Thursday, January 31, 2019

Dua wartawan muda dari Yogyakarta raih penghargaan jurnalisme

Citra Maudy dan Thovan Sugandi dari Balairung Press menunjukkan keberanian
JAKARTA — Citra Maudy dan Thovan Sugandi dari Balairung Press, media milik kampus Universitas Gadjah Mada, meraih penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

“Citra dan Thovan berani lakukan liputan yang sulit serta peka tentang kekerasan seksual di kampus. Harapannya, liputan ini akan mendorong usaha serupa di kalangan media, umum maupun mahasiswa, guna membela para korban kekerasan seksual dan mencari keadilan,” kata Andreas Harsono, ketua dewan juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau.

Pada 5 November 2018, Balairung menerbitkan laporan berjudul, “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” soal seorang mahasiswa --nama samaran “Agni”-- yang “diperkosa” oleh teman setingkatnya, pada Juni 2018, ketika mengikuti kuliah kerja di Pulau Seram, Maluku. 

Citra Maudy
Citra Maudy, reporter laporan tersebut, menulis bahwa pelaku “menyingkap baju, menyentuh serta mencium dada Agni.” Pelaku juga menyentuh dan memasukkan jarinya pada vagina. Agni merasakan sakit, memberanikan diri bangun dan mendorong pelaku.

Dalam laporan Malang Melintang Penanganan Pelecehan Seksual di Kampus,” Balairung menyatakan bahwa pelecehan seksual terjadi di banyak lingkup kegiatan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Kasus “Agni” ibarat puncak gunung es.

Laporan tersebut mendapat perhatian masyarakat luas. Media lokal maupun nasional menerbitkan berita-berita lanjutan. Dukungan juga datang lewat sebuah petisi mencari keadilan bagi “Agni” yang ditandatangani 252.895 orang. Beberapa media juga menerbitkan cerita tentang dugaan kekerasan seksual di kampus-kampus lain, di Bali, Bandung, Depok, Jakarta, Yogyakarta dan sebagainya. Jarang kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswa dapat perhatian dan liputan mendalam di media. 

Universitas Gadjah Mada membentuk sebuah komite etik buat memeriksa kasus ini. Arif Nurcahyo, kepala keamanan kampus Universitas Gadjah Mada, melaporkan kasus ini kepada Kepolisian Yogyakarta.

Ini membuat polisi memeriksa “Agni” maupun terduga pelaku, Hardika Saputra –namanya disebutkan oleh pengacaranya Tommy Susanto yang berargumentasi kejadian tersebut berdasarkan “suka sama suka.” Polisi juga meminta keterangan dari Citra dan Thovan pada Desember 2018 maupun saksi-saksi lain.

Polisi belum menetapkan Hardika Saputra sebagai tersangka. Polisi, menurut Citra dan Thovan, juga memeriksa mereka dengan pertanyaan-pertanyaan bagaimana mereka bertemu korban, kenapa isu ini diliput, bagaimana kondisi psikologis korban.

Andreas Harsono mengatakan, “Yayasan Pantau menghormati pemeriksaan yang dilakukan polisi maupun Universitas Gadjah Mada namun kami juga percaya pelecehan seksual adalah gejala yang menguatirkan di berbagai kampus di Indonesia. Kami menghargai keberanian Citra dan Thovan terlepas hasil dari pemeriksaan terhadap kasus ini.”

Komisi Nasional untuk Kekerasan terhadap Perempuan sudah dua dekade melakukan kampanye anti-kekerasan seksual. Komnas Perempuan mendukung perubahan dalam sistem hukum Indonesia dimana pemerkosaan seksual dibikin lebih luas kategorinya –bukan sekedar terjadi penetrasi penis ke dalam vagina—serta mendorong Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengingat ketersediaan perangkat hukum yang ada belum memadai. Laporan Balairung juga mempertimbangkan keterbatasan tersebut.

“Salah satu hambatan menghukum pelaku kekerasan seksual adalah kekurangan hukum. Balairung membuat kekurangan tersebut jadi terang-benderang. Yayasan Pantau mendukung Komnas Perempuan guna melawan kekerasan seksual, mencari keadilan buat para korban serta bikin hukum yang memadai,” kata Andreas Harsono.

Citra Maudy dan Thovan Sugandi 

Citra Maudy adalah mahasiswa sosiologi Universitas Gadjah Mada, kelahiran Sidoarjo 1998. Ia bergabung dengan Balairung sejak 2016 sebagai reporter, jadi redaktur pelaksana sejak 2017. Ia biasa menulis menulis feature, laporan utama dan hard news. 

Thovan Sugandi
Thovan Sugandi adalah mahasiswa filsafat Universitas Gadjah Mada. Ia kelahiran Jombang 1996. Thovan bergabung dengan Balairung sejak 2015. Pada 2018, ia ditunjuk sebagai redaktur serta menyunting laporan Citra. Thovan juga anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan pernah menjadi redaktur Jurnal Tradisi PMII periode 2016-2018. 

Balairung sendiri sebagai majalah terbit sejak 1985. Kini ia sebuah unit kegiatan mahasiswa. Namanya, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa Balairung. Sejak 1997 Balairung menerbitkan website, beberapa kali ganti domain, namun sejak 2017 mereka memakai www.balairungpress.com.  

Yayasan Pantau memandang apa yang dilakukan Balairung lewat karya Citra dan Thovan sejalan dengan visi Oktovianus Pogau, merawat keberanian dalam jurnalisme.

Tentang Penghargaan Pogau 

Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang jurnalis Papua, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura.

Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya.

Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar. 

Dia dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung, Aliansi Jurnalis Independen, menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.

Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 meminta birokrasi Indonesia menghentikan pembatasan wartawan asing meliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi.

Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono. Yuliana Lantipo mengundurkan diri awal Januari 2019 sesudah resmi jadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Yayasan Pantau belum menentukan pengganti buat Lantipo.

Coen Husain Pontoh, yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “Dia berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”


Yayasan Pantau

Penghargaan Oktovianus Pogau 2018: Citra Dyah Prastuti
Penghargaan Oktovianus Pogau 2017: Febriana Firdaus

Tuesday, January 29, 2019

Selamat Jalan Rahman Tolleng


Saya kenal nama A. Rahman Tolleng dari buku soal Mahasiswa Indonesia (Bandung) pada 1985. Ia mungkin pers mahasiswa dengan sirkulasi terbesar dalam sejarah Indonesia: 22,000 sekali cetak. Ia terbit antara 1966, sesudah Presiden Soekarno terpinggirkan, dan dibredel 1974 oleh Presiden Soeharto. Buku tersebut karya Francois Raillon. 

Saya seorang wartawan mahasiswa di Salatiga, masih belajar menulis, masih belajar riset, terpukau dengan apa yang sudah dikerjakan oleh redaksi Mahasiswa Indonesia di Bandung pada 1966 sampai dibredel 1974.

Saya mulai kenal pribadi pada 1988 ketika datang ke kantor Tolleng di PT Pustaka Utama Grafiti di Kelapa Gading, Jakarta. 

Tolleng dikenal sebagai individu yang punya integritas, pengetahuan luas, punya prinsip ("estremis sekuler") serta memberi banyak perhatian kepada anak muda. 

Kami bergaul dekat sejak 1994 ketika kami sama berkantor di Utan Kayu. Ruang kerja hanya terpisah meja sekretaris redaksi. dengan ruang saya Sering makan siang bersama. Ngobrol. Diskusi. Kongkow dengan kawan lain. 

Tolleng seakan jadi jembatan saya dengan sejarah Indonesia. Dia cerita soal Sutan Sjahrir. Dia cerita soal M. Jusuf --sesama orang Bugis-- dan Ventje Sumual dari Permesta. Dia cerita soal Soe Hok Gie yang sering menulis buat Mahasiswa Indonesia. Dia kenal banyak sekali tokoh-tokoh pergerakan. 

Menjelang Natal 1997, saya dapat surat panggilan dari Kejaksaan Agung, diminta datang guna dimintai keterangan dengan tuduhan "menjelek-jelekkan negara di luar negeri." Ini tuduhan serius. 

Pihak intelijen Orde Baru melaporkan pidato saya di Foreign Correspondents' Club, Hong Kong. Saya kritik pembredelan Detik, Editor dan Tempo maupun penangkapan empat wartawan. Saya bicara soal Aliansi Jurnalis Independen. 

Kawan-kawan saya rapat bersama. Tolleng mengingatkan agar kasus ini dibantu dengan pengacara yang cerdas, kuat serta tahu peta politik. Mereka minta salah satu sahabat Tolleng jadi penasehat hukum saya. 

"Kalau kuku Andreas dicabuti, habis kita semua," katanya, seram.

Tolleng meramal bahwa usia rezim Soeharto tinggal "hitungan minggu, paling tidak bulan." 

Saya menulis buat harian The Nation (Bangkok). Ia dijadikan headline. Judulnya, "Twilight in Jakarta." 

Tolleng benar. Mei 1998 Soeharto terpaksa mundur.

Kasus saya tak bergulir. 

Lantas Gus Dur, sahabatnya, jadi presiden. Gus Dur mencalonkan Tolleng sbg kepala Badan Intelijen Nasional. Dia diskusi dgn beberapa kawan Utan Kayu ... seraya terkekeh-kekeh, "TNI takkan mau menerima saya."

Satu dekade kemudian, saya bekerja untuk Human Rights Watch. Tolleng pensiun, lebih sering diskusi, tapi sering datang bicara di kelas Yayasan Pantau dimana saya mengajar. 

Februari 2011 terjadi pembunuhan terhadap tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik. Saya menulis, menulis dan bicara depan televisi. Human Rights Watch mengecam diskriminasi terhadap Ahmadiyah sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan aturan anti-Ahmadiyah pada 2008. 

Tolleng menelepon saya. Dia tanya, "You mau jadi politikus?"

Saya tanya kenapa.

Tolleng jawab, "Saya tanya sebab kalau you mau jadi politikus, bicara soal Ahmadiyah takkan bisa. Ini persoalan peka sekali buat Indonesia. Politik Islam tentunya."

Saya bilang saya tak ingin jadi politikus. 

Dia bilang salut. "Saya sebagai teman salut dengan you."

Pembicaraan itu adalah perhatian dari seorang Tolleng kepada kawannya yang lebih muda. Saya pasti bukan satu-satunya yang pernah dapat perhatian begitu. Banyak kawan mendapat perhatian Tolleng. 

Pada 2012, dia menulis sebuah esai berjudul, "Negeri Ini Milik Kita Bersama" buat Tempo Institute. Dia memulai dengan sebuah puisi karya penyair Belanda, HenriĆ«tte Roland Holst, yang dibacanya ketika dia masih remaja di Makassar. Pesannya, semangat Republik, kesetaraan, patriotisme, setia pada perjuangan. 

Saya kira, hari ini saya kehilangan seorang kawan, seorang role model, seorang raksasa dalam dunia pergerakan di Indonesia. 

Tolleng adalah orang yang percaya pada cita-cita kebangsaan, Republik Indonesia. Istilahnya, "Kaum Republiken." Bukan feodalisme. Bukan oligarki. Tolleng bangga dengan sosialisme demokrat.

Selamat jalan Pak Rahman.

Monday, January 28, 2019

Persamaan Abraham Lincoln dengan Soekarno dan Gus Dur

Andreas Harsono 
Alif 

Thomas Jefferson
Dalam bahasa Inggris, ada kata “authority” dengan akar kata “author”. “Authority” artinya, kekuasaan buat memberi perintah, membuat keputusan dan memaksa ketaatan. Lantas apa arti “author”?

"Author” artinya penulis, orang yang menulis artikel, buku, skenario, pidato, pokoknya, orang yang menulis sebelum kata-kata tersebut dibaca atau diucapkan. Ia berasal dari bahasa Latin “auctor” yang dikembangkan dari kata kerja “augere” dengan makna, “meningkatkan, menciptakan, mengembangkan.”

Ini menarik karena kata “authority” tersebut menerangkan bahwa kekuasaan dalam dunia Barat melekat dengan kepenulisan. Orang yang berkuasa dengan bermutu adalah orang yang menulis. 

Tak heran bila banyak pemimpin dalam dunia Barat berasal dari penulis a.l. Thomas Jefferson, Abraham Lincoln. 

Thomas Jefferson (1743-1826) seorang pengacara, pemikir, serta presiden ketiga Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai orang yang mempersiapkan draf deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776. 

Deklarasi menyebutkan bahwa semua orang dilahirkan setara. Ia menyatakan bahwa hak individu harus dilindungi oleh negara tersebut. Ia membuat banyak orang mendukung Revolusi Amerika guna lepas dari kerajaan Britania. 

Abraham Lincoln
Abraham Lincoln (1809–1865) seorang petani, lantas belajar hukum, jadi pengacara, politikus dan presiden ke-16 Amerika Serikat sampai ditembak mati dalam sebuah teater di Washington DC. Dia dikenal sebagai presiden yang memutuskan perbudakan orang kulit hitam walau ada ancaman negara-negara bagian selatan akan memisahkan diri. 

Dalam buku Lincoln: Speeches and Writings 1832-1858 ada puluhan pidato dan esai karya Lincoln termasuk pidatonya di Gettyburg pada 19 November 1863. 

Acaranya, peresmian kuburan para prajurit Amerika Serikat yang meninggal dalam perang saudara. Pidato tersebut hanya sepanjang 260an kata dan disampaikan dalam dua menit. Lincoln mengingatkan lagi soal kesetaraan manusia. 

Contoh mutakhir adalah Barack Obama, presiden ke-44 Amerika Serikat, yang menulis dua buku best seller. Ketika mahasiswa di Universitas Harvard, Obama menjadi editor Harvard Law Review, majalah hukum paling terkenal di negara tersebut pada 1990. 

New York Times melaporkan ketika Obama terpilih sebagai editor majalah, “First Black Elected to Head Harvard’s Law Review.” Dia juga jadi presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. 

Bagaimana hubungan kepenulisan dan kepresidenan di Indonesia? 

Dalam bahwa Indonesia, “authority” sering diterjemahkan sebagai “pihak berwenang” atau “pihak yang berkuasa”. Tak ada kaitan dengan kebiasaan menulis. 

Saya percaya bahwa orang yang menulis adalah orang yang berpikir dua kali, bila perlu berkali-kali. Tulisan ada jejaknya, beda dengan omongan. Orang yang terbiasa menulis, apalagi sejak muda, akan terbiasa buat berpikir rapi, setia pada fakta. Ini beda dengan orang yang hanya berbual-bual di warung kopi atau media sosial. 

Soekarno
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menerangkan elemen dalam jurnalisme atau menulis berdasarkan fakta, dalam buku The Elements of Journalism. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Ia membedakan jurnalisme dengan propaganda, kesenian atau iklan. Dia harus jujur dan transparan. Dia tentu tak memakai nama samaran atau account palsu. 

Soekarno (1901-1970) dan Abdurrahman Wahid (1940-2009) adalah contoh presiden Indonesia yang menulis. Mereka menulis sejak usia belasan tahun. 

Karya-karya Soekarno dikumpulkan dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Salah satu esai terpenting Soekarno adalah “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” terbitan 1926. Soekarno merumuskan kompromi politik, antara golongan Islam, dan berbagai kelompok lain, pada persiapan negara Indonesia dengan “Pancasila”. Ia dimasukkan dalam konstitusi Indonesia pada 18 Agustus 1945. 

Abdurrahman Wahid
Wahid menulis ratusan esai sejak muda. Salah satu yang terkenal adalah kolom berjudul, “Tuhan Tidak Perlu Dibela” pada 1982 di majalah Tempo. Judul kolom tersebut kemudian menjadi judul buku berisi kumpulan tulisannya yang cukup tebal. Ketika jadi presiden, Wahid mencabut larangan terhadap agama Khong Hu Chu, Saksi Jehova serta berbagai diskriminasi lain. 

Bagaimana dengan Presiden Donald Trump yang membuat biografi The Art of Deal terbitan 1987?

Buku itu ditulis oleh wartawan Tony Schwartz. Dia wawancara Trump atas permintaan Trump, dijadikan buku, jadi laris. 

Pada 2016, ketika Trump kampanye jadi presiden Amerika, Schwartz menyatakan dia menyesal menulis buku itu. Schwartz menyatakan buku itu adalah “karya fiksi” –bukan kepribadian Trump yang dia mengerti. 

Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa Donald Trump adalah presiden Amerika Serikat yang kurang bermutu. Dia sering bohong. Dia tak terbiasa berpikir sistematis. Dia mengetik hanya lewat Twitter. Sensional. Diduga tak membayar pajak dengan layak. Diduga kerja sama dengan Rusia guna menang pemilihan presiden. 

Donald Trump bukan orang yang terbiasa menulis. Kebiasaan menulis akan membuat orang berpikir secara terstruktur, biasa lakukan verifikasi, dilatih buat jujur. 

Jefferson, Lincoln, Soekarno dan Gus Dur adalah pemimpin yang terbiasa, sejak muda, buat berpikir terstruktur, menghormati fakta, dan menyampaikan ide lewat kata-kata. 

Saya kira masyarakat di Indonesia harus belajar dan minta agar orang yang hendak jadi pemimpin, seyogyanya orang yang biasa menulis. Lebih baik lagi bila kita bisa menghubungkan kewenangan dan kekuasaan dengan kepenulisan. 

Siapa tahu kelak ada kata “authority” dan “author” dalam Bahasa Indonesia?

Tuesday, January 22, 2019

Obituari Ging Ginanjar: Catatan Morse

Amsterdam

Ging, menulis tentang kamu itu susah. Jadi saya harus memilih. Satu dimensi dulu. Dimensi lain luar biasa fasetnya. Biar saya simpan, seperti banyak orang menyimpannya juga.

Ging Ginanjar ketika demontrasi protes pembredelan Detik, Editor dan Tempo depan Dewan Pers 1994.

Terima kasih Tita untuk mengingatkan bahwa ketika terjadi pembredelan tiga media: Detik Tempo, dan Editor, Ging harusnya masuk rumah sakit gara-gara paru-paru. Dadanya sudah di-scan, dan ada flek-flek yang butuh diobati. Saat itu kami baru saja selesai dengan hebohnya "Pesta Topeng Cirebon di TIM Jakarta." Kelelahan masih menggantung penuh.

Sementara sebulan sebelumnya bersama Taufik Wibowo, kami mencari rumah yang ‘pantas’, untuk dijadikan kantor biro Detik di Bandung. Pemimpin redaksi Detik Eros Djarot baru saja menyepakati keberadaan kantor biro. Bowo sudah merancang perkakas apa saja yang dibutuhkan, dan menerima  Maskur, saat itu masih berusia 18 tahun untuk menjadi tenaga office boy. Ging excited.

Kantor biro tak pernah terealisasi karena adanya pembredelan. Dibredelnya Detik --kedunguan luar biasa yang tidak dimaafkan-- membuat Ging mengabaikan kondisi paru-parunya. Juga kehilangan pekerjaan, tak adanya jaminan asuransi, dan utamanya kemarahan atas tindakan semena-mena tanpa prosedur hukum dari pemerintahan Presiden Soeharto lewat  Menteri Penerangan Harmoko.

Bersama Ahmad Taufik dan Lucky Rukminto --beberapa bulan sebelumnya bermaksud menghidupkan kembali FOWI (Forum Wartawan Independen) sebagai gerakan perlawanan terhadap  PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)-- kami mengundang sejumlah wartawan media lain, baik yang nasional maupun daerah. Rapat pertama dihadiri oleh banyak kawan, antaranya Happy Sulistiadi, Yamin Pua Upa, Aa Sudirman, Tjahya Gunawan , Rinny Srihartini, Taufik Wibowo dan Patty Usman.

Kami masih bingung dengan alamat redaksi, akhirnya diputuskan, kalau tidak salah, kamar kostnya Ahmad Taufik, Jl Juanda 372, Bandung. 

Waktu itu selain jadi pemimpin redaksi, penata lay-out, Ging pun jadi koordinator kampanye melawan pembredelan dan hak kebebasan berekspresi. Terbitlah Buletin Perdana FOWI pada Juli 1994. 

Saat bersamaan,  dilakukan serangkaian diskusi nyaris tanpa henti dari kampus ke kampus, dengan dibantu antaranya Eros Djarot, Goenawan Muhammad, Aristides Katoppo,  juga kawan-kawan Detik, Tempo dan media lain.

Bergelap-gelap dalam Terang, Berterang-terang dalam Gelap

Begitu banyak enerji kami rasakan dengan sambutan buletin FOWI perdana. Terutama enerji yang dihidupkan oleh kawan-kawan dari koran kampus: ITB, Unpad, Unpar, Unisba dan ASTI (sekarang STSI) Bandung. 

“Kalau mau merdeka sampai tulang-tulangnya, kita musti berani transparan,” kata Ging ketika kami merencanakan edisi kedua yang bakal terbit di bulan Kemerdekaan Agustus 1994. 

“Kita harus berterang-terang dalam gelap, dan bergelap-gelap dalam terang,” dengan senyumnya yang khas dan tidak pernah berganti baju atau mandi selama berhari-hari.

Kami yang duduk dalam rapat agak jengah. Paling tidak saya yang lahir di jaman Orde Baru, punya semacam kekuatiran untuk ‘main buka-bukaan’ kayak gitu. 

“Kantor  redaksi musti,” tambahnya lantang. 

Hmm. 

“Apakah juga transparansi bagi pembuat laporan ?” tanya saya.

“Yang pengangguran silahkan kalau mau, tapi yang masih bekerja repot atuhh, kami makan darimana nanti?”

Akhirnya diputuskan penerbitan berikutnya kantor redaksi dicantumkan terang benderang Jl Morse 12 Bandung. Saya tidak tahu persis, apakah ini dengan seijin Mas Eros atau tidak. Yang pasti Mas Eros, beberapa kali datang. Bahkan pernah dengan membawa satu truk rambutan untuk makan kami, dan beberapa celana jeans dari Jl Cihampelas supaya si Pemred dan para reporternya punya celana baru. Akhirnya disepakati, para penulis hanya mencantumkan inisial saja, misalnya saya hanya memakai LPC, atau Ahmad Taufik menjadi AT, dan seterusnya.

Pasca Deklarasi Sirnagalih 7 Agustus 1994, buletin FOWI menjadi media resmi Aliansi Jurnalis Independen. Namanya diubah jadi Independen. Oh ya edisi kedua ini pun, mau dibikin keren dikit. Kami memperluas keterlibatan dalam penerbitan, dengan meminta kawan-kawan seniman menyumbangkan karya sebagai cover: Tisna Sanjaya dan Agus Suwage, antaranya. Jumlah halaman lebih tebal, dan tidak dalam bentuk foto kopian. Artinya butuh percetakan, dong.

Dengan urunan, dan hasil sumbangan sana-sini, kami mendapatkan percetakan setengah gratis dari kawan-kawan Yayasan Budaya Indonesia, Jl Purnawarman Bandung, tempat mangkal kami, sebelum pembredelan.  Kali ini akan dicetak sejumlah 1.000 eksemplar.

Lewat Tengah Malam, di Gang Gelap

Independen. Saya harus mencari sana-sini, ke percetakan-percetakan yang tersembunyi di gang-gang gelap. Dan harus mengantar dan mengambilnya, dengan bantuan banyak orang karena,  setelah lewat tengah malam. 

Setelah beberapa edisi, kami menjadi sulit mencari percetakan yang berani mencetak

Gusti. Sementara, pendapatan dari distrubusi tak pernah menutupi ongkos pencetakan.

“Kita kudu progresif, mendekati orang, menawarkan, kalau perlu memaksa bahwa ini penting buat kehidupan,” kata Ging. 

Iya deh, dan saya sebagai koordinator kaki seribu, alias ngerjain apa saja dah yang perlu, mulai puyeng. Kami bekerja harus siap  hulu jadi suku, suku jadi hulu (kepala jadi lutut, lutut jadi kepala). Bisa teu bisa, kudu bisa (bisa tak bisa harus bisa). 

Haduhh.

Seniman, jurnalis dan perlawanan

Buletin FOWI, yang kemudian secara perlahan berubah dalam tata perwajahan; awalnya beredar dari satu diskusi ke diskusi, atau di tiap pertunjukan, atau setiap pameran lukisan. 

Ada satu event kesenian di ITB (tolong dikasih info detil ya,Tita) dimana Titarubi membakar karyanya, dan momen itu terus terpateri dalam benak saya. 

Ging tampak berkaca-kaca. Hasil kerja keras Tita Rubiati yang berbulan-bulan itu hangus. Jadi abu dalam sekejab.

Akankah apa yang kami kerjakan bernasib serupa?

Saya menggenggam tangannya erat.

Tapi kami tidak sendirian. Tidak pernah sendirian. Setiap hari di Jl Morse, sekumpulan orang selalu ada dalam kebersamaan. Serangkaian event kesenian dibuat bersama sejumlah seniman, dari yang 'jeprut' sampai yang kontemporer. Hampir setiap hari Aa Sudirman, Dadang RHS, atau Aing Sinuki (si pembuat ilustrasi) kawan-kawan dari pers mahasiswa, antaranya  Wishnu Brata, Aday, Valens, Maria Donna, Henri Ismail, Goliono datang bergantian. Dan Maskur, tidak habis-habis menjerang air untuk kopi.

Tak jarang Rinny Srihartini, datang dengan makanan ransum –begitu kami menyebutnya, atau sumbangan dari Emak Inne, ibunda Ging. Pokoknya siapa saja yang punya uang …

Memasuki edisi November 1994, buletin Independen dicetak sebanyak 2.000 eksemplar. Staf  ‘kaki seribu’ makin banyak, mengutip Tita: “Setelah itu aku disibukkan dengan menjual "majalah" yang terdiri dari selembar A3 dilipat jadi ukuran A4, 4 halaman 'majalah' itu bernama FOWI (Forum Wartawan Indonesia - Bandung) dijual dengan harga Rp 1.000. Aku menjualnya dengan penawaran minimum Rp 1000,- tapi jika memberikan jumlah lebih maka akan mendapat prioritas edisi berikutnya. Suatu hari saat Sari Asih dan Hene pentas tari Bali, aku dan Ging berlomba: dalam 10 menit siapa yang mendapatkan uang lebih banyak dari menjual FOWI. Entah dia bener ikutan lomba atau enggak, yang pasti aku menang telak dari Ging.”

“Tapi semua orang boleh memperbanyak. Itu syaratnya. Heheuuu bae teu boga duit oge …,”kata Ging, cengegesan. Saya harus mengerjakan distribusi seluas mungkin. Dan begitu banyak insitiatif spontan menawarkan diri. Maaf, saya tak bisa menyebut satu persatu, staf kaki seribu ini. Begitu banyak, begitu berarti bak simphony. Yang satu tak pernah lebih penting dari yang lain.

Pada suatu kali, kami memutuskan untuk langsung turun langsung, alias mengecer di simpang jalan. Saya ingat Nunung Kusmiati dan Euis Balebat, yang setelah menyebarkan di Simpang Kosambi, Bandung, menjual dari satu angkutan kota ke angkutan lain. Mereka datang dengan tergopoh-gopoh dan  bersungut-sungut. “Kang Ging tidak kira-kira, kami tadi dikejar-kejar orang gila yang biasa nongkrong di situ.”

Ging terbahak-bahak. “Wah jarang-jarang kalian dikejar-kejar orang gila kan heuheeuu. Kejar balik atuh, terus dikeleketek.” Sinting. Tapi untuk mengobati kepanikan, malam itu dia mentraktir Nung supaya lain kali bisa lari sama cepatnya.

Oleh kenekadan staf kaki seribu ini, dengan janji setiap orang adalah paling tidak adalah distributor;  Independen tersebar bukan hanya di kalangan tertentu. Beberapa supir angkot, kerap datang untuk membawa Independen sebelum nge-tem cari penumpang. Tak jarang, pagi-pagi sekali seorang tukang sayur mengetuk pintu untuk menawarkan diri mendistribusi Independen.

Eh, tahun itu kita tak punya segala kemudahan teknologi komunikasi macam internet sekarang. Jadi ketika ada laporan masuk dari Jakarta, kami harus menggunakan fax. Karena Ging kalau sudah duduk di depan komputer, susah berdiri lagi; saya atau Maskur yang diminta mengambil fax di kantor Telkom di Jl Tamblong.

Karena uang kami tak cukup untuk membayar ongkos fax, akhirnya kami membayarnya dengan Independen. Dan saya percaya, si pegawai Telkom bagian fax itu, tidak membacanya sendirian.

“Biarkan dia tersesat di jalan lurus,” seloroh Ging si Almukarom.

Independen di Kaleng Biskuit Khong Guan

Ketika tengah mengepak Independen (sekarang harus dimasukan ke dalam doos, karena pesanannya sudah banyak) yang harus dikirim ke Bali, Pontianak, Yogyakarta, dan Surabaya, kami mendapatkan kunjungan pater-pater dari Larantuka, Pulau Flores. 

Ging sedikit basa-basilah dengan para pater, “Pakai apa pater ke sini?”

Dengan Bahasa Indonesia logat Flores, si Pater menjawab, “Kami tak punya cukup, Bapak. Kami berjalanlah ke sini.”

Saya tidak tahu, pikiran Ging ada dimana waktu itu. Dengan selorohnya dia menjawab, “Bagus itu, Bapak. Kaki memang buat berjalan, biar sehat.”

Setelah cerita ngalor-ngidul, si Pater ingin membawa Independen ke beberapa kota yang ingin ia singgahi, namun dengan syarat ‘tidak kelihatan.’ Saya dan Maskur, agak bingung dengan permintaan ini. Akhirnya, karena kami punya beberapa kaleng bekas biskuit Khong Guan, kami gulung majalah-majalah itu dan dimasukan ke dalamnya. 

Para pater ke luar melengang dengan wajah puas. 

“Kalian pakai kaleng Khong Guan? Itu mereka jadi kayak pedagang kelontong. Tanya ke toko sebelah kagak ada barang seperti ay punya,” kata Ging, kembali duduk di meja komputernya.

Pernah juga suatu hari, kami didatangi intel yang menyamar jadi mahasiswa. Segera bisa kami baui dari sikap dan isi bicaranya. Saya tidak ingat lagi, siapa-siapa saja yang ada di Morse kala itu. Tapi Ging mengatakan, biarlah itu jadi urusannya.

“Jadi Bapak mau kenal pemred-nya ?” kata Ging. 

“Dia lagi tugas ke luar kota. Bapak tunggu saja, sembari ngopi dan baca-baca. Silahkan Pak,” tambahnya lagi sambil menyodorkan Independen. Si intel duduk menunggu, dan tidak pilihan selain membaca dan ngopi. 

“Silakan, silakan Pak. Juga kalau Bapak mau fotocopy, mungkin buat teman-teman Bapak yang tertarik”

Tidak hampir sejam, si intel pergi dengan membawa beberapa eksemplar. 

Ging tertawa lebar. “Rasain lo, kena racun,” sergahnya.

Jika sudah bekerja, seperti cerita Titarubi, Ging bisa melakukan tanpa jeda. Selain lupa makan, juga lupa tidur. Dan inilah hasilnya: Suatu hari ketika tengah berjalan ke ruangan lain Ging menabrak tembok, sampai tubuhnya terhuyung. 

Dan komentarnya?

“Siapa yang meletakkan tembok di sini ?”

(Ya, Ging, jadi ‘ tembok-tembok’ itu yang musti diruntuhkan, kita jangan bergeser).