Monday, March 02, 2015

Bill Kovach soal Jimmy Carter dan Barack Obama


Bill and Lynne Kovach di daerah Dupont Circle, Washington DC.

SAYA bertemu dengan Bill Kovach serta isterinya Lynne, sesudah mereka ikutan diskusi soal apa yang disebut "syariah Islam" di Aceh di CSIS Washington DC. Dua wartawan PBS, Kira Kay dan Jason Maloney, menunjukkan sebuah video mereka soal Aceh. Diskusi menarik. Video kuat.

Kami lalu pergi mengobrol dan jalan sekitar Dupont Circle.

Bill Kovach (83) adalah kurator Nieman Foundation for Journalism at Harvard pada 1990-2000. Saya ikutan Nieman pada 1999-2000. Dia salah satu intelektual yang membentuk cara saya berpikir. Saya ikut membantu menterjemahkan dan memperkenalkan pemikiran Kovach di bidang jurnalisme lewat dua buku: The Elements of Journalism serta Blur.

Kali ini kami mengobrol soal Barack Obama. Saya ingin tahu bagaimana Bill Kovach melihat Obama --presiden dari Partai Demokrat, orang kulit hitam pertama yang duduk di White House.

Sebagai wartawan di Washington DC, Kovach kenal dengan beberapa presiden Amerika Serikat. Dia bahkan bisa bertemu mereka dan duduk diskusi berdua di White House.

Jimmy Carter dan Barack Obama dinilainya presiden yang tak mau pakai kekuatan Amerika dgn sewenang-wenang. Mereka mau menolong orang. Bukan sekedar mau bikin kompromi dalam politik. Ini beda dengan presiden-presiden lain. Kebanyakan dari mereka adalah politisi. Mereka terbiasa dengan politik transaksi.

Jimmy Carter seorang petani kacang dari Plains, Georgia. Dia jadi politikus karena dia tahu perbaikan nasib petani bisa berdampak besar bila dia bisa jadi presiden. Obama mulanya seorang community organizer khusus orang miskin, terutama orang kulit hitam, di Chicago.

Lynne (78) adalah pecinta tanaman, tukang kebun hebat. Senang lihat pasangan ini jalan kemana-mana. Kami mengobrol ringan saja.

Saya sempat tanya Kovach soal keikutsertaannya dalam rombongan Presiden Gerald Ford pada 6 Desember 1975 datang ke Jakarta bersama Henry Kissinger. Mereka dilaporkan memberi persetujuan kepada Presiden Soeharto guna menyerbu Timor Timur. Kovach ikut sebagai wartawan The New York Times, yang bertugas meliput White House, dalam rombongan tersebut.

Kovach bilang para wartawan tak tahu mengapa tiba-tiba berhenti semalam di Jakarta sesudah dari Beijing pada 1 sampai 5 Desember 1975. Baru belakangan mereka tahu bahwa Ford dan Kissinger bertemu dengan Soeharto di Jakarta. 

Menurut Kovach, di Beijing, Kissinger dapat cable dari Jakarta bahwa Indonesia hendak menyerbu Timor Timur. Mereka lantas membawa rombongan satu pesawat ke Jakarta, termasuk wartawan yang meliput pertemuan Ford dengan Mao Zedong di Beijing. 

Namun semua wartawan, termasuk Kovach, tak tahu bahwa Indonesia hendak kirim pasukan ke Timor Timur.

Dalam pertemuan di Jakarta, Ford dan Kissinger diberitahu Soeharto bahwa pasukan Indonesia sudah siap menyerbu Timor Leste. Mereka memberikan masukan agar penyerbuan dan pendudukan dilakukan dengan "cepat." 

Soal pemakaian senjata Amerika, Kissinger mengatakan ia bisa diatasi dengan argumentasi sebagai "self-defence." 

Pasukan Indonesia menyerbu pada 7 Desember 1975 dengan kerusakan luar biasa. Timor Timur diduduki Indonesia dari 1975 sampai 1999 sampai ketika diadakan referendum oleh Perserikatan Bangsa-bangsa dan rakyat Timor memilih merdeka dari Indonesia. 

Bill Kovach pernah mengundang Noam Chomsky, seorang dosen  Massachusetts Institute of Technology, yang tahu banyak soal Timor Timur, mengajar di kelas saya di Nieman Foundation, pada tahun 2000. Chomsky bicara dengan detail soal invasi Indonesia dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. 

Senang bisa tahu cerita Bill Kovach yang lebih dekat. Dia juga cerita bagaimana dia mencoba mengingat Bunderan Hotel Indonesia, saat dia berkunjung ke Jakarta pada Desember 2003. Wajah Jakarta sudah berbeda jauh dari Desember 1975. 

No comments: