Friday, June 29, 2007

"OK, the rule is, you can (make love to) an elephant if you want to, but if you do, you can't cover the circus."
-- A.M. Rosenthal (1922-2006)



Sapariah, Norman and me visited Borobudur this June. Borobudur is a ninth century Buddhist Mahayana monument. It was abandoned following the 14th century decline of Buddhist and Hindu kingdoms in Java, and the Javanese conversion to Islam. It was rediscovered in 1814 by Sir Thomas Raffles, the British ruler of Java. Daoed Joesoef, an Acehnese scholar, took the initiative to lobby Unesco and to restore Borobudur between 1975 and 1982.


Belajar dari Ryszard Kapuscinski
Deskripsi bisa dibuat dengan menggunakan foto-foto lama. Ini trik khas Kapuscinski guna cerita secara kronologis.

Daoed Joesoef Bertutur
Mellyana F. Silalahi cerita kesannya ikut diskusi dengan Daoed Joesoef, seorang sarjana Sorbonne, yang menulis buku Emak, di rumahnya di selatan Jakarta.

Masalah dalam Proyek Seabad Pers Indonesia
Kapan sebenarnya "pers Indonesia" dimulai? Indexpress pimpinan Taufik Rahzen menetapkannya 1907 ketika Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji dengan alasan dia pribumi?

Sisa Kesultanan Banten
Lima ratus tahun lalu, Banten dibandingkan besar dan modernnya dengan Paris. Ia lebih besar dari Sunda Kelapa. Hari ini ia jadi desa nelayan terpencil dan gersang.

Kursus Jurnalisme Sastrawi XII
Mulanya, genre ini diterangkan oleh Tom Wolfe pada 1960an di New England. Muncul bermacam tanggapan, baik yang sinis maupun memuji. Janet Steele dan saya mencoba belajar dari pengalaman itu.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Dari Sabang Sampai Merauke
Sejak Juli 2003, saya berkelana dari Sabang ke Merauke, guna wawancara dan riset buku. Intinya, saya pergi ke tujuh pulau besar, dari Sumatra hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana. Inilah catatan kecil perjalanan tersebut.

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Media dan Jurnalisme
Saya suka menulis soal media dan jurnalisme. Pernah juga belajar dengan asuhan Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah diminta menyunting majalah Pantau.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Thursday, June 28, 2007

Belajar dari Ryszard Kapuscinski

Siti Nurrofiqoh
Catatan Sesi Kesepuluh, 26 Juni 2007


Ryszard Kapuscinski, dikenal dengan liputannya dari Afrika dan Amerika Latin pada tahun 1960-an, ketika dia menjadi satu-satunya koresponden Kantor Berita Polandia untuk "seluruh dunia." Kapuscinski, lahir di Pinsk, kini Belarusia dulu wilayah Polandia, pada 1932. Dia seorang  wartawan yang tak hanya melahirkan karya jurnalistik. Ia juga penulis fiksi dan menggubah puisi. Setelah belajar sejarah, pada 1954 dia mulau kerja sebagai wartawan kantor berita.

Mula-mula meliput masalah domestik. Sesudahnya, dia dikirim ke berbagai negara di seluruh dunia. Dia tak hanya mengirim berita pendek, namun mengumpulkan materi-materi itu dalam buku hariannya, dan memakainya sebagai materi buku-bukunya. Dia menulis dalam bahasa Polandia namun sebagian bukunya sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Dia sering diisukan akan menerima hadiah Nobel namun tak beruntung mendapatkannya hingga meninggal Februari lalu.

Buku pertamanya The Polish Bush. Lalu The Emperor, yang mengisahkan tentang jatuhnya Kaisar Haile Selassie di Ethiopia dan buku Shah of Shahs tentang Shah Reza Pahlevi dari Iran, yang jatuh pada saat revolusi 1979. The Soccer War menceritakan perang enam hari antara Honduras dan El Savador akibat pertandingan sepak bola antar tim kedua negara.

Melalui LCD,  Shah of Shahs karya Kapuscinski ditampilkan pada layar di pojok ruang kelas. Intronya: Here’s the oldest picture I’ve managed to obtain. A soldier, holding a chain in his right hand, and a man, at the end of the chain. The two gaze intently in to the lens ….

Kalimat-kalimat alinea pertama dibaca mas Andreas. Intro ini bercerita tentang foto. Foto pertama, seorang prajurit yang memegang rantai di tangan kanannya dan seorang lelaki di ujung rantai satunya. Dua orang ini memandang tegang di depan kamera.

Mas Andreas mengungkapkan trik baru dalam deskripsi. Kapuscinski menggunakan foto untuk deskripsi sekalian membuka laporannya tentang Reza Pahlevi. Ada foto pertama tentang kakeknya Pahlevi. Lalu ada foto kedua, yang juga diterangkan Kapuscinski panjang lebar, tentang ayahnya Pahlevi. Lalu foto ketiga. Karya ini terbit 1982 dan pada 1985 diterbitkan majalah The New Yorker.

Pada alinea tersebut tanda baca seperti koma dan strip banyak ditemukan. Menurut mas Andreas, itulah salah satu khas The New Yorker, suka menggunakan koma dan strip. Mas Andreas juga mengingatkan peserta agar dalam menemukan detil dan harus belajar untuk mengenali berbagai jenis senjata. Deskripsi fisik dari tokoh ayah dalam foto itu digambarkan Kapuscinski dalam menceritakan kekuatan seseorang yang begitu dahsyat, hingga bisa mematahkan besi tapal kuda dengan tangannya.

”Kenapa detil itu penting? Karena ketidakdetilan telah membuat sejarah-sejarah kita dimanipulasi. Soal sejarah Majapahit misalnya. Majapahit itu kan kecil, nggak sebesar yang digambarkan buku-buku pelajaran sejarah Indonesia. Juga tentang Musium Soekarno di Blitar, tak  ada yang menyebut kejelekannya, termasuk berapa banyak istrinya. Setelah banyak membaca, saya tahu ternyata musium itu isinya propaganda.”  kata Andreas.

Fokus dan detail, juga kedalaman dalam membuat tulisan, dikatakan Farah sebagai hal yang sulit. Farah mengisahkan perjalanan umrohnya, yang ditunaikannya belum lama ini. Selain menjalani acara ritualnya, Farah juga mengalami banyak hal yang disaksikannya. Banyak fakta-fakta serta kejadian yang menumpuk di pikiran dan membuat hatinya bergemuruh.

Rasanya ingin segera menuliskan, meski ia sadar bahwa saat itu tak mungkin bisa dilakukan. Menunda hingga kembali ke Jakarta, adalah satu-satunya pilihan. Ternyata sekembalinya dari tanah suci Mekah, semuanya blank. ”Saya bingung harus memulai dari mana? Banyak yang saya lihat dan saya foto, tapi kok malah nggak ada yang kepegang. Gimana untuk bisa fokus ya...? Istilah mengambil suatu gambar, ada batasan tapi bisa lebar, gimana...?”

Menurut Andreas, jika ingin menulis tentang perjalanan, harus membaca buku lebih dulu. Riset buku ini penting agar ketika kita jalan-jalan, kita bisa membandingkan cerita dari riset dengan keadaan di jalan.

Menurut pandangan Melly, tentang Shah of Shahs maupun The Soccer War, sepertinya si Kapuscinski langsung menuliskan ide-idenya. ”Seperti sebuah blog, meskipun pada waktu itu belum ada blog. Sepertinya, apa yang mau ditulis ya ditulis aja, gitu. Apa benar begitu ya?”

Senada dengan Melly, John juga penasaran dengan cara Kapuscinski menulis. ”Apakah itu kepiawaian sang editor atau dia sendiri? Kok rasanya seperti menulis dan langsung jadi. Apakah benar ini sekali jadi atau ada sistem edit? Tapi kurasa keduanya memang hebat,” kata John menyimpulkan.

Apapun itu, Kapuscinski memang layak diberi acungan jempol.

Kehebatan memang sering memberi inspirasi bagi siapapun. Dalam pembahasan karya ini, Selly juga penasaran untuk bisa membuat reportase atau tulisan yang bisa menghanyutkan atau menahan mata pembaca. ”Perlu seperti apa reportase kita agar bisa menghanyutkan pembaca mas?”

Untuk  menahan mata pembaca. Mas Andreas membuat oretan panjang pendek, turun naik, mirip seperti grafik di layar monitor ruang ICU rumah sakit. Dalam lekukan oretan yang turun naik itu, sebuah garis horisontal ada di tengahnya. Di garis horisontal itulah posisi mata pembaca. Mood bisa naik, turun, atau malah drop samasekali. Yang membuat mood meningkat biasanya soal sex, dialog atau humor. Sebaliknya yang membuat mood menjadi redup, bahkan anjlok, adalah data-data dan angka. Tempo pendek, akan menarik, dan menggugah. Kalimat-kalimat yang terlalu panjang, tidak dinamis dan cenderung bikin nglangut dan bosen. ”Tarik...sett... tarik.. sett,” begitu mas Andreas menggambarkan.

Siti Nurrofiqoh kaki tangan Yayasan Pantau, yang khusus mengurus kelas Narasi, juga menjabat ketua umum Serikat Buruh Bangkit di Tangerang

Tuesday, June 26, 2007

Daoed Joesoef Bertutur



Pertemuan itu sudah berlangsung lebih dari satu minggu yang lalu. Seorang bapak, seorang ibu dan serombongan tamu, peserta kursus narasi, baik yang baru maupun yang lalu.

Sabtu siang itu, kursus dilakukan di waktu yang berbeda, di tempat yang berbeda. Kali ini, sebuah rumah yang luas dan sangat asri di selatan Jakarta. Teras belakang yang merupakan tempat bekerja, sudah dirapikan menjadi tempat pertemuan sekitar 20 orang. Kursi-kursi diatur mengelilingi ruangan tersebut, dengan dua meja di tengah. Sabtu itu cerah, cenderung panas malah. Tidak ada AC di ruangan itu, hanya ada tiga kipas angin.

Di pojok, sebuah meja disiapkan sebagai tempat menaruh makanan. Setumpuk makanan kotak dari Hoka Hoka Bento yang sudah dipersiapkan Mba Fiqoh, kue coklat, kacang mete dari Kendari dan siomay bikinan Hagi ditempatkan di atas meja.

Masih bercerita tentang tulisan dan juga orang yang membuat tulisan itu. Kali ini, langsung berhadapan dengan penulis Emak, sebuah buku yang menggambarkan kearifan dan kebijaksanaan seorang ibu. Daoed Joesoef, penulis yang menjadi tuan rumah.

Berbicara dengan Pak Daoed, seperti bicara dengan "orang-orang dulu". Waktu ditanya Andreas apa kesanku terhadap Pak Daoed, aku harus mengambil waktu dan berkata, "Disiplin."

Disiplin dalam segala hal, hal kecil, hal besar, dan terutama disiplin dalam menguraikan isi kepala. Bertutur. Ini ajaran Emak, "Jangan bertutur terlalu cepat, nanti terucapkan hal-hal yang belum kau pikirkan. Kau boleh mengatakan semua, tapi ucapkanlah itu dengan teratur dan dengan bahasa yang jelas (halaman 92)." Pak Daoed mengulang ini dalam bincang-bincang kami siang itu.

Ini kelemahan terbesarku. Kalau berbicara, aku bisa loncat topik sesukaku. Detik ini bicara tentang makanan, detik kemudian berbicara tentang pesawat. Gak nyambung. Pernah ada seseorang mengkritik aku untuk itu, dan tidak aku perdulikan. Tokh, teman-temanku sudah tahu gaya bicaraku, itu pembelaanku.

Terkadang, ketika terlalu bersemangat, mulut terasa lambat bergerak. Jauh lebih lambat dari isi kepala. Saat seperti itu, aku ingin sekali bisa menumpahkan semua sekali jadi. Lepas. "Nih, baca dan lihat sendiri, barangkali itu yang ingin aku lakukan untuk bercerita.

Tapi tidak untuk Pak Daoed. Dua jam lebih dihabiskan oleh Pak Daoed untuk bertutur. Tentang banyak hal. Tentang buku. Tentang emak. Tentang Perancis. Tentang keluarga. Tentang rumah. Tentang pendidikan. Tentang banyak hal. Semua diungkapkan dengan penuturan yang disiplin, yaitu dengan teratur, jelas, dan sangat runtut.

Daoed and Sri Soelastri Joesoef (duduk di kursi) bersama para peserta kursus Yayasan Pantau, yang datang ke rumah mereka di daerah Kemang guna berdiskusi soal penulisan buku Emak. Mellyana Frederika Silalahi bersimpuh menggendong bayi. Siti Nurrofiqoh (berlutut sebelah kanan Daoed Joesoef) menulis Obrolan di Rumah Daoed Joesoef

Aku pikir, Pak Daoed orang yang bisa jadi sangat puitis, punya jiwa seni yang kuat, dan peka terhadap keindahan, dan punya kemampuan untuk merayu! Jangan berpikir buruk, karena aku pikir itu justru sesuatu yang indah. Aku pikir, laki-laki sebayaku bisa mati gaya dan kalah kata kalau harus bertarung dengan Pak Daoed untuk urusan itu. Tidak sekelas. Sangat jauh berbeda bahkan.

Ini yang membuat diskusi banyak diisi oleh gelak tawa. Juga respek! Ya, pertemuanku membuat aku menjadi sangat hormat padanya. Walaupun ada beberapa pemikiran dan tindakannya yang bisa jadi tidak aku sepakati, Pak Daoed bukan orang yang mengharamkan diskusi, proses dialektis dari berbagai pemikiran, yang berbeda sekalipun. Pak Daoed tegas, tapi bukan tanpa alasan. Tentunya, dengan bertutur.

Aku menemukan keindahan bahasa ibuku dalam Emak. Bahasa Indonesia, menurut Pak Daoed, "Bahasa yang feminin." Aku menemukan keindahan bertutur melalui Pak Daoed.

Seperti ditulis pada buku Emak (halaman ix), Daoed Joesoef memang orang Indonesia pertama yang oleh Sorbonne dianugerahi gelar doktor tertinggi dari jenisnya yaitu Doctorat d'Etat atau doktor negara, dan dengan cum laude pula (Ini cerita lucu tersendiri, karena gelar beliau itu "Drs" atau dua doktor -bidang ekonomi, satunya bidang filsafat- tapi di Indonesia gelar itu diberikan untuk strata S-1, dan karena itu Pak Daoed lebih sering tidak menuliskan "Drs"). Tetapi, sosok itu menjadi begitu "kaya" bukan karena gelar semata, tetapi karena cinta dan kasih seorang Emak.

Mellyana Frederika Silalahi peserta kursus Narasi angkatan kedua di Yayasan Pantau

"Were it left to me to decide whether we should have a government without newspapers, or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to prefer the latter"
-- Thomas Jefferson



Protesters held a rally in Manokwari, asking the UN Special Representative Hina Jilani, who was visiting Papua in June, to tell the world body to hold a UN-supervised referendum on Papua's future. Similar protests took place in Jayapura. Their banners read, "Welcome Mrs. Hina Jilani Who Carry Freedom for All The West Papua," "Stop Genocide of The Papua" dan "Stop Killing In West Papua." (Photos by Jo Kelwulan in Manokwari)




Masalah dalam Proyek Seabad Pers Indonesia
Kapan sebenarnya "pers Indonesia" dimulai? Indexpress pimpinan Taufik Rahzen menetapkannya 1907 ketika Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji dengan alasan dia pribumi?

Sisa Kesultanan Banten
Lima ratus tahun lalu, Banten dibandingkan besar dan modernnya dengan Paris. Ia lebih besar dari Sunda Kelapa. Hari ini ia jadi desa nelayan terpencil dan gersang.

Kursus Jurnalisme Sastrawi XII
Mulanya, genre ini diterangkan oleh Tom Wolfe pada 1960an di New England. Muncul bermacam tanggapan, baik yang sinis maupun memuji. Janet Steele dan saya mencoba belajar dari pengalaman itu.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Sexism, Racism and Sectarianism
Bagaimana menjawab reporter yang hendak menurunkan laporan tentang orang yang buruk hanya dari sisi positifnya saja? Bagaimana audiens bisa dapat informasi dengan proporsional?

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

Dari Sabang Sampai Merauke
Sejak Juli 2003, saya berkelana dari Sabang ke Merauke, guna wawancara dan riset buku. Intinya, saya pergi ke tujuh pulau besar, dari Sumatra hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana. Inilah catatan kecil perjalanan tersebut.

Struktur Republik Indonesia Serikat
Belanda bikin studi berbagai aspek budaya, politik dan sebagainya dari kepulauan ini. Mereka menterjemahkan Nagarakrtagama karya Prapanca hingga bikin buku mutakhir soal communal violence pasca-Suharto. Bagaimana Belanda melihat struktur administrasi?

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Media dan Jurnalisme
Saya suka menulis soal media dan jurnalisme. Pernah juga belajar dengan asuhan Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah diminta menyunting majalah Pantau.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Friday, June 22, 2007

Obrolan di Rumah Daoed Joesoef

Siti Nurrofiqoh


HARI SABTU, tanggal 16 Juni 2007, pukul 10.06, sudah berkumpul tujuhbelas orang di kediaman Daoed Joesoef yang terletak di daerah Kemang. Mereka adalah para peserta dan instruktur kursus Narasi Pantau, serta lima orang dari Pantau. Hadir juga Sri Soelastri, mendampingi sang suami, Daoed Joesoef.

Segera Daoed mengusulkan agar dimulai saja. Andreas Harsono, salah satu instruktur kursus Narasi Pantau segera berdiri untuk memberikan sedikit pengantar. Lalu dilanjutkan dengan perkenalan.

Andreas kemudian menjelaskan secara singkat tentang latar belakang masing-masing peserta. Ada dokter, NGO, reporter, dll. Pertemuan ini merupakan bagian dari kursus Narasi Pantau II, namun peserta kursus Narasi angkatan sebelumnya juga turut hadir.

"Masing-masing orang di sini punya proyek tersendiri untuk ditulis," ujar Andreas.

Seusai mendengar penjelasan singkat tersebut, Daoed langsung mengucapkan selamat datang bagi para peserta kelas Narasi. Pesannya yang pertama, selama proses diskusi tak ada yang boleh merokok.

Daoed lalu menjelaskan letak toilet, "Untuk ke toilet harus melewati ruang makan keluarga. Kalau dikaitkan dengan kultur di Aceh, jika tamu sudah diperbolehkan melewati ruang makan, artinya sudah bisa diterima oleh tuan rumah. Jadi kalian sudah saya terima datang ke sini."

Siang itu Daoed, yang orang Aceh, mengenakan baju lengan pendek warna krem dengan garis salur yang samar.

"Semua sudah lengkap, toh?" tanyanya.

"Sudah, Pak" jawab yang hadir secara bersamaan.

Kekayaan Indonesia, yang banyak dirongrong para pejabat, membuat Daoed merasa perlu menjelaskan lebih dulu soal rumah dan tanah yang ia tempati ini.

"Untuk menghindari adanya kemungkinan bisik-bisik di punggung," katanya.

Rumah ini didirikan di atas tanah seluas 2,000 meter persegi. Persis di depan rumahnya yang hanya dibatasi jalan selebar 2,5 meter berdiri bangunan sekolahan yang diberi nama SD Kupu-kupu. Ada halaman di sekelilingnya dan digunakan sebagai kebun yang ditanami beraneka jenis pepohonan. Di bagian dalam rumah tampak lukisan-lukisan hasil karya Daoed dan isterinya yang terpasang pada dinding-dinding ruangan.

Tanah untuk bangunan ini dibeli Daoed  pada tahun 1959, ketika harga tanah masih 40 rupiah per meter.

"Jadi, ketika saya diangkat menjadi Menteri P&K pada tahun 1978, saya sudah punya rumah, tanah dan mobil. Ingat, sebelum jadi menteri lho, ya?" ujar Daoed.

"Ha…ha…ha…," tawa peserta seperti paduan suara merespon atas pernyataan Daoed.

Daoed melanjutkan, "Baiklah, dengan segala senang hati, saya ingin membagi pengetahuan yang saya sadap dari pengalaman saya menulis. Tapi sebenarnya bukan disebut pengetahuan tapi kiat."

Daoed mulai memaparkan. Menulis bukan bertujuan agar orang mempercayai kita. Tetapi supaya orang mengetahui apa yang ada dalam pikiran kita, karena pengetahuan tak ada gunanya jika hanya dibawa mati.

Daoed mengatakan dalam dua tulis-menulis hanya ada dua aturan. Aturan pertama, dunia menulis tidak punya aturan. Aturan kedua, namun dunia ini tak mengenal maaf untuk tulisan yang jelek. Setiap penulis memiliki hak untuk menggunakan ketentuannya sendiri. Kita perlu memahami bahwa sebuah buku itu mewakili kita dalam momen yang terbaik. Oleh karena itu sebagai pelukis atau penulis, orang lain tak boleh ikut campur dalam menentukan.

Hal itulah yang membedakan karya seniman dengan karya politikus. Jika karya politikus, yang belakangan diketahui ada konsep yang keliru, maka susah mengubahnya. Contoh UUD 1945, yang pada akhirnya memicu keributan saat akan diubah. Tapi kalau tulisan, kita bebas seratus persen untuk mengubahnya.

Dalam menulis kita bebas memilih kata-kata sendiri. Memilih kata-kata terkadang jadi salah satu kesulitan. Menurut Daoed, sedapat mungkin penulis jangan memakai kata-kata yang sama dalam satu halaman. Cari sinonimnya. Tak perlu khawatir karena kosa kata bahasa Indonesia kaya. Bahasa Indonesia itu feminim dan luwes. Daoed mereferensikan Tesaurus bahasa Indonesia. Menurutnya buku tersebut banyak membantu mencari kosa kata.

Hal yang menyebabkan kesulitan dalam memilih kata-kata adalah kata tersebut saat berdiri sendiri sudah baku, tapi kalau dikaitkan dengan kata yang lain, bisa jadi moderat atau mengubah makna.

"Ide di dalam pikiran kan harus kita tulis dengan kata-kata, nah.. di sinilah kadang menghasilkan konotasi yang berbeda. Itulah kenapa kita sering menyobek kertas yang kita tulis dan membuangnya ke tempat sampah," kata Daoed menuturkan pengalamannya.

"Jangan lupa bahwa sebuah tulisan punya makna sebagai karya setelah ada di tangan pembaca. Tulisan tidak bermakna apa-apa kalau masih ada di gudang penerbit atau di ruang toko buku," lanjutnya lagi.

Menyadari keragaman peserta, Daoed menyarankan bahwa dalam menulis perlu menanggalkan gelar kesarjanaan atau keilmuwanan. Dalam menulis, ilmuwan jelas berbeda dengan intelektual.

"Tanggalkan S-1 kalian. Jadilah intelektual!" tandasnya.

Hal ini dimaksudkan supaya cakupan tulisan lebih luas. Dalam bidang ilmu pengetahuan, apa yang ditulis harus eksplisit mengenai bidang tertentu. Ilmu punya bidangnya sendiri-sendiri. Sedangkan intelektual tidak. Saat orang berilmu menulis, maka ia menggambarkan suatu keadaan tertentu. Misalnya, seorang ekonom, ia hanya akan bisa mengulas soal ilmu ekonomi, meskipun pemecahan soal ekonomi ada kaitannya dengan kebijakan hukum. Tapi kalau intelektual yang menulis, maka ia akan menggambarkan keadaan secara holistik.

Seorang intelektual lebih mendekati sebagai seorang filosof. Ilmuwan mencari jawaban terhadap suatu masalah, filosof melihat masalah dalam jawaban yang sudah ada. Filosofi tidak mengenal tema khusus dalam menulis. Tapi filosof juga harus tahu diri.

"Jangan cari wisdom tapi cari kaitannya saja," Daoed berpesan.

Ada dua hal penting dalam mengajukan suatu pendapat, terutama yang menyangkut ilmu pengetahuan. Petama, correct atau benar. Kedua, applicable atau bisa diterapkan.

"You can live without security. You can't live without assumption," ungkap Daoed.

"Menjalani hidup harus ada asumsi. Seperti Anda datang ke sini juga pasti dengan asumsi. Meski kadang apa yang sedang berjalan, lain dari asumsi pertama yang kita pikirkan. Inilah yang kadang membuat hancurnya rumah tangga," jelasnya lagi.

