Wednesday, March 15, 2006

Minoritas Dalam Syariat Aceh

Oleh SAMIAJI BINTANG
PANTAU

BILA orang Aceh cemas menunggu pengesahan RUU Aceh di Senayan, sebagian warga daerah lain di Indonesia justru masih memperhatikan pasal-pasal soal “qanun” atau aturan pelaksanaan syariat Islam dalam rancangan ini.

Benny K. Harman dari Partai Demokrat termasuk salah satu anggota parlemen yang berpikir soal syariat Islam dalam RUU Aceh. Dalam rapat panitia RUU Aceh, Harman berkali-kali mempersoalkan kedudukan dan landasan hukum pencantuman syariat Islam.

Harman seorang pengacara asal Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia pernah jadi pengacara Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta.

"Saya khawatir. Kalau eksistensi qanun diakomodasi pansus, maka akan jadi model bagi daerah lain untuk menuntut hal yang sama," ujar Harman. Daerah-daerah lain akan bikin syariat Islam. Sebaliknya, "Bali, Papua, atau Kalimantan juga akan menuntut ekualitas untuk menerapkan hukum sesuai ajarannya."

Nusa Tenggara Timur adalah provinsi paling tinggi persentase orang Kristen di Indonesia. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, yang dianalisis dalam buku “Indonesia’s Population” oleh Leo Surjadinata, Evi N. Arifin dan Aris Ananta, jumlah penduduk beragama Katolik dan Protestan disana sebesar 89.7 persen dari populasi 3,8 juta.

Sebuah tarekat Katolik, Societas Verbi Divini, punya pengaruh besar di Pulau Flores. SVD punya sekolah calon pastor dan suster. Banyak alumninya ikut misi Katolik ke berbagai penjuru dunia.

Maksud Benny Harman, ada daerah-daerah Indonesia yang Muslim justru minoritas. Di Bali misalnya, jumlah pemeluk Hindu sekitar 87,4 persen dari total penduduk 3.1 juta sedang Muslim 10,3 persen. Jumlah orang Kristen juga besar di Sulawesi Utara, Papua, Maluku, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara. Namun Surjadinata dan Ananta mengingatkan bahwa sensus 2000 ini punya kelemahan dalam metodologinya.

Asal tahu saja, persoalan beda agama tak sedikit menorehkan darah dalam sejarah Indonesia. Lebih dari 10,000 orang mati dalam sengketa sektarian di Maluku sejak 1999. Ini juga terjadi di Poso. Kalau di Pulau Jawa dan Sumatra, orang sering bicara soal “Kristenisasi” maka di Timor, Rote, Papua, Minahasa, Sumba dan lainnya, kata ajaib adalah “Islamisasi.”

Keberatan dari minoritas Kristen membuat proklamator Mohamad Hatta menghapus tujuh kata soal syariat Islam dalam Pembukaan UUD 1945. Ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan Muslim, terutama soal otonomi daerah, sehingga pada 1950an muncul perlawanan lewat Darul Islam di tanah Pasundan maupun Republik Persatuan Sulawesi pimpinan Qahhar Mudzakkar.

Benny Harman beralasan, keistimewaan Aceh tak mesti dituangkan dalam pemberlakuan syariat Islam. Dia cemas dengan tafsir kata-kata dalam RUU Aceh “… siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.”

Walau RUU Aceh mencantumkan ketentuan Aceh harus memberi “… perlindungan kepada kelompok atau suku minoritas” tapi Harman kuatir pada qanunnya. "Karena qanun ini juga berlaku bagi semua," kata Harman.

Nursyahbani Katjasungkana, wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, juga kuatir bila qanun diberlakukan kepada kalangan minoritas di Aceh. Dia bilang “pluralisme hukum” sudah berakar sejak zaman Hindia Belanda. Mengapa sekarang harus syariat Islam?

Istilah “qanun” juga dipertanyakan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan KH Mohammad Hasib Wahab. Kyai ini mengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang. "Kenapa tidak menggunakan istilah yang bisa dinasionalkan?"

Namun sejarah perjuangan syariat Islam di Aceh sangat panjang. Aceh adalah provinsi paling Islam di Indonesia. Sekitar 99 persen dari 4 juta penduduknya beragama Islam. Ini lebih tinggi dari daerah mana pun di Asia Tenggara. Tak heran jika Aceh, sejak zaman kesultanan-kesultanan di Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaka, dikenal sebagai “Serambi Mekkah.”

Penolakan Presiden Soekarno menegakkan syariat Islam di Aceh berbuntut dengan perlawanan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Beureueh berdamai pada 1956 ketika Jakarta mau memberikan status “daerah istimewa” untuk Aceh. Namun janji syariat Islam tak dipenuhi.

Baru pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan undang-undang untuk Aceh dimana “pelaksanaan syariat Islam” diakui. Empat tahun kemudian, Aceh membentuk Mahkamah Syariah dan penggunaan istilah qanun.

Hukum cambuk sekarang lazim terjadi pada hari Jumat di seluruh Aceh walau banyak yang berpendapat hukuman ini lebih dikenakan pada orang-orang kecil daripada para pejabat yang korupsi atau tentara yang melanggar hak asasi manusia.

Qanun dalam bahasa Arab artinya himpunan peraturan atau norma yang mapan. Landasan dasar qanun adalah al Quran dan Hadits.

Menurut legislator Imam Syuja' dari Partai Amanat Nasional, yang juga kepala Muhammadiyah Aceh, syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh cuma berlaku bagi umat Islam. Warga minoritas di Aceh takkan diberlakukan syariat Islam. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan bagi yang bukan Islam," tegasnya.

Tapi bagaimana dengan kekuatiran Benny Harman?

Imam Syuja' mengatakan, "Kalau Bali atau daerah lain ingin mengajukan hukum agama sebagai peraturan, kalau memang ada silakan saja. Daerah lain juga punya hak."

Legislator asal Maluku, Sayuti Asyathri, sependapat dengan Imam Syuja'. "Asal tetap dalam koridor konstitusi," kata Sayuti.

Namun Teuku Muhammad Nurlif dari Aceh minta agar daerah lain macam Flores, Bali, Minahasa atau Papua, tak terburu-buru mengajukan agamanya sebagai kesetaraan syariat Islam di Aceh. “Harus dilihat juga sejarahnya," kata Nurlif.

Orang Aceh berjuang untuk syariat Islam selama 100 tahun lebih, sejak zaman Hindia Belanda. Ketika Soekarno memperkenalkan "Pancasila" dan diteruskan Jenderal Soeharto, maka "dasar negara" ini pun dilawan terus.

Politik agama di Indonesia tampaknya selalu emosional. Di Bali, ribut-ribut RUU Porno, mendorong tokoh dan organisasi Bali melontarkan ide “merdeka dari Indonesia.” Harian Komentar, sebuah suratkabar Manado, mengatakan dalam editorialnya kalau “daerah lain” bisa menjalankan syariat Islam maka Minahasa seharusnya juga boleh “merdeka.” Mungkin ini makna dari kekuatiran Benny Harman.

5 comments:

Anonymous said...

Sebagai orang Flores NTT, punya kerabat dekat yang pastor, suster, bruder, frater, saya kok tidak melihat kemungkinan warga Flores atau NTT umumnya memfotokopi apa yang dibuat di Aceh. Kenapa? Sejak dulu, di Flores tak pernah ada praktik mengedepankan agama tertentu, Katolik sekalipun. Semua agama, menurut adat di Flores, dianggap sama saja. Bukankah caranya saja yang beda?
Contohnya paman saya, Muhammad Kotak (almarhum) adalah takmir masjid di kampung saya. Kanisius Kalu masuk Islam dan sekarang jadi takmir masjid di kawasan Karet, Jakarta Selatan. No problem! Orang Flores itu bebas pindah agama asalkan benar2 serius tanpa khawatir dimarahi keluarga atau umat agama 'lama'.
Di kampung saya, pelosok Lembata, Flores Timur, izin mendirikan tempat ibadah TIDAK DIPERLUKAN seperti ramai di Pulau Jawa. Kampung saya pada 1980-an umat Islam tak sampai 50 orang alias tak sampai 5 persen. Yang lain Katolik, Katolik 'Napas' (Natal Paskah), serta penganut agama asli. Tak ada gereja di kampung saya karena kebetulan ada gereja di kampung tetangga.
Tapi, yang menarik, warga yang mayoritas Katolik itu berinisiatif membangun masjid secara gotong-royong. Biaya dari desa, semua warga desa yang hampir semuanya Katolik kerja bakti bersama-sama untuk mendirikan masjid itu. Sekali lagi, tak perlu urus izin, suap sana-sini... karena warga Katolik memang menginginkan masjid megah berdiri di kampung Mawa, Lembata. Bukankah masjid itu menjadi kebanggaan seluruh kampung kami? Begitulah pandangan warga kami, orang desa yang polos-tulus.
Maka, masjid itu tegak berdiri, cukup bagus... namanya Masjid Nurul Jannah. Indah sekali! Sangat menarik karena desa yang hampir 100 persen Katolik, tidak punya gereja, tapi punya masjid bagus. Setiap kali Lebaran, warga kami menampung kaum muslimin di rumah, menyiapkan makanan, jadi panitia Lebaran... dan seterusnya.
Saya kemudian kuliah di Jawa, keliling Jawa, jadi jurnalis, mengikuti dinamika kehidupan di Jawa. Betapa terkejutnya saya ketika tahu bahwa di Jawa (dan tempat-tempat lain) begitu banyak orang mengeluh sangat sulit mendapat izin mendirikan gereja, pura, vihara, dan seterusnya. Harus minta tanda tangan warga--dan itu susah. Harus pakai banyak siasat. Harus ini, harus itu! Alih-alih membantu pembangunan rumah ibadah yang bukan agamanya, sekadar memberi restu saja TIDAK BISA.
Di Krian, Sidoarjo, ada kasus menarik. Umat Stasi Krian, Paroki Mojokerto, ingin membangun gereja stasi yang layak. Urus sana-sini, pembangunan dimulai. Izin warga berupa tanda tangan ada. Eh... di tengah jalan, warga entah kenapa mencabut izin yang sudah diberikan. Akhirnya, gereja itu tak jadi dibangun, didemo... mangkrak sampai sekarang. "Kita hentikan saja karena suasana tidak mendukung," kata almarhum Mgr Hadiwikarta, mantan Uskup Surabaya.
Saya bermimpi, kita di Indonesia ini benar-benar saling mengasihi, saling mengerti, saling tenggang rasa, saling kerja sama, dan seterusnya.

Ama Lembata
Tinggal di Surabaya

Anonymous said...

Sejak reformasi protestan; Darimana ceritanya ada hukum kristen mengatur negara?

Syariat islam adalah fascisme warisan peradaban barbarian arab yg mau diterapkan pd abad milenium kini... so pathetic...

Sarah Mantovani said...

Skedar info saja bhwa Aceh itu dLunya adaLah sbuah Negara isLam terbesar ke6 di Asia, ini sy baca dr tuLisan yg d'brikan oLeh tman sy yg asLi Aceh, sLain itu rkyat Aceh sudh brkaLi-kaLi mminta Otonomi khsus pd Pmerintah tpi pmrintah sLLu mLanggar janji, mka dr itu wajarLah jka Aceh mnuntut haknya yg smpat hiLang :-)

msaLah Qanun u/wrga non musLim, sy jg sudh tnyakan kpd tmn2 sy yg asLi Aceh & pham Aceh bhwa wrga Non musLim tak trmsuk Qanun itu, wrga non musLim bbas mmiLih mna hkum yg mw dy pakai, apakh hkum positif ataukah Qanun d'Aceh, bgitu katany :-)

IsLam jg tdk mmaksakan wrga non musLim u/tnduk pd syari'at hnya saja skrng ini bnyak org yg tak mmahami apa itu syari'at isLam (trmsuk org isLam) krn dr dLu d'Negara qta sudh mmakai hkum pninggaLan bLanda & sjak Lahir org isLam sudh terikat dng Syari'at jdi pntasLah jka syari'at d'berLakukan d'sna :-)

tapi trima ksih atas smua msukanny ^^

Sarah Mantovani said...

Skedar info saja bhwa Aceh itu dLunya adaLah sbuah Negara isLam terbesar ke6 di Asia, ini sy baca dr tuLisan yg d'brikan oLeh tman sy yg asLi Aceh, sLain itu rkyat Aceh sudh brkaLi-kaLi mminta Otonomi khsus pd Pmerintah tpi pmrintah sLLu mLanggar janji, mka dr itu wajarLah jka Aceh mnuntut haknya yg smpat hiLang :-)

msaLah Qanun u/wrga non musLim, sy jg sudh tnyakan kpd tmn2 sy yg asLi Aceh & pham Aceh bhwa wrga Non musLim tak trmsuk Qanun itu, wrga non musLim bbas mmiLih mna hkum yg mw dy pakai, apakh hkum positif ataukah Qanun d'Aceh, bgitu katany :-)

IsLam jg tdk mmaksakan wrga non musLim u/tnduk pd syari'at hnya saja skrng ini bnyak org yg tak mmahami apa itu syari'at isLam (trmsuk org isLam) krn dr dLu d'Negara qta sudh mmakai hkum pninggaLan bLanda & sjak Lahir org isLam sudh terikat dng Syari'at jdi pntasLah jka syari'at d'berLakukan d'sna :-)

Penakluk Malam said...

Sayang ya nenek Moyanglu kalah perang, so berlaku point KMB(Konfrensi Meja Bundar) "Wilayah indonesia adalah taklukan belanda", dan Aceh Tidak kalah perang dah tak takluk oleh belanda, belanda juga sudah Hengkang sejak jepang mendeklarasikan perang di pasifik, itu artinya Aceh sudah menjadi sebuah Negara jauh sebelum NKRI ada, nah tiba2 datang SoeKarno ngajak Gabung, lalu orang aceh ngomong "OK kami gabung tapi dengan Syarat" >>>> ini sah kok dalam Hukum >>>> makanya didik anak cucu lu biar ga Kalah perang ^^