Monday, January 28, 2019

Persamaan Abraham Lincoln dengan Soekarno dan Gus Dur

Andreas Harsono 
Alif 

Thomas Jefferson
Dalam bahasa Inggris, ada kata “authority” dengan akar kata “author”. “Authority” artinya, kekuasaan buat memberi perintah, membuat keputusan dan memaksa ketaatan. Lantas apa arti “author”?

"Author” artinya penulis, orang yang menulis artikel, buku, skenario, pidato, pokoknya, orang yang menulis sebelum kata-kata tersebut dibaca atau diucapkan. Ia berasal dari bahasa Latin “auctor” yang dikembangkan dari kata kerja “augere” dengan makna, “meningkatkan, menciptakan, mengembangkan.”

Ini menarik karena kata “authority” tersebut menerangkan bahwa kekuasaan dalam dunia Barat melekat dengan kepenulisan. Orang yang berkuasa dengan bermutu adalah orang yang menulis. 

Tak heran bila banyak pemimpin dalam dunia Barat berasal dari penulis a.l. Thomas Jefferson, Abraham Lincoln. 

Thomas Jefferson (1743-1826) seorang pengacara, pemikir, serta presiden ketiga Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai orang yang mempersiapkan draf deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776. 

Deklarasi menyebutkan bahwa semua orang dilahirkan setara. Ia menyatakan bahwa hak individu harus dilindungi oleh negara tersebut. Ia membuat banyak orang mendukung Revolusi Amerika guna lepas dari kerajaan Britania. 

Abraham Lincoln
Abraham Lincoln (1809–1865) seorang petani, lantas belajar hukum, jadi pengacara, politikus dan presiden ke-16 Amerika Serikat sampai ditembak mati dalam sebuah teater di Washington DC. Dia dikenal sebagai presiden yang memutuskan perbudakan orang kulit hitam walau ada ancaman negara-negara bagian selatan akan memisahkan diri. 

Dalam buku Lincoln: Speeches and Writings 1832-1858 ada puluhan pidato dan esai karya Lincoln termasuk pidatonya di Gettyburg pada 19 November 1863. 

Acaranya, peresmian kuburan para prajurit Amerika Serikat yang meninggal dalam perang saudara. Pidato tersebut hanya sepanjang 260an kata dan disampaikan dalam dua menit. Lincoln mengingatkan lagi soal kesetaraan manusia. 

Contoh mutakhir adalah Barack Obama, presiden ke-44 Amerika Serikat, yang menulis dua buku best seller. Ketika mahasiswa di Universitas Harvard, Obama menjadi editor Harvard Law Review, majalah hukum paling terkenal di negara tersebut pada 1990. 

New York Times melaporkan ketika Obama terpilih sebagai editor majalah, “First Black Elected to Head Harvard’s Law Review.” Dia juga jadi presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. 

Bagaimana hubungan kepenulisan dan kepresidenan di Indonesia? 

Dalam bahwa Indonesia, “authority” sering diterjemahkan sebagai “pihak berwenang” atau “pihak yang berkuasa”. Tak ada kaitan dengan kebiasaan menulis. 

Saya percaya bahwa orang yang menulis adalah orang yang berpikir dua kali, bila perlu berkali-kali. Tulisan ada jejaknya, beda dengan omongan. Orang yang terbiasa menulis, apalagi sejak muda, akan terbiasa buat berpikir rapi, setia pada fakta. Ini beda dengan orang yang hanya berbual-bual di warung kopi atau media sosial. 

Soekarno
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menerangkan elemen dalam jurnalisme atau menulis berdasarkan fakta, dalam buku The Elements of Journalism. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Ia membedakan jurnalisme dengan propaganda, kesenian atau iklan. Dia harus jujur dan transparan. Dia tentu tak memakai nama samaran atau account palsu. 

Soekarno (1901-1970) dan Abdurrahman Wahid (1940-2009) adalah contoh presiden Indonesia yang menulis. Mereka menulis sejak usia belasan tahun. 

Karya-karya Soekarno dikumpulkan dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Salah satu esai terpenting Soekarno adalah “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” terbitan 1926. Soekarno merumuskan kompromi politik, antara golongan Islam, dan berbagai kelompok lain, pada persiapan negara Indonesia dengan “Pancasila”. Ia dimasukkan dalam konstitusi Indonesia pada 18 Agustus 1945. 

Abdurrahman Wahid
Wahid menulis ratusan esai sejak muda. Salah satu yang terkenal adalah kolom berjudul, “Tuhan Tidak Perlu Dibela” pada 1982 di majalah Tempo. Judul kolom tersebut kemudian menjadi judul buku berisi kumpulan tulisannya yang cukup tebal. Ketika jadi presiden, Wahid mencabut larangan terhadap agama Khong Hu Chu, Saksi Jehova serta berbagai diskriminasi lain. 

Bagaimana dengan Presiden Donald Trump yang membuat biografi The Art of Deal terbitan 1987?

Buku itu ditulis oleh wartawan Tony Schwartz. Dia wawancara Trump atas permintaan Trump, dijadikan buku, jadi laris. 

Pada 2016, ketika Trump kampanye jadi presiden Amerika, Schwartz menyatakan dia menyesal menulis buku itu. Schwartz menyatakan buku itu adalah “karya fiksi” –bukan kepribadian Trump yang dia mengerti. 

Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa Donald Trump adalah presiden Amerika Serikat yang kurang bermutu. Dia sering bohong. Dia tak terbiasa berpikir sistematis. Dia mengetik hanya lewat Twitter. Sensional. Diduga tak membayar pajak dengan layak. Diduga kerja sama dengan Rusia guna menang pemilihan presiden. 

Donald Trump bukan orang yang terbiasa menulis. Kebiasaan menulis akan membuat orang berpikir secara terstruktur, biasa lakukan verifikasi, dilatih buat jujur. 

Jefferson, Lincoln, Soekarno dan Gus Dur adalah pemimpin yang terbiasa, sejak muda, buat berpikir terstruktur, menghormati fakta, dan menyampaikan ide lewat kata-kata. 

Saya kira masyarakat di Indonesia harus belajar dan minta agar orang yang hendak jadi pemimpin, seyogyanya orang yang biasa menulis. Lebih baik lagi bila kita bisa menghubungkan kewenangan dan kekuasaan dengan kepenulisan. 

Siapa tahu kelak ada kata “authority” dan “author” dalam Bahasa Indonesia?

No comments: