Friday, March 10, 2006

Kesenian Melawan Fasisme

KAMI PRIHATIN dengan beberapa perkembangan kesenian belakangan ini. Kebebasan seniman bikin pameran, pertunjukan, penerbitan dan sebagainya makin menciut. Kami resah melihat makin banyak partai dan organisasi politik yang hendak meloloskan RUU Porno. Kalau ini terjadi, kami kuatir, hak masyarakat untuk menikmati karya seni dalam ruang sosial yang bebas dan terbuka akan tertutup. 

Kini tanpa sebuah undang-undang khusus pun, para seniman mengalami kesusahan. Baru-baru ini duet seniman Agus Suwage dan fotografer Davy Linggar diperiksa polisi dengan tuduhan melanggar kesusilaan umum. Mulanya, mereka merancang instalasi “Pinkswing Park” dalam pameran seni CP Biennale pada 6 September-5 Oktober 2005 di Jakarta. 

Model Izabel Jahja dan aktor Anjasmara Prasetya berpose untuk menggambarkan kehidupan manusia urban. Ada sebuah becak ayunan warna merah muda (pink) diletakkan dalam ruang tersebut. Ia menghadap cermin. 

Maksudnya, sebuah parodi, tentang kaum urban miskin, yang terpinggirkan warga metropolitan dari ruang tertutup, apartemennya. Secara digital, Suwage dan Linggar menutup kelamin kedua model tersebut dengan lingkaran-lingkaran putih. 

Namun Front Pembela Islam menuduh karya itu “porno” dan menggelar demonstrasi. Mereka menuduh karya itu melecehkan umat Islam. Mereka menggugat para seniman tersebut ke polisi. Seniman ini pun jadi bulan-bulanan media hiburan sensasional. Anjasmara kehilangan dua kontraknya untuk serial televisi. 

Pada pertengahan 2004, Forum Intelektual Muda Hindu Dharma dari Bali mempersoalkan gambar sampul album penyanyi Iwan Fals, “Manusia Setengah Dewa.” Mereka mengatakan simbol Dewa Wisnu digunakan dengan “tidak etis … untuk kepentingan bisnis.” Mereka memaksa Musica’s Studios menghentikan produksi album, mengganti gambar dan menarik versi lama dari peredaran. Iwan juga berhadapan dengan polisi lewat hukum pidana. 

Pada April 2005, beberapa organisasi, termasuk Front Pembela Islam, menggugat lambang album “Laskar Cinta” band musik Dewa. Mereka menyatakan lambang tersebut adalah kaligrafi “Lafdhul Jalalah” (Allah) dan sebagai alas dekorasi panggung “diinjak-injak” musisi Dewa. 

Beberapa bulan kemudian, World Hindu Youth Organization dan Parisadha Bali memprotes sutradara Garin Nugroho karena hendak membuat film “Requiem from Java” dengan skenario berdasarkan “Ramayana.” Mereka berpendapat “Ramayana” milik umat Hindu. 

Contoh-contoh ini menunjukkan kebebasan berkesenian mulai menyempit lagi di Republik Indonesia. Kami membela dan mendukung sepenuhnya kebebasan tafsir atas suatu karya seni, namun seni adalah bidang kerja dan keahlian yang memiliki sejarah dan konvensi masing-masing. 

Soal-soal yang menyangkut perkembangan gagasan, pemikiran dan tafsir terhadap karya seni selayaknya memperhatikan pandangan, gagasan, pemikiran dari lingkungan disiplin seni itu sendiri. Pembelaan kami terhadap kebebasan penciptaan dan tafsir atas karya seni dilandasi oleh semangat penghargaan terhadap martabat, hak dan kebebasan manusia dalam masyarakat yang beradab dan menghormati demokrasi. 

Kami kecewa bila penilaian atas karya seni digunakan dengan sembarang pandangan. Terlebih lagi jika penafsiran dan penilaian itu mendaku sebagai satu-satunya kebenaran—dengan embel-embel “mewakili suara dan kepentingan mayoritas.” 

Kami dulunya sedikit lega ketika Presiden Soeharto mundur pada Mei 1998. Pada zaman Soeharto, kesenian didikte negara. Rezim ini menangkap dan menganiaya sekitar 800 seniman, sastrawan serta wartawan. Mereka dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan. 

Indonesia juga membunuh seniman Arnold Ap di Papua dan penyair Widji Thukul di Jawa. Indonesia juga membungkam musisi band “Nyawoeng” dari Aceh maupun “Black Brothers” dari Papua. Ia juga mematikan banyak bahasa. Ia membredel berpuluh-puluh suratkabar di Jakarta. 

Orde Baru membiakkan militerisme dan fasisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Fasisme adalah pemikiran politik, gerakan atau rezim dimana ada satu bangsa, yang sering tumpang tindih dengan agama mereka, mendukung satu kepemimpinan tunggal, serta melakukan represi terhadap individu atau kelompok-kelompok minoritas. 

Mereka mengabaikan kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi, beragama, berserikat dan sebagainya. Dalam kosakata Perancis, “fascio” artinya “bundelan.” Kami kuatir “Bundelan” Orde Baru tidak ikut mundur bersama Soeharto. 

Kami kuatir ia bangkit, bukan saja dengan meredam kemerdekaan seni, namun juga keinginan bangsa-bangsa kecil di Indonesia untuk bisa mengatur dirinya sendiri. Baik bangsa Timor, bangsa Aceh, Papua dan sebagainya. Dari Sabang sampai Merauke, berjajar rasa cemas, sambung-menyambung menjadi satu, terhadap fasisme agama dan kebangsaan. 

Fasisme ini pula yang menindas kebebasan beragama dengan menutup paksa gereja-gereja Kristen di Pulau Jawa. Mereka mengharamkan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme. Bukankah “Bhinneka Tunggal Ika” sama dengan pluralisme? Mereka juga menindas kaum Ahmadiah. Merusak rumah-rumah kaum Ahmadiah. Mengusir para penghuninya. 

Kami kuatir pengaruh fasisme ini bergentayangan di berbagai organisasi nonpemerintah maupun birokrasi dan militer Indonesia. Kami mencintai kesenian. Seni memperkaya kemanusiaan kita. Seni adalah sebagian jawaban untuk demokratisasi Sabang sampai Merauke. Namun seni takkan berkembang dalam suasana penuh tekanan. 

Kami percaya bahwa semua pihak yang berperan dan bekerja sungguh-sungguh demi perkembangan dan kemajuan seni di Indonesia dan pranata pendukungnya, mampu mengatur dan mengelola kehidupannya sendiri sebagai bagian dari masyarakat yang beradab dan demokratis. Maka, kami menolak segala cara dan upaya sembrono dalam memandang dan memperlakukan penciptaan karya seni sebagai tindakan kriminal. 

Maka, kami menolak upaya pembatasan terhadap karya seni dengan nama “pornografi” maupun upaya menciptakan sebuah undang-undang khusus untuk apa yang disebut “pornografi.” Kami menyerukan kepada semua pihak untuk bangkit dan melakukan perlawanan terhadap penindasan ini. 

Cemara Galeri-Kafe Jakarta, 7 Maret 2006 


Pernyataan ini dibuat bersama oleh anggota mailing list pinkswingpark@yahoogroups.com. Daftar ini akan diketik dan disusun sesuai abjad ketika diluncurkan ke publik akhir Maret 2006. Penandatangan kami minta memberikan identitas jelas (termasuk nama lengkap). Nomor telepon kami perlukan untuk verifikasi (takkan diketik). 

Sekretariat jaringan ini adalah Siti Nurofiqoh via Yayasan Pantau 021-7221031. Contoh: Agus Suwage, pelukis tinggal di Jogjakarta, ikut dalam instalasi “Pinkswing Park”, telepon 0274-418174

9 comments:

Olkes Dadi Lado said...

Saya mendukung gerakan penolakan RUU APP. RUU ini jelas-jelas mengekang kebebasan sipil rakyat. RUU ini jelas-jelas sangat diskriminatif. RUU ini tidak adil dan merugikan bagi kaum perempuan.

Anonymous said...

Kami dukung aksi penolakan RUU Porno
RUU Porno diskriminatif terhadap kaum perempuan
RUU porno mengekang kebebasan berekspresi manusia di bumi nusantara ini
RUU porno memenjarakan hak sipil rakyat
TOLAK RUU PORNO

Kami di TIMOR

Robby Lay, Theo W, Ros Djaro, Daniel O, Vecky M, Buce G

Anonymous said...

Kami menolak RUU APP!

Ade Wahyuni, M. Rafik, A. Nuriska, Muh. Thoha, Gepeng, Soekirno, Bagoes, dkk. (Jogja)

Anonymous said...

Tubuh saya, milik saya. Hak seksual adalah hak asasi setiap manusia. Saya menolak RUU Antipornografi & pornoaksi. "Bapak anggota pansus yang terhormat, apa nggak sekalian saja kalian bikin RUU pornopikir?". Lelaki yang ngeres kok perempuan yang dikriminalkan?!!!

*ucu agustin

andreasharsono said...

Kamis kemarin, di kantor Nahdlatul Ulama, Jl. Kramat Raya, Jakarta, diadakan pertemuan pers bersama KH Abdurrahman Wahid (mantan presiden Indonesia), Jaya Suprana (pianis, komedian), Agus Suwage (pelukis), Izabel Jahya (model), Todung Mulya Lubis (pengacara), Tita Rubianti (pematung), tiga orang Putri Indonesia (Jambi, Lampung, Padang) dan beberapa kelompok seniman. Intinya, mereka menentang RUU Porno. Mereka tidak suka dengan pornografi namun RUU Porno bukan solusinya.

Saat pertemuan juga dibacakan pernyataan "Kesenian Melawan Fasisme" yang ditandatangani 170-an orang. Mereka termasuk Danarto (sastrawan), Garin Nugroho (sutradara), Iwan Fals (penyanyi), Leo Batubara (Dewan Pers), Mochtar
Pabottingi (ilmuwan), KH Mustofa Bisri (penyair), Slamet Gundono (dalang) dan banyak lagi orang seni dan media. Daftar nama mereka terlampir.

Nama dan Identifikasi

A. Mustofa Bisri, tinggal di Rembang
A. N. Sudaryatmo, Ibu rumah tangga
A. Zaim Rofiqi, Mahasiswa
A.A. Sudirman, Jurnalis
A.Haris Salimi, Mhs.Akindo Yogyakarta
A.Hendrotomo,
Aendra, Wartawan tinggal di Bandung
Agus Pambagio, VAB
Aidil, Pekerja Seni
Alexander Loniciano, Pecinta seni
Amalia Pulungan, Aktivis anti globalisasi
Amin Kamil,
Andre Daniel, Graphic Design
Andreas Harsono, Wartawan Pantau
Anneke, Model
Anto Hercules, seniman tinggal di Jogjakarta
Anung K, Penggiat anti korupsi
Ari Satrio Wibowo, Penulis
Aris Wenay, Seniman
Ariyambodo , Pekerja Media
Arjuna Hutagalung, Guru Musik
Aryani, Freelance
B.Basuki Raharjo, Pelukis
B.Karta,
Bagus Maha Jaya, Rakyat Biasa
Baim, Karyawan
Bajo Winarno, Wartawan
Bambang Bujono, Penulis
Beny S., Budayawan
Budi, Wiraswasta
Budi Putra, KBRM
Budiman Sujatmiko, Sekjen REPDEM
Budiyanto Abiyoga, P2FTV
Cristina , Pemerhati
Dadang Ismawan, Pelukis (Jaringan Kafir Liberal)
Dahlia, Pensiunan
Danarto, Penulis
Daniel Rudi Haryanto, Cinema Society
David Crisna Alka, Rakyat Biasa
Deni S.T,
Denny Indahwati W., Padness Swara
Dessy Mulasari, Seniman juga
Dewi Haf, Tari/IKJ
Dewi Satrio Djati, Pemerhati & Pecinta Budaya
Dhammasubho, Bhikkhu
Dian Parluhutan,
Dian Sahudi, Pemusik
Dibal, Poto grafer
Didi, Xykids
Dwijo Sukatmo,
Dyah Laely, Wiraswasta
Eddie Klenk, Pemain Teater
Eko PC Supriyanto, Choreo Grapher
Elino, Artis to Liberti
Elis Nurhayati, Pekerja sebuah organisasi internasional
Eric Sasono, Kritikus Film
Erik Erasetya , Fotografer
Erwinantu, Karyawan
F. Antonie, Politik
Feba Sukmana, Penulis, Penerjemah, Editor dll
Fenta Bakrie, Mahasiswi
FX. Rudi Gunawan, Penulis
Gadis Arivia, Yayasan Jurnal Perempuan
Garin Nugroho, Sutradara
Ging Ginanjar, Jurnalis
Gita Fara Praditya, Mahasiswa
Gunawan, Tempo
Hanif ZR, Mhs
Hari Amil, Pekerja Seni
Hasru Alam Azis, Jurnalis
Hendry Fadil, Rakyat
Heru Hendratmoko, AJI Indonesia
Honggo Utomo, Artis Manager
I Made Widya Diputra, Perupa
I Nyoman Sura, Seniman Tari
Ikhwan, Rakyat
Ilun, Mhsw
Imam C., Pecinta Damai
Imam F, Wartawan
Indira,
Indira & Evi, Wartawan
Ipik Tanoyo, wartawan
Irma, Manusia Biasa
Iwal, Kt. Bekasi
Iwan Fals, Penyanyi
Izzah, Umum
Jaya Suprana, Semarang
Jose Rijal Manu, Teater
Keke Harun, Wiraswasta/Model
Keke Tumbuan, Tukang Motret
Kelik Wicaksono,
Kuken, Pelukis /Guru
Kurnia Effendi, Suzuki
Kus Siti Sendari, ITE Marketing
Laksmi, Tari/Teater
Landung Simatupang, Pekerja Seni
Lasti Kurnia, Tukang Foto
Leo Batubara, Dewan Pers/Pemerhati
Leon Agusta, Penyair
Lilik , WOM (World of Maluku)
Lilik Subekti, Perupa Deka Tgr
Maria B.A, Pekrja Seni
Maria Kristina H, Mhsw Liga Tari UI
Mary Rumawans, Pelukis
Mazinung, Wartawan SBS
Meida, Wartawan
Menul, Penari
Mirwan Adnan, Penggiat Seni
Mochtar Pabottingi, Peneliti
Nicola Sarvangga Valeno, The Jakarta Post
Nirwan Andan Yusuf, Peminat Seni
Nirwan Dewanto, Penulis
Nova R. Yusuf, Penulis
Nurmina G, Karyawan
Nuruddin Asyhadi, F Mag
Ny. E. Sumolong,
Nyak ina Raseuli, Pemusik
Okty Budiarti, Snmn Tari Jogakarta
Olga Lydia, Perempuan
Peni Putu W, Pribadi
Petrus B. Mumpuni,
Petrus Manyasa,
Puthut, Umum
Putri, Mhsi
R. Edhieyanto,
R. Ramli, Jkt
Ratih Andonowari, Karyawan
Renno, Mhs
Retno Ayu, Mhs
Rita TB, Gatra
Rm. Beni S., WNI
Roysepta Abimanyu, Tukang Belajar
Ruth Hesti Utami, Reporter Sinar Harapan
S. S. Listyowati, Periset
Samiaji Bintang, Wartawan Pantau
Samuel Watimena, Fashion Designer
Santo Klingan, Pekerja seni jalanan, Pening Art, Guru Sekolah Merdeka
Saut Situmorang, Penyair Jogja
Sekar Ayu Asmara, Film Editor
Sekar Putri , Mahasiswi ITB
Sendia Berka,
Setiawan Sabana, BDG
Siti Nurasiah, Serikat Buruh Bangkit
Slamet Gundono, Dalang
Stefan Danerek, Penerjemah
Stevany Imelda, Fotografer,komunitas Film Indonesia cerdas
Steve Clement, Karyawan
Sukadiah, Pensiunan
Susianna, Wartawan
Syenni Gemilang, Mhs
Thely, Pemerhati
Tom Ibnur, Pekerja seni
Tri Wugani, Aktivis Perempuan
Tumpal Agustinus H., Profesional ITE
Ucu Agustin, Penulis Yayasan Pantau
Umbu L.P Tanggela, Perupa
Veven Sp. Wardiana, Penulis
Villy, Mhsw Trisakti
Vira Basuki, Penulis
W. Kusu N., Komunitas Islam
W.Mestiko Adjie,
Wiediantoro, BB
Wiwin, Mombi
Yanus M., Ciputat
Yosi A., Film Editor
Yulia Hadi, Yayasan SET
Yuriah Tanzil, Ikatan Wanita Pelukis Indonesia
Zamal, Pekerja Media

Anonymous said...

Nomen Ist Omen
RUU yang digulirkan oleh orang bernama Balkan ini bisa menjadi
awal dari Balkan-isasi Indonesia.
Barangkali arwah Milosevic yang baru meninggalkan penjara Den Haag
ber-re inkarnasi kedalam RUU Balkan ini. Indonesia harus mencegah Balkan-isasi Republik
dengan RUU konyol dan achterlijk ini.

Anonymous said...

Semoga Menteri Meutia Hatta yang ditugasi Presiden SBY untuk merevisi RUU "sektarian primitif "ini dapat mengulangi kenegarawanan ayahanda Proklamator Mohammad Hatta yang pada 18 Agustus menyelamatkan NKRI dari ancaman keluarnya Indonesia Timur.
Presiden SBY perlu mewaspadai
subversi kolone kelima yang ingin mengubah Negara Pancasila bernasib seperti Yugoslavia.

Anonymous said...

saya mendukung penolakan RUU APP. RUU ini punya celah yg sangat banyak untuk disalahgunakan sebagai pengekang kebebasan sipil, bahkan diskriminasi pada perempuan.

Dana
danamaharani@yahoo.com

Unknown said...

Dari sekelumit yang diperbincangkan.
Saya sangat menolak isi dari RUU ini krn:

1. Definisi pornografi, seksualitas, hasrat tdk jelas.
2. Kemunduran dalam Hak Asasi Manusia
3. Tidak jelas fokus dari RUU ini.
4.Pembedaan antara objek seks dan korban seks tidak jelas.
5. Jelas-jelas RUU ini dibuat oleh sekumpulan hiprokrit.

Pornografi ataupun seks adalah kejahatan tertua di dunia bahkan dari jaman sebelum Masehi.

Jika beberapa politisi atau idealis beranggapan bahwa kejahatan ini dapat di hambat dengan Undang2 Pornografi, mereka sungguh bodoh dan tdk berakal sehat.

Jika tujuannya untuk perlindungan anak dari pornografi? Silahkan perbaiki UU perlindangan anak.

Jika tujuannya pembatasan bisnis pornografi? Silahkan perbaiki UU pendirian usaha dan ijin disribusi media.

Jika tujuannya peredaran konten pornografi melalui media elektronik, maka perjelas UU Informasi dan Telekomunikasi.

Intinya RUU hipokrit dan tidak menyelesaikan masalah sebenarnya malah kemunduran dalam peradaban manusia Indonesia.

Julia
- jika butuh petisi... saya bersedia -