Setiap tulisan walaupun kadang membantah keadaan, tentu karena ada suatu maksud, yaitu membenarkan sesuatu yang sudah ada tapi tidak disadari atau membantah sesuatu yang sudah disetujui tapi ternyata keliru. Pola pikir masyarakat dibentuk oleh 4 unsur: generasi ilmiah, fakta empiris, pengertian pemikiran mitologis dan religius, serta ide politik dan etik.


EMPATPULUH ENAM menit sudah berlalu. Daoed mempersilahkan peserta bertanya sehingga diskusi yang berlangsung terbatas itu bisa sesuai dengan kebutuhan peserta.

"Ladies first!" kata Daoed.

Nenden memulai dengan pertanyaanya. Ia ingin mengetahui lamanya Daoed Joesoef  menulis buku yang berjudul Emak. Menurut Nenden tulisan tersebut begitu detil, sehingga membuat ia merasa berada di jaman itu ketika membacanya.

Daoed menjelaskan bahwa rencana menulis Emak sudah lama, tepatnya pada 1970-an. Sebagian tulisan itu pernah diterbitkan oleh Suara Karya. Daoed paling ingat dengan detil masa kecilnya dan sosok emaknya, "Nanti kalau Anda tua, pasti anda akan paham. Masa kecil kita justru yang paling melekat. Apa lagi dengan orang yang sangat dekat dengan kita, yaitu emak. Tapi, bukan berarti bapak tak punya peran."

Seorang emak adalah sosok yang pasti dekat dengan anaknya. Emak digambarkan Daoed sebagai seorang perempuan yang kaya ilmu dan kebijaksanaan. Apa yang diajarkan emak, belakangan terbukti diajarkan juga di dunia kampus. Seperti tentang bagaimana cara berfikir teratur. Ilmu adalah berfikir teratur. Ketika sang emak tak dapat menjawab pertanyaan anaknya, maka anaknya diarahkan bertanya di sekolah. Emak menyadari betul pentingnya pendidikan.

Andreas menanyakan mengapa penulisan buku Emak, yang naratif, enak dibaca, berbeda dengan tulisan-tulisan terdahulu Daoed Joesoef, yang cenderung kering, bicara soal ekonomi, politik, notabene kurang luwes dan mengalir.

Menurut Daoed dikarenakan oleh sosok emak sendiri yang memang begitu adanya.

"Itulah, saya membenarkan apa kata pepatah bahwa di balik kesuksesan orang besar ada campur tangan seorang wanita. Dan wanita itu salah satunya adalah emak saya," kenangnya.

Begitu Daoed selesai menjawab pertanyaan, Hagi Hagoromo langsung menanyakan perihal penggunaan huruf besar pada nama belakang Daoed Joesoef.

Hal itu bermula setelah kepulangan Daoed dari Sorbone. Daoed yang juga suka melukis, terkadang mencantumkan nama tersebut dalam lukisannya. Nama Joesoef adalah nama sang bapak dan supaya tidak terkesan Arabik

Daoed Joesoef yang ketika masih mahasiswa suka membeli sepatu loak di Tanah Abang, terus berbicara dengan antusias. Tidak hanya soal menulis, peserta juga banyak diajak berdiskusi tentang hal-hal yang lain. Ketuhanan misalnya. Menurutnya, ketuhanan itu tidak bisa direduksi menjadi agama. Hal itu pula yang sempat disayangkan olehnya ketika jam pelajaran sekolah banyak terpakai buat pelajaran agama. Padahal agama bisa dipelajari di surau pada malam harinya. Apalagi melihat perkembangan sekarang, agama menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan, yang membuat Daoed merasa sengit.

Daoed juga menyayangkan sikap para mahasiswa kita yang tidak pernah punya konsep dalam berpolitik. Dalam politik itu ada dua arti, yaitu dalam artian konsep dan arena. Sebenarnya tidak dibenarkan adalah gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan kampusnya. Tapi mahasiswa di Indonesia, lebih memilih pakai nama itu. Rakyat yang masih bodoh menganggap hal itu ilmiah. Konsep begitu penting dalam berpolitik karena orang-orang yang punya konsep akan menjadi manusia otonom, sekaligus sebagai cikal-bakal civil society.

Manusia bahagia bukan karena ia bisa membeli kekayaan, namun karena ia menjadi manusia. Kita semua diminta untuk berpikir.

"Ini sudah jam makan siang. Sudah dua jam," Andreas mengingatkan. Peserta minta diperpanjang. Daoed minta diperpanjang setengah jam.

Siti Maemunah mengajukan dua hal yang diawal pembicaraan sempat disinggung oleh Daoed. Soal pembangunan (bumi yang diabstraksi) dan tentang bahasa Indonesia yang disebut oleh Daoed sebagai bahasa feminim.

"Saya belum bisa menangkap lebih jauh soal itu, pak," katanya.

"Saya jawab yang kedua dulu ya, karena yang pertama itu sulit," kata Daoed seraya bergurau meski tanpa senyum.  

"Memang ada usaha pembakuan arti dalam kosa kata yang salah satunya dilakukan oleh profesor bahasa di UI. Paul… siapa itu. Tapi kok malah jadi kaku gitu. Beda dengan bahasa melayu, meski bahasa Indonesia bukan melayu. Pembakuan belum begitu merata. Saya kira itu tidak perlu juga. Bahasa itukan hidup. Tak ada salahnya, jika kita masukkan bahasa anak muda yang menyebut bapak dengan bokap atau apalah," jelasnya kemudian.

"Ha..ha..ha…," pernyataan tersebut membuat peserta tertawa lepas.

"Bahasa itu alat komunikasi, jadi harus bisa dipahami," Daoed melengkapi.

Saat menanggapi pertanyaan Maemunah yang pertama, Daoed mengingatkan arti penting pembangunan desa pantai.

Pembangunan seringkali melupakan bahwa bumi yang kita tempati berbentuk archipelago. Terdiri atas kepulauan-kepulauan yang tersebar di dunia. Hal itu diabstraksi sehingga seolah-olah setiap pojok di negeri ini mempunyai keperluan yang sama untuk bisa dibangun. Dengan bentuk bumi seperti ini, seharusnya pembangunan disesuaikan kondisi wilayahnya.

Seharusnya kita membangun desa-desa pantai. Di sepanjang pantai dihuni oleh manusia. Meski mata pencaharian mereka di laut, tetapi mereka tetap tinggal di darat, bukan di perahu. Harusnya lingkungan pantai juga dibangun karena orang-orang  yang tinggal di sana kita percayakan untuk menjaga pantai itu. Pantai yang panjangnya mencapai sepuluh kali lingkaran bumi ini merupakan pantai terpanjang didunia.

"Tidak mungkin kita menyuruh Angkatan Laut untuk menjaga pantai yang begitu panjang," ujar Daoed.

Pembangunan tidak bisa hanya didasarkan pada ilmu ekonomi atau financial cost-nya saja tapi juga oportunity cost. Hal itu tentu tidak menjadi keputusan pusat, melainkan harus dibicarakan dengan orang setempat, menyangkut kesempatan yang bakal hilang dan kesempatan yang akan diperoleh.

Sudah lebih dari dua jam Daoed mengeluarkan energinya untuk berbicara. Namun saya tak melihat ada perubahan dalam nada bicaranya. Tak ada serak atau terbatuk. Tetap lantang dan terdengar jelas hingga ke ujung ruangan yang berjarak sekitar 5 meter. Bahkan ia sendiri berpesan bahwa saya tak perlu menyediakan alat pengeras suara.

Selly Sumartini yang tampak selalu mengamati setiap gerak-gerik Daoed, ingin tahu makanan apa yang dikonsumsi keluarga itu? Dalam bayangannya ketika membaca buku Emak, pasangan Daoed dan isteri diperkirakan sudah sepuh. Tak salah duga karena dari segi umur Daoed dan istrinya masing-masing sudah mendekati usia 80 tahun.

Resep mereka masih terlihat segar adalah faktor pikiran. Bagi Daoed yang sudah harus mengurangi garam karena penyakit jantung koronernya dan Soelastri yang harus menjauhi gula, termasuk susah untuk menyantap makanan yang lezat. Bahkan sebagai orang Medan ia megisahkan merasa cukup makan dengan sambal dan ikan asin.

"Tidak selalu dalam bentuk makanan. Tapi lebih cenderung ke faktor pikiran," katanya mantap.

Menjawab Ambri Rahayu, yang bertanya soal kaitan bakat dalam menulis, Daoed berkomentar, "Bukan saya tak percaya bakat. Tapi, saya hampir tak pernah memikirkan itu. Yang penting tulislah apa yang ada di pikiran kita, lalu bacalah. Sudah enak atau belum. Setiap gagal, coba lagi. Menulis itu bisa dikembangkan, asal kita tahu untuk apa kita berbuat itu."  

Entah ada hubungannya dengan soal tulisan atau tidak. Tapi Imelda, alumnus Narasi I, lebih tertarik bertanya soal apa yang membuat Soelastri jatuh cinta dengan Daoed. Pertanyaan yang membuat semua tergelak termasuk Daoed.

"Wah, malah saya belum pernah tanya itu…ayo katakan, Bu," pinta Daoed.

Ternyata hal itu memang belum pernah ditanyakan sepanjang pernikahannya. Lalu, pemuda era 1950-an itupun bersiap mendengar pemaparan pujaan hatinya, yang sudah hampir 50 tahun menjadi teman hidupnya, suka dan duka. Kedua tangannya dibiarkan menggantung di sandaran kursi. Santai namun serius.

Sesaat suasana hening. Semua menunggu Soelastri. Perlahan kalimat-kalimat lembut mulai terurai dari mulutnya. Beberapa pernyataan pun sering diulang sebagai bentuk penegasan.

"Bapak itu tak pernah basa-basi. Bapak orangnya tak pernah merayu atau memberi janji-janji kosong," ungkapnya.

"Ha..ha..ha…," Ibu sempat berhenti karena peserta menginterupsi dengan tawa yang terbahak-bahak.

"Bapak…. juga orang yang tidak hanya ngomong, tapi berbuat dan berusaha. Kerja keras. Itu yang saya hargai," pandangannya nampak menerawang.

"Kalau gantengnya gimana Bu?" tanya Andreas.

"Ada kandidat lain tidak Bu?" tanya Algooth Putranto.

"Ya bapak, ya ganteng, meski tak berarti ganteng banget. Tapi esensinya karena saya merasa ada kecocokan, tidak kosong, jujur dan bisa dipercaya. Bapak orang yang jujur dan bisa dipercaya. Kalau yang lain-lain itu hanya suka plirak-plirik, janji-janji, itu kosong. Itu ndak saya reken. Udah, toh," kata Soelastri.

Tirai masa lalu sudah dilipat lagi. Untuk dikemas dalam kesetiaan dan saling menghargai di sepanjang waktu mereka di dunia. Soelastri kadang mengalah untuk Daoed, dan Daoed kadang mengalah untuk Soelastri. Ada yang dipertaruhkan dan ada yang didapat. Semua pengorbanan dilakukan untuk sesuatu yang jelas dan sesuatu yang diyakini mereka. Menjaga komunikasi dan menghargai perbedaan menjadi salah satu faktor yang membuat mereka fresh di usianya yang sudah hampir 80 tahun.

Sunday, June 17, 2007

HH dan Gerakan Syahwat Merdeka

Oleh Taufiq Ismail
Jawa Pos

"Para penulis berpaham neo-liberalisme merupakan bagian dari Gerakan Syahwat Merdeka, yang mendapat angin sejak masa reformasi 1997 di Indonesia."


DI Jawa Pos, Ahad (6/5/2007) Hudan Hidayat (HH) menulis artikel "Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya". Susah saya memahami tulisan itu. Jalan pikirannya melompat-lompat dengan alur logika yang ruwet. Cerpenis ini tidak setuju dengan isi pidato kebudayaan Taufiq Ismail, "Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka" pada 20 Desember 2006. HH menyebut saya menafsir Serat Centhini dan mengutip Nick Carter. Padahal sama sekali saya tak menyebut keduanya. Dalam pidato itu saya menyebutkan tentang kecenderungan penulis fiksi akhir-akhir ini yang suka mencabul-cabulkan karya.

Daripada merespons tulisan yang susah dibaca itu, ada serangkaian rencana kegiatan menarik yang saya sarankan dilaksanakan HH sebagai seorang penulis fiksi. Rangkaian kegiatan ini merupakan suatu bentuk sosialisasi karya ke masyarakat, terdiri dari empat tahap. Tujuannya adalah untuk memperjelas posisi sebagai penganut paham neo-liberalisme dari HH dan kawan-kawannya. Para penulis berpaham neo-liberalisme ini bagian dari Gerakan Syahwat Merdeka, yang mendapat angin sejak masa reformasi 1997 di Indonesia.

Perlu dijelaskan bahwa tentulah pelaku kegiatan ini langsung penulisnya, berhadapan dengan masyarakat. Penulis yang saya maksud terdapat di dalam naskah pidato 20/12/06. Mereka kelompok pengarang SMS (Sastra Mazhab Selangkang), yaitu sastrawan (atau setengah sastrawan) yang asyik dengan masalah selangkang dan sekitarnya. Kelompok SMS ini, yang berkembang subur sejak 1997, lebih tepat disebut sebagai kelompok penulis Fiksi Alat Kelamin (FAK), karena mereka gemar dan asyik menulis mengenai alat kelamin dan fungsinya di dalam karya cerpen dan novel mereka. Alat kelamin laki-laki dan perempuan dikisahkan dengan detil cara bekerjanya, yang berserakan di dalam karangan mereka. Dengan jalan pikiran serupa dan jumlah aktivis lebih dari lima orang, dapatlah mereka menyebut diri sebagai sebuah angkatan penulis.

Tahap pertama, sosialisasi awal adalah penulis Angkatan FAK mengumpulkan keluarga terdekat mereka, yaitu suami atau istri, anak-anak, ayah kandung, ibu kandung, mertua lelaki, mertua perempuan, ipar, keponakan, sepupu dan pembantu rumah tangga di ruang tamu. Lalu dia membacakan karyanya di depan seluruh keluarga. Karya yang dibaca tentulah yang paling banyak menyebut alat kelamin. Lalu catatlah bagaimana reaksi keluarga terdekat ini. Lakukan evaluasi.

Tahap kedua, sosialisasi berikutnya dilakukan di lingkungan RT-RW, dengan tetangga dekat, sekitar 5-10 rumah, 20-30 orang. Lakukan berbarengan dengan arisan atau acara ulang tahun. Undang Pak Camat. Supaya ada variasi gaya, dua penulis Angkatan FAK membacakan karya mereka. Untuk pengeras suara pakai alat karaoke. Yang ideal dua penulis FAK ini satu laki-laki, satu perempuan, sehingga dalam dramatic reading bisa melakukan simulasi. Catatlah bagaimana reaksi para tetangga itu. Lakukan penilaian.

Tahap ketiga, sosialisasi dengan mengambil tempat di sekolah atau di kantor. Supaya relevan, sebaiknya dikaitkan dengan suatu hari penting seperti Hari Pendidikan Nasional atau sebagai selingan hiburan acara halal bihalal atau perayaan Natal. Tamu utama adalah guru (SMP atau SMA) dan teman sekantor. Undang juga kawankawan lama alumni SMA atau universitas. Hadirin 40-50 orang. Sediakan ilustrasi musik. Yang membaca karya 6 penulis FAK, dan usahakan agar berimbang 3 jantan 3 betina (agak susah karena penulis FAK terbanyak perempuan). Kalau bisa, bagus, karena bisa demonstrasi orgy. Luangkan waktu untuk acara tanya jawab. Catat pula bagaimana reaksi guru-guru sekolah atau rekan kerja sekantor itu. Bikin evaluasi.

Tahap berikutnya berbentuk sosialisasi besar-besaran, yang lebih merupakan unjuk kekuatan agar penulis neo-liberal tidak diremehkan secara nasional. HH dkk. sebagai komponen Gerakan Syahwat Merdeka tidak akan sukar mendapat penyandang dana untuk kegiatan ini. Paling mudah, mintalah sponsor perusahaan penyebar penyakit akibat nikotin.

Tahap keempat, undanglah seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka berkumpul melakukan show of force seminggu di ibu kota. Komponen itu terdiri dari pembajak-pengedar VCDDVD porno, redaktur majalah cabul, bandar-pengguna narkoba, produsen distributor-pengguna alkohol, penulis pengguna situs seks di internet, germo pelaku prostitusi, dokter spesialis penyakit kelamin, dokter aborsi, dan dokter psikiatri. Bikin macam-macam acara sosialisasi. Penulis FAK beramai-ramailah baca karya di depan publik dengan peragaannya. Mintakan pelopor penulis Angkatan FAK Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu tampil lebih dahulu baca cerpen. Lalu adakan promosi buku kumpulan cerpen dan novel FAK dengan diskon 40 persen. Catatlah bagaimana reaksi publik. Tarik kesimpulan.

Dalam evaluasi terakhir sehabis tahap keempat, tim dokter psikiatri akan menentukan diagnosis terhadap para pasien penulis Angkatan FAK, sampai seberapa parah sindrom patologis kejiwaan mereka. Terutama dalam kasus klinis nymphomania, overproduksi kelenjar hormon kelamin dan obsesi genito-philia, yaitu cinta berlebihan pada alat kelamin, termasuk adiksi pada onani-masturbasi. (*)


Taufiq Ismail, penyair Angkatan 66

Wednesday, June 13, 2007

Prejudice, Ignorance, Inequality


A scene at the animated television series Justice League Unlimited shows a Greek god telling Wonder Woman that people will always have massacres, bloodlust or slaughters as long as there are "prejudice, ignorance and inequality."

Ares, the ancient Greek god, just lost a war he helped instigate when telling the winning Wonder Woman, "But I'll be back and sooner than you think. Wherever there's prejudice, ignorance, inequality, I'll be there."

Standing right in front of Ares, Wonder Woman coldly replied, "And I'll be waiting."

I like to learn from that scene. When crisscrossing Indonesia and Timor Lorosae over the last four years, from Aceh in northern Sumatra to Papua near Australia, I visited many mass graves and researched many slaughters under both the Dutch and Indonesian rules over the last four centuries. Ares' statement is relevant to this archipelago.

Unfortunately, Wonder Woman's presence is only fictional. Wonder Woman, whose real name is Diana Prince, is a founding member of the Justice League Unlimited. Other DC Comic characters in this series include Batman (Bruce Wayne), Flash (Wally West), Green Lantern (John Stewart), Hawkgirl (Shayera Hol), Martian Manhunter (J'onn J'onzz) and Superman (Clark Kent).

In Greek mythology, Ares or Ἄρης or Άρης is the son of Zeus and Hera. Though often incorrectly referred to as the Olympian god of war, he is more accurately the god of savage war, or bloodlust, or slaughter personified.

Let me give you one simple example. In October 1999, a contentious letter began circulating around Ternate and Tidore that shifted attention from a land dispute in the Malifut area in Halmahera to the religious aspects of the conflict. The letter was addressed to the “Head of the Halmahera Synod in Tobelo” from the Synod of Maluku.

This letter contained plans for the removal of Muslim Makian settlers from Halmahera and the establishment of Christian control over the island and its wealth. Muslim readers saw the letter as evidence of the church’s role in the violence in Malifut. It also drew a link between the events in Kao-Makian village war and the sectarian violence in Ambon. Kao is predominantly Christian although Kao Muslims also took part in battling the Makian settlers.

The letter was signed by “Semi Titaley.” There were many signs that the letter was a questionable one. It has no official church letterhead. Sammy P. Titaley also usually used “S.P. Titaley” plus his academic title “S.Th.” when signing a church document. The Protestants churches implicated in the letter, GPM and GMIH, denied its authenticity and quickly released statements that decried it as a blatant attempt at provocation.

The Evangelical Church of Halmahera (GMIH), the immediate successor of the Dutch mission church, has long held a near monopoly over Protestant Christianity in North Maluku. It remains the dominant church in most of North Maluku with the exception of Tidore, Obi and Bacan, which are under the Protestant Church of Maluku (GPM).

Muhammad Amin Faaroek, an elder in Tidore, told me that when he received the letter he saw the signature to be a fake. “It doesn’t look like Sammy Titaley’s signature,” Faaroek said. That fake letter, however, succeded in triggering a sectarian conflict between the Muslims and the Christians in Tidore, Ternate, Halmahera etc, killing more than 6,000 people and dividing the society along religious lines. Sometimes I suspected Ares was walking somewhere in Tidore or Ternate when that letter circulating.

The scene took place in Justice League Unlimited Season 1 Episode 4 entitled "Hawk and Dove." In the series, Ares was told to create a bloodlust between two peoples. He pretended to be an arms dealer, selling arms to both sides and hoping the war will increase his benefit. Wonder Woman and her colleagues got involved in the battles, telling the warring sides that they were being used by Ares. Finally, Wonder Woman could stop the war and confront Ares. She told Ares not to do the arms dealing again.

Justice League will never be present to stop violence in Aceh or Papua or the Malukus. But Ares' statement about prejudice, ignorance and inequality always remind me about the wars in the Malukus, Acheh, Minangkabao, Java, Borneo, Minahasa, Poso, East Timor, Papua et cetera. In the summer of 1965, a so-called Gilchrist document also circulated in Jakarta about a Council of General prepared to conduct a coup against President Sukarno. It prompted the September 30 Movement to kidnap and later to kill several Army generals in Jakarta, triggering a massive manslaughter in Java and Bali. The document, an alleged letter from the British Ambassador to Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, revealed the British were working with the CIA to help the Council of Generals to supervise Sukarno's policies. Many wars began with rumors, fake letters or anonymous messages.

Perhaps, we could not help to fight prejudice, ignorance and inequality in this part of the world. But we could always remind ourselves to be careful when finding anonymous messages. Ares is a real presence in many parts of Indonesia while the Justice League is only on our television screens.

Menjawab Agung Dwi Hartanto dari Indexpress


Dengan hormat,

Saya minta masukan beberapa rekan saya sebelum menjawab permintaan wawancara dari Indexpress untuk proyek "Seabad Pers Kebangsaan" atau "Seabad Pers Indonesia." Kami dengan senang hati menjawab pertanyaan Anda. Kami juga membaca beberapa laporan Indexpress di harian Jurnal Nasional. Rasanya elok juga organisasi Pantau dipilih masuk dalam 365 media yang diberi label "kebangsaan" ini.

Namun kami perlu mengungkapkan keraguan kami terhadap metodologi kerja Indexpress maupun pemilihan tahun 1907. Anda menjelaskan kepada saya, "Medan Prijaji sebagaimana diketahui adalah pers yang sejak pertama terbit diawaki pribumi. Tirto Adhi Soerjo juga yang mendirikan NV Medan Prijaji."

"Tjahaja Siang, kalau kami tak keliru, sebelum diawaki pribumi menjadi milik zending Belanda. Demikian juga dengan Soerat Chabar Betawi. Koran ini bukan milik pribumi. Tirto juga mengadvokasi rakyat Hindia Belanda, meskipun dirinya keturunan Jawa. Terutama sepak terjangnya mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah. Hingga akhirnya organ ini tersebar di pelbagai daerah di Hindia Belanda. Sebelum akhirnya tanah dan air itu disebut Indonesia."

Saya menganggap tidak ada masalah dengan memilih Tirto Adhi Soerjo. Dia penerbit yang berani melawan ketidakadilan pada zaman Hindia Belanda. Pengarang Pramoedya Ananta Toer sudah menulis baik sekali soal Tirto Adhi Soerjo. Namun penelitian Indexpress ini bermasalah ketika mengabaikan wartawan lain dengan dasar Tirto dan Medan Prijaji (1907) adalah "pribumi." Dasar pemilihan ini bisa mengarah pada rasialisme.

Benedict Anderson dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api menulis bahwa pada awal abad XX, "Koran mulai tumbuh di ampir setiap kota jang berarti, mirip tjendawan dimusim hudjan. Timbullah djagoan2 masa media pertama di Hindia Belanda, termasuk diantaranya Mas Tirto, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, Soewardi Soerjadingrat, ter Haar, Mas Marco, Kwee Kek Beng, dan J.H. end F.D.J Pangemanann pakai dua 'n'."

"Timbul djuga djago2 pers Belanda, termasuk Zengraaff, jang dengan keras membela pengusaha swasta sampai ditakutin pemerintah kolonial sendiri, dan D.W. Beretty, seorang Indo keturunan Italia-Djawa Jogja, jang selain mendirikan persbiro pertama di Hindia Belanda --Aneta, Pakdenja Antara-- djuga menerbitkan madjalah radikal-kanan, berdjudul De Zweep (Tjamboek)."

Anderson menulis adanya keragaman dunia media yang mulai tumbuh subur pada awal abad XX di Hindia Belanda. