Sunday, July 14, 2024

"Andreas Harsono is not well known to the public but he is very well known among a small network of human rights activists, dissident scholars, Indonesian journalists, and foreign correspondents. He is often the fixer behind their stories – unacknowledged, unassuming, unselfish. Now he has shown just what a superb chronicler he is in his own right."

Clinton Fernandes of University of New South Wales University
on Andreas Harsono's book Race, Islam and Power


Andreas Harsono meliput dampak dari tsunami 2014 di Aceh. Ombak raksasa tersebut membunuh lebih 100,000 orang dan mengakhiri perang selama tiga dekade antara Gerakan Acheh Merdeka dan Indonesia lewat perjanjian damai Helsinki pada Agustus 2015. ©Hotli Simanjuntak

Media dan Jurnalisme

Majalah Pantau
Saya bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) serta majalah Pantau (Jakarta) soal media dan jurnalisme.

Sejak umur 20 tahun, saya suka menulis soal jurnalisme, mulai dari sejarah sebuah majalah mahasiswa di Salatiga sampai kebebasan pers di Asia Tenggara. Bill Kovach, guru jurnalisme, mendidik saya buat menjadi wartawan yang lebih baik ketika belajar di Universitas Harvard. Ini membuat saya suka buat berbagi pengalaman dan ilmu, dari etika sampai liputan.

Buku dan Laporan

Monash University Publishing 2019
Saya menerbitkan dua antologi –Jurnalisme Sastrawi (2005) bersama Budi Setiyono dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme (2011)—serta beberapa laporan termasuk Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners (2010), In Religion’s Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (2013) serta "I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia (2021). Pada 2019, buku Race, Islam and Power terbit.
 

Hak Asasi Manusia

Filep Karma
Sejak 2008, saya bekerja sebagai peneliti buat Human Rights Watch. Ia membuat saya banyak menulis soal diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia: minoritas dalam Islam termasuk Ahmadiyah dan Syiah; minoritas non-Islam termasuk Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Khong Hu Chu; minoritas agama kecil maupun agama baru macam Millah Abraham. Minoritas gender --termasuk perempuan serta LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, queer)-- juga sering saya bahas. Secara geografis saya juga banyak menulis minoritas etnik macam Aceh, Kalimantan, Jawa, Maluku, Timor serta Papua.

Perjalanan

Chiang Mai 2018
Saya pernah jalan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, lebih dari 80 lokasi, selama tiga tahun. Saya menulis tempat menarik. Saya juga sering menulis perjalanan di negeri jauh, dari Eropa sampai Amerika, praktis berbagai kota besar di Asia Tenggara. 

Cerita

Glodok, Jakarta 2019
Ini soal pengalaman hidup, dari kegembiraan sampai kesedihan, dari kawan sampai adik. Saya selalu tinggal di Pulau Jawa --Jember, Lawang, Malang, Salatiga, dan Jakarta-- namun pernah bermukim di Phnom Penh dan Cambridge. Kedua anak saya lahir di Jakarta. Isteri saya, Sapariah Saturi, kelahiran Pontianak, pindah ke Jakarta kerja. Saya sering mengunjungi New York. Mungkin kawan saya di luar Indonesia, paling banyak di New York. 

Andreas Harsono: Dengan Pembangunan Berkesinambungan, Maja Bisa Menjadi Tempat Tinggal yang Lebih Baik dari Jakarta


Andreas Harsono adalah seorang wartawan, aktivis, dan peneliti, yang kini bermukim di Maja, Lebak. Sebelumnya ia tinggal selama 30 tahun di Jakarta, dan pernah tinggal di Phnom Penh (Kamboja), Bangkok (Thailand), serta New York (Amerika Serikat). 

Kiprahnya di dunia jurnalistik dimulai sejak tahun 1980-an saat dia meliput dampak negatif ketergantungan sistem transportasi Indonesia pada motorisasi. Selama 3 dekade terakhir ia banyak menulis soal hak asasi manusia. 

Andreas ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994, lantas membangun Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Pantau di Jakarta. Ia menulis soal privatisasi Perusahaan Air Minum Jakarta sejak 1998. Dia turut mengkritik berbagai kebijakan pemerintah Indonesia soal penyedotan air tanah di Jakarta. Dia secara konsisten menulis soal bahaya permukaan tanah Jakarta turun, risiko kemacetan lalu lintas, polusi udara dan suara, serta kekacauan negara Indonesia dalam memberantas korupsi. 

Pada Sabtu 13 Juli 2024, SekitarMaja.com berkesempatan untuk mewawancarai Andreas yang sejak awal 2024 tinggal di rumah barunya di Citra Maja Raya bersama sang istri, Sapariah Saturi, yang juga seorang wartawan dan editor dari Mongabay Indonesia. 

Bersama SekitarMaja.com, Andreas berbicara mengenai alasannya memilih untuk bermukim di Maja, pandangannya soal Kota Mandiri Maja, serta keresahannya mengenai kerusakan lingkungan hidup di daerah Maja dan sekitarnya. 

Berikut petikan wawancara SekitarMaja.com bersama Andreas Harsono.

Andreas Harsono pindah dari Jakarta karena
polusi udara, polusi suara, kemacetan lalu lintas, dan banjir.

Bagaimana Anda memutuskan untuk tinggal di Maja?

Sapariah Saturi, isteri saya, punya kegemaran berkebun. Dia pernah berkebun di puncak apartemen tempat kami tinggal di bilangan Palmerah, Jakarta. Namun, pada Mei 2021 atap apartemen tak bisa lagi jadi kebun. Kami terdorong mencari rumah tapak agar bisa berkebun. 

Daya dorong lain adalah polusi udara, polusi suara, kemacetan lalu lintas, dan banjir di Jakarta. Belum lagi permukaan tanah Kota Jakarta yang turun sekitar 17 centimeter rata-rata tiap tahun. Pada 2050, Senayan dan Palmerah diperkirakan jadi pinggiran pantai bila Pemerintah Indonesia tak ambil tindakan serius buat hentikan pengambilan air tanah. 

Kami sekeluarga –termasuk dua anak– ingin punya tempat dengan lingkungan lebih baik. Saya pribadi ingin tinggal di tempat yang jauh lebih sepi, lebih tenang dari Palmerah. Saya sudah tiga dekade tinggal di bilangan Palmerah. 

Namun, ada juga daya tarik. Kebetulan ada kawan-kawan kami, dari Rangkasbitung, Lebak sampai Tigaraksa, yang mengajak kami membeli rumah di daerah ini. Dari Google Maps, mudah dilihat bahwa daerah sekitar Jakarta yang masih hijau adalah sisi barat di Kabupaten Lebak. Sisi timur (Bekasi), sisi selatan (Depok dan Bogor) bahkan sisi barat terdekat (Tangerang dan Tangerang Selatan) sudah didominasi beton. 

Seorang wartawan yang tahu liputan saya dan tampaknya juga paham dengan pengetahuan saya soal hak akan air dan sanitasi berkata, ‘Mas Andreas beli saja rumah di Maja. Hitung-hitung bisa bantu mengawasi air dan sungai di Lebak.’” 

Apa kelebihan Maja sebagai sebuah kota mandiri? Dan hal apa yang harus ditingkatkan lagi agar Maja bisa menarik lebih banyak orang untuk mau tinggal di sini?

Saya lihat semua perumahan di daerah Maja, kurang-lebih sama dengan real estate lain di Indonesia, misal di Tangerang Selatan, termasuk kawasan Bumi Serpong Damai, Agung Sedayu, Alam Sutera, Metropolitan Land dan lainnya. Tujuan bisnis mereka praktis hanya mencari laba. Ada pemanis yang benar baik, misalnya pembangunan stasiun Cisauk dan Jurangmangu, yang lebih ramah pejalan kaki. 

Di Indonesia, mudah-mudahan saya salah, belum terlihat perusahaan pengembang dengan visi soal perumahan yang ramah lingkungan. Kalau pemerintah Lebak, maupun semua developer besar di Maja, mau membuat daerah ini lebih ramah lingkungan, mereka perlu mengajak warga duduk dan bicara – baik warga setempat maupun para pendatang. 

Maja bisa menjadi tempat tinggal yang lebih baik dari Jakarta, maupun Tangerang Selatan, bila dilakukan “pembangunan berkesinambungan” –meminjam istilah dari Emil Salim, ekonom dan profesor emeritus dari Universitas Indonesia.” 

Cara pandangnya bagaimana?

Pada 1970-an ketika mulai bangun Singapura, Perdana Menteri Lee Kuan Yew mengatakan ada empat indikator kota terbelakang: perumahan kumuh, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan banjir. 

Singapura bangun mulai bangun MRT (kereta api dalam kota) pada 1987. Udara bersih, kebisingan terjaga. Trotoar dibangun dengan permukaan rata. Perumahan kumuh diganti dengan apartemen bersubsidi. 

Bandingkan dengan Bumi Serpong Damai? Banjir ada! Motorisasi kencang! Trotoar minimal. Sering trotoar dibuat dengan undak-undak, permukaan tidak rata, tak ramah pejalan kaki. Tiap ada bangunan, entah rumah atau bisnis, permukaan trotoar naik-turun. 

Trotoar dan MRT adalah indikasi sistem transportasi berkelanjutan. Perumahan kumuh silakan periksa sendiri. Gated community biasanya rapi di dalam, tapi beda sekali di balik tembok. Coba lihat perumahan sekitar stasiun Sudimara. Saya berani bertaruh dengan mengandalkan jalan-jalan lebar, tanpa bangun trotoar dan dorong kereta api, Tangerang Selatan akan macet dalam satu dekade. 

Saya memilih Citra Maja Raya dari Ciputra Group lebih karena saya agak kenal almarhum Ciputra. Saya kenal beberapa kolega Ciputra termasuk Goenawan Mohamad dan Eric Samola. Goenawan pendiri majalah Tempo. Samola berperan dalam membangun Bintaro Jaya, background hukum, bantu menyusun pendekatan hukum dalam pembebasan lahan Bintaro. Saya kenal mereka karena dulu pernah bekerja di Institut Studi Arus Informasi pimpinan Goenawan Mohamad. Ciputra juga suka seni. Naluri saya mengatakan orang dengan kepekaan seni macam Ciputra seharusnya lebih menghargai alam. 

Anda, istri dan suami, memiliki rumah yang direnovasi dengan unik, tak seperti rumah-rumah lain. Bisa jelaskan konsep renovasi rumah Anda secara singkat? Apakah ada tujuan di balik pemilihan konsep tersebut?

Sapariah ingin rumah kecil yang dibelinya di Maja diperbesar, rumah dua lantai, dengan tapak tanah, yang terpaksa ditutup buat bangunan, diganti dengan lahan buat tanaman. Dia minta Yu Sing, arsitek dari Akanoma Bandung, buat merancang desain rumah. Deni Nugraha dari Akanoma juga ikut mengerjakan arsitektur rumah. 

Compok Cellep, dalam bahasa Madura,
artinya rumah yang sejuk. 
Menurut Yu Sing, prinsipnya sederhana. Rumah perlu banyak ventilasi serta lahan buat tanaman. Makin banyak tanaman, makin mudah rumah jadi adem. Hukum alam, udara panas naik dari bawah ke atas. Maka ventilasi diatur agar udara mengalir ke atap rumah. Ia dilengkapi dengan lubang-lubang angin. Lantai rumah dipilih ubin dengan pori-pori lebih besar daripada keramik agar buat rumah adem. Daun pintu dilengkapi dengan jendela. 

Jadinya, rumah 2,5 tingkat, termasuk kebun sayur di atap rumah. Sapariah memberi nama “Compok Cellep” –dari bahasa Madura, artinya “rumah sejuk.” Saya melihat keputusan kami sebagai pengejawantahan prinsip act local think global. 

Kontraktornya, Studio 8 dari daerah Bumi Serpong Damai, berusaha pakai bahan dan supplier lokal, dari kayu sampai kusen, agar memberdayakan sumber lokal dan tak terlalu banyak karbon dipakai buat transportasi. 

Kami sadar daya kami sangat terbatas. Setidaknya, kami ingin bikin rumah dengan kesadaran akan perubahan iklim, akan daya rusak dari perumahan-perumahan raksasa.” 

Bagaimana Anda melihat Maja di masa depan, mungkin 5-10 tahun lagi? Apakah mungkin ia bisa berkembang lebih pesat dibandingkan IKN?

Pada Maret 2024, Presiden Joko Widodo menetapkan dua daerah dekat Maja, sebagai proyek strategis nasional. Namanya lumayan muluk: Kawasan Ekonomi Khusus di Kawasan BSD City (Tangerang Selatan) dan Kawasan PIK 2 Tropical Coastland (Banten). BSD City milik Sinar Mas Group. Pantai Indah Kapuk milik developer Agung Sedayu Group. Beberapa orang mengatakan bahwa memberikan status proyek strategis nasional –dari kemudahan perizinan sampai mekanisme pembiayaan – adalah bentuk balas budi Presiden Jokowi terhadap kedua perusahaan tersebut yang bersedia menanamkan modal di Ibu Kota Nusantara di Pulau Kalimantan.

IKN dibuat karena Presiden Jokowi merasa Jakarta sudah terlalu ruwet buat diselamatkan. Cepat atau lambat, Jakarta, terutama daerah utara akan tenggelam. 

Pusat pemerintah dipindahkan ke Nusantara. Lantas warganya ke mana? 

Tangerang Selatan adalah salah satu pilihan –selain Bekasi dan Bogor. Maka BSD City dicarikan status tersebut. Pantai Indah Kapuk akan tenggelam karena terletak di utara Jakarta. Namun, ia akan diatasi dengan pengurukan sehingga permukaannya jauh lebih tinggi dari utara Jakarta. 

Sejak Februari 2024, ketika pindah ke Maja, kami merasakan keluhan warga Maja, Taman Adiyasa, Tigaraksa, secara luas, soal truk-truk tanah, menggali berbagai lahan di Maja dan Jasinga. Setiap malam bikin macet, membawa tanah ini, antara lain untuk Pantai Indah Kapuk. 

Tanah-tanah ini diambil dari lahan dengan banyak pohon bambu serta tanah kapur. Ini adalah tanaman dan lahan yang banyak simpan air. Saya tak tahu akan bagaimana bentuk Maja dengan laju kerusakan lingkungan yang begitu cepat. 

Lebih penting lagi adalah membangun masyarakat sipil di Lebak, termasuk Maja, agar berbagai perubahan yang cepat, bisa diimbangi dengan masukan dari masyarakat sipil –baik dari penduduk asli maupun para pendatang. Berbagai perubahan atas nama pembangunan ini perlu didokumentasikan, perlu liputan bermutu, perlu komunikasi dengan para pemangku jabatan pemerintah agar keseimbangan lingkungan dan pembangunan bisa dijaga lebih baik.” (*)

Thursday, June 27, 2024

“Media Bermutu Takkan Minta Wartawan Buru Berita Sekaligus Buru Iklan”


Andreas Harsono seorang wartawan Indonesia, kelahiran Jember, yang tinggal di Jakarta. Pada 1994, dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, ketika rezim Orde Baru melarang pendirian organisasi wartawan selain “wadah tunggal.”

Dia lantas bekerja buat beberapa suratkabar regional termasuk The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur), ikut membangun Institut Studi Arus Informasi di Jakarta dan anggota awal International Consortium of Investigative Journalists di Washington DC, serta juri Fetisov Journalism Awards (Geneva), yang memberikan penghargaan secara global.

Dia menulis dua buku termasuk Jurnalisme Sastrawi dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme. Perjalanan intelektual mendorongnya menulis Race, Islam and Power: Ethnic and Religious 
Sejak 2008, dia bekerja buat Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia di New York, buat menulis soal pelanggaran kebebasan beragama dan kepercayaan di Indonesia, maupun diskriminasi terhadap orang asli Papua. Dia juga dikenal ketika bikin liputan soal apa yang disebut “tes keperawanan” pada 2014-2015 terhadap perempuan yang melamar jadi polisi atau tentara, sampai praktek tersebut dihentikan karena tidak ilmiah serta diskriminatif.

Gafur Abdullah menemui Andreas Harsono di rumahnya, guna bicara soal jurnalisme. (Sabtu, 25 Juni 2024) 

Bagaimana Anda mengawali karir sebagai jurnalis?

Pada tahun 1984, saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saya bergabung di majalah fakultas teknik, namanya Imbas. Ia terbit satu tahun sekali. Majalah ini dibredel tahun 1987 ketika saya jadi pemimpin redaksi. Imbas menerbitkan artikel pendek soal surat Arief Budiman, seorang dosen dan cendekiawan, kepada rektor Satya Wacana.

Arief Budiman mempertanyakan idealisme kampus. Makin banyak proyek di kampus. Peraturannya tak jelas. Ada pejabat-pejabat kampus marah. Saya dikeroyok, dipukuli dan Imbas dibredel. Saya lapor ke polisi, kejadian tersebut diliput media massa, mengundang solidaritas pers mahasiswa dari Yogyakarta, Solo, Semarang, Bandung, Jakarta. Salatiga jadi ramai. Seorang pelaku pemukulan diadili dan dihukum.

Kapan pertama kali bekerja untuk media mainstream?

Tahun 1991, saya selesai kuliah. Selang satu tahun, saya mulai sebagai wartawan freelance di Phnom Penh, Kamboja. Perserikatan Bangsa-Bangsa bikin pemilihan umum dan membentuk pemerintah Kamboja. Indonesia termasuk sponsor dari perundingan damai Kamboja.

Saya menulis soal “Indonesia battalion” untuk beberapa media termasuk harian Suara Merdeka di Semarang dan majalah Matra di Jakarta. Pulang dari Phnom Penh, saya menterjemahkan sebuah buku soal Timor Timur, lantas melamar kerja di The Jakarta Post. Saya hanya kerja satu tahun dan diberhentikan pada Oktober 1994.

Kenapa dipecat? 

Manajemen mengatakan saya seorang wartawan yang partisan. The Jakarta Post tak mau punya wartawan partisan. Banyak orang percaya, saya diberhentikan karena saya ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada Agustus 1994.

Waktu itu, ada dua jurnalis The Jakarta Post, yang juga ikut mendirikan AJI. Satunya dipindah ke perpustakaan. Satu lagi dipindah ke bagian layout. Mereka sudah karyawan tetap. Saya karyawan kontrak, diberhentikan.

The Jakarta Post tampaknya takut dengan Departemen Penerangan maupun dengan Persatuan Wartawan Indonesia. Menteri Penerangan Harmoko termasuk pemegang saham The Jakarta Post.

Saat itu, harian Kompas ada dua jurnalis, yang juga ikut dirikan AJI. Mereka diberhentikan dengan sejumlah uang pesangon. Majalah Forum juga ada wartawan diberhentikan, termasuk Santoso, waktu itu, sekretaris jenderal AJI.

Persatuan Wartawan Indonesia, pendek kata, menekan media yang punya wartawan ikut teken Deklarasi Sirnagalih soal pendirian AJI pada Agustus 1994. Ada aturan Menteri Penerangan Harmoko bahwa organisasi wartawan hanya ada satu: PWI.

Zaman Orde Baru, semua profesi hanya boleh punya “wadah tunggal,” dari buruh sampai guru, dari wartawan sampai dokter. Jadi, pendirian AJI dianggap tindakan melawan hukum. Beberapa anggota AJI bahkan ditangkap, diadili dan dipenjara.

Seberapa penting ikut organisasi dan sertifikasi jurnalis, khususnya bagi jurnalis muda?

Sekarang ada puluhan organisasi wartawan, dari media cetak sampai online, apalagi yang lokal. Saya lebih suka wartawan bergabung dengan organisasi. Ia akan banyak jejaring dan ilmu pun didapat. Ia juga jadi tempat menggalang solidaritas bila ada wartawan jadi korban kriminalisasi.

Sertifikasi jurnalis adalah keputusan berbagai organisasi wartawan –termasuk PWI dan AJI– di Palembang pada 2010. Anda tentu tahu AJI jadi organisasi yang terdaftar resmi sesudah mundurnya Presiden Soeharto pada 1998. Di Palembang, Dewan Pers ditetapkan sebagai satu-sastunya organisasi yang resmi lakukan sertifikasi wartawan.

Intinya, para organisasi tersebut khawatir dengan maraknya wartawan bodrek dan media abal-abal. Banyak wartawan datang ke kantor pemerintah, kelurahan, sekolah atau lainnya, mengancam dan minta duit. Banyak pejabat pemerintah mengeluh soal minta amplop. Maka dibuatlah sertifikasi. Tapi Dewan Pers tak bisa banyak bikin program sertifikasi wartawan. Anggarannya besar bukan?

Menurut ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, pada 2018 ada 43,000 organisasi media, dari televisi, cetak, radio, maupun online. Kebanyakan media baru dan online. Bayangkan 43,000! Indonesia salah satu negara dengan tingkat kepadatan media tertinggi di dunia.

Saya perkirakan program sertifikasi seyogyanya melatih mungkin sampai 200,000 wartawan. Rata-rata satu media dilatih sampai lima orang. Sertifikasi ini menolong jurnalis untuk mengerti etika jurnalistik, hukum pidana dan perdata –terutama pasal-pasal karet di bidang pencemaran nama—maupun berbagai elemen jurnalisme. Anggaran yang kecil membuat pelatihan ini berjalan pelan.

Hari ini banyak media yang tidak gaji jurnalis. Jurnalis disuruh meliput sambil cari iklan. Bagaimana melihat praktik ini?

Bila baca buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel soal elemen-elemen jurnalisme, diterangkan bahwa jurnalisme menuntut wartawan bersikap independen terhadap sumber-sumber mereka. Jurnalis bahkan dituntut bisa meliput media mereka sendiri terutama saat ada boss media mereka sendiri diduga lakukan sesuatu yang tidak benar.

Independensi ini memerlukan pagar api. Ia sebuah pagar yang membedakan mana bisnis, mana ruang redaksi. Iklan harus dibedakan dengan karya jurnalistik. Iklan dan sponsor diurus orang iklan. Jurnalisme diurusi oleh ruang redaksi. Media bermutu takkan minta wartawan buru berita sekaligus buru iklan.

Kenyataannya, di berbagai kota Indonesia, praktek ini banyak terjadi. Di Jakarta, saya tahu Kompas dan Tempo ketat mengatur wartawan mereka tak berurusan dengan iklan.

Saya pernah tinggal di Cambridge dan New York. Saya juga belajar jurnalisme di Universitas Harvard. Di sana, praktek pagar api diterapkan dengan ketat. Majalah The New Yorker, misalnya, memisahkan elevator buat awak redaksi dan ruang bisnis. Orang bisnis dan redaksi tidak diharapkan ketemu bahkan dalam elevator.

Pada level direksi, tentu saja, ada komunikasi antara presiden direktur dengan direktus bisnis maupun direktur operasi (pemimpin redaksi). Tapi di tingkat operasional, saling ketemuan antara wartawan dan bisnis, dibuat tidak ada mekanismenya.

Akhir-Akhir ini ada istilah “jurnalis lepas.” Apa pendapat Anda?

 Saya pernah jadi wartawan lepas. Setelah saya diberhentikan dari The Jakarta Post, saya jadi pekerja lepas buat The West Australian (Perth), The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur). Ia biasa terjadi dalam jurnalisme. Menjadi wartawan lepas perlu disiplin dan konsistensi. Perlu punya jaringan dan target bulanan.

Di Amerika Serikat, banyak wartawan terkemuka mulai dari kerja freelance. Di Indonesia, kini banyak media yang buka peluang untuk jadi kontributor. Bayarannya, lumayan.

Bagaimana dengan media yang tidak berbadan hukum?

Saya ikut menulis rancangan undang-undang pers pada 1998-1999. Idenya, media jurnalistik dimaksudkan sebagai badan hukum tersendiri. Bentuknya, bisa perseroan terbatas, koperasi, atau yayasan.

Pemikirannya, ada banyak organisasi, dari ekonomi sampai agama, dari pendidikan sampai militer, memiliki majalah atau website sebagai medium mereka dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Medium ini bukan kegiatan jurnalistik. Ia dituntun oleh para pemimpin organisasi masing-masing. Ia tentu bukan media jurnalistik.

Pikiran tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Pers tahun 1999. Kalau sebuah media jurnalistik dapat gugatan hukum, penyelesaiannya dapat dilakukan lewat mediasi Dewan Pers.

Intinya, media jurnalistik dibedakan dengan medium kehumasan. Tapi punya badan hukum, kan ribet? Harus urus pajak, misal. Kalau medianya belum mapan secara keuangan, kan susah?

Seberapa penting verifikasi Dewan Pers bagi sebuah media?

Ia terutama berguna bila ada sengketa jurnalistik. Dewan Pers bisa mediasi. Media yang melakukan liputan di Indonesia juga tak harus berbadan hukum di Indonesia. Mongabay misalnya, dia kan badan hukumnya di California, Amerika Serikat. Tapi Mongabay menyediakan Mongabay Indonesia untuk meliput di Indonesia. Itu sah-sah saja.

Saya terlibat pembuatan Undang-Undang Pers tahun 1999. Saya rasa, prosedur mediasi untuk media mainstream, itu selesai, sudah rapi. Yang belum selesai adalah untuk pers mahasiswa.

Maksudnya?

Ketika bicara pers mahasiswa, satu sisi, ia berfungsi sebagai media independen. Sisi lain, ia berada di bawah badan hukum non-media (universitas). Dalam pengertian umum, media yang ada di bawah naungan badan hukum lain, cenderung akan jadi humas organisasi induknya.

Pers mahasiswa, kan tidak? Meski ada di bawah naungan kampus, pers mahasiswa bukan corong dari kampus. Sejarah panjang pers mahasiswa di Indonesia membuktikan mereka bisa kritis terhadap manajemen kampus. Bila ada sengketa jurnalistik, pers mahasiswa sebaiknya dinaungi Dewan Pers, bukan lewat polisi.

Untungnya, tahun ini, Dewan Pers dan Kementerian Ristekdikti bikin kesepakatan bahwa bila ada sengketa dengan pers mahasiswa, ia seyogyanya diajukan ke Dewan Pers buat dicari kebenarannya –bukan dilaporkan ke polisi atau jaksa.

Apakah pers mahasiswa tersebut salah? Atau mereka benar? Dewan Pers bisa selidiki dan keluarkan keputusan. Jadi pers mahasiswa praktis sudah dapat prosedur mediasi mulai tahun ini. Sangat panjang jalannya, dari 1999 sampai 2024, sudah 25 tahun. Better late than never.

Bagaimana Anda melihat munculnya media non-profit?

Itu terobosan yang bagus. Media non-profit bukan berarti tak punya modal. Mereka punya modal, bahkan ada yang banyak uangnya. Mongabay Indonesia itu kan non-profit? Juga Project Multatuli, Konde, The Conversation Indonesia, Bollo.id. Kalau di Amerika, ada ProPublica, Marshall Project.

Mereka hidup dengan dana public, sumbangan dari pribadi maupun yayasan. Mereka masing-masing mengembangkan kriteria sumbangan mana yang bisa mereka terima.

Human Rights Watch, tempat saya bekerja, tak mau menerima dana dari pemerintah mana pun, industri ekstraktif (tambang, perkebunan dan peternakan raksasa), serta keluarga aristokrasi plus oligarki.

Bagaimana Anda melihat gangguan dari internet terhadap jurnalisme saat ini?

Sekarang jurnalisme itu menghadapi perubahan maha besar berkat internet. Makhluk ini lahirkan berbagai platform, seperti Google, Facebook, Whatsapp, Tiktok. Mereka mengambil kue iklan perusahan pers. Penghasilan media warisan (legacy media) mengecil karena iklan mengalir ke perusahaan teknologi.

Anggaran untuk ruang redaksi jadi mengecil. Ini masalah bagi perusahaan pers. Itu terjadi di mana-mana. Eropa, Amerika, Afrika, Australia, Asia, dan Timur Tengah. Semuanya sedang hadapi masalah ini.

Kondisi ini, mau tidak mau, memaksa perusahaan pers untuk lebih lincah. Cara yang dapat dilakukan, menurut sebuah riset dari Reuters Foundation, antara lain minta sumbangan ke publik. Di Indonesia, cara ini mulai dikembangkan.

Project Multatuli misalnya, mereka bikin program Kawan M agar publik menyumbang. Tempo dan Kompas bikin program berita langganan. Pembaca diminta untuk langganan. Media beginian harus punya nilai tinggi: bikin liputan yang bermutu. Ia akan mendorong pembaca mau membayar.

The New York Times kini dapat uang lebih banyak dari pelanggan daripada iklan. Pada akhir 2023, media warisan ini punya 10,36 juta pelanggan dimana 9.7 juta pelanggan digital melulu –tanpa koran harian dari kertas. Cara beginilah yang seharusnya ditiru media di Indonesia. Bukan malah menyuruh jurnalisnya memburu informasi sekaligus memaksa minta iklan ke instansi atau narasumber.

Celakanya, di Indonesia, ada kesan di masyarakat bahwa informasi lewat internet itu gratis.

Kecelakaan? Informasi gratis?

Ya, Indonesia alami kecelakaan media. Tradisinya, kan, informasi dari media pers itu dianggap gratis. Itu dulu diawali oleh munculnya detik.com dan beberapa media online. Ini membuat media warisan seperti Tempo, Kompas dan lainnya kesulitan untuk minta pembaca untuk bayar.

Padahal, ada banyak keringat, lapar, ngantuk yang ditahan atau pengorbanan lainnya yang diberikan oleh jurnalis dan redaktur untuk bisa mendapat informasi akurat dan menyajikan berita kepada publik.

Namun Tempo, Kompas dan lainnya juga melakukan kesalahan. Mereka bikin outlet berbeda yang gratis. Tempo dengan website gratis tapi majalah berbayar, termasuk website majalah. Kompas bikin Kompas.com gratis tapi website harian berbayar.

Standar liputan juga berbeda antara cetak dan online. Standar cetak tetap ketat tapi online dibikin lebih cepat dan longgar. Ia mengaburkan persepsi masyarakat soal mutu mereka. Kalau online jadi lebih jelek, ia pengaruhi nama sisi cetak.

Perhatikan The New York Times. Mereka tetap pakai standar tunggal. Berita juga tak harus cepat-cepat dinaikkan tanpa proses verifikasi. Di Jakarta, standar yang berbeda ini perlahan-lahan hendak diubah, bikin “single standard” buat semua keluaran mereka. Ini langkah yang benar agar media warisan juga bisa menarik bayaran dari pembaca.


Gafur Abdullah: Jurnalis sekaligus penulis lepas yang rute belajar jurnalismenya dimulai dari LPM Activita 2014 silam di IAIN Madura. Penerima Beasiswa Kursus Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau 2022. Karya jurnalistiknya pernah dapat penghargaan Kompas, AJI, UNICEF, ECONUSA dan menerima sejumlah Fellowship Journalism. Kini berkhidmat melalui Indoklik.id sebagai Pemimpin Redaksi.

Friday, June 14, 2024

Kursus Jurnalisme dengan Yayasan Pantau, sudah berjalan 24 Tahun


Sudah 24 tahun, saya mengajar kelas jurnalisme di Yayasan Pantau, bersama Janet E. Steele dari George Washington University di Washington DC. Minggu ini, sekali lagi, kelas ini berlangsung dengan 13 peserta --dua orang batal hadir. Ia biasa hanya dengan 15 orang agar ada kesempatan berlatih menulis. 

Janet selalu menekankan agar jumlah peserta tidak lebih dari 15 orang. Dia menekankan penting berlatih menulis. Waktu dua minggu pun terlalu pendek sehingga kami berusaha sekuat mungkin agar peserta mengerjakan tugas menulis. 

Pesertanya, selalu beragam, kali ini, dari Pulau Aru sampai Banda Aceh. Ada empat orang dengan kaitan kota Ambon. Tiga orang dari Sulawesi. Dari Pulau Jawa, juga beragam bahasa, etnik dan agama.

Peserta bisa jengrang, kaki ditaruh di kursi, duduk di lantai, pakai sarung, makan dan minum. Suasana sersan --serius tapi santai. Ini terjadi tanpa aba-aba, dalam dua dekade. 

Banya sesi berisi peserta membaca tugas masing-masing lantas didiskusikan bersama kelas. Mulai dari keberadaan dialog atau monolog hingga panjangnya alinea. 

Janet Steele dan saya mencoba selalu tepat waktu. Saya berusaha setidaknya datang 10 menit lebih awal. Ini lebih substansial daripada kebanyakan pengajar di Indonesia yang sering menuntut peserta pendidikan dengan permintaan yang tak mendukung suasana belajar. Misalnya, banyak pengajar minta peserta berbusana sesuai keinginan mereka, antara lain, wajib jilbab. 

Thursday, June 13, 2024

Belajar dari Tragedi Wasior, Rasialisme terhadap Orang Asli Papua

Orasi dalam Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta

Aksi Kamisan di Monumen Nasional, Jakarta, 13 Juni 2024.

Selamat sore buat peserta Aksi Kamisan. Nama saya, Andreas Harsono, dikenal sebagai wartawan dan peneliti, sehari-hari bekerja buat Human Rights Watch. 

Sore ini kita mengenang apa yang disebut Tragedi Wasior pada 13 Juni 2001. Wasior adalah sebuah distrik di sebuah jazirah dekat Teluk Cenderawasih, Papua Barat. Ia terletak bersebelahan dengan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Ini taman nasional perairan laut terluas di Indonesia, terdiri dari daratan dan pesisir pantai, pulau-pulau, terumbu karang, dan lautan.

Tragedi Wasior bermula dari penebangan banyak pohon dalam hutan Wasior. Sejak Maret 2001, orang asli  Wasior protes keberadaan perusahaan-perusahaan pembalakan kayu, antara lain, PT Wapoga Mutiara Timber, PT Dharma Mukti Persada, CV Vatika Papuana Perkasa. Mereka menilai perusahaan-perusahaan ini tidak memenuhi kewajiban dan janji pembangunan terhadap masyarakat adat setempat.

Dalam sebuah aksi, warga menahan speed boat CV Vatika Papuana Perkasa. Balasannya, perusahaan mendatangkan Brigade Mobil untuk menekan warga, mengambil speed boat dan meneruskan pembalakan. Masyarakat mengeluhkan perilaku perusahaan kepada Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Ini sebuah praktek yang biasa berlaku di Papua Barat sejak 1960an ketika masyarakat membela diri dari perampasan lahan dan kehidupan mereka. 

Sebuah kelompok TPN-PB menyerang perusahaan. Ada lima anggota Brimob dan seorang karyawan tewas. 

Pada Juni 2001, polisi dan militer Indonesia, melakukan “Operasi Tuntas Matoa” guna mencari para militan TPN-PB. Penyisiran terhadap pelaku pembunuhan terjadi dari Wasior sampai ke daerah Nabire dan Serui. Ada banyak warga kampung, yang tak tahu-menahu permasalahan, ditangkap tanpa surat penahanan, dianiaya, ditahan dan ditembak.

Ada 51 rumah warga dibakar di Wasior. Hasil kebun dan ternak peliharaan juga musnah. Menurut Tim Kemanusiaan Kasus Wasior 2001, ada 94 warga ditangkap, 30an disiksa bahkan sebagian jadi cacat, serta terjadi pengungsian massal. Ada empat warga tewas dan lima orang hilang.

Pada 2003, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan pro justitia kepada Jaksa Agung. Namun Jaksa Agung menyatakan bahwa syarat formil maupun materiil belum terpenuhi untuk ditingkatkan ke tahap penyelidikan. Ia bolak-balik terus antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sampai Juli 2014.


Presiden Jokowi mengatakan, “Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.” 

“Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.” 

Sampai hari ini apa yang dicanangkan Presiden Jokowi belum berjalan memadai. Sebaliknya, izin pembalakan kayu, maupun usaha perkebunan sawit, terus berkembang di sekitar Teluk Cenderawasih. 

Pada tahun 2010, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menerbitkan hasil penelitian soal Papua Barat. Judulnya, Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future

LIPI menerakan empat persoalan besar di Papua Barat. 

Pertama, peminggiran orang asli Papua dan dampak diskriminasi yang dialami mereka akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua Barat sejak 1970. Orang asli Papua, menurut sensus 2010, sudah menjadi minoritas di Tanah Papua. 

Kedua, kegagalan pembangunan, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Banyak sekolah di Papua Barat mendapatkan guru sering absen. Banyak puskesman dan rumah sakit kekurangan obat dan tenaga Kesehatan. 

Ketiga, sejarah integrasi Papua dan Jakarta. Pada 1969, Perserikatan Bangsa-bangsa bikin penentuan pendapat rakyat Papua Barat namun hanya 1,026 orang diseleksi buat memilih, 100 persen ikut Indonesia, dengan tekanan dan intimidasi. Namun hasil tersebut diterima oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. Keempat, akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia oleh aktor-aktor negara terhadap orang asli Papua, termasuk Wasior. 

Keempat masalah besar ini seyogyanya dimengerti oleh para pengambil kebijakan untuk penyelesaian konflik Papua Barat secara komprehensif dan jangka panjang.

Apa yang bisa kita lakukan? 

Persoalan mendasar adalah rasialisme terhadap orang asli Papua. The underlying issue is racism

Orang Papua sering dianggap bodoh. Orang Papua sering dibilang, maaf, monyet bodoh dan kata makian lain. Orang Papua sering dianggap badannya bau. Orang Papua sering dianggap lambat. Rasialisme ini merajalela, dari para pegawai negeri --termasuk polisi dan tentara-- sampai orang rambut lurus, dari media sosial sampai kegiatan sehari-hari. 

Filep Karma, seorang pembela hak orang dan lingkungan Papua Barat, menyebut rasialisme terhadap apa yang disebutnya “manusia setengah binatang.” Ini judul bukunya, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua.

Orang Papua capek dan protes berkali-kali. Namun mereka, termasuk Filep Karma, justru dihina, ditangkap ketika menaikkan bendera Bintang Kejora, disiksa, dipermalukan. Menaikkan Bintang Kejora dianggap perbuatan kriminal. Mereka protes damai, tanpa peluru, tanpa bom, hanya dengan Bintang Kejora. Filep Karma sendiri dihukum penjara sampai 15 tahun. Ini membuat persoalan di Papua Barat makin buruk. 

Sore ini saya menyerukan kepada bukan saja peserta Aksi Kamisan tapi kepada sesama warga Indonesia, hentikan sikap rasialis terhadap orang asli Papua. Hentikan memakai makian ketika tak setuju dengan orang Papua. 

Pemerintah kita mungkin belum bisa berbuat banyak untuk berbagai kesulitan yang dihadapi orang Papua. Namun kita bisa hentikan omongan bahwa orang Papua bau, orang Papua bodoh.

Sekian dan terima kasih. 







Monday, June 10, 2024

Puisi "Pulau Miangas"


Pada
September 2004, saya berada seminggu di Pulau Miangas, sebelah utara Pulau Sulawesi, bertemu cukup banyak orang termasuk Ritta Matama, seorang guru sekolah dasar, serta Agus Tege, mantan kapita laut di Karatung, Pulau Talaud.

Saya bisa berjalan kaki di pulau kecil ini. Makan nasi dan ikan serta sambal yang pedas sekali. Saya jadi kenal dengan banyak orang. Total penduduk Miangas hanya 673 orang, menurut kapita laut (kepala pulau) Djonyor Namare. 

Agus Tege adalah guru bantu khusus matematika di SDN Miangas. Dia mengajar kelas empat, lima dan enam. Sekolah dasar tersebut punya 96 murid dalam enam kelas. "Dua tahun berturut-turut, sekolah dapat bantuan daerah terpencil," katanya. 

Mereka menulis sebuah puisi yang rencananya hendak dibaca depan Presiden Megawati Soekarnoputri yang rencananya hendak datang ke Miangas. Namun Megawati tak jadi hadir. Puisi ini diberikan ke saya. 

Saya lama simpan salingan puisi tersebut sampai saya membuka lagi berbagai catatan saya dari Miangas. Puisi ini muncul lagi. Saya taruh dalam blog. Siapa tahu puisi bisa menambah bahan bacaan soal Miangas.

Pulau Miangas

Puisi oleh Agus Tege dan Ritta Matama

Engkau ... tidak lebih dari batu karang yang terapung di atas lautan
Engkau ... tidak lebih dari batu cadas yang tandus menghiasi Lautan Pacific.
Engkau ... terpisah dari gugusan pulau.
Engkau ... jauh dari kumpulan nusa.
Engkau ... sering dilupakan dan tidak dihiraukan oleh banyak orang.
Engkau ... sering dianggap tak berarti dan tak berguna.

Di kala topan menderu, Engkau tidak dapat didekati.
Di kala badai mengamuk, Engkau tidak dapat dikunjungi.

Namun ...

Engkau sangat berarti bagi bangsa dan negara.
Perananmu sangat berarti bagi wilayah Republik Indonesia.
Engkau sebagai batas paling utara negaraku.
Engkau sebagai titian emas perbatasan negara tetangga.

Aku kagum dengan kehadiranmu.
Aku bangga dengan kedatanganmu.
Karena engkau, mau melihat keberadanku.
Dan aku masih mendapat kasih sayangmu.

Lihatlah aku ...
Lengkapilah keberadaanku. 
Jadikanlah aku anak kebanggaanmu.

Hai pemerintah bangsaku.

Monday, May 20, 2024

Daftar Tahanan Politik yang Ditangkap di Kota Sorong


Oleh Sayang Mandabayan

Setelah ditangkap ada yang di kirim dari kota Sorong, Papua Barat, ke kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dan ada dua orang yang melarikan diri penjara kota Sorong.

1. Alowisus Frabuku = Penjara Seumur hidup

2. Karel Fatem = di penjara 35 Tahun 

3. Apolos Aikinggin = di penjara 20 Tahun

4. Melkyas Ky = di penjara 20 Tahun

5. Antonius Frabuku = di penjara 20 Tahun

6. Maikel Yaam = di penjara 20 Tahun

7. Amus Ky = di penjara 20 Tahun

8. Robyanus Yaam = di penjara 20 Tahun

9. Maklon Same = di penjara 18 tahun

10. Yakob Worait = di penjara 18 tahun

11. Augus Yaam = di penjara 18 tahun

12. Yanuarius Sewa = di penjara 17 tahun

13. Abraham Fatemte = di penjara 15 tahun

14. Lukas Ky = di penjara 8 tahun

15. Martinus Mate = di penjara 8 tahun

16. Moses Faan = di penjara 7 tahun 9 bulan

17. Elias Faan = di penjara 5 tahun

18. Urbanus Kamat = di penjara 3 tahun

19. Yeremias Yesnath = di penjara 3 tahun

20. Wilem Yekwam = di penjara 3 tahun

21. Victor Makamuke = di penjara 2 tahun 6 bulan


Catatan: 

1. Seumur hidup = 1 orang
2. 35 tahun        = 1 orang
3. 20 tahun      = 6 orang
4. 18 tahun         = 3 orang
5. 17 tahun         = 1 orang
6. 15 tahun         = 1 orang
7. 8 tahun          = 2 orang
8. 7 tahun, 9 bulan = 1 orang
9. 5 tahun           = 1 orang 
10. 3 tahun           = 3 orang
11. 2 tahun, 6 bulan =1 orang


Posisi:

1. 12 orang ada di penjara kota Sorong
2. 1 orang anak laki-laki di penjara anak kabupaten Manokwari 
3. 2 orang melarikan diri dari penjara kota Sorong dan belum kembali 
4. 6 orang ada di penjara kota Makassar

Wednesday, May 08, 2024

Pemerintah Indonesia Bertindak Melindungi Pers Mahasiswa

Para Rektor Universitas Seharusnya Dukung Kebebasan Pers di Kampus

Andreas Harsono
Human Rights Watch

Peserta seminar tentang “payung hukum” buat pers mahasiswa di berbagai kampus di Solo, Jawa Tengah, Mei 2023.  ©2023 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Ketika pers mahasiswa di Indonesia menghadapi intimidasi, sensor, dan pembredelan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepakat minta Dewan Pers lakukan mediasi untuk semua perselisihan jurnalistik, termasuk sengketa pencemaran nama, yang melibatkan wartawan dan media mahasiswa. Ini langkah penting menuju perlindungan yang lebih baik terhadap pers mahasiswa di negeri ini.

Sampai saat ini, kasus pidana pencemaran yang melibatkan pers mahasiswa kebanyakan ditangani oleh universitas atau polisi, yang cenderung terpengaruh oleh elit lokal bila mengajukan gugatan terhadap pers mahasiswa. Perjanjian kerja sama yang ditandatangani pada 18 Maret ini memberikan mekanisme yang tak lagi mengharuskan sengketa pencemaran nama dirujuk ke polisi atau kejaksaan negeri.

Tahun lalu, Human Rights Watch meminta pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dengan Dewan Pers dan membentuk mekanisme untuk mendukung dan melindungi media mahasiswa. Meskipun Undang-Undang Pers tahun 1999 telah membentuk Dewan Pers untuk memediasi perselisihan pencemaran yang dihadapi oleh organisasi media, pers mahasiswa tidak termasuk dalam lingkup kerjanya. Sebaliknya, wartawan mahasiswa bekerja di bawah yurisdiksi lembaga pendidikan mereka dan, lebih jauh lagi, Kementerian Agama untuk perguruan Islam dan Kementerian Pendidikan untuk universitas lainnya. Dewan Pers berharap bisa menandatangani perjanjian serupa dengan Kementerian Agama.

Sebagian besar universitas di Indonesia memiliki media mahasiswa, seperti majalah, situs berita online, atau stasiun radio. Banyak dari outlet berita ini beroperasi seperti redaksi media kebanyakan. Hal ini sering kali membawa mereka berkonflik dengan pihak administrasi universitas ketika reporter mahasiswa mengungkap dan melaporkan penyimpangan dosen, korupsi, pelecehan seksual, dan isu-isu peka lainnya di kampus.

Antara tahun 2020 dan 2021, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia mencatat 48 kasus dimana manajemen universitas yang mengintimidasi atau menutup media mahasiswa di antara 185 kasus dugaan pelanggaran terkait pers di kampus-kampus di seluruh negeri. Selain intimidasi dan pembredelan, pelanggaran yang dilakukan juga berkisar dari ancaman fisik hingga pengeluaran mahasiswa karena karya jurnalistik mereka.

Pers  mahasiswa memiliki sejarah panjang di Indonesia dan kesepakatan terbaru ini akan mendukung kebebasan pers di kampus-kampus di Indonesia. Para rektor dan administrator universitas harus melindungi, mendorong, dan memuji pers mahasiswa, bukannya menyensor mereka.

Tuesday, May 07, 2024

Merawat Mama dengan Dementia, Stroke serta Tulang Retak


Selama empat hari, Yohana, adik saya, dan saya berkunjung ke rumah mama kami, Metri W. Harsono, di Jember. Tujuannya, menengok mama yang terkena dementia, tulang belakang retak, serta stroke --stroke kedua pada Januari 2024.

Mulanya, keluarga menaruh mama di sebuah panti lansia di Jember, sesudah keluar dari rumah sakit. Keadaan menyenangkan. Ia dikelola suster-suster Katolik. Mama makan teratur, kamar pribadi, bisa tersenyum bahkan bicara satu atau dua kata.

Namun pada akhir Maret 2024, adik saya yang punya gangguan jiwa, Rebeka, dan kembarannya Susanna, mengeluarkan mama dari panti lansia. Rebeka menuduh pelayanan di sana buruk, makanan banyak MSG, dia dilarang bezoek dst.

Pihak panti kewalahan. Mereka menelepon saya dan akhirnya mengizinkan mama dikeluarkan. Panti menawarkan ambulans. Namun Rebeka, yang ditemani kawan lelakinya, menolak.

Ternyata mereka membawa mama ke Bank Mandiri agar tabungannya bisa ditransfer kepada rekening Rebeka. Alasan Rebeka, biaya tersebut diperlukan buat perawatan, termasuk beli ranjang khusus Rp 5 juta. 

Sesudah membawa mama ke cabang bank, pihak Bank Mandiri menolak sesudah melihat mama yang tak bisa komunikasi. Bank Mandiri minta penetapan pengadilan. Ini proses yang birokratis dan makan waktu.

Rebeka berkali-kali minta saya mengurus berbagai syarat "pengampuan" rekening bank mama agar bisa dapat surat penetapan dari pengadilan negeri Jember. Rebeka sendiri tak bisa mengurus kepada lima saudara lainnya, termasuk saya, berhubung ketrampilan komunikasinya rusak. Rebeka punya gangguan jiwa. 

Jadinya, Rebeka dan Susanna "merawat" mama di rumah. Dia minta tambahan uang kepada kami. Keadaan mama memburuk lagi. Kami dapat laporan dari para tetangga soal Rebeka sering bertengkar dengan Susanna. Beberapa kali Susanna lari dari rumah, menurut seorang tetangga dan ketua rukun tetangga. 

Di Jember, kami mendatangi panti lansia. Mereka dengan sopan menolak. Mereka lelah menghadapi Rebeka dengan berbagai ucapan dan pesan Whatsapp dia. Suster bilang Rebeka mengancam laporkan panti ke polisi karena melarang dia bezoek. Mereka menyesal punya hubungan dengan Rebeka.

"Sangat violent," kata seorang perawat.

Dokternya mengirim pesan, "Rebeka sudah buat saya berjanji, dan dalam Kristen janji itu tinggi. Saya tidak ingkar janji saya untuk tidak kontak apapun ke Oma Metri. Saya sangat menyesal telah ikut ambil dalam membantu Oma Metri."

Kami bisa menerima argumentasi dari suster kepala maupun dua dokter. Rebeka memang sering mengganggu orang dalam dua dekade terakhir. Dia punya bipolar hypermaniac. Keadaannya naik turun, namun makin pemarah seiring keengganan minum obat dari rumah sakit jiwa. Dia campur aduk antara harapan dan fakta. Omongannya dibolak-balik. Gayanya adalah mengutip orang lain guna membenarkan posisi dia. Ini bisa bikin orang beban pikiran bila bicara dengan dia.

Hari ketiga, kami mencari bantuan dari Homecare Jember Raya. Mereka menyediakan perawatan paliatif di rumah. Mereka mengirim dua perawat ke rumah, siang dan malam, bergantian masing-masing tujuh jam. Tujuh hari seminggu.

Makanan disiapkan ahli gizi. Kebersihan diperbaiki. Berbagai tes juga dilakukan. Laporan dibuat setiap hari, dari makanan sampai kebersihan. Kami berharap mama merasa nyaman.

Tantangan kami adalah bagaimana membuat Rebeka tidak bikin nervous perawat. Malam pertama, seorang perawat menelepon Yohana, "deg-deg-an" hadapi Rebeka yang memaksa agar masakan dia, bukan catering dari rumah sakit, disuapkan ke mama. Perawat terpaksa lakukan karena nervous. 

Ini sebuah perjalanan yang membuat kami berpikir soal proses menjadi tua, sakit-sakitan dan menjemput kematian, sekaligus kembali pada tantangan keluarga kami dengan dua saudara punya gangguan jiwa.

Wednesday, May 01, 2024

Perjalanan


Sebuah pagi di Yosemite, California. 
Saya mengatur pemaparan perjalanan saya berdasar pada tahun penerbitan naskah. Setiap tahun saya berjalan ke tempat jauh. Ada yang sering saya kunjungi. Ada yang mungkin hanya saya kunjungi sekali.

2021
Kunjungan ke Bali menyegarkan saya, serta memberi tambahan energi buat tetap bekerja dan berjuang soal hak asasi manusia serta lingkungan hidup.

Jember kota kelahiran saya dimana saya tinggal dari 1965 sampai 1981. Saya mengunjungi kerabat sesudah hampir dua tahun pandemi.

Pangandaran, Cilacap dan Kebumen, dari makam penyanyi Nike Ardila sampai cagar alam Pulau Nusa Kambangan. 

2017
Menyelesaikan buku kekerasan etnik dan agama
Gunung Salak tempat dimana saya suka sembunyi dari keributan Jakarta. Sebuah villa pernah jadi tempat saya membaca, menulis dan berpikir. Ia dekat dari Jakarta, hanya tiga jam, bawa bekal dan diam sendirian seminggu.

Omah Tani in Bandar
Pekalongan Has a Few Things to Do

2014
Mengajar Jurnalisme di Wamena

2013
Makam Pejuang Hak Asasi Manusia Munir di Batu
Naik Kereta Api Berlin-Brussels

2012
Dari Central Park ke Harlem

2010
Melaka: Sebuah Teratak di Stadthuys
Chik Rini di Padang Halaban
A Baby was Shot to Death in Merauke
Palembang: Parkour Benteng Kuto Besak
Tokyo: Seichi Okawa
Banda Aceh: Ali Raban dan Adi Warsidi

2009
Pertama Kali Datang ke Merauke
Kembali ke Salatiga

2006
Perjalanan di Jayapura
Kepulauan Wakatobi

2005

Halmahera: Duma dan Cahaya Bahari
Tobelo, Tobelo, Tobelo
Perjalanan Ternate-Tidore
Pulau Maitara dan Pulau Tidore: Gambar Uang Rp 1,000
Jalan ke Kupang dan Pulau Rote
Wutung: Satu Desa Dua Negara
Penyu, Sukamade dan Meru Betiri
Ule Lheue Diterkam Tsunami

2004
Belajar dari Kao untuk Mamasa
Baroto Island
Miangas, nationalism and isolation

2003
Pulau Sabang: Republik Indonesia Kilometer Nol
Puri Lukisan Ubud

Saturday, April 27, 2024

Museum Hrant Dink di Istanbul buat Armenia

Seorang
wartawan mengajak saya mengunjungi Museum Hrant Dink dekat stasiun Osmanbey, Istanbul. 

Hrant Dink adalah warga Turki etnis Armenia, kelahiran 1954 di Malatya, Anatolia Timur, Turki. 

Sejak 1996, Dink memimpin redaksi surat kabar dwibahasa Agos. Ia diterbitkan dalam bahasa Turki dan Armenia. Kata "agos" dalam kedua bahasa berarti lubang yang digali dengan bajak buat menaruh bibit tanaman

Hrant Dink juga tokoh minoritas Armenia. Dia sering menulis berbagai upaya mencari kebenaran, terutama soal diskriminasi dan genosida terhadap etnis Armenia. Korbannya sekitar 1 juta orang pada 1915-1917. Dink juga promosi rekonsiliasi antara minoritas Armenia dan mayoritas Turki. 

Genosida Armenia adalah penghancuran identitas Armenia di Turki saat Perang Dunia I. Pelakunya, Committee of Union and Progress, sebuah partai politik yang mengakhiri kesultanan Ottoman dan berkuasa di Turki. Mereka menyerang orang Armenia maupun minoritas lain, dalam suasana nasionalisme sempit. 

Pada 1915, orang-orang Armenia, terutama kaum terdidik –akademisi, penulis, pengusaha– diusir dari Turki, terutama Anatolia Timur. Mereka diusir menuju padang pasir di Suriah, atau dipaksa masuk Islam, terutama perempuan dan anak-anak. Banyak dari mereka dibunuh atau mati kelaparan. Sebagai seorang anak, Dink masuk ke rumah yatim piatu di Tuzla, dekat Istanbul, milik gereja Armenia. Dia tinggal di sana selama 10 tahun. Dia juga bertemu Rakel, kelahiran 1959 di Silopi, yang keluarganya juga diusir pada 1915, di rumah yatim piatu. Mereka menikah di sana pula pada 1976. 

Pada 2004, Agos memuat laporan soal Sabiha Gökçen (1913-2001), pilot perempuan pertama pesawat tempur Turki, yang juga putri angkat Mustafa Kemal Atatürk (1881-1938), pendiri Republik Turki. 

Agos melaporkan bahwa Sabiha adalah orang Armenia. Sabiha termasuk anak Armenia yang diislamkan saat genosida. Laporan Agos bikin geger Turki. Sabiha sendiri sudah meninggal. Wawancara dilakukan terhadap saudara angkat Sabiha yang mengatakan Sabiha pernah mencari keluarga Armenianya. Sabiha termasuk orang Armenia yang menyembunyikan identitas. 

Dink jadi sasaran siar kebencian di Turki. Militer Turki mengeluarkan pernyataan buat bantah berita Agos. Dink dan beberapa orang Agos diperiksa polisi, dan diadili tiga kali, dengan pasal karet “menghina ke-turki-an.” Dink menerima banyak ancaman pembunuhan. 

Pada 19 Januari 2007, mingguan Agos menerbitkan esai Hrant Dink di halaman satu, “Mengapa saya jadi target sasaran?” Dink menjelaskan betapa dia ingin mencari kebenaran serta rekonsiliasi soal genosida Armenia. 

Sorenya, ketika keluar dari Agos, Dink ditembak mati persis di depan kantor Agos. Ogün Samast, seorang remaja dan nasionalis Turki, menembak Dink tiga kali di kepala. Dink tewas seketika. Foto-foto si pembunuh, diapit oleh polisi Turki yang tersenyum, muncul di banyak media Turki.

Lebih dari 100,000 orang mengantar Dink ke pemakaman. Pembunuhannya jadi pemicu gerakan agar pasal-pasal karet dihapus dari sistem hukum Turki. Ia juga bikin pembicaraan soal genosida Armenia jadi wacana publik. 

Nayat Karaköse dari Hrant Dink Foundation menjadi guide kami dalam museum. Dia bilang kini hanya tinggal 50,000 orang Armenia di Turki. Pada abad XX, kebanyakan orang Armenia lari ke luar negeri, atau berubah identitas, termasuk menjadi Muslim Kurdistan atau Muslim Turki. 

Kantor lima kamar ini dulunya adalah ruang redaksi Agos. Ruang kerja Dink tetap dipertahankan. Saya merinding bayangkan dia duduk di belakang meja. Barang-barang di dinding dan rak juga milik Dink. Ada buku. Ada lukisan. Museum mungil ditata apik.





Wednesday, March 06, 2024

Indonesia Resmi Pakai Istilah Indonesia untuk ‘Yesus Kristus’

Perubahan Seyogyanya Jadi Batu Loncatan bagi Reformasi Kebebasan Beragama

Jemaat Huria Kristen Batak Protestan, yang berusaha mendapatkan izin mendirikan bangunan sejak tahun 2018, mengadakan kebaktian di gereja sementara mereka di Cilebut Barat, Bogor. Gereja tersebut menggunakan istilah “Yesus Kristus” seperti kebanyakan umat Kristen di Indonesia. © 2022 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

Tahun ini, untuk pertama kalinya sejak tahun 1953, umat Kristen di Indonesia dapat secara resmi menggunakan terminologi bahasa Indonesia untuk Yesus Kristus, saat mereka merayakan hari raya kekristenan: Jumat Agung, Minggu Paskah, dan Natal. Ini sebuah kemenangan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan pemerintah tidak lagi memaksakan penggunaan istilah Arab, Isa al Masih, untuk Yesus Kristus pada perayaan hari raya, yang telah dijalankan selama tujuh dasawarsa.

Perubahan ini terjadi pada bulan Januari, ketika sebuah surat keputusan bersama ditandatangani tiga menteri: Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas. Presiden Joko Widodo memperkuat perubahan ini ketika dia mengeluarkan keputusan presiden soal hari libur nasional tahun ini, dengan menggunakan Yesus Kristus dalam pengumumannya, bukan Isa al Masih.

Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengatakan umat Kristen di Indonesia telah meminta perubahan nomenklatur: “Ini usulan dari umat Kristen dan Katolik agar nama nomenklatur itu justru diubah.”

Masih belum terjawab mengapa berbagai pemerintahan di Indonesia memerlukan waktu sangat lama untuk menghapuskan persyaratan yang tidak perlu dan menindas mengenai terminologi umat Kristen di Indonesia. Dalam praktik sehari-hari, termasuk dalam ibadah hari Minggu, kebanyakan warga gereja di Indonesia jarang menggunakan nama Arab tersebut, dan memilih versi bahasa Indonesia.

Indonesia mempunyai dua penerbit Alkitab: Lembaga Alkitab Indonesia, yang dimiliki bersama oleh berbagai denominasi Protestan, dan Lembaga Biblika Indonesia, yang dikendalikan oleh gereja Katolik Roma. Selain bahasa Indonesia, mereka juga menerjemahkan Alkitab ke dalam ratusan bahasa suku di Indonesia. Kedua penerbit tersebut menggunakan istilah Yesus Kristus, meskipun pemerintah tak secara resmi mengakuinya.

Gomar Gultom, ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, berterima kasih kepada pemerintah karena akhirnya mengakhiri kebingungan soal dua nama berbeda untuk “oknum yang sama.” Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dapat menunjukkan pengakuan yang lebih besar terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebuah langkah kecil namun penting, yang dapat menjadi awal bagi reformasi yang lebih luas dalam melindungi hak beragama bagi semua orang.

Tuesday, March 05, 2024

Indonesia Officially Adopts Indonesian Term for ‘Jesus Christ’

Change Should be a Springboard for Wider Religious-Freedom Reforms

A Christian congregation, which has been trying to secure a building permit since 2018, holds a service in their temporary building in Bogor, near Jakarta. The church uses the term “Yesus Kristus” like most Christian denominations. © 2022 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

This year, for the first time since 1953, Christians in Indonesia will finally be able to officially use Indonesian terminology for Jesus Christ, Yesus Kristus, when they celebrate the major Christian holidays of Good Friday, Easter Sunday, and Christmas. In a victory for freedom of religion and belief, the government is no longer insisting on the use of the Arabic term Isa al Masih for Jesus Christ during major Christian holidays, which the Indonesian state had imposed for the past seven decades.

The recognition came in January, when a joint decree on the change was signed by three government ministers: Minister of Manpower Ida Fauziyah, Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform Abdullah Azwar Anas, and Minister of Religious Affairs Yaqut Cholil Quomas.  President Joko Widodo signaled his support for the change when he announced this year’s annual holidays, using Yesus Kristus in his announcement rather than Isa al Masih.

Deputy Minister of Religious Affairs Saiful Rahmat Dasuki said that Indonesian Christians had requested the change in nomenclature: “They want a change, using 'Yesus Kristus' in the commemoration of his birth, death, and ascension.”

Left unanswered is why successive Indonesian governments took so long to lift this unnecessary and oppressive requirement on Indonesian Christians’ terminology. In daily practice, including in Sunday services, Indonesian Christians rarely used the Arabic term, choosing the Indonesian version instead, highlighting the unreasonableness of the government’s insistence on the use of the Arabic term during festivities.

Indonesia has two major Bible publishing houses: the Indonesia Bible Society (Lembaga Alkitab Indonesia), which is jointly owned by various Protestant denominations, and the Indonesian Biblical Institute (Lembaga Biblika Indonesia), controlled by the Roman Catholic church. Alongside the Indonesian language, they also translate the Christian Bible into hundreds of Indonesia’s ethnic languages. Both publishers have traditionally used the term Yesus Kristus, despite the government not officially recognizing it.

Gomar Gultom, the chairman of the Communion of Churches in Indonesia, thanked the government for finally “ending the confusion” around the two different names for Jesus Christ. By this step, the Indonesian government could be indicating greater recognition of the rights to freedom of religion and belief, and this small but important step might serve as a precursor for more far-reaching reforms that can protect religious rights for everybody.