokrasi kian berurat akar. Para elit dan penguasa dibiarkan menjarah sumber daya alam milik masyarakat di Aceh, Riau, Kalimantan, Papua dan sebagainya. Sedangkan para pembunuh dan jenderal-jenderalnya bebas pelesiran.

Pram mendukung Timor Leste untuk menjadi negeri yang merdeka dari Indonesia. Sekitar 180,000 jiwa terbunuh selama perang Timor. Dan Soeharto, kata Pram, harus bertanggung jawab atas kebiadaban itu.

Soeharto juga bertanggung jawab atas pembantaian ribuan orang di Aceh. Ini menunjukkan ketidakmampuan Belanda maupun Jawa menundukkan Aceh. Apalagi, seperti Pram bilang, ”Orang Aceh punya keberanian individu.”

Berbicara tentang Indonesia, diakui Pram, membuatnya kebakaran sendirian. Dia menyesali tak lahirnya pemimpin di Indonesia sejak Soekarno. Saat ini tak ada calon presiden yang bisa dipilih karena tak ada seorang pun memiliki wawasan keindonesiaan dan prestasi individu. Begitupun masyarakatnya. Konsumtif dan cenderung acuh terhadap keadaan bangsanya.

“Yang mereka lakukan dari hari ke hari hanyalah beternak, konsumsi dan mengemis tanpa melakukan produksi!” dia geram.

Argumentasi Pram soal fasisme ini sama dengan ide kritisi terhadap Prof. Soepomo, salah satu arsitek negara Indonesia. Marsillam Simanjuntak dalam buku "Pandangan Negara Integralistik: sumber, unsur, dan riwayatnya dalam persiapan UUD 1945," menerangkan bahwa Soepomo mengagumi fasisme Jerman dan Jepang. Adnan Buyung Nasution dalam tesisnya juga mengatakan rezim Soeharto lebih kejam dan membunuh lebih banyak orang dari Belanda dan Jepang.

Pram juga prihatin soal bahasa Indonesia. Di mata Pram, belakangan bahasa ini sudah menjadi brengsek. Bahkan penggunaan bahasa oleh media di negeri ini sudah kacrut. Setali tiga uang atas dunia sastra. Pram menilai tak ada seorang penulis atau seniman Indonesia yang bisa jadi simbol oposisi.

Pertanyaan-pertanyaan Vltchek dan Indira mengorek banyak sekali perasaan atau isi pikiran Pram. Termasuk solusi yang mesti ditempuh anak negeri ini supaya tak ikut menjadi busuk. Jalan keluar satu-satunya dari gelombang pembusukan ini, kata Pram, cuma revolusi! Gerakan besar yang kembali membawa Indonesia pada titik nol.

Pram mengatakan dia tak dapat lagi mengungkapkan amarah maupun gagasan revolusionernya dalam karya tulis. Dia mengaku ”benar-benar tidak bisa menulis lagi.”

Di Indonesia, bisa jadi buku hasil wawancara ini merupakan satu-satunya buku yang diberi komentar oleh Noam Chomsky dari Masachussett Institute of Technology. Menurut Arts and Humanities Citation Index, antara 1980 dan 1992, Chomsky adalah nara sumber yang paling banyak dikutip dari semua ilmuwan yang masih hidup di dunia dan nomor delapan dari semua sumber.

Chomsky tanpa ragu menyatakan buku ini, ”Memukau... pilu tiada akhir”.


-- Ucu Agustin, kontributor sindikasi Pantau, kini sedang mempersiapkan film dokumenter tentang Pramoedya Ananta Toer.

Thursday, March 23, 2006

Forbes Menggiring Bola RUU Aceh

Oleh SAMIAJI BINTANG, 1000 kata
PANTAU

KALAU ditanya siapa paling gesit menggiring bola Rancangan Undang-undang Aceh di Senayan, barangkali jawabannya adalah Forbes alias Forum Bersama. Bintang-bintang lapangannya 11 legislator asal Tanah Rencong yang terpilih dalam pemilihan umum 2004.

Ada bintang yang terbilang muda dan debutan. Semisal Teuku Riefky Harsya dari Partai Demokrat, Muhammad Nasir Djamil dan Andi Salahuddin dari Partai Keadilan Sejahtera. Muhammad Fauzi asal Partai Bulan Bintang. Mereka baru merumput di Senayan, tentu saja, Senayan versi Dewan Perwakilan Rakyat.

Djamil bekas wartawan harian Serambi Indonesia di Banda Aceh. Dia alumnus Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry. Sedangkan rekannya, Andi bekas pegiat lembaga dakwah kampus dan bos Furqaan Agency di Banda Aceh. Fauzi mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.

Tapi tak semua pemain muda. Kesebelasan ini juga memiliki jago-jago tua. Ada Tengku Muhammad Yus yang rambutnya erwarna perak. Muchtar Aziz yang lama mengajar di perguruan tinggi Islam di Lampung, Jakarta dan Aceh. Dia beberapa kali terpilih jadi legislator di Senayan. Imam Syuja' juga termasuk pemain tua. Dia ketua Muhammadiyah di Aceh.

Lalu ada Ahmad Farhan Hamid, mantan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Doktornya dari Universiti Sains Malaysia di Penang pada 1994. Farhan juga punya apotik. Dalam kesebelasan ini Farhan didaulat jadi El Capitan. Ibarat kelapa, makin tua makin gurih santannya. Farhan tahu betul mengatur ritme dan menyemangati anggota timnya bermain di Senayan. Farhan punya target besar, "Goal kita undang-undang."

Sebenarnya Forbes dibentuk Oktober 1999, sesaat sesudah pelantikan legislator periode 1999-2004. Orang-orangnya berasal dari berbagai fraksi. Misinya lumayan berat: memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pertandingan pertama, ketika MPR membuat Garis-garis Besar Haluan Negara dimana ada bagian khusus Aceh dan Papua. Hasilnya biasa saja.

Pertandingan berlanjut di Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang pertama yang digoalkan adalah tentang pelabuhan bebas Sabang pada 2000. Namun UU ini tak bergigi. Meski tertulis kapal asing dibebaskan berlabuh di Sabang dan tak dibebani bea masuk saat menurunkan barang, sejak darurat militer diberlakukan pertengahan 2003, Sabang praktis tertutup bagi kapal dagang internasional. Mereka masih kalah juga.

Namun pertandingan demi pertandingan diikuti Forbes di Senayan. Tantangan yang dihadapi lebih berat. Pada 2001, mereka menggoalkan UU No. 18 tentang otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam. Aturan ini beranak-pinak. Salah satunya keputusan Presiden Abdurrahman Wahid No. 11 tahun 2003 soal mahkamah syar'iyah dan mahkamah syar'iah di Aceh.

"Itu kerja kami yang signifikan," ungkap El Capitan. "Forum ini menjadi model bagi legislator dari daerah lain."

Kiprah mereka mencerminkan bahwa politik etnik tidak kalah pentingnya dibanding politik partai alias politik nasional. Legislator menyuarakan kepentingan etnik mereka seimbang kalau tidak lebih kuat daripada kepentingan partai mereka.

Ini sudah diramalkan tokoh misterius Aceh, Muhammad Hasan Tiro, dalam bukunya "Demokrasi untuk Indonesia" (1958). Intinya, Indonesia terdiri dari berbagai "suku" dan umur mereka jauh lebih tua dari identitas keindonesiaan. Kalau harus tersudut, orang cenderung memilih etnik mereka daripada Indonesia.

Kebangsaan Indonesia, menurut Hasan Tiro, "... suatu kebangsaan yang tidak mempunyai perasaan saling bersimpati dan belas kasihan antara satu sama lain; suatu kebangsaan yang tidak merasakan kesenangan dan kesedihan bersama; tegasnya suatu bangsa yang tidak mempunyai collective pride and humiliation, pleasure and regret, yang oleh John Stuart Mill dikatakan sebagai syarat yang paling utama bagi adanya suatu kebangsaan."

Ketika Aceh selama beberapa dekade dibikin susah oleh "Jawa Indonesia" maka politik etnik ini pula yang dimainkan legislator asal Aceh. Mereka mirip kiprah pemain Brazil di klub-klub papan atas Eropa. Begitu dipanggil dan terdaftar dalam tim nasional, mereka bakal membela mati-matian bendera Brazil dengan taktik goyang Samba. Di Forbes, kata Farhan, "Tidak ada ikatan ideologi."

Di Senayan, sering legislator asal Aceh ini duduk bersebelahan. Lain hari duduk jauh berseberangan. Saat rapat dengar pendapat dengan bekas "jenderal-jenderal Jawa" beberapa pekan lalu, Farhan dan kawan-kawan tak kalah sengit beradu argumen. Farhan, Zainal dan Nurlif menampik tudingan-tudingan para jenderal bahwa RUU Aceh akan jadi cikal-bakal Aceh lepas dari Indonesia.

Farhan kelihatannya marah besar mendengar para pensiunan serdadu Indonesia itu macam Bambang Triantoro, Kharis Suhud dan Syaiful Sulun. Farhan mengungkit sejarah penindasan terhadap bangsa Aceh setelah bergabung dengan Indonesia.

"Kereta api dihilangkan, pabrik gula dihilangkan, pelabuhan ekspor-impornya dihilangkan. Dan kata-kata penolakan itu sangat menyakitkan bagi rakyat Aceh," ungkap Farhan.

"Selama 30 tahun setiap hari rakyat Aceh melihat empat lima mayat. Hampir 30 tahun yang terganggu bukan hanya perekonomian, tapi juga ibadah. Setiap magrib rakyat tidak bisa keluar rumah. Salat tarawih dijaga," Nurlif menimpali.

Mereka juga gesit merangkul 40 legislator lain non-Aceh yang duduk di panitia khusus RUU Aceh terutama dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Soalnya, di Senayan anak-anak buah Megawati Soekarnoputri ini berulangkali menyatakan penolakannya terhadap perjanjian Helsinki.

Megawati dan kawan-kawan kuatir bila rakyat Aceh merdeka dari Indonesia. Sebaliknya, menurut Farhan, perjanjian Helsinki jadi jembatan emas bagi kelahiran UU Aceh. "Hampir tiap hari semua teman-teman melakukan lobi-lobi ke PDIP," kata Farhan.

Di luar Senayan pertemuan internal anggota Forbes dilakukan berkali-kali. El Capitan bersama kesebelasannya terus mengatur taktik menjebol Senayan. Forbes mengundang tokoh-tokoh adat, gubernur dan mantan gubernur, petinggi DPRD Aceh serta anggota GAM ke Senayan.

Mereka sering rapat di kantor perwakilan Aceh di Jalan Indramayu, Menteng, maupun di Hotel Mulia, sebuah hotel bintang lima di Senayan, bersama anggota-anggota DPRD Aceh. Mereka dibantu organisasi-organisasi nonpemerintah, dari Jawa maupun Aceh, yang tergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh. Tak tanggung-tanggung mereka beradu argumen hingga larut malam dengan menempati ruang hotel itu.

Siapa sponsor mereka? "Kami difasilitasi NGO. Kami tidak punya duit. Iuran bulanan saja cuma Rp 250,000," terang El Capitan.

NGO tersebut adalah "Partnership for Governance Reform in Indonesia" -sebuah organisasi donor bentukan United Nations Development Programe, World Bank, Asian Development Bank, dan beberapa negara donor Eropa. Banyak orang penting duduk dalam kepengurusan Partnership termasuk Susilo Bambang Yudhoyono maupun almarhum Nurcholish Madjid. Sanjaya Utama, advisor program wilayah Aceh dan Papua, mengatakan Partnership mendukung Forbes menggoalkan RUU Aceh.

Forbes tinggal bilang ke Partnership jika butuh ahli hukum atau lainnya. Bahkan kata Sanjaya, lembaga ini akan mendukung dan menyiapkan kebutuhan bagi Forbes untuk menggelar berbagai macam pertemuan hingga kampanye media di luar Senayan.

"Dukungan kami berikan untuk penguatan Forbes di Pansus, sosialisasi dan pertemuan bersama stakeholder undang-undang ini. Butuh apapun kami sediakan. Tapi bantuan kami bukan dalam bentuk dana," kata Sanjaya.

El Capitan bersama tim Forbes sudah mendapat dukungan Partnership dan moral dari DPRD Aceh. Bagaimana jika bola tak berhasil menembus gawang? Atau bola RUU ini digerogoti hingga kehilangan giginya?

"Saya tidak pernah membayangkan itu. Saya optimis undang-undang ini goal," Farhan menyungging senyum.

Monday, March 20, 2006

Kuliah Sejarah Aceh di Senayan

Imam Shofwan, 950 kata
Pantau


Dua profesor Universitas Syiah Kuala datang ke Senayan dan memberi kuliah sejarah Aceh untuk 24 anggota panitia khusus Rancangan Undang-undang Aceh. Namun Prof. Ibrahim Hasan dan Prof. Syamsuddin Mahmud sebenarnya diundang Selasa lalu (14/3) dalam kapasitas sebagai mantan gubernur Aceh.

Syamsuddin bergaya guru. Dia banyak bicara sejarah “kekhususan” Aceh. Gayanya mungkin sesuai dengan bagaimana dia memandang dirinya sendiri dalam biografinya, “Biografi Seorang Guru di Aceh” (2004).

Sesuai perjanjian Helsinki Agustus lalu, antara Gerakan Acheh Merdeka dan Republik Indonesia, Aceh akan mendapatkan otonomi penuh, termasuk memiliki struktur pemerintahan sendiri, anggaran sendiri bahkan bendera dan lagu kebangsaan sendiri.

Ia juga akan memiliki jabatan “wali nanggroe” sebagai kepala adat. Indonesia hanya mengatur enam masalah: pertahanan, moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan praktek beragama. Artinya, Aceh mungkin akan menjadi “negara bagian” Republik Indonesia bila RUU Aceh ini diresmikan.

Sejarah khusus Aceh dimulai pada 15 Juni 1948 ketika Presiden Soekarno datang ke Aceh untuk berunding dengan Gubernur Militer Aceh Daud Beureuh. Soekarno minta Beureuh membantu “Republik Indonesia” yang de facto hanya Jogjakarta saja.

Kebanyakan daerah lain bergabung dengan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) bentukan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus J. van Mook. Negara-negara ini menganggap “sistem federal” lebih cocok untuk berbagai macam kesultanan, kerajaan dan daerah administrasi yang ada di Hindia Belanda. Mereka sepakat melepaskan diri dari Kerajaan Belanda.

Soekarno minta Aceh ikut memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Bila Soekarno menang, Aceh akan diberi kesempatan mengatur pemerintahan tersendiri. Daud Beureuh bersedia. Dia minta para saudagar Aceh kumpul emas untuk bantu Soekarno beli dua pesawat Dakota.

Pada 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan “Republik Indonesia Serikat” sebagai jalan tengah antara BFO dan RI. Moh. Hatta, yang mendukung sistem federal, menjadi Perdana Menteri RIS. Aceh jadi negara bagian tersendiri dengan Kutaraja (Banda Aceh) sebagai ibukota. Daud Beureuh jadi gubernur.

Namun sistem ini tidak bertahan lama. Pada 17 Agustus 1950, Soekarno membubarkan Republik Indonesia Serikat dan mendirikan NKRI. Hatta mengundurkan diri. Soekarno memindahkan ibukota Indonesia dari Jogjakarta ke Jakarta. Soekarno juga membubarkan Aceh dan mendirikan Provinsi Sumatra Timur dengan ibukota Medan. Aceh menjadi karesidenan.

Semua dokumen-dokumen serta fasilitas-fasilitas kegubernuran diangkut ke Medan termasuk mobil gubernur. Daud Beureuh diantar pulang dengan diboncengkan sepeda. Rakyat Aceh protes namun tak diindahkan Soekarno.

Pada 20 September 1953, Daud Beureuh memutuskan melawan Jakarta dan bekerja sama dengan SM Kartosuwiryo dari Darul Islam di daerah Sunda.

Jakarta menyebutnya “pemberontakan” dan mengirim pasukan dari Jawa ke Aceh. Perang terjadi di Aceh hingga pertengahan 1959 ketika Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi berunding dengan Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam.

Pada 25 Mei 1959, kedua belah pihak sepakat berdamai dan menetapkan Aceh sebagai “Daerah Istimewa” dimana Aceh boleh mendapatkan otonomi –termasuk memakai syariat Islam.

Ibrahim Hasan dan Syamsuddin Mahmud mengatakan Aceh setia terhadap proyek kebangsaan “Indonesia.” Daud Beureuh membuktikannya dengan bersedia mendukung proklamasi Soekarno-Moh. Hatta pada 17 Agustus 1945.

Dalam dengar pendapat ini, Ibrahim Hasan dan Syamsuddin juga ditemani Ramli Ridwan, pejabat gubernur Aceh selama lima bulan tahun 2000.

Tokoh penting kedua Aceh, sesudah Daud Beureuh adalah Muhammad Hasan Tiro. Ketika kuliah di Universitas Islam Indonesia di Jogjakarta pada 1950, Hasan Tiro menulis buku “Perang Aceh 1873-1927” dimana ada satu alinea berbunyi, “Aceh tidak bisa dilepaskan dari Republik Indonesia, jadi kewajiban bagi para politisi, para pendidik dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mensosialisasikan paham ini kepada masyarakat.”

Pada 1953, Hasan Tiro mengikuti gurunya, Daud Beureuh, melawan Indonesia. Jakarta pun menganggap Hasan Tiro, yang bekerja di konsulat Indonesia di New York, sebagai pengkhianat. Dia keluar dari pekerjaannya. Pada 1958, Hasan Tiro menulis buku “Demokrasi untuk Indonesia” dimana dia menawarkan konsep negara federal untuk Indonesia.

“Jadi, tidak ada maksud untuk memisahkan diri dengan Republik Indonesia,” tutur Syamsuddin.

Ketika proposal Hasan Tiro ditolak, dia mengambil Ph.D di Universitas Columbia, New York, dan bikin penelitian konstitusionalisme kesultanan Aceh. Dia menemukan bahwa Aceh tak pernah menyerah kepada Belanda. Hingga Jepang menyerbu Pulau Sumatra pada 1942, Belanda belum bisa menduduki Aceh 100 persen. Logikanya, Belanda juga tak bisa menyerahkan Aceh kepada Indonesia.

Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro melanjutkan perjuangan Aceh melawan Indonesia dengan GAM. Dia menyerang dominasi etnik Jawa dalam negara Indonesia. Indonesia, menurutnya, “nama samaran” negara Jawa.

Syamsuddin juga menjelaskan ketimpangan pendapatan antara Pulau Jawa dan daerah-daerah lain. Pemerintah Jakarta mengambil semua kekayaan sumber daya daerah-daerah. Ini menimbulkan reaksi. Masing-masing daerah reaksinya beragam. Aceh adalah bangsa yang berani melawan pengurasan kekayaan itu.

Apabila Aceh diberikan keistimewaan, apakah daerah lain akan cemburu? Menurut Syamsuddin, keistimewaan Aceh sudah ada sejak dulu dan tak ada satu daerah pun yang mengungkapkan kecemburuannya (keistimewaan serupa dinikmati Jogjakarta dimana kursi gubernur selalu dijabat gantian oleh Sultan Hamengku Buwono atau Sultan Paku Alam serta keturunannya).

Syamsuddin bilang dia pernah bekerja di Badan Perencanaan dan Pembangunan Aceh. Dia tahu banyak soal pendapatan daerah. Dia yakin masyarakat Aceh tak pernah cemburu dengan daerah Tapanuli atau Manado dimana penghasilan pajak anjingnya tinggi.

“Aceh nggak pernah cemburu Tapanuli yang banyak anjing. Manado juga. Tidak perlu cemburu,” seloroh Syamsuddin.

Selain itu pajak kendaraan. Pajak ini asli pendapatan daerah. Tapi yang menikmati pajak kendaraan adalah Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maluku tidak ada kendaraan, juga tidak cemburu.

“Sebaliknya mereka yang punya kekayaan lain tapi mereka tidak cemburu dengan Jakarta yang menikmati pajak kendaraan,” tuturnya.

Artinya, daerah-daerah yang punya perusahaan negara besar seperti di Kalimantan Timur dan Aceh pantas menikmati hasil perusahaan itu. Di Aceh, hasil penjualan gas arun di Lhokseumawe hanya sekitar 1 persen yang diberikan ke Aceh.

Syamsuddin merasa heran melihat betapa sulitnya daerah mendapatkan laba dari perusahaan negara sementara “pengusaha kecil” di seluruh Indonesia dengan mudah mendapatkan hasil laba itu.

“Ada SK Menteri Keuangan untuk menyisihkan 1 persen dari pendapatan BUMN untuk pembinaan pengusaha kecil. Kenapa untuk daerah tidak boleh tapi untuk pengusaha kecil boleh hanya dengan SK Menteri Keuangan?” kata Syamsuddin.

Kuliah itu berjalan selama 90 menit. Ketika giliran menanggapi, beberapa legislator bertanya tak kalau seriusnya. Syamsuddin bilang dia salut dengan kerja keras para legislator ini –mengundang banyak sumber dari jenderal-jenderal Indonesia hingga warga Aceh.

“Begitu banyak pendapat yang didengarkan kalau tidak memuaskan, ya keterlaluan juga,” tuturnya.

Friday, March 17, 2006

Model Pelatihan Wartawan Mahasiswa


Bagaimana bikin pelatihan untuk wartawan mahasiswa atau pemula? Ini pertanyaan yang sering saya dengar. Siapa yang cocok jadi pembicara? Berapa panjang satu sesi? Siapa yang bisa mengajarkan menulis? Berita? Feature? Opini? Bagaimana bedanya dengan media elektronik?

Nah, Pantau biasa membagi materi dalam empat kategori: (1) reportase; (2) penulisan; (3) etika; (4) dinamika ruang redaksi (newsroom). Ini pembagian yang juga biasa dilakukan di berbagai sekolah jurnalisme di Boston, New York dan beberapa kota Amerika lain. Saya dulu belajar jurnalisme dari Bill Kovach di Universitas Harvard. Harap maklum, referensi saya juga banyak dari Amerika.

Reportase termasuk teknik wawancara, riset buku, internet, database dan pengamatan di lapangan. Penulisan termasuk latihan membuat deskripsi, menggunakan dialog, diskusi soal bagaimana membuat struktur cerita dan sebagainya. Kami biasa bikin dua struktur untuk pemula: piramida terbalik dan feature. Bila sudah advanced kami berikan materi narasi.

Etika ya soal bagaimana berhubungan dengan sumber, bagaimana memandang informasi, siapa yang layak dijadikan sumber dan sebagainya. Bagaimana soal pencurian informasi? Bolehkah mengobrol lantas dijadikan naskah?

Dinamika newsroom berkenaan dengan keragaman. Misalnya, Anda hendak meliput soal apa yang disebut sebagai "terorisme" --kalangan lain menyebutnya "perang" atau "jihad"—maka sangatlah perlu untuk mengajak rekan Anda yang mengerti Islam dan mengerti debat soal "jihad" untuk terlibat. Background ini bisa memperkaya liputan. Mau meliput soal pelecehan terhadap "agama Hindu" perlu mengajak rekan yang mengerti soal Hindu dalam liputan atau diskusi. Mau bicara soal "Kristenisasi" atau "Islamisasi" ya perlu melibatkan mereka yang berasal dari agama yang dipersoalkan itu. Mau bicara soal "nasionalisme Indonesia" sebaiknya juga baca dari sumber-sumber yang independen.

Empat kategori ini belakangan dikembangkan oleh Committe of Concerned Journalists di Washington DC. Saya juga banyak mengambil ilmu dari International Center for Journalists. Saya kebetulan pernah berhubungan dengan mereka. Orang nomor satu CCJ, Bill Kovach, adalah mentor saya di Nieman Foundation on Journalism at Harvard University. Pantau menterjemahkan buku Kovach dan Tom Rosenstiel "Sembilan Elemen Jurnalisme." Saya juga pernah jadi konsultan ICFJ di Banda Aceh sehingga mengerti cara mereka membangun silabus. ICFJ sering mengajak Pantau kerja bersama.

Soal pembicara sangat penting. Ia tergantung pada banyak hal, antara lain waktu mereka, dana untuk mendatangkan mereka dan sebagainya. Kami di Pantau lebih suka menggunakan sedikit trainer daripada setiap sesi ganti trainer (ini sering jadi kebiasaan pers mahasiswa).

Metode Pantau ini menghemat waktu trainer untuk mengenal audiens ("ice breaking" cukup dilakukan sekali atau dua kali) serta mencegah pengulangan. Ia juga lebih menjamin terciptanya peluang para peserta untuk memahami apa yang dilatihkan. Makin dalam pemahaman mereka makin baik bukan? Saya sangat tidak menganjurkan sebuah program pelatihan yang menggunakan banyak trainer, ganti-ganti untuk setiap sesi. Ini membuang-buang tenaga dan waktu. Ia boros dari segi biaya dan kurang berguna dalam mencapai tujuan.

Kalau Anda setuju dengan pendekatan kami, maka Anda harus mencari trainer yang bisa tinggal di tempat pelatihan selama acara berlangsung. Ia mengajar dari sesi ke sesi. Setiap sesi standar 90 menit. Kalau terlalu panjang, peserta merasa lelah dan konsentasi menurun. Sehari penuh maksimal tiga sesi.

Ini juga biasa dilakukan dalam training yang dilakukan Pantau. Satu atau dua atau maksimal tiga trainer. Dalam "kursus jurnalisme sastrawi" misalnya, yang rutin diadakan Pantau tiap semester, selama dua minggu, hanya ada dua trainer: Janet Steele dan saya. Namun kami sering mengundang pembicara ketiga untuk sharing dan variasi. Pada kelas yang waktunya lama, katakanlah seminggu sekali pertemuan, kami juga pakai satu atau dua trainer.

Faktor lain adalah latihan menulis atau praktek. Pers mahasiswa cenderung mengabaikan latihan. Lebih banyak diskusi. Zaman saya pertama kali ikut pelatihan pers, bersama tabloid Gita Kampus di Salatiga pada 1985, pembicaranya mungkin ada 15 orang. Dari pagi sampai malam. Tak ada praktek sama sekali. Dari peserta sekitar 40 orang itu hanya tiga atau empat, yang akhirnya bisa menulis dan jadi wartawan. Anda hendak membuat "pendidikan dan latihan" namun sering lupa unsur latihan. Ini lebih menjamin peserta bisa menulis.

Ini berarti Anda juga perlu trainer yang bisa memberikan tugas dengan sangat fokus serta bersedia mengkoreksi dan membahas pekerjaan rumah. "Fokus" artinya PR itu cukup pendek tapi bisa membuat trainer melihat seberapa jauh si peserta mengerti apa yang sudah diajarkan. Janet Steele dari George Washington University sangat pandai membuat tugas PR. Saya beberapa kali mengajar bersama Janet. Saya belajar dari Janet tentang bagaimana mendisain pekerjaan rumah.

Last but not the least, wartawan yang baik belum tentu bisa jadi pengajar yang baik pula. Anda harus mencari wartawan yang mengerti perjalanan sejarah 300 tahun jurnalisme. Ia juga mengerti dasar-dasar jurnalisme lewat berbagai konvensi yang dikembangkan di berbagai belahan dunia (terutama Eropa dan Amerika dimana jurnalisme cetak berkembang paling awal). Ia juga sekaligus tahu cara mengajar, cara mendorong peserta untuk suka berdiskusi dan memotivasi mereka membaca bahan-bahan bacaan.

Tidaklah mudah mencari orang begini karena mereka rata-rata sibuk. Namun kalau Anda gigih melakukan pendekatan, saya kira Anda bisa mendapatkan wartawan-cum-trainer macam ini. Cari wartawan yang track record-nya bagus --tidak pernah campur dengan politik atau public relations. Di Jakarta, kami biasa menggunakan Amarzan Loebis, Ayu Utami, Budi Setiyono dan sebagainya.

Bagaimana soal seleksi peserta? Cara terbaik adalah minta calon peserta mengirim dua naskah yang mereka anggap terbaik. Kita bisa menilai cara seseorang berpikir lewat tulisannya. Kita bisa mencari peserta yang standarnya sama. Ini akan memudahkan proses belajar mengajar. Kalau peserta tak sama standarnya, instruktur lebih repot. Jam terbang bersama lembaga media mahasiswa juga menentukan. Ini bisa diminta lewat surat pengantar yang sekaligus cerita tentang riwayat bekerjanya dalam lembaga media.

Mungkin ini sekilas saja cara mendisain program pelatihan wartawan mahasiswa. Selamat mencoba!

Related Stories
Warming Up! Pemikiran soal Pelatihan Pers Mahasiswa
di Universitas Negeri Padang
oleh Meiriza Paramita
Ganto di Padang oleh Andreas Harsono
Latihan Jurnalisme Imbas dan Scientiarum oleh Andreas Harsono
Masa Depan Wartawan Aceh oleh Andreas Harsono

Wednesday, March 15, 2006

Minoritas Dalam Syariat Aceh

Oleh SAMIAJI BINTANG
PANTAU

BILA orang Aceh cemas menunggu pengesahan RUU Aceh di Senayan, sebagian warga daerah lain di Indonesia justru masih memperhatikan pasal-pasal soal “qanun” atau aturan pelaksanaan syariat Islam dalam rancangan ini.

Benny K. Harman dari Partai Demokrat termasuk salah satu anggota parlemen yang berpikir soal syariat Islam dalam RUU Aceh. Dalam rapat panitia RUU Aceh, Harman berkali-kali mempersoalkan kedudukan dan landasan hukum pencantuman syariat Islam.

Harman seorang pengacara asal Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia pernah jadi pengacara Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta.

"Saya khawatir. Kalau eksistensi qanun diakomodasi pansus, maka akan jadi model bagi daerah lain untuk menuntut hal yang sama," ujar Harman. Daerah-daerah lain akan bikin syariat Islam. Sebaliknya, "Bali, Papua, atau Kalimantan juga akan menuntut ekualitas untuk menerapkan hukum sesuai ajarannya."

Nusa Tenggara Timur adalah provinsi paling tinggi persentase orang Kristen di Indonesia. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, yang dianalisis dalam buku “Indonesia’s Population” oleh Leo Surjadinata, Evi N. Arifin dan Aris Ananta, jumlah penduduk beragama Katolik dan Protestan disana sebesar 89.7 persen dari populasi 3,8 juta.

Sebuah tarekat Katolik, Societas Verbi Divini, punya pengaruh besar di Pulau Flores. SVD punya sekolah calon pastor dan suster. Banyak alumninya ikut misi Katolik ke berbagai penjuru dunia.

Maksud Benny Harman, ada daerah-daerah Indonesia yang Muslim justru minoritas. Di Bali misalnya, jumlah pemeluk Hindu sekitar 87,4 persen dari total penduduk 3.1 juta sedang Muslim 10,3 persen. Jumlah orang Kristen juga besar di Sulawesi Utara, Papua, Maluku, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara. Namun Surjadinata dan Ananta mengingatkan bahwa sensus 2000 ini punya kelemahan dalam metodologinya.

Asal tahu saja, persoalan beda agama tak sedikit menorehkan darah dalam sejarah Indonesia. Lebih dari 10,000 orang mati dalam sengketa sektarian di Maluku sejak 1999. Ini juga terjadi di Poso. Kalau di Pulau Jawa dan Sumatra, orang sering bicara soal “Kristenisasi” maka di Timor, Rote, Papua, Minahasa, Sumba dan lainnya, kata ajaib adalah “Islamisasi.”

Keberatan dari minoritas Kristen membuat proklamator Mohamad Hatta menghapus tujuh kata soal syariat Islam dalam Pembukaan UUD 1945. Ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan Muslim, terutama soal otonomi daerah, sehingga pada 1950an muncul perlawanan lewat Darul Islam di tanah Pasundan maupun Republik Persatuan Sulawesi pimpinan Qahhar Mudzakkar.

Benny Harman beralasan, keistimewaan Aceh tak mesti dituangkan dalam pemberlakuan syariat Islam. Dia cemas dengan tafsir kata-kata dalam RUU Aceh “… siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.”

Walau RUU Aceh mencantumkan ketentuan Aceh harus memberi “… perlindungan kepada kelompok atau suku minoritas” tapi Harman kuatir pada qanunnya. "Karena qanun ini juga berlaku bagi semua," kata Harman.

Nursyahbani Katjasungkana, wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, juga kuatir bila qanun diberlakukan kepada kalangan minoritas di Aceh. Dia bilang “pluralisme hukum” sudah berakar sejak zaman Hindia Belanda. Mengapa sekarang harus syariat Islam?

Istilah “qanun” juga dipertanyakan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan KH Mohammad Hasib Wahab. Kyai ini mengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang. "Kenapa tidak menggunakan istilah yang bisa dinasionalkan?"

Namun sejarah perjuangan syariat Islam di Aceh sangat panjang. Aceh adalah provinsi paling Islam di Indonesia. Sekitar 99 persen dari 4 juta penduduknya beragama Islam. Ini lebih tinggi dari daerah mana pun di Asia Tenggara. Tak heran jika Aceh, sejak zaman kesultanan-kesultanan di Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaka, dikenal sebagai “Serambi Mekkah.”

Penolakan Presiden Soekarno menegakkan syariat Islam di Aceh berbuntut dengan perlawanan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Beureueh berdamai pada 1956 ketika Jakarta mau memberikan status “daerah istimewa” untuk Aceh. Namun janji syariat Islam tak dipenuhi.

Baru pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan undang-undang untuk Aceh dimana “pelaksanaan syariat Islam” diakui. Empat tahun kemudian, Aceh membentuk Mahkamah Syariah dan penggunaan istilah qanun.

Hukum cambuk sekarang lazim terjadi pada hari Jumat di seluruh Aceh walau banyak yang berpendapat hukuman ini lebih dikenakan pada orang-orang kecil daripada para pejabat yang korupsi atau tentara yang melanggar hak asasi manusia.

Qanun dalam bahasa Arab artinya himpunan peraturan atau norma yang mapan. Landasan dasar qanun adalah al Quran dan Hadits.

Menurut legislator Imam Syuja' dari Partai Amanat Nasional, yang juga kepala Muhammadiyah Aceh, syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh cuma berlaku bagi umat Islam. Warga minoritas di Aceh takkan diberlakukan syariat Islam. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan bagi yang bukan Islam," tegasnya.

Tapi bagaimana dengan kekuatiran Benny Harman?

Imam Syuja' mengatakan, "Kalau Bali atau daerah lain ingin mengajukan hukum agama sebagai peraturan, kalau memang ada silakan saja. Daerah lain juga punya hak."

Legislator asal Maluku, Sayuti Asyathri, sependapat dengan Imam Syuja'. "Asal tetap dalam koridor konstitusi," kata Sayuti.

Namun Teuku Muhammad Nurlif dari Aceh minta agar daerah lain macam Flores, Bali, Minahasa atau Papua, tak terburu-buru mengajukan agamanya sebagai kesetaraan syariat Islam di Aceh. “Harus dilihat juga sejarahnya," kata Nurlif.

Orang Aceh berjuang untuk syariat Islam selama 100 tahun lebih, sejak zaman Hindia Belanda. Ketika Soekarno memperkenalkan "Pancasila" dan diteruskan Jenderal Soeharto, maka "dasar negara" ini pun dilawan terus.

Politik agama di Indonesia tampaknya selalu emosional. Di Bali, ribut-ribut RUU Porno, mendorong tokoh dan organisasi Bali melontarkan ide “merdeka dari Indonesia.” Harian Komentar, sebuah suratkabar Manado, mengatakan dalam editorialnya kalau “daerah lain” bisa menjalankan syariat Islam maka Minahasa seharusnya juga boleh “merdeka.” Mungkin ini makna dari kekuatiran Benny Harman.

Tuesday, March 14, 2006

Linda Christanty in Ule Lheu

Image hosting by Photobucket

Linda Christanty - Gambar ini diambil Mohamad Iqbal di pantai Ule Lheu pada 25 Desember 2005, persis sehari sebelum peringatan setahun tsunami. Dari lima jepretan Iqbal, dia merasa foto ini yang paling oke.

"Hari itu pantai ini ramai oleh orang-orang yang berdamai dengan laut. Menaklukkan kenangan yang sungguh sulit aku katakan. Aku, mungkin juga kamu, memiliki kesendirian yang dalam di sore hari itu, walau kita berpura pura untuk tetap tersenyum pada pantai yang ramai dan belajar menelan getir untuk menaklukan diri sendiri. Mungkin ...," kata Iqbal.

Dalam kenangan Linda, "Aku ingat potret ini kamu ambil setelah kita ngobrol-ngobrol sama tentara-tentara dari Batalyon Raider itu. Aku sangat sepi dan sendiri dalam potret ini. Kok aku bisa begitu, ya, Bal? Apa karena gagal makan durian di Peunayong?"

Linda dan Iqbal dua sahabat karib. Linda penulis penuh bakat, pernah mendapat Kathulistiwa Award untuk kumpulan cerita "Kuda Terbang Mario Pinto." Iqbal fotografer yang liris, terkenal dengan karya hitam putihnya. Mereka anggota komunitas Pantau.

Saturday, March 11, 2006

Mahasiswa Aceh Mengawal RUU

Oleh SAMIAJI BINTANG
Pantau

Perjuangan mahasiswa Aceh mengawal proses pembahasan RUU Aceh di Senayan.


EMPAT mahasiswa itu duduk di balkon sebuah ruang rapat di gedung Parlemen Senayan Rabu lalu ketika panitia RUU Aceh hendak minta pendapat dari Badan Kerjasama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi se-Indonesia asal Bali, Riau, Papua dan Kalimantan.

Riswan Haris duduk menyandar di kursi pengunjung. Riswan adalah presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Banda Aceh. Di sampingnya, duduk Khalid Hasim dari Universitas Syiah Kuala. Dedy Susanto dan Zirhan duduk di belakang. Mereka masing-masing dari IAIN Ar Raniry dan Universitas Abul Yatama.

Mereka diam dan memandang legislator di bawah. "Itu siapa, Bang?" Dedy bertanya kepada saya. Tangannya menunjuk lelaki beruban, mengenakan pakaian serba hitam, yang baru saja memasuki ruang rapat. "Itu Permadi Satrio Wiwoho dari PDIP," jawab saya.

Dedy dan kawan-kawannya diam saja. Rapat dijadwalkan mulai pukul 3 sore. Hanya belasan dari total 51 anggota panitia sudah duduk menunggu. Namun hingga jam 4 sore, ketua panitia Ferry Mursyidan Baldan dari Partai Golkar belum juga mengetuk palu tanda rapat dibuka.

"Apa setiap rapat molor begini, Bang?" tanya Dedy lagi. Saya jawab “ya” dan pekerjaan wartawan memang menunggu.

Rapat akhirnya dibatalkan karena cuma satu delegasi datang. Artinya, dia tidak cukup mewakili aspirasi Bali, Riau, Papua dan sebagainya, yang konon tertarik minta otonomi penuh macam Aceh bila rancangan itu berjalan mulus.

Ada apa gerangan kok empat aktivis kampus-kampus Banda Aceh secara bersamaan muncul di Senayan? Tiap hari, empat pemuda itu mondar-mandir di sekitar ruang rapat. Mereka sering berhubungan dengan beberapa legislator asal Aceh maupun aktivis-aktivis dari Jaringan Demokrasi Aceh –sebuah koalisi NGO Jakarta dan Banda Aceh yang ingin menggoalkan RUU Aceh.

Risman mengatakan mereka memang punya misi "mengawal” proses pembahasan RUU Aceh dan memperhatikan satu demi satu legislator di Senayan. Pendeknya, mereka ingin tahu bagaimana rancangan itu didiskusikan di Senayan.

Mereka waswas membaca laporan soal pembahasan RUU Aceh di Senayan. Mereka kuatir Departemen Dalam Negeri, organisasi pensiunan jenderal, maupun akademisi di Pulau Jawa curiga Aceh bakal merdeka pelan-pelan jika rancangan versi DPRD Aceh digoalkan.

Sebaliknya, banyak ulama, aktivis, birokrat dan mahasiswa di Aceh tidak begitu percaya para legislator, termasuk yang asal Aceh, dalam membahas RUU Aceh ini. Mereka kuatir RUU ini akan digerogoti Jakarta.

Ada 12 politisi Aceh dalam panitia RUU Aceh dengan total anggota 51 orang. Mahasiswa ini bisa berhubungan dengan Farhan Hamid, Imam Syu’ja serta Nasir Jamil, tiga legislator Aceh dalam panitia.

Mahasiswa ini menduga legislator Senayan, terutama dari Pulau Jawa, cuma manis di bibir terhadap aspirasi perdamaian di Aceh. Mereka curiga rancangan yang dibahas dalam rapat-rapat justru rancangan versi Departemen Dalam Negeri.

Isi rancangan Departemen tak pernah disosialisasikan kepada warga Aceh. Ini galibnya kelahiran kebijakan yang diberlakukan kepada daerah-daerah di luar Jakarta dan Jawa.

Sedangkan rancangan versi DPRD Aceh justru telah digembar-gemborkan dari ruang kuliah di kampus hingga warung-warung kopi di seantero Aceh. Rancangan versi DPRD Aceh juga dicetak suratkabar dan selebaran.

Majalah Acehkita memuat rancangan versi DPRD Aceh sepanjang 37 halaman. Acehkita majalah bergengsi di Aceh. Laporannya enak dibaca, analisisnya tajam dan liputannya proporsional. Edisi Februari lalu, kulit depan majalah ini menurunkan laporan bertajuk, "Awas Sabotase dari Senayan."

Maka berbondong-bondonglah pemimpin berbagai organisasi Aceh datang ke Jakarta, dari kalangan adat hingga ulama, dari mahasiswa hingga seniman. Semuanya merasa perlu melihat sendiri pembahasan RUU Aceh.

Riswan, Khalid, Dedy dan Zirhan haqul yakin tak ada celah buat Aceh untuk merdeka dari Indonesia. "Rancangan itu bukan seperti yang ada dalam benak orang Jakarta," tegas Riswan.

"Sebagian besar yang ikut menyusun draf itu bukan orang GAM. Malahan umumnya yang membenci GAM."Kehadiran mereka berempat di Jakarta juga hasil mufakat para mahasiswa di Aceh.

Image hosting by Photobucket
Dedy Susanto (kiri) dan Riswan Haris mendatangi sebuah apartemen dekat gedung Parlemen di Senayan, berpose dengan latar belakang markas besar Kelompok Kompas Gramedia, perusahaan media besar di Indonesia.

Tiap akhir pekan wakil-wakil mahasiswa ini berkumpul di kampus Syiah Kuala atau Muhammadiyah di Banda Aceh. Mereka punya forum mingguan bernama 'Duek Pakat' --semacam musyawarah mahasiswa.

"Tapi setelah Duek Pakat pertengahan Februari lalu, kami sepakat untuk memprioritaskan pengesahan rancangan undang-undang ini," kata Riswan.Di Jakarta, mereka minta dukungan dari organisasi mahasiswa di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Soalnya, tak sedikit mahasiswa Jakarta yang tak paham betul persoalan yang dihadapi rakyat Aceh sebelum nota kesepahaman Indonesia-GAM diteken di Helsinki Agustus lalu."Tugas kami juga memberi pemahaman kepada teman-teman nasional tentang rancangan undang-undang," jelas Dedy.

Mahasiswa di Jakarta yang mereka temui, sama dengan Permadi dan kawan-kawan di Senayan, menduga isi rancangan ini banyak didikte GAM. Mereka sabar menjelaskan bahwa RUU Aceh ini dibuat semua unsur masyarakat Aceh, lewat road show, diskusi dan media.

Mereka merasa sendiri pahitnya perang antara Indonesia dan GAM sejak 1976. Sepupu Riswan, Mawardi, ditangkap dalam suatu razia pasukan Indonesia di daerah Tapaktuan enam tahun lalu. Ketika ditemukan, mayat Mawardi terbelah dadanya dan disana ditancapkan bendera GAM.

Dedy mengatakan, "RUU ini harga mati buat proses perdamaian di Aceh. Kami akan di Jakarta sampai RUU ini selesai."

Friday, March 10, 2006

Aceh dalam Sepiring Rujak

Oleh Linda Christanty

Tentang rekonstruksi dan kebiasaan orang Aceh makan buah.


SORE itu panas terik di Banda Aceh. Jalanan berdebu. Perut penuh air kelapa. Kaki pegal. Rasanya sulit berjalan tegak.

“Air kelapa bisa menawar racun dalam tubuh. Dua minggu sekali kita perlu minum air kelapa,” kata Marco Kusumawijaya, bersemangat.

Marco arsitek lulusan Belgia dan kolumnis berbagai media Jakarta. Marco pernah tinggal di Aceh sekitar setengah tahun ketika merancang dan membangun rumah untuk korban tsunami.

“Di sini orang punya kebiasaan minum air kelapa. Di kota besar seperti Jakarta, minum air kelapa sekarang jadi tren juga… terpengaruh ulasan kesehatan di majalah-majalah itu kali, ya… Ha ha ha…”

Dia tak peduli pada panas dan debu. Langkahnya ringan saja. Belum jauh kami meninggalkan bangku penjual kelapa di perempatan Jalan Teungku Syech Muda Wali, dia sudah menawari saya makan rujak di Pasar Aceh.

“Belum pernah ‘kan makan rujak Aceh? Perlu dicoba,” katanya, riang.

Kami berjalan lurus ke arah Lampulo, pelabuhan ikan yang ramai sebelum tsunami. Dulu perputaran uang di sini bisa mencapai Rp 500 juta per hari. Kini perekonomian Lampulo baru pulih sepertiga.

Bioskop Garuda atau Garuda Theatre berada tepat di kanan jalan. Meski terlanda tsunami dan berhenti beroperasi, bangunan tersebut tetap berdiri. Compang-camping, kusam, sepi.

Sekitar tahun 1930-an ada dua bioskop di kota yang dulu bernama Kutaraja ini. Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Film-film yang diputar di situ adalah film-film bisu dan hitam-putih. Deli Bioscope menjadi cikal-bakal Garuda Theatre, sedang Rex sekarang menjelma tempat makan terbuka di Peunayong. Gerobak sate padang, nasi goreng, nasi bistik, gulai kambing, berderet-deret di tanah lapang bekas Rex. Para pembeli duduk di kursi-kursi plastik, menyantap makanan dan bercengkrama.

Pada 1948 Soekarno sempat berpidato di halaman Garuda Theatre. Rakyat datang dari kampung-kampung untuk mendengar pidatonya.

“Bung Karno menghadap ke Blang Padang, lapangan yang luas itu, yang sekarang ada monumen Seulawah. Kalau saya pikir masuk akal juga, ‘kan pada waktu itu bangunan-bangunan di depan bioskop belum ada. Jadi bisa langsung terlihat lapangannya. Saksi Bung Karno pidato antara lain Janan Zamzami, karena dia tepat berada di belakang Bung Karno dan teriak ‘merdeka… merdeka!’. Janan ini abang almarhum Amran Zamzami, yang dulu presiden Mitsubishi dan ketua Bridge Indonesia,” kata Kamal Arif pada saya. Kamal, orang Aceh, arsitek sekaligus dosen di Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Soekarno juga menemui para saudagar Aceh di Atjeh Hotel.

”Bung Karno tidak pidato di situ, tapi dia nangis-nangis, dia minta bantuan pada pengusaha untuk beli Seulawah. Pemimpin lain yang ikut Bung Karno bahkan pakai baju compang-camping, sampai-sampai didatangkan tukang jahit untuk menjahitkan baju untuknya,” kata Kamal.

Rakyat pun suka rela memberikan hasil bumi mereka untuk dijual dan hasilnya dibelikan pesawat untuk kepentingan diplomasi Indonesia dengan Belanda. Dua pesawat sumbangan dari Aceh itu dinamai Seulawah.

Ketika "Republik Indonesia Serikat" resmi jadi negara berdaulat pada 27 Desember 1949, rakyat Aceh sekali lagi mengirim dana dan emas ke ibukota "Republik Indonesia" di Jogyakarta. Namun, Soekarno tak menepati janji memberi otonomi pada Aceh. Rakyat kecewa. Pada 1953, Mayor Jenderal Daud Beureuh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, memimpin pemberontakan terhadap republik yang baru berdiri ini, yang dulu didukungnya.

Image hosting by Photobucket
Pada 1948 Soekarno sempat berpidato di halaman Garuda Theatre.

AKHIRNYA kami tiba juga di rumah makan itu. Menu utamanya rujak. Semata-mata rujak! Buah batok, rumbia, sawo, nangka, tomat, semangka dipajang di rak kaca. Segar dan menggiurkan. Sepiring Rp 5000. Kuahnya dari gula merah. Piring-piring berisi buah potong tersedia, tapi saya minta irisan baru dari buah-buahan yang masih utuh.

Di Banda Aceh, rujak atau kopi dijual di rumah makan atau restoran khusus, bukan di gerobak dorong atau kios kecil. Di kota macam Jakarta, kopi cuma disajikan sebagai salah satu minuman di restoran atau warung nasi. Rujak pun dijajakan sebagai kudapan dengan gerobak keliling. Di Aceh, rujak atau kopi sering berstatus menu utama. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, kata pepatah.

“Rekonstruksi Aceh itu ‘kan tidak harus menyangkut hal-hal yang kelihatan besar, tapi seperti mengajak orang mengenang atau bernostalgia tentang kebiasaan atau peristiwa yang membuat mereka bahagia di masa lalu, seperti kebiasaan makan rujak, minum air kelapa… Hal inilah yang akan membangkitkan kebersamaan. Saya rasa itu yang justru sangat penting, selain pembangunan fisik. Selama perang ‘kan orang selalu curiga,“ celoteh Marco.

Setelah acara makan rujak selesai, kami jalan kaki ke arah Jalan Diponegoro dan melewati kedai kopi Chek Yuke yang selalu ramai.

Penganan favorit saya tersedia di Chek Yuke. Kue ketan srikaya! Tapi saya punya pengalaman lucu setelah minum dua gelas kopi susu di situ. Tiga hari kepala saya pening. David Case, teman saya dari International Center for Journalists, mengalami hal serupa. Dua hari Case tak bisa kerja gara-gara minum kopi Chek Yuke. Mungkin ada ganjanya?

Image hosting by Photobucket
Buah batok, rumbia, sawo, nangka, tomat, semangka dipajang di rak kaca. Segar dan menggiurkan. Sepiring Rp 5000. Kuahnya dari gula merah.

“Dulu ganja bukan barang terlarang. Dijual bebas di pasar. Digantung-gantung di kios, di gerobak-gerobak sayur. Ganja itu sebenarnya tanaman sela di kebun kopi. Untuk mengusir hama. Jadi kalau petani tanam ganja di kebun kopinya, hama kopi tak makan kopi, tapi makan ganja. Kopi pun selamat, “ kata Diyus Hanafi dari majalah Nanggroe.

Menurut Diyus, berdasarkan kisah ayahnya, ganja dilarang waktu Jenderal Hoegeng menjabat kepala Polisi Republik Indonesia.

“Suatu hari Hoegeng ingin tahu apa sebabnya pemuda Aceh malas-malas. Terus dia menyamar, pergi ke kampung-kampung dan ketemulah jawabannya, karena ganja,” kata Diyus, lagi.
Panas makin terik. Mungkin karena banyak pohon tumbang waktu tsunami. Mungkin karena laut makin dekat ke darat.

Namun, sejak dulu, Banda Aceh memang dekat laut. Pada lukisan cat air karya Johannes Vingboon, seorang pembuat peta atau kartografer bangsa Belanda, terlihat letak muara sampai ke tengah kota. Lukisan Vingboon bertahun 1665 dan diberi judul Bird’s Eyes View of the City of Atjeh. Dan entah kenapa, saya tak ingin menjadi burung. Saya selalu ingin melihat Aceh lebih dekat.


Linda Christanty adalah editor sindikasi Pantau di Aceh

Kesenian Melawan Fasisme

KAMI PRIHATIN dengan beberapa perkembangan kesenian belakangan ini. Kebebasan seniman bikin pameran, pertunjukan, penerbitan dan sebagainya makin menciut. Kami resah melihat makin banyak partai dan organisasi politik yang hendak meloloskan RUU Porno. Kalau ini terjadi, kami kuatir, hak masyarakat untuk menikmati karya seni dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka akan tertutup. 

Kini tanpa sebuah undang-undang khusus pun, para seniman mengalami kesusahan. Baru-baru ini duet seniman Agus Suwage dan fotografer Davy Linggar diperiksa polisi dengan tuduhan melanggar kesusilaan umum. Mulanya, mereka merancang instalasi “Pinkswing Park” dalam pameran seni CP Biennale pada 6 September-5 Oktober 2005 di Jakarta. 

Model Izabel Jahja dan aktor Anjasmara Prasetya berpose untuk menggambarkan kehidupan manusia urban. Ada sebuah becak ayunan warna merah muda (pink) diletakkan dalam ruang tersebut. Ia menghadap cermin. 

Maksudnya, sebuah parodi, tentang kaum urban miskin, yang terpinggirkan warga metropolitan dari ruang tertutup, apartemennya. Secara digital, Suwage dan Linggar menutup kelamin kedua model tersebut dengan lingkaran-lingkaran putih. 

Namun Front Pembela Islam menuduh karya itu “porno” dan menggelar demonstrasi. Mereka menuduh karya itu melecehkan umat Islam. Mereka menggugat para seniman tersebut ke polisi. Seniman ini pun jadi bulan-bulanan media hiburan sensasional. Anjasmara kehilangan dua kontraknya untuk serial televisi. 

Pada pertengahan 2004, Forum Intelektual Muda Hindu Dharma dari Bali mempersoalkan gambar sampul album penyanyi Iwan Fals, “Manusia Setengah Dewa.” Mereka mengatakan simbol Dewa Wisnu digunakan dengan “tidak etis … untuk kepentingan bisnis.” Mereka memaksa Musica’s Studios menghentikan produksi album, mengganti gambar dan menarik versi lama dari peredaran. Iwan juga berhadapan dengan polisi lewat hukum pidana. 

Pada April 2005, beberapa organisasi, termasuk Front Pembela Islam, menggugat lambang album “Laskar Cinta” band musik Dewa. Mereka menyatakan lambang tersebut adalah kaligrafi “Lafdhul Jalalah” (Allah) dan sebagai alas dekorasi panggung “diinjak-injak” musisi Dewa. 

Beberapa bulan kemudian, World Hindu Youth Organization dan Parisadha Bali memprotes sutradara Garin Nugroho karena hendak membuat film “Requiem from Java” dengan skenario berdasarkan “Ramayana.” Mereka berpendapat “Ramayana” milik umat Hindu. 

Contoh-contoh ini menunjukkan kebebasan berkesenian mulai menyempit lagi di Republik Indonesia. Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir atas suatu karya seni, namun seni adalah bidang kerja dan keahlian yang memiliki sejarah dan konvensi masing-masing. 

Soal-soal yang menyangkut perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap karya seni selayaknya memperhatikan pandangan, gagasan, pemikiran dari lingkungan disiplin seni itu sendiri. Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas karya seni dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat yang beradab dan menghormati demokrasi. 

Kami kecewa bila penilaian atas karya seni digunakan dengan sembarang pandangan. Terlebih lagi jika penafsiran dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran—dengan embel-embel “mewakili suara dan kepentingan mayoritas.” 

Kami dulunya sedikit lega ketika Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998. Pada zaman Soeharto, kesenian didikte negara. Rezim ini menangkap dan menganiaya sekitar 800 seniman, sastrawan serta wartawan. Mereka dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan. 

Indonesia juga membunuh seniman Arnold Ap di Papua dan penyair Widji Thukul di Jawa. Indonesia juga membungkam musisi band “Nyawoeng” dari Aceh maupun “Black Brothers” dari Papua. Ia juga mematikan banyak bahasa. Ia membredel berpuluh-puluh suratkabar di Jakarta. 

Orde Baru membiakkan militerisme dan fasisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Fasisme adalah pemikiran politik, gerakan atau rezim dimana ada satu bangsa, yang sering tumpang tindih dengan agama mereka, mendukung satu kepemimpinan tunggal, serta melakukan represi terhadap individu atau kelompok-kelompok minoritas. 

Mereka mengabaikan kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi, beragama, berserikat dan sebagainya. Dalam kosakata Perancis, “fascio” artinya “bundelan.” Kami kuatir “Bundelan” Orde Baru tidak ikut mundur bersama Soeharto. 

Kami kuatir ia bangkit, bukan saja dengan meredam kemerdekaan seni, namun juga keinginan bangsa-bangsa kecil di Indonesia untuk bisa mengatur dirinya sendiri. Baik bangsa Timor, bangsa Aceh, Papua dan sebagainya. Dari Sabang sampai Merauke, berjajar rasa cemas, sambung-menyambung menjadi satu, terhadap fasisme agama dan kebangsaan. 

Fasisme ini pula yang menindas kebebasan beragama dengan menutup paksa gereja-gereja Kristen di Pulau Jawa. Mereka mengharamkan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme. Bukankah “Bhinneka Tunggal Ika” sama dengan pluralisme? Mereka juga menindas kaum Ahmadiah. Merusak rumah-rumah kaum Ahmadiah. Mengusir para penghuninya. 

Kami kuatir pengaruh fasisme ini bergentayangan di berbagai organisasi nonpemerintah maupun birokrasi dan militer Indonesia. Kami mencintai kesenian. Seni memperkaya kemanusiaan kita. Seni adalah sebagian jawaban untuk demokratisasi Sabang sampai Merauke. Namun seni takkan berkembang dalam suasana penuh tekanan. 

Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni di Indonesia dan pranata pendukungnya, mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai bagian dari masyarakat yang beradab dan demokratis. Maka, kami menolak segala cara dan upaya sembrono dalam memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni sebagai tindakan kriminal. 

Maka, kami menolak upaya pembatasan terhadap karya seni dengan nama “pornografi” maupun upaya menciptakan sebuah undang-undang khusus untuk apa yang disebut “pornografi.” Kami menyerukan kepada semua pihak untuk bangkit dan melakukan perlawanan terhadap penindasan ini. 

Cemara Galeri-Kafe Jakarta, 7 Maret 2006 


Pernyataan ini dibuat bersama oleh anggota mailing list pinkswingpark@yahoogroups.com. Daftar ini akan diketik dan disusun sesuai abjad ketika diluncurkan ke publik akhir Maret 2006. Penandatangan kami minta memberikan identitas jelas (termasuk nama lengkap). Nomor telepon kami perlukan untuk verifikasi (takkan diketik). 

Sekretariat jaringan ini adalah Siti Nurofiqoh via Yayasan Pantau 021-7221031. Contoh: Agus Suwage, pelukis tinggal di Jogjakarta, ikut dalam instalasi “Pinkswing Park”, telepon 0274-418174

Mari Melawan RUU Porno!

Saya punya seorang anak lelaki umur sembilan tahun. Saya sering mencegah Norman nonton acara televisi, yang saya anggap tak pantas untuk dilihatnya. Baik adegan mistik maupun sensual. Saya juga punya adik-adik dan teman-teman perempuan. Saya tak senang bila mereka diganggu lelaki jahil.

Namun ini tak membuat saya setuju dengan rencana Partai Keadilan Sejahtera membuat RUU Porno. Saya setuju mereka hendak melawan perbuatan cabul namun kecabulan bisa diatur lewat hukum pidana. Sebenarnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana punya banyak pasal buat menghukum orang yang bikin tindak susila di depan publik.

Kita juga punya Dewan Karya Cipta, yang punya kuasa menentukan mana karya seni dan mana yang cabul, lewat kewenangan mereka mengeluarkan hak cipta. Tidakkah lebih baik memberdayakan lembaga ini daripada mengeluarkan RUU Porno yang potensial mengekang kebebasan seni? Saya percaya kesenian adalah mekanisme pembebasan. RUU Porno juga mengancam kebebasan kaum perempuan –orang yang paling rentan jadi korban fasisme agama.
RUU Porno ini ibaratnya mau menangkap tikus tapi membakar lumbung padi. Ia akan mengancam kebebasan sipil yang baru tumbuh dari Sabang sampai Merauke sejak turunnya Presiden Soeharto Mei 1998. Saya bukan orang yang terlalu suka dengan disain negara Indonesia. Tapi RUU Porno ini akan menyengsarakan lebih banyak warga. Ia membuat negara bisa mengatur cara orang berpakaian!

Saya mendukung Tita Rubianti, seorang ibu muda dua gadis kecil (empat dan 10 tahun), yang juga seniman patung, tinggal di Jogjakarta, untuk mengumpulkan tandatangan mendukung pernyataan “Kesenian Melawan Fasisme.” Tita mantan redaktur seni majalah Pantau. Suaminya, Agus Suwage, pelukis yang gambar-gambarnya sering menghiasi majalah Pantau.

Kalau Anda tertarik, silahkan membubuhkan dukungan Anda (nama lengkap, identitas dan nomor telepon) lewat “Comment” web log ini. Beberapa seniman dan cendekiawan, antara lain W.S. Rendra, Iwan Fals, Ahmad Dhani, Moeslim Abdurrahman, Slamet Gendono, Garin Nugroho, Mustofa Bisri, Davy Linggar, Izabel Jahja dan lainnya, ikut mendukung pernyataan ini.

Ketika Tita mengumumkan secara resmi pernyataan ini, nama Anda akan ikut dimasukkan. Rencananya, Tita akan mengeluarkan pernyataan ini ke hadapan publik akhir Maret. Terima kasih.

Thursday, March 09, 2006

Aceh ala Abas

Oleh Imam Shofwan
Sindikasi Pantau

Berbagai upaya ditempuh kelompok yang kecewa dengan RUU Aceh di Jakarta.


Sejak Febuari lalu banyak tokoh Aceh berada di Jakarta. Mereka orang-orang yang berkepentingan dengan lolosnya RUU Pemerintahan Aceh, namun pihak yang menentang juga datang ke Jakarta.

Di antaranya, lima ketua DPRD II dari Aceh, yaitu, Syukur Kobath, ketua DPRD II Aceh Tengah; Umuruddin, ketua DPRD II Aceh Tenggara; Chaliddin Munthe, ketua DPRD II Singkil; Mohammad Amru, ketua DPRD II Gayo Luewes; dan Tagore AB, ketua DPRD kabupaten Bener Meriah. Semuanya berasal dari Partai Golkar.

Selain kelimanya, ketua-ketua DPRD dari wilayah Aceh Barat Selatan juga terlibat. Mereka antara lain ketua DPRD II Aceh Barat, Aceh Jaya, Seumelu, Aceh Selatan dan Nagan Raya.

Mereka menginginkan wilayah Aceh Leuser Antara, kelima kabupaten pertama tadi, yang mereka singkat “ALA” dan Aceh Barat Selatan atau “Abas,” menjadi provinsi baru --terpisah dari Nanggroe Aceh Darussalam.

Sejak Minggu, 5 Maret, mereka meninggalkan pekerjaan mereka dan datang ke Jakarta khusus untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Di Hotel Treva Jakarta mereka menginap, berkumpul dan menyusun strategi. Banyak acara yang mereka agendakan selama berada di Jakarta, mulai seminar sampai menemui tokoh-tokoh di Jakarta.

Seminar bertajuk “Penguatan Parlemen Lokal dalam RUU PA,” adalah acara pertama mereka. Acara tersebut digelar di lantai 12 Hotel Treva. Acara ini menghadirkan Hery Yuherman dari Departemen Dalam Negeri, Azhari dan Bivitri Susanti dari Jaringan Demokrasi Aceh.

RUU Aceh oleh kelompok “Ala dan Abas” dianggap tak mewakili aspirasi dari 11 kabupaten mereka karena dalam rancangan tidak ada klausul “pemekaran” Aceh. “Tanpa klausul tersebut kami tidak mengawal RUU PA,” tegas Syukur Kobath.

RUU ini adalah hasil dari rancangan para legislator Aceh yang diajukan kepada Departemen Dalam Negeri di Jakarta, dan setelah dipermak Departemen, RUU tersebut diserahkan ke parlemen untuk dibahas dan disahkan. Majalah Acehkita menyebut perubahan tersebut “pengkhianatan Jakarta” terhadap perjanjian Helsinki.

Mulai akhir Febuari, RUU ini pun dibahas di parlemen Indonesia, sebagai kelanjutan dari kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Sejak pembahasan RUU ini, banyak tokoh Aceh datang ke Jakarta, mulai dari pemimpin GAM hingga Gubernur Aceh Mustafa Abu Bakar, dari aktivis NGO hingga mahasiswa Aceh. Mereka mendukung RUU Aceh. Usaha mereka tidak mudah karena ditentang oleh banyak pensiunan jendral, politisi “nasionalis” Indonesia serta akademisi Pulau Jawa. Penentangan juga dilakukan oleh kelompok ketua-ketua DPRD II dari 11 kabupaten itu: Ala dan Abas.

Menurut mereka, Ala layak menjadi provinsi baru, dengan pertimbangan luas wilayah Aceh. Menurut Syukur Kobath, dari Banda Aceh ke Singkil jaraknya 1,000 km dan kalau menempuh jalur darat harus memutar lewat Sumatra Utara.

Begitu juga dari Gayo Luewes (Blangkejeren) ke Banda Aceh, harus lewat Medan. Kalau lewat darat, itu membutuhkan waktu delapan jam dan dari Medan ke Banda memakan waktu 12 Jam. Ini tidak efektif untuk koordinasi pemerintahan.

Masyarakat di Aceh Tengah dengan ibukota Takengon, menurut Syukur, jadinya lebih terbelakang, “Kita ingin memperpendek rentang kendali pemerintahan.”

Syukur lalu membandingkan dengan jarak di Pulau Jawa, antara Banten dan Banyuwangi, yang punya jarak sama-sama 1,000 km. “Dari Banten sampai Banyuwangi ada enam provinsi, kenapa di Aceh cuman satu?”

Rencana provinsi baru sebenarnya rencana lama Syukur dan kawan-kawan, sejak lahirnya UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Puncaknya, pada 4 Desember 2005, mereka mengadakan deklarasi terbentuknya provinsi Ala dan Abas di stadion Senayan Jakarta.

Tanggal “4 Desember” adalah hari penting untuk kebanyakan orang Aceh karena pada 4 Desember 1976, Hasan di Tiro menyatakan juga kemerdekaan Aceh dari “Republik Jawa-Indonesia.”

Proses pemekaran ternyata tak mudah. Mereka hanya bisa mengajukan permohonan “mekar” ke Departemen Dalam Negeri bila ada tanda tangan persetujuan Gubernur Aceh dan ketua DPRD Aceh. Keduanya menolak. Maka, dua hari setelah deklarasi, Aliansi Mahasiswa Leuser Antara dan Masyarakat Aceh Leuser Antara melakukan demonstrasi Departemen Dalam Negeri dan menuntut pembagian Aceh jadi dua.

Sesudah tsunami, orang-orang Ala dan Abas ini juga kecewa, karena masyarakat internasional membantu GAM berunding dengan Indonesia di Helsinki. Perjanjiannya, mengamanatkan pembentukan UU Aceh. Maka rancangan pun dibuat, pertama oleh akademisi dari Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar Raniry di Banda Aceh serta Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.

Draft disusun berdasarkan masukan dari masyarakat lewat seminar di tiga universitas itu. Para pejuang pemekaran tak mau ketinggalan. Mereka usul klausul pemekaran wilayah dimasukkan. “Saat seminar raya usulan kami diterima, namun ketika sudah menjadi draft, usulan tersebut tidak tertuang dalam draft.”

Alasannya, baik GAM maupun Indonesia tak mau membongkar kesepakatan Helsinki dimana batas wilayah Aceh sudah disepakati. Memecah Aceh, menurut Bahtiar Abdulah dari GAM, bisa dilakukan bila semua kesepakatan Helsinki sudah dijalankan.

Namun Syukur dan kawan-kawan tidak rela. Mereka meninggalkan kantornya di Aceh dan datang ke Jakarta serta bermarkas di Hotel Treva.

Wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah, daerah asal Syukur, adalah wilayah yang dianggap pro Indonesia. Sekitar 35 persen dari 270,000 penduduknya berasal dari Pulau Jawa atau keturunannya. Mereka sering dimusuhi GAM yang menganggap “bangsa Aceh” jajahan “bangsa Jawa.” Sekitar 120,000 orang Aceh keturunan Jawa mengungsi keluar dari Aceh antara 1999 dan 2005.

Memang Syukur memusuhi GAM. “Kami frontal terhadap GAM, kami sangat nasionalis dengan Jawa.”

Sejak tsunami, prioritas Jakarta adalah “wilayah GAM” dari Lhokseumawe hingga Banda Aceh. Padahal daerah Ala dan Abas, yang setia mengikuti Jawa, malah tidak diperhatikan. Dia merasa terpojok karena tidak diperhatikan Jakarta dan di Aceh sendiri dimusuhi GAM.

Pada Maret 2003, Takengon adalah kota pertama dimana kantor Henry Dunant Center diserang dan dibakar milisi pro Indonesia. HDC memulai proses perdamaian di Aceh zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Pembakaran kantor mereka memicu keputusan Jakarta tarik mundur dari perdamaian. Jakarta menyatakan perang lagi dengan GAM pada Mei 2003.

Kini, bagi Syukur, satu-satunya jalan adalah memisahkan diri. Syukur datang ke Jakarta dengan banyak agenda, antara lain, memberi masukan kepada panitia RUU Aceh. Ternyata mereka ditolak dengan alasan teknis: belum ada jadwalnya.

Tidak puas, Syukur dan kawan-kawan mengagendakan ketemu Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Syukur juga ingin bertemu Habib Riziek Syihab dari Front Pembela Islam serta mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid.

Syukur dan kawan-kawannya telah mengambil posisi berseberangan dengan GAM dan dia tidak mau setengah-setengah. “Terlanjur basah, mandi sekalian,” tegas Syukur.

Wednesday, March 08, 2006

Perempuan Jakarta Menolak RUU Porno

Oleh Ucu Agustin
Sindikasi Pantau

Pukul 10.05. Terik matahari mulai menyentuh Jakarta. Sekitar 1,000 orang dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia begerak meninggalkan bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Negara. Di belakang iring-iringan itu, sebuah kesibukan lain sedang terjadi. Sekitar 500an perempuan -- aktivis dan ibu rumah tangga di antaranya membawa serta anak mereka-- mahasiswa dan artis seperti Dian Sastro Wardoyo dan Olga Lidia, terlihat sedang sibuk mengatur barisan.

Tawa dan canda kecil, terdengar di antara suara Yulia E. Sinabara dari pengeras suara yang tak henti memberi instruksi untuk merapikan barisan. Vivi Widiawati, sang koordinator lapangan, sigap membagikan kertas release kepada wartawan.

Dian Sastro tak khawatir kulitnya jadi gosong disengat langsung matahari panas, “Ada sesuatu yang lebih penting yang harus disuarakan perempuan Indonesia,” ucapnya.

“Saya nggak mau lah tubuh perempuan dikenai tuduhan yang macam-macam. Masa pemerintah seenaknya mau mengkriminalkan perempuan? Kita harus menolak RUU Anti Pornografi dong!” ucapnya.

Dan dibelakang Dian, sejumlah ibu dari Cengkareng Kapuk membawa rebana, “Kita datang ke sini karena kita nggak setuju sama RUU itu. Sudah cari makan saja susah, sekarang kita perempuan ini yang akan kena getahnya kalau RUU itu sampai disahkan.” Dan seperti mengamini, dari atas mobil kendaran bak terbuka, Yulia E Sibara menyanyikan lagu “Dimana-mana mahal.”

Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal
Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal

Siapa yang paling repot?
Siapa yang paling susah?
Kalau bukan ibu-ibu…


Sejumlah tukang ojek yang mangkal di sekitar kawasan Plaza Indonesia berseloroh, “Kita dukung lah kalau yang ini. Masa mau ciuman saja nanti kita harus bayar dua juta?” Dan tukang ojek yang lain tertawa mendengar selorohan temannya tersebut.

Begitulah. Hari ini lagi-lagi bundaran Hotel Indonesia jadi saksi diperingatinya Hari Perempuan Sedunia. Aksi ini melibatkan 58 organisasi non pemerintah dan lembaga mahasiswa. Menurut Mariana Amiruddin dari Yayasan Jurnal Perempuan, demonstrasi ini dirancang di antara kesibukan Kelompok Kerja Perempuan Menolak RUU APP: NO PORNOGRAFI! NO PORNOAKSI! Namun selain menolak RUU APP, isu pemiskinan terhadap perempuan juga menjadi isu yang diusung hari ini.

No Pemiskinan Perempuan!! No RUU APP!

Kemiskinan yang dialami perempuan Indonesaia, terjadi karena dua hal, yaitu kebijakan ekonomi poltik yang tidak berpihak pada perempuan, dan kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat yang merambah pada wilayah politik sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasikan dan menindas perempuan.

Menurut Vivi Widiawati, kebijakan ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono buruk bagi perempuan. Pencabutan berbagai subsidi (kesehatan, pendidikan, bahan bakar dan listrik), menyebabkan kesejahteraan kaum perempuan merosot. Angkatan kerja kaum perempuan, yang terus meningkat, justru menjadi sasaran utama dari PHK massal.

Di sisi lain, ketidakmampuan pemerintah memberikan lapangan pekerjaan mendorong perempuan bekerja ke luar Indonesia sebagai buruh atau pembantu rumah tangga, tanpa jaminan keamanan dan perlindungan ketenagakerjaan.

Meningkatnya krisis ekonomi dan tingginya angka pengangguran perempuan dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi. Menurut data UNICEF, jumlah pelacur anak di Indonesia saat ini mencapai 30 persen dan setiap tahun, sekitar 100.000 anak diperdagangkan.

Tak heran kalau perempuan Indonesia mengalami keresahan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang tengah digodok DPR sejak September 2005.

Menurut Ratna Batara Munti, seorang pengacara, bila RUU APP disahkan, perempuan akan semakin dimiskinkan karena pengaturan gerak perempuan semakin dikontrol dan dipersempit. Definisi pornografi yang senantiasa kabur, berpeluang untuk merumahkan perempuan dan bisa jadi membuat mandeg segala gerakan perempuan yang 10 tahun belakangan mulai marak di Indonesia.

“Lihat saja Perda Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan prostitusi. Apa itu nggak gila? Sudah 20 perempuan Tangerang yang menjadi korban. Padahal mereka bukan PSK, mereka cuma ibu rumah tangga biasa yang baru pulang bekerja!” ucap Ratna berang.

Ratna kuatir pemberlakuan undang-undang yang diskrimiatif dan cenderung mengkriminalkan perempuan akan berakibat pada diberlakukannya peraturan-peraturan daerah lain yang tidak perlu. “Gila aja lho. Kalau kita membiarkan Perda seperti itu berlaku, bisa-bisa perempuan akan dikenai jam malam,” Vivi menambahkan.

Ada pula orasi. Omi, seorang ibu korban gusuran daerah Cengkareng, yang sehari-hari bekerja menjadi penyortir plastik, salah seorang orator yang menyita perhatian. Perempuan berusia 52 tahun itu membuat saya terkesima, merinding dan hampir menangis.

Dengan kalimat yang cenderung terbata-bata, Omi menceritakan keluh kesahnya sebagai ibu rumah tangga. Segalanya kini menjadi mahal, katanya. Penghasilannya Rp 10,000 per hari. Ketika sudah tak tahan menceritakan segala beban hidupnya, di atas podium, Omi mengajak seluruh massa yang ikut dalam aksi untuk mengatai pemerintah yang tak becus mengurus warganya yang miskin.

“Nggak apa-apa! Sekarang katai saja mereka! Karena meski kita katai, toh Sutiyoso! SBY! Mereka akan tetap saja enak ongkang-ongkang kaki di kursi mereka yang empuk! Mereka tak akan perduli pada kita warga miskin! Pada kita kaum perempuan!”

“Tolak RUU APP! Hidup perempuan!” ucap Omi sebelum akhirnya meninggalkan podium dan disambut dengan tepuk tangan meriah.

Image hosting by Photobucket

Image hosting by Photobucket

RUU Aceh, Federalisme atau Negara Kesatuan?

Oleh Samiaji Bintang
Sindikasi Pantau

SETELAH pensiunan jenderal-jendral serta profesor Universitas Indonesia plus Universitas Gadjah Mada bilang keberatan terhadap RUU Aceh, kini giliran peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bicara makna perjanjian Helsinki dalam rapat dengar pendapat dengan panitia RUU Aceh di Senayan.

Mereka menerangkan apakah RUU Aceh itu akan bikin Indonesia jadi negara federal, negara konfederasi atau negara kesatuan?

Syamsuddin Haris, Lukman Hakim dan Syarif Hidayat dari LIPI bilang bahwa perjanjian Helsinki akan membuat Indonesia jadi “negara federal.” Namun RUU Aceh versi DPRD Aceh (lawan dari versi Departemen Dalam Negeri) mengarah pada “konfederasi.” Hanya RUU versi Departemen Dalam Negeri yang tetap mempertahankan “negara kesatuan.”

Mereka merasa waswas terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bila rancangan versi DPRD Aceh diloloskan parlemen. “Jangan sampai RUU ini didikte MoU (nota kesepahaman) Helsinki,” kata Syamsuddin Senin lalu.

Syarif Hidayat melakukan presentasi dengan perangkat Power Point. Dia mempertanyakan istilah “self governance” (pemerintahan sendiri) dalam rancangan itu. Menurutnya, frase itu berasal dari ide federalisme –dimana suatu negara yang memiliki negara-negara bagian.

“Tujuannya people government atau kedaulatan rakyat,” kata Syarif.

Soewarno, legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, tak mau kalah. Dia menduga Aceh bakal merdeka seperti Timor Leste pada 1999. Mantan presiden Megawati Soekarnoputri, ketua partainya, sudah mengungkap hal ini dalam sebuah diskusi Februari lalu.

“Orang Aceh menggunakan istilah Aceh dalam bingkai NKRI. Sedangkan Papua menggunakan istilah Papua dalam selimut NKRI. Jangan-jangan di balik istilah itu ada agenda lain?” kata Soewarno.

Menurut Syarif, “pemerintahan Aceh” yang dimaksud dalam isi nota kesepahaman Helsinki memang menganut semangat federalisme dimana Aceh mendapatkan “otonomi penuh.” Ini beda dengan RUU Aceh versi DPRD Aceh dimana “konfederasi” memiliki “otonomi luas” sedangkan versi Jakarta “otonomi khusus.” Tingkat kemampuan mengatur diri sendiri beda-beda dimana "penuh" paling bisa mengatur sendiri sedang "khusus" paling susah.

Pembicaraan memang terjebak pada isu apakah RUU Aceh ini akan bikin pecah Indonesia –bukan pada tujuan mencapai perdamaian di bumi Aceh.

Federasi sendiri bukan wacana baru di Indonesia. Wakil Presiden Mohamad Hatta konsisten mengusahakan Indonesia jadi “negara serikat.” Hatta pula yang memimpin perundingan dengan Den Haag pada 1949 ketika kerajaan Belanda akhirnya mau menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada “Republik Indonesia Serikat.”

RIS terdiri dari Negara Indonesia Timur (ibukota Makassar), Pasundan (Bandung), Jawa Timur (Surabaya), Madura, Sumatra Selatan (Palembang), Republik Indonesia (Jogjakarta) serta beberapa negara bagian lain –kebanyakan dibuat berdasarkan wilayah kesultanan-kesultanan. Namun struktur ini dibubarkan pada Agustus 1950. Alasannya, “kaum republieken” curiga Lt. Gubernur Jenderal Hubertus J. van Mook dari Batavia hendak “memecah belah” Indonesia.

Kecurigaan itu tidak sepenuhnya benar karena beberapa saat sesudah pembubaran RIS, beberapa bangsa mengangkat senjata melawan “Republik Indonesia” yang pindah dari Jogjakarta ke Jakarta termasuk Perjuangan Rakyat Semesta Alam di Minahasa serta Republik Maluku Selatan di Pulau Ambon dan Pulau Seram.

Di Aceh, pada 1958, Hasan Tiro menulis buku “Demokrasi untuk Indonesia” yang memuat model dan sistem pemerintahan federal yang dianggapnya cocok bagi Indonesia. “Sudah semestinya pembagian pemerintahan daerah kita dilakukan atas dasar daerah suku-suku bangsa itu,” kata Tiro.

Tiro juga berpendapat bahwa pembagian daerah tanpa mempedulikan asas itu, bukan saja melanggar hak-hak suku bangsa, “Tetapi juga pelanggaran terhadap kenyataan yang pada akhirnya mengacaukan susunan pemerintahan dan melemahkan negara sendiri.” Dia ingin Jakarta memberikan otonomi kepada bangsa-bangsa yang membentuk Indonesia ini.

Usul itu tidak diindahkan Jakarta. Di New York, Hasan Tiro kuliah doktoral di Universitas Columbia dan bikin riset tentang sejarah Aceh. Hasilnya, Hasan Tiro mengganti idenya tentang “negara federal Indonesia” dengan “Aceh merdeka.”

Dia berpendapat kesultanan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatan kepada Belanda sehingga Belanda juga tidak berhak memberikan Aceh kepada Indonesia.

Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro menyatakan kemerdekaan Aceh dari Indonesia serta memulai pendidikan dan perang gerilya. GAM baru berubah haluan, dari merdeka ke federalisme, sesudah tsunami Desember 2004. GAM bersedia berunding dengan Indonesia di Helsinki.

Aceh boleh mengatur diri sendiri kecuali enam hal: moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan kebebasan beragama. Enam hal itu adalah wilayah Indonesia.

Keterangan LIPI tak urung bikin gerah beberapa legislator. “Aceh tetap dalam NKRI!” sergah Farhan Hamid dari Aceh. Entah serius, entah mengejek. Dia juga mengajak mereka bertepuk tangan.

Federal atau tidak, Farhan protes pembagian porsi dana pemerintah dan “daerah” yang tergabung dalam Indonesia. Dana dari belanja untuk daerah-daerah se-Indonesia hanya 24 persen kendati sudah diberikan otonomi. Ini jauh berbeda dibanding dana yang diperoleh “pusat” sebesar 76 persen.

“Istilahnya kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah, tapi uang entar dulu,” seloroh Farhan.

Sayangnya, para peneliti LIPI ini tak bikin riset lebih jauh soal uang. Federalisme, konfederalisme atau unitarianisme, ujung-ujungnya ya pembagian uang juga.

Monday, March 06, 2006

Kejahatan Masa Lalu di Aceh

Oleh Imam Shofwan
Sindikasi Pantau


Kalau RUU Aceh lolos di Jakarta, boleh jadi, Letnan Kolonel Sudjono dan kawan-kawan akan tidur kurang nyenyak. Pasalnya, aturan ini akan memerintahkan diadakannya pengadilan hak asasi manusia serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh.

Sistem ini membuat orang yang dulu dianggap terlibat pembunuhan, akan dicari dan diadili. Kalau rekonsiliasi, mereka bisa mendapat amnesti asal terbuka dan jujur mengakui kesalahannya.

Kalau Aceh bisa mengadili penjahat kemanusiaan, teoritis Papua juga boleh mencari siapa pembunuh 100,000-an orang Papua sejak 1969 atau lebih dahsyat lagi, siapa pembunuh sejuta, dua juta atau mungkin tiga juta orang di Pulau Jawa pada 1965-1966.

Marzuki Darusman, legislator Partai Golkar yang anggota panitia RUU Aceh, menganggap penyelesaian pelanggaran hak asasi di Aceh takkan berjalan mulus, “Kasus terlalu banyak dan tak mungkin lewat pengadilan-pengadilan normal.”

Ganjalan lain juga ada. “Kalau masyarakat Aceh menganggap perdamaian lebih penting daripada penyelesaian kasus HAM,“ kata Marzuki.

Sudjono adalah Kepala Seksi Intel Korem Lilawangsa di Lhokseumawe. Pada 19 Juli 1999, Sudjono memimpin sekitar 70-an tentara Indonesia menyergap dayah (sekolah agama) pimpinan Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh, Aceh Barat. Alasannya, Bantaqiah mendukung GAM, terlibat perdagangan ganja, menyimpan senjata dan mengajarkan “ajaran sesat.”

Pagi tersebut, menurut tim investigasi pemerintah pimpinan Darusman yang dibentuk Presiden B.J. Habibie, Sudjono mendatangi dayah bersama Kapten Anton Yuliantoro dan Letkol Hieronymus Guru, sesama perwira Batalyon Yonif 328/Kostrad Cilodong, Bogor, yang ditugaskan di Aceh.

Yuliantoro minta Bantaqiah menyerahkan senjata. Bantaqiah bilang tak ada senjata. Beberapa serdadu menunjuk antena radio. Sudjono minta Usman, anak Bantaqiah, mencopot antena. Ketika Usman berjalan menuju antena, beberapa tentara memukulnya dengan popor senjata. Melihat anaknya dipukuli, Bantaqiah berseru, “Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Murid-muridnya ikut. Suasana tambah tegang.

Beberapa tentara membuka tembakan. Seseorang menembak Bantaqiah dengan GLM (grenade launching machine). Ususnya terburai keluar. Peluru menembus lehernya. Puluhan murid luka dan banyak yang meninggal, termasuk Usman.

Menurut Otto Syamsuddin Ishak dalam buku “Sang Martir: Teungku Bantaqiah,” serdadu-serdadu itu memaksa warga menggali lantai masjid untuk mencari senjata. Mereka membakar tiga rumah, menelanjangi para santri, membakar kitab-kitab, memaksa sebagian perempuan melepaskan pakaian dan meraba tubuh mereka. Warga gampong pun disuruh menyiapkan kuburan massal.

Sorenya, Sudjono menyuruh korban luka diangkut ke dua buah truk guna diobati di rumah sakit. Ternyata mereka diberhentikan di tengah jalan, disuruh jongkok, ditembak mati dan dilempar ke jurang. Total ada 34 orang mati dan 23 terluka hari itu.

Pembantaian Beutong Ateuh bukan kasus khusus di Aceh. Ia merupakan hasil operasi militer Indonesia. Presiden Habibie membuat 25 serdadu diadili dalam pengadilan koneksitas (sipil dan militer) di Banda Aceh. Semuanya dihukum namun mereka banding. Sudjono desersi hingga hari ini. Sudjono tak pernah diadili sehingga perwira-perwira lain, termasuk Hieronymus Guru dan atasan-atasan Sudjono, juga tak diketahui tanggungjawabnya. Anton dihukum penjara.

Inilah kejahatan masa lalu di Indonesia. Sejak Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan “bangsa Acheh” pada 4 Desember 1976, ada bermacam pembantaian yang pelakunya seakan-akan kebal hukum. Menurut Amnesty International, lebih dari 10,000 warga Aceh mati sejak 1976. Pihak GAM juga membunuh tentara Indonesia dan orang Aceh yang dituduh “cuak” alias mata-mata.

Kini sesudah perdamaian Helsinki dan pembahasan RUU Aceh dengan deadline 30 Maret, orang macam Otto dan Darusman pesimis aturan itu, kalau pun lolos, bisa menjamin serdadu macam Sudjono diadili. Mereka bicara dalam sebuah seminar minggu lalu di Jakarta. Otto mengingatkan ada dua versi RUU Aceh. Pertama, versi DPRD Aceh yang dibuat masyarakat Aceh lewat 33 pertemuan publik. Kedua, versi Departemen Dalam Negeri, yang sering dikritik GAM “mengkhianati” semangat Helsinki. Namun versi Jakarta pun ditentang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan maupun organisasi pensiunan militer.

RUU versi Departemen Dalam Negeri menyatakan pemerintah ”wajib memenuhi, memajukan dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana disebut dalam kovenan internasional.” Pemerintah juga harus membentuk pengadilan hak asasi manusia serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Tapi pasal itu terlalu umum dan tak mungkin dijalankan. Amiruddin al Rahab dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat menyebutnya “pasal bodoh.” Pasal-pasal tersebut takkan menjerat siapa pun.

Amiruddin belajar dari Papua. Dia menterjemahkan buku klasik Robin Osborne “Indonesia’s Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya” ke bahasa Melayu dengan judul, “Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat.” Dia juga ikut Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua yang mencatat kelemahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001. Ketika itu, Presiden Megawati Soekarnoputri meloloskan UU Papua sebagai ganti keinginan warga Papua merdeka dari Indonesia.

Menurut UU Papua, pemerintah Indonesia akan membentuk pengadilan hak asasi dan komisi rekonsiliasi. Nah, undang-undang ini disahkan lima tahun lalu. “Alhamdulillah sampai sekarang belum pernah ada bau-baunya,” seloroh Amiruddin.

Dia usul DPR menambah beberapa pasal dalam RUU Aceh guna menyebutkan instansi-instansi yang bertanggungjawab mengadakan pengadilan hak asasi dan membuat komisi kebenaran. Selain itu, RUU Aceh perlu pasal yang menjamin tersedianya uang kompensasi untuk korban, hakim dan saksi.

Belajar dari pengalaman Afrika Selatan, Indonesia harus menyediakan uang untuk keluarga korban. Ini penting mengingat korban kekerasan negara, kehidupannya jadi rusak. Bahkan keturunannya, dua atau tiga bahkan lima generasi, masih sulit hidup tenang. Mereka dendam pada negara.

Sebaliknya, rekonsiliasi mulus macam Afrika Selatan membuat demokratisasi stabil. Presiden Nelson Mandela memilih rekonsiliasi karena negaranya tak bisa meniru cara Jerman mengadili pejabat-pejabat Nazi Jerman pasca Perang Dunia II. Ekonomi Jerman dan Afrika Selatan tumbuh sehat sesudah mereka mengatasi masa lalunya.

Indonesia belum stabil karena masa lalunya. Amiruddin merujuk kasus pembunuhan umat Muslim di Tanjung Priok, Jakarta, 1984. Keluarga korban sulit dapat kompensasi, sebagaimana diputuskan hakim, karena tak ada instansi yang bertanggungjawab membayarnya.

Bagaimana proses pengadilan bisa jalan, kalau anggaran memanggil saksi pun tak ada? Berapa lama lagi kasus Bantaqiah atau ribuan lain terungkap bila tak ada pasal yang bisa menjerat pelakunya? Dia juga merujuk pada kasus Abepura dimana pengadilan Makassar, yang menangani kasus ini, tak mampu membiayai saksi-saksi penting datang dari Jayapura. Belajar dari Abepura, Amiruddin usul pengadilan hak asasi dan komisi rekonsialiasi harus berkedudukan di Aceh, diberi dana dan punya daya paksa dengan melibatkan wakil-wakil masyarakat Aceh.

Sudjono sendiri mengabaikan panggilan pengadilan Banda Aceh. Menurut buku “Sang Martir,” Sudjono pernah terlihat di Bali dan Jakarta. Saya sendiri mencari Sudjono lewat aktivis maupun kenalannya di Batalyon Yonif 328/Kostrad di Bogor dan Bondowoso, untuk wawancara, namun belum berhasil. Sudjono lulusan Sekolah Calon Perwira di Bandung 1976.

Kelemahan lain RUU Aceh adalah batas waktu pembentukan pengadilan dan komisi rekonsiliasi. Versi DPRD Aceh menyebut "batas waktu adalah satu tahun". Kalimat ini oleh Departemen Dalam Negeri dihilangkan. Menurut Amiruddin, tanpa batas waktu, janji pembentukan pengadilan dan komisi hanya akan jadi janji.

Usul Amiruddin disambut baik Marzuki Darusman. “Masukan-masukan ini perlu didistribusikan kepada anggota-anggota yang lain,” katanya. Otto Syamsuddin Ishak pesimis, “Kalau saya amati semangat RUU Aceh, sebenarnya Indonesia sedang bermain-main bagaimana mengelola Indonesia kecil bernama Aceh. Kalau itu tidak beres, ke depan bisa bubar negara ini.” ***

Thursday, March 02, 2006

Militer Tolak RUU Aceh, Akademisi Revisi

Oleh SAMIAJI BINTANG
Sindikasi Pantau, 900 kata

JAKARTA -- Rapat pengesahan RUU Aceh masih panjang dan berliku. Keberatan terhadap pemerintahan otonom Aceh datang dari sejumlah pihak, termasuk empat akademisi dari Jakarta dan Jogjakarta. Tapi gugatan paling kanan berasal dari pensiunan jenderal-jenderal Indonesia dalam dengar pendapat di Senayan Rabu ini.

Total ada 27 pensiunan jenderal datang dalam dengar pendapat ini. Mereka meliputi organisasi macam Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri, Dewan Harian Angkatan 45, Barisan Nasional dan Legiun Veteran. Kharis Suhud, mantan ketua MPR zaman Presiden Soeharto, ikut datang dan bicara sebentar. Kharis datang dengan menggunakan tongkat.

Letjen Purnawirawan Syaiful Sulun dari Forum Komunikasi mengatakan, "Astaghfirullah! Bagaimana bisa negara yang berdaulat berunding dengan kelompok separatis?" Kedudukan NKRI, menurutnya, lebih tinggi dibanding GAM.

Syaiful Sulun seakan-akan hendak mengatakan satu-satunya cara berhadapan dengan GAM ya militer walau cara itu terbukti selama tiga dekade tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan lebih dari 10,000 korban mati di Aceh.

Rekannya, Letjen Bambang Triantoro lebih diplomatis. Bambang bertanya pada sidang DPR, "Apa perlu rancangan undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang?"

Bambang usul, "Tolak saja! Susun kembali yang lebih baik! Dari awal Pepabri menolak tegas nota kesepahaman pemerintah dan GAM hingga rancangan undang-undang ini muncul!"

Kharis, Syaiful Sulun dan Bambang Triantoro adalah mantan petinggi ABRI. Syaiful pernah jadi wakil ketua MPR zaman Soeharto. Triantoro pernah jadi tangan kanan almarhum panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani, yang dianggap bertanggungjawab atas pembunuhan massal Timor Timur, Papua dan Tanjung Priok pada 1984. Rombongan ini ikut bertanggungjawab terhadap meratanya fasisme dan militerisme Orde Baru.

Mereka mengatakan nota kesepahaman Helsinki dibuat untuk melepaskan Aceh dari NKRI. "Dari judulnya, ‘Pemerintahan Aceh,’ saya sudah terkaget-kaget. Lebih-lebih ketika membaca isinya. Itu merupakan pengkhianatan terhadap Indonesia," tegas Bambang.

Letjen Soerjadi, mantan wakil Kepala Staf Angkatan Darat, mendukung pendapat senior-seniornya. Dia menyebut isi perjanjian itu, "Memiliki efek domino bagi daerah lain." Kata lainnya, perjanjian Helsinki bisa mendorong etnik-etnik lain di Indonesia menuntut ruang gerak serupa bahkan merdeka.

"Kita sedang menuju platform kenegaraan baru, menuju negara federal," sambung Letjen Kiki Syahnakri.

Kiki sebenarnya seorang buronan. Dia bertanggung jawab atas tewasnya ratusan warga Timor Leste setelah referendum 1999. Kejaksaan Tinggi Timor Leste menerbitkan surat penangkapan atas dirinya sejak Februari 2003 lalu.

Kiki menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menggelar Operasi Rajawali. Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, 1.216 orang Aceh tewas selama operasi ini digelar pada 2001. Kini Kiki komisaris Bank Artha Graha, mewakili Yayasan Kartika Eka Paksi, salah satu lembaga yang berperan penting dalam menggemukkan pundi-pundi militer di Indonesia.

Kalau para jenderal keberatan dengan suara keras, rasanya tidak mengagetkan. Tapi “pakar ilmu politik” juga bersuara sama. Ichlasul Amal, bekas rektor Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta, pada pertemuan sehari sebelumnya menyatakan bahwa RUU Aceh, yang terdiri atas 38 bab dan 209 pasal itu harus direvisi. "Istilah yang mengundang kontroversi sebaiknya dihapus," katanya.

Sri Soemantri, profesor Universitas Pajajaran, Bandung, menilai isi RUU Aceh banyak yang tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Contohnya pengaturan hak asasi manusia sebagaimana bunyi bab 33 dalam rancangan tersebut.

Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, yang banyak dilakukan tentara Indonesia, dapat diselesaikan dengan UU No. 39/1999 tentang HAM. Sayangnya, undang-undang itu tak lebih dari macan kertas. Kasus pembunuhan di Aceh macam Tengku Bantaqiah, Ahmad Kandang atau pembantaian di Simpang Kraft, misalnya, hingga kini belum terkuak.

Sedangkan Ismail Suny, profesor Universitas Indonesia, berpendapat bahwa isi rancangan itu diskriminatif, "Karena hanya mengakomodasi kepentingan orang GAM saja. Padahal Aceh bukan cuma milik GAM. Orang GAM itu hanya 3.000an, sedangkan rakyat Aceh ada 4 juta."

Suny orang Aceh yang tinggal di Jakarta. Tapi tampaknya dia tak tahu banyak soal penyusunan RUU Aceh. Rancangan itu sudah melalui 33 kali pertemuan yang melibatkan akademisi, lembaga nonpemerintah, tokoh dan pemuka agama Aceh.

"Disosialisasikan kepada rakyat Aceh, termasuk melalui roadshow," kata Azhari, yang terlibat pembuatan RUU versi DPRD Aceh.

Penolakan para jenderal Indonesia ini, tak urung membuat telinga legislator asal Aceh di Senayan panas. Ahmad Farhan Hamid, Teuku Muhammad Nurlif, Andi Salahuddin, Sayuti Asyathri (asal Maluku), dan Zainal Abidin secara bergiliran angkat bicara, membantah argumentasi para jenderal-jenderal Jawa itu.

"Yang saya tangkap dari forum ini bahwa berulang-ulang kita dengarkan percikan semangat untuk membela NKRI," Sayuti memprotes. Zaman sudah berubah. Pemahaman terhadap NKRI dulu dan sekarang ikut berubah.

NKRI yang dipahami pada masa lalu lebih pada pemaksaan kehendak militer dan pemerintah di Jawa tanpa mempertimbangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Aceh dan lainnya.

"Kita juga tidak dapat paksakan orang-orang di daerah untuk selalu menerima yel-yel NKRI kemudian mereka dipaksa untuk hidup dalam kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan terus-menerus. Hanya dikunjungi oleh pusat kemudian datang bicara, 'Perlu bersabar dalam NKRI'. Tidak bisa begitu! Perlu pemaknaan baru terhadap NKRI."

Farhan Hamid bilang ia kecewa mendengar para pensiunan itu. Dia menceritakan rakyat Aceh lebih menderita setelah bergabung dengan Indonesia daripada ketika hidup pada zaman Belanda.

"Kereta api dihilangkan, pabrik gula dihilangkan, pelabuhan ekspor-impornya dihilangkan. Dan kata-kata penolakan itu sangat menyakitkan bagi rakyat Aceh."

Nurlif juga kecewa. "Selama 30 tahun setiap hari rakyat Aceh melihat empat lima mayat. Hampir 30 tahun yang terganggu bukan hanya perekonomian, tapi juga ibadah. Setiap magrib rakyat tidak bisa keluar rumah. Salat tarawih dijaga," ungkapnya.

Nurlif mengatakan dia punya beban berat di pundaknya. Keenambelas legislator asal Aceh sudah satu suara dalam panitia berjumlah 50 orang ini. "Saya tidak mau teman-teman di Aceh disalahkan. Anggota DPRD, kampus dan orang-orang yang telah membuat rancangan ini. Paling tidak enak kalau kami dicurigai."

Sayangnya, bantahan-bantahan dari orang Aceh, tidak membuat jenderal macam Syaiful Sulun berubah pikiran. Syaiful menyebut RUU Aceh ini identik dengan pembentukan negara Aceh. Seharusnya, kata dia, rancangan ini berjudul RUU Provinsi Aceh.

Langkah Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin menandatangani nota kesepahaman itu juga dinilainya: bodoh. “Bagaimana bisa seorang menteri kehakiman berunding dengan (pemimpin GAM) Hasan Tiro yang buron itu?” kata Syaiful, lagi.

Syaiful lupa bahwa beberapa rekan yang duduk di sebelahnya sebenarnya juga buronan internasional.

Seminar GAM soal Pemilihan Gubernur

Oleh Imam Shofwan
Sindikasi Pantau

Bagaimana membuat kriteria para pemilih dalam pemilihan Gubernur Aceh ketika ribuan warga masih mengungsi?

Di Jakarta, setiap hari ada puluhan bahkan mungkin ratusan seminar, dari isu politik sampai kursus kepribadian, namun rasanya janggal kalau warga Jakarta mendengar Gerakan Aceh Merdeka juga ikut-ikutan bikin seminar.

Judul seminarnya, “Pertemuan Pemangku Kepentingan Pilkada Aceh.” Hotelnya? Atlet Century Park Hotel, yang terletak dekat Plasa Senayan, tempat belanja paling mewah di metropolitan ini. Seminar diselenggarakan Komisi Independen Pemilihan, Aceh Monitoring Mission, DPRD Aceh, Komisi Pemilihan Umum Aceh, Forum Bersama, Forum LSM Aceh dan … GAM.

Kalau GAM ikut seminar Selasa ini mestinya ada yang penting. Pasalnya, ada dua agenda besar pasca perjanjian Helsinki. Pertama, pembuatan Undang-undang Pemerintahan Aceh. Kedua, pemilihan kepala daerah.

RUU Aceh dibahas di DPR oleh satu panitia berjumlah 50 orang dimana 16 di antaranya legislator Aceh. Tenggatnya 31 Maret harus selesai. Soal pemilihan kepala daerah, ya menunggu RUU Aceh. Tapi kendalanya juga rumit, mulai dari pendataan pemilih, logistik pemilihan, cara distribusi surat suara, pelaksana pedataannya hingga aturan siapa yang bisa memilih.

Adnan Nyak Sarong, anggota DPD asal Aceh, bilang aturan main ini maupun maju-mundurnya Departemen Dalam Negeri di Jakarta, membuat pemilihan langsung gubernur, yang pertama kali dalam sejarah modern Aceh, mundur beberapa kali.

“Sudah lima kali pilkada Aceh diundur. Kayaknya ada kesengajaan Jakarta, akan ada pilkada satu dekade,” gurau Adnan. “Pilkada” singkatan dari “pemilihan kepala daerah.”

Sesuai UU No. 32/2004 tentang pemilihan kepala daerah, pemilihan di Aceh seharusnya dilakukan pada Mei 2005. Ia tertunda karena qanunnya belum ada. Lalu ditunda lagi hingga 25 Oktober 2005, lalu 26 Desember 2004 saat terjadi tsunami. Jadwal berikutnya 26 April 2006, sesuai perjanjian Helsinki, tapi ditunda dengan rapat Departemen Dalam Negeri, pemerintah Aceh dan Komisi Independen Pemilihan untuk waktu yang tidak ditentukan.

Draft RUU Aceh juga banyak masalah. Delegasi Aceh di DPR ingin RUU Aceh memberi peluang “calon independen” ikut dalam pemilihan kepala daerah. Politisi lawannya, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Departemen Dalam Negeri, keberatan dengan calon gubernur yang tidak terikat partai politik.

Isu “kepala daerah” juga masih belum beres. GAM menginginkan ada jabatan “wali nanggroe” sebagai kepala negara di Aceh. Walau masih spekulasi, kemungkinan besar jabatan ini akan dipangku Tengku Hasan di Tiro dari Stockholm, Swedia. Dia pendiri Aceh Sumatra National Liberation Front, nama resmi GAM, pada 4 Desember 1976. Namun bagaimana mekanisme pemilihan wali negeri? Apakah dipilih macam gubernur? Bagaimana pula pembagian tanggungjawab mereka?

Hasballah M. Saad, anggota Komisi Pemilihan Umum Aceh, merinci kendala pendataan jumlah pemilih sehubungan dengan tsunami Aceh 2004. Ribuan pengungsi yang tinggal di barak-barak, apakah didaftar berdasarkan tempat mereka mengungsi atau dari tempat asal mereka. Belum lagi pengungsi yang pindah ke rumah orang lain di wilayah lain.

“Berapa jumlah mereka sampai saat ini belum jelas, dan siapa yang akan mendatanya juga belum tahu?”

Dalam seminar GAM, tentu saja, orang GAM bicara. Teungku Kamaruzzaman, wakil GAM yang duduk dalam Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Nias, mengajak peserta berpikir soal hak politik warga Aceh.

Menurut Kamaruzzaman, setidaknya ada sekitar 500.000 sampai 700.000 tenaga kerja dari luar Aceh yang bekerja di Aceh saat ini. Kebanyakan mereka bekerja membangun perumahan korban tsunami. “Jangan sampai mereka ikut memilih,” katanya. Mereka bukan warga Aceh.

(Saat istirahat, Kamaruzzaman duduk di samping saya, menyalami dengan hangat. Dia mengajak saya mengobrol dengan ramah. Kesan saya selama ini bahwa GAM itu “pengedar ganja” atau “sangar” luluh sama sekali. Saya belum pernah ke Aceh bahkan belum pernah keluar dari Pulau Jawa).

Sesuai Helsinki, Aceh memiliki kemampuan mengatur diri sendiri. Indonesia hanya bisa mengatur masalah moneter, hubungan luar negeri, fiskal, kehakiman, pertahanan dan praktek beragama. Maka Aceh punya hak mengatur pemilihan kepala daerah serta menentukan siapa yang punya hak memilih. Siapa yang disebut warga Aceh? Apa hak politik warga Aceh?

Di Timor Lorosa’e, ketika diadakan referendum Juli 1999, warga yang punya hak memilih adalah mereka yang tinggal disana sebelum Desember 1975 serta keturunan mereka. Artinya, orang dari luar Timor Lorosa’e, tidak punya hak memilih walau mereka lahir disana, termasuk transmigran asal Bali dan Jawa, yang banyak dikirim kesana sesudah penyerbuan Indonesia pada Desember 1975.

Aceh lebih rumit dari Timor Lorosa’e karena ada tsunami. Sebagian besar keuchik dan imam gampong, yang biasa bertugas sebagai unit pelaksana pendataan, banyak yang jadi korban tsunami.

Sayangnya, Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf dan pejabat Gubernur Mustafa Abu Bakar, yang juga diundang dalam diskusi ini, tidak hadir.

Mukhlis Mukhtar, anggota DPRD Aceh, menyesal M. Ma’ruf tidak datang. “Saya kira ini adalah persoalannya Departemen Dalam Negeri dan Gubernur Aceh. Diskusi kali ini macam rapat tikus dan tidak menghasilkan apa-apa. Stakeholder tidak ada.”

Sejak Belanda dan Jepang angkat kaki dari bumi Aceh, negeri ini mulanya dipimpin oleh ulama Daud Beureueh sebagai gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo (1947-1956). Pada 1953, Beureuh menyatakan perang terhadap Jakarta dan bergabung dengan Darul Islam.

Pada 1956, Jakarta menjadikan Aceh “daerah istimewa” dan dikepalai sastrawan Ali Hasjmy (1956-1964), serdadu Nyak Adam Kamil (1964-1967), Kol. Hasby Wahidy (1967-1968), pengusaha Muzakkir Walad (1968-1978), akademikus A. Madjid Ibrahim (1978-1981), pejabat sementara Mayjen Eddy Sabara (1981) ketika Ibrahim meninggal saat masih dalam jabatan, birokrat Hadi Thayeb (1981-1986), politikus Ibrahim Hasan (1986-1993), dosen Syamsuddin Mahmud (1993-2000) dan politikus Abdullah Puteh (2000-2004).

Sejak Presiden Soeharto jatuh pada Mei 1998, posisi gubernur Aceh jadi sulit pemilihannya. Puteh dipilih dari Jakarta. Belakangan ia dipenjara karena korupsi sehingga wakil gubernur Azwar Abubakar jadi pejabat gubernur (2004-2005). Ketika Azwar selesai masa jabatannya, Mustafa Abu Bakar jadi pejabat sementara hingga sekarang.

Kini ada beberapa politisi menunjukkan ambisi jadi gubernur ke-13 Aceh. Misalnya, Malik Raden dari Golkar. Tapi juga ada Muhammad Yus dari Partai Persatuan Pembangunan, aktivis lembaga nonpemerintah Humam Hamid, Mayjen M Djali Yusuf, Imam Syuja’ dari Muhammadiyah, Hasballah Saad dan calon GAM Hasbi Abdullah.

Hasbi adalah saudara kandung Zaini Abdullah, menteri luar negeri GAM di Stockholm. Hasbi pernah dipenjara 14 tahun oleh rezim Soeharto namun bebas saat Soeharto mundur dari kediktatorannya.