Friday, March 17, 2006

Model Pelatihan Wartawan Mahasiswa


Bagaimana bikin pelatihan untuk wartawan mahasiswa atau pemula? Ini pertanyaan yang sering saya dengar. Siapa yang cocok jadi pembicara? Berapa panjang satu sesi? Siapa yang bisa mengajarkan menulis? Berita? Feature? Opini? Bagaimana bedanya dengan media elektronik?

Nah, Pantau biasa membagi materi dalam empat kategori: (1) reportase; (2) penulisan; (3) etika; (4) dinamika ruang redaksi (newsroom). Ini pembagian yang juga biasa dilakukan di berbagai sekolah jurnalisme di Boston, New York dan beberapa kota Amerika lain. Saya dulu belajar jurnalisme dari Bill Kovach di Universitas Harvard. Harap maklum, referensi saya juga banyak dari Amerika.

Reportase termasuk teknik wawancara, riset buku, internet, database dan pengamatan di lapangan. Penulisan termasuk latihan membuat deskripsi, menggunakan dialog, diskusi soal bagaimana membuat struktur cerita dan sebagainya. Kami biasa bikin dua struktur untuk pemula: piramida terbalik dan feature. Bila sudah advanced kami berikan materi narasi.

Etika ya soal bagaimana berhubungan dengan sumber, bagaimana memandang informasi, siapa yang layak dijadikan sumber dan sebagainya. Bagaimana soal pencurian informasi? Bolehkah mengobrol lantas dijadikan naskah?

Dinamika newsroom berkenaan dengan keragaman. Misalnya, Anda hendak meliput soal apa yang disebut sebagai "terorisme" --kalangan lain menyebutnya "perang" atau "jihad"—maka sangatlah perlu untuk mengajak rekan Anda yang mengerti Islam dan mengerti debat soal "jihad" untuk terlibat. Background ini bisa memperkaya liputan. Mau meliput soal pelecehan terhadap "agama Hindu" perlu mengajak rekan yang mengerti soal Hindu dalam liputan atau diskusi. Mau bicara soal "Kristenisasi" atau "Islamisasi" ya perlu melibatkan mereka yang berasal dari agama yang dipersoalkan itu. Mau bicara soal "nasionalisme Indonesia" sebaiknya juga baca dari sumber-sumber yang independen.

Empat kategori ini belakangan dikembangkan oleh Committe of Concerned Journalists di Washington DC. Saya juga banyak mengambil ilmu dari International Center for Journalists. Saya kebetulan pernah berhubungan dengan mereka. Orang nomor satu CCJ, Bill Kovach, adalah mentor saya di Nieman Foundation on Journalism at Harvard University. Pantau menterjemahkan buku Kovach dan Tom Rosenstiel "Sembilan Elemen Jurnalisme." Saya juga pernah jadi konsultan ICFJ di Banda Aceh sehingga mengerti cara mereka membangun silabus. ICFJ sering mengajak Pantau kerja bersama.

Soal pembicara sangat penting. Ia tergantung pada banyak hal, antara lain waktu mereka, dana untuk mendatangkan mereka dan sebagainya. Kami di Pantau lebih suka menggunakan sedikit trainer daripada setiap sesi ganti trainer (ini sering jadi kebiasaan pers mahasiswa).

Metode Pantau ini menghemat waktu trainer untuk mengenal audiens ("ice breaking" cukup dilakukan sekali atau dua kali) serta mencegah pengulangan. Ia juga lebih menjamin terciptanya peluang para peserta untuk memahami apa yang dilatihkan. Makin dalam pemahaman mereka makin baik bukan? Saya sangat tidak menganjurkan sebuah program pelatihan yang menggunakan banyak trainer, ganti-ganti untuk setiap sesi. Ini membuang-buang tenaga dan waktu. Ia boros dari segi biaya dan kurang berguna dalam mencapai tujuan.

Kalau Anda setuju dengan pendekatan kami, maka Anda harus mencari trainer yang bisa tinggal di tempat pelatihan selama acara berlangsung. Ia mengajar dari sesi ke sesi. Setiap sesi standar 90 menit. Kalau terlalu panjang, peserta merasa lelah dan konsentasi menurun. Sehari penuh maksimal tiga sesi.

Ini juga biasa dilakukan dalam training yang dilakukan Pantau. Satu atau dua atau maksimal tiga trainer. Dalam "kursus jurnalisme sastrawi" misalnya, yang rutin diadakan Pantau tiap semester, selama dua minggu, hanya ada dua trainer: Janet Steele dan saya. Namun kami sering mengundang pembicara ketiga untuk sharing dan variasi. Pada kelas yang waktunya lama, katakanlah seminggu sekali pertemuan, kami juga pakai satu atau dua trainer.

Faktor lain adalah latihan menulis atau praktek. Pers mahasiswa cenderung mengabaikan latihan. Lebih banyak diskusi. Zaman saya pertama kali ikut pelatihan pers, bersama tabloid Gita Kampus di Salatiga pada 1985, pembicaranya mungkin ada 15 orang. Dari pagi sampai malam. Tak ada praktek sama sekali. Dari peserta sekitar 40 orang itu hanya tiga atau empat, yang akhirnya bisa menulis dan jadi wartawan. Anda hendak membuat "pendidikan dan latihan" namun sering lupa unsur latihan. Ini lebih menjamin peserta bisa menulis.

Ini berarti Anda juga perlu trainer yang bisa memberikan tugas dengan sangat fokus serta bersedia mengkoreksi dan membahas pekerjaan rumah. "Fokus" artinya PR itu cukup pendek tapi bisa membuat trainer melihat seberapa jauh si peserta mengerti apa yang sudah diajarkan. Janet Steele dari George Washington University sangat pandai membuat tugas PR. Saya beberapa kali mengajar bersama Janet. Saya belajar dari Janet tentang bagaimana mendisain pekerjaan rumah.

Last but not the least, wartawan yang baik belum tentu bisa jadi pengajar yang baik pula. Anda harus mencari wartawan yang mengerti perjalanan sejarah 300 tahun jurnalisme. Ia juga mengerti dasar-dasar jurnalisme lewat berbagai konvensi yang dikembangkan di berbagai belahan dunia (terutama Eropa dan Amerika dimana jurnalisme cetak berkembang paling awal). Ia juga sekaligus tahu cara mengajar, cara mendorong peserta untuk suka berdiskusi dan memotivasi mereka membaca bahan-bahan bacaan.

Tidaklah mudah mencari orang begini karena mereka rata-rata sibuk. Namun kalau Anda gigih melakukan pendekatan, saya kira Anda bisa mendapatkan wartawan-cum-trainer macam ini. Cari wartawan yang track record-nya bagus --tidak pernah campur dengan politik atau public relations. Di Jakarta, kami biasa menggunakan Amarzan Loebis, Ayu Utami, Budi Setiyono dan sebagainya.

Bagaimana soal seleksi peserta? Cara terbaik adalah minta calon peserta mengirim dua naskah yang mereka anggap terbaik. Kita bisa menilai cara seseorang berpikir lewat tulisannya. Kita bisa mencari peserta yang standarnya sama. Ini akan memudahkan proses belajar mengajar. Kalau peserta tak sama standarnya, instruktur lebih repot. Jam terbang bersama lembaga media mahasiswa juga menentukan. Ini bisa diminta lewat surat pengantar yang sekaligus cerita tentang riwayat bekerjanya dalam lembaga media.

Mungkin ini sekilas saja cara mendisain program pelatihan wartawan mahasiswa. Selamat mencoba!

Related Stories
Warming Up! Pemikiran soal Pelatihan Pers Mahasiswa
di Universitas Negeri Padang
oleh Meiriza Paramita
Ganto di Padang oleh Andreas Harsono
Latihan Jurnalisme Imbas dan Scientiarum oleh Andreas Harsono
Masa Depan Wartawan Aceh oleh Andreas Harsono

23 comments:

udin said...

Mas Andre,

Terima kasih sharingnya. Tulisan ini saya kira akan sangat berguna bagi teman pers mahasiswa. Saya minta ijin untuk memposting tulisan ini di milis jurnalisme-sastrawi.

Anonymous said...

selamat siang mas,
nama saya vita salam kenal yah mas, saya baru saja ngebaca tulisan tulisan mas atau bapak (saya bingung mau manggil apa ),saya sangat suka dengan tulisan mas, apalagi yang ttg aceh itu bagus bgt..

andreasharsono said...

Dear Vita,

You can call me "Andreas." Yes, just Andreas. I am not pretending that I am not old --42 is much older than your age, I guess-- but I always like the idea of being an egalitarian person.

Some years ago, Norman and I went into the office of Bill Kovach, a journalism guru, who was then about 65 years old. He refused when I called him "Mr. Kovach."

"Just call me Bill," Kovach said.

Even Norman now calls him "Bill."

One of the good things that I learned in America is this egalitarianm.

Unknown said...

Kalo model pelatihan Jurnalistik untuk siswa SMU gimana mas, biasanya anak2 SMU tidak suka yang berbau serius, ada kiat untuk mengatasi kejenuhan para siswa yang bosan dengan materi yang monoton?

andreasharsono said...

Bung Eka,

Saya tak pernah terlibat dalam pelatihan untuk remaja. Bingung juga mendapatkan komentar Anda soal bagaimana menghadapi anak SMA. Saya benar-benar tak tahu bagaimana bedanya? Paling banter, saya hanya terlibat dengan mahasiswa. Pernah beberapa kali diminta mengajar di sekolah dasar. Ada yang gagal (kelasnya hingga 100 orang), namun ada juga yang relatif berhasil (mereka mendengar dan bertanya serta komentar). Disana saya lebih banyak cerita saja.

Anonymous said...

Hajimemashite. Saya Arumi dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)Kentingan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta (belum pernah dengar ya? ^O^) Douzo yoroshiku onegaishimasu...

Artikel Andre-san tentang model pelatihan untuk persma membantu sekali dalam memperbaiki kinerja keredaksian kami. Arigatou gozaimashita...

Anonymous said...

salam. mas andreas.
kalok model kaderisasi di pers mahasiswa baiknya gimana ya mas.
semisal saya pengen memperdalam tentang kaderisasi pers mahasiswa, apa referensi yang harus saya baca?
terimakasih sebelumnya.
abdul

andreasharsono said...

Untuk Abdul,

Saya kurang tahu persis kaderisasi bagaimana ya. Mungkin semacam rekrutmen yang terus-menerus begitu ya? Kalau maksudnya begitu, saya kira, kuncinya ada pada mutu media Anda. Kalau mutunya bagus, orang baru yang mau ikut biasanya juga banyak. Mayoritas media bagus malah kewalahan melihat pelamar. Ini untuk media amatir. Apalagi kalau profesional (pakai bayaran). Saya juga ada menulis soal bagaimana merekrut wartawan. Mungkin itu bisa dipakai juga. Terima kasih.

Anonymous said...

salam kenal mas andreas..
saya seringkali diundang oleh teman2 mahasiswa untuk menjadi narasumber. Kecenderungannya narasumber tidak dilibatkan dalam menyusun modul dan materi apa saja yg dibutuhkan. Jadinya ya gitu, habis dipelatihan saja. tdk aka action plan yg konkret. thanks sharingnya. lembaga pers mahasiswa harus baca ini! :) sukses!

heru gutomo said...

metode pelatihan dari mas andreas dan kelompok isai harus kuakui memang inspiratif. banyak hal menarik untuk diaplikasikan. tidak hanya dalam ranah jurnalistik, saya pun adaptasi untuk pelatihan lain. hehehe...

menurut saya, akan menambah nilai bila sang narasumber paham tentang pers mahasiswa itu sendiri. kalau bisa justru alumninya. ini bisa membawa nilai lebih karena kedekatan historis, juga mempermudah dalam melanjutkan garis sikap pers mahasiswa tersebut.

andreasharsono said...

Untuk Andi dan Heru,

Saya setuju bahwa para pembicara sebaiknya dilibatkan dalam penyusunan materi pelatihan. Ini penting agar acaranya fokus serta tidak tumpang tindih. Kesulitan Andi juga sering jadi kesulitan banyak trainer.

Khusus Heru, soal trainer sebaiknya juga mengerti pers mahasiswa, saya kira, juga perlu digarisbawahi. Namun trainer ini juga harus mengerti perkembangan jurnalisme secara global. Ada trend global, misalnya, intervensi bisnis terhadap ruang redaksi, yang perlu dipahami wartawan mahasiswa. Jadi, trainer memahami dalam dan luar.

Omong-omong, saya pernah bekerja untuk majalah mahasiswa Imbas di Salatiga. Bahkan sempat mengalami pembredelan oleh rektorat Universitas Kristen Satya Wacana. Terima kasih.

heru gutomo said...

"saya pernah bekerja untuk majalah mahasiswa Imbas di Salatiga. Bahkan sempat mengalami pembredelan oleh rektorat Universitas Kristen Satya Wacana."

iya... iya... mas Andreas sudah cerita tentang hal ini. Bercerita langsung 2 kali, dari 3 kali pertemuan kita. Dan sekarang dapet cerita ini lagi. Ntar yang keempat kalinya dapet piring cantik dong? hehehe...

sayang, saya termasuk yang kurang beruntung saat di persma dulu. Tidak pernah kebagian jadi delegasi ke isai atau ke pantau. Saya pelajari berbagai metode itu hanya dari mendengar cerita, baik dari alumni isai maupun pantau. Waktu saya lagi giat-giatnya, eh pelatihan isai berhenti. Giliran mulai ada pelatihan isai lagi, saya harus merelakan yang berangkat anggota dari angkatan di bawah saya. Apalagi pelatihannya Pantau, dah jadi kelompok tuwir di persma. Hehehe..., nasib... nasib...

elsara said...

Halo Mas Andreas, kita ketemu lagi. Tapi kali ini di dunia maya. Hehe.. Blog yang sangat menarik, Mas! :)

Saya Sara dari Media Publica (Moestopo). Msh inget gak? Wkt itu saya dan tmn2 sempat dtg ke apartemen Mas utk diskusi dan sharing.

Gini lho Mas, kebetulan tmn2 pengurus periode sekarang (saya sdh tdk menjabat lagi) mau bikin pelatihan jurnalistik. Maunya sih tingkat nasional. Jadi konsepnya karantina selama 3hari 2 malam.

Menurut mas, apakah sebaiknya satu narasumber memberikan beberapa materi sekaligus atau satu narasumber per materi? Karena kecenderungannya selama ini kami menggunakan opsi yang kedua. Sedangkan setelah saya membaca tulisan Mas tentang pelatihan di Pantau, narasumber yang digunakan hanya 2 orang aja.

Dan ada lagi yang mau saya tanyakan, sejauh mana bedanya antara pelatihan dasar dan pelatihan tingkat lanjut jurnalistik? Atau jgn2 sebenarnya tidak klasifikasi itu? :p

Terimakasih ya mas atas jawabannya..

andreasharsono said...

Dear Maya,

Terima kasih untuk Comment ini. Saya kira, frasa "tingkat nasional" maupun "tingkat lanjut" harus diartikan dengan jelas.

Maksudnya, "tingkat nasional" itu apa? Sekedar Jakarta dan kota-kota lain? Atau ada dana untuk mendatangkan peserta dari Aceh, Medan hingga Lampung, lalu Pontianak hingga Banjarmasin, Minahasa hingga Makassar, Ternate dan Ambon, seluruh Papua, Kupang, Ende dan seterusnya? Saya kira biayanya terlalu mahal untuk mendatangkan orang-orang ini buat acara tiga hari di Jakarta.

"Tingkat lanjut" juga perlu diterangkan lanjutnya dimana? Ini tergantung pada skill masing-masing peserta. Sudah menulis untuk media Jakarta? Cara paling mudah adalah menentukan satu set kriteria penulisan. Lalu para pelamar diminta mengirim contoh naskah. Ini akan membuat panitia bisa memilih level peserta, kurang lebih sama.

Soal bagaimana format, trainer dan sebagainya, ini sangat banyak faktor. Kalau training, lebih baik trainernya satu orang saja. Cuma tiga hari. Lebih baik dimanfaatkan sebaik mungkin. Kalau seminar, ya lebih baik ada banyak pembicara, yang bisa saling melengkapi. Seminar tentu butuh tema. Jadi, pemilihan pembicara perlu mengarah pada tema. Gimana kalau kita ketemuan saja di Eddy Pizza, depan kampus Anda, untuk bicara lebih lanjut? Saya sering mengantar Norman makan disana? Thanks.

Unknown said...

mas Andreas, saya senang membaca tulisan Anda. setidaknya memberi saya inspirasi "what to do".
saya mahasiswi FK Unair dan aktif di lembaga pers mahasiswa kampus.
Sama seperti maya, kami berencana membuat PJTL tingkat nasional.
tapi kami benar2 nggak ngerti apa yg harus dilakukan. pengennya ngajak narasumber dari Jawa Pos dan melibatkan mereka dalam pembuatan materi. tapi mereka pikir hal itu malah ribet.

ada saran?

andreasharsono said...

Dear Elvy,

Terima kasih untuk Comment Anda. Kebetulan Sara dan empat rekannya baru bertemu saya, bukan Maya --salah ketik yang memalukan. Kami diskusi soal rencana Sara bikin acara pelatihan pers mahasiswa se-Jakarta. Rencananya, tiga hari, 10 pembicara dan anggaran Rp 88 juta.

Menurut saya, tiga hari takkan bisa membuat peserta bisa menulis. Sudah banyak contohnya. Dari zaman 1970an hingga sekarang, keluhan terhadap wartawan kita adalah tidak bisa menulis! Biaya sebesar itu terbanyak dipakai untuk penginapan dan makan.

Saya usul pada Sara agar diadakan sebanyak 16-20 sesi, banyak latihan, satu atau dua instruktur (ada guest speaker kalau perlu) serta pakai silabus. Contohnya, bisa lihat salah satu silabus kursus Pantau. Peserta juga dibatasi maksimal 16 orang agar bisa diskusi dan latihan.

Saya juga usul tak perlu menginap karena biaya bakal besar. Lebih baik diadakan sehari satu atau dua sesi saja mengingat mereka semua tinggal di Jakarta. Bisa pulang ke rumah masing-masing.

Usul ini juga mungkin laku untuk Elvy. Bagaimana bila tak perlu pakai label "tingkat nasional" dan "tingkat lanjut." Label "nasional" bakal bikin mahal kalau harus melibatkan peserta dari Sabang hingga Merauke.

Label "tingkat lanjut" juga tak jelas-jelas amat apa bedanya dengan jurnalisme dasar mengingat dasar-dasar jurnalisme di Surabaya, termasuk di Jawa Pos dan Surya, juga harus dipertanyakan. Peserta mungkin dari Surabaya saja. Tantangannya adalah mencari anak muda yang benar-benar berbakat menulis.

Lebih baik bikin training yang esensial. Tujuannya, bikin para peserta mengerti soal jurnalisme dan bisa mempraktekkan jurnalisme. Kalau bisa, bikin 16-20 sesi, masing-masing sesi 90 menit. Banyak praktek, termasuk wawancara (sound dan video), riset internet, riset background, ide cerita dan menulis, menulis, menulis.

Unknown said...

jadi iri dengan Sara yg bs berdiskusi dg mas Andreas langsung :)

berhubung proposal dah maju, sepertinya kami berada di point of no escape.
mengapa tingkat lanjut? alasannya klise, ini sebagai ajang "pamer", itulah yg sering saya dengar dari para petinggi LPM. seperti yang saya duga, bahkan mereka tidak paham benar apa beda PJTL dan PJTD.

konsep awal acara ini (oleh para petinggi LPM)adalah workshop 4hari 3malam di hotel berbintang tiga dengan tema Human Interest. tema itu dibagi menjadi tujuh materi, yang bahkan sampai saat ini saya tidak tahu harus membagi seperti apa.

andreasharsono said...

Dear Elvy,

Memang agak sulit kalau sudah "point of no escape." Sayang sekali uang begitu banyak hanya untuk pamer. Saya lebih memilih memakai uang buat bikin sesuatu yang esensial. Tapi sudahlah. Mungkin lain kali, kalau ada kesempatan lagi, dibikin sesuatu yang bermutu. Terima kasih.

PPS.Satria Muda Indonesia said...

wah artikelnya bagus banget nih mas , boleh di unduh gak ? ( www.wartawankampus.blogspot.com )

andreasharsono said...

Silahkan untuk diunduh. Naskah ini dulunya saya buat memang untuk rekan-rekan wartawan mahasiswa. Tolong dicantumkan nama dan alamat blog saya. Terima kasih.

mentari hati,simpati jiwa said...

on September 26, 2008 at 1:49 pm
13 irsyad

alitqan@yahoo.co.id
salam kenal dari kami ukk pers Al_itqan STAIN Bukittinggi yang sekarang sedang membangun pers kampus di kota Bukittinggi

on September 26, 2008 at 1:58 pm
14 firdaus

kepada teman- teman pers kampus, salam kenal dari dewan redaksi UKK Pers Al- itqan. tetap maju dan bersemangat dalam mengumpulkan berita, selamat berjuang. Ini email bagian kewartawanan : mhd_irsyad@yahoo.co.id

Info Lowongan Kerja Terupdate said...

Salam,

wah, saya yang ngikut persma teknokra yang kini 31 tahun, setelah membaca tulisan ini jadi mikir, pelatihan jurnalistik yang pernah dilakukan teknokra berkali-kali sepertinya perlu perbaikan besar-besaran.

thanks, kunjungi dan tinggalkan pesan di teknokraunila.com; http://teknokraunila.com

Siti Nurjannah Tambunan said...

Salam Pers...
Mas, ni jannah.
mau nanya, apa sih perbedaan yang mendasar antara pelatihan jurnalistik tingkat dasar dan pelatihan jurnalistik tingkat lanjut????
masih blm paham bener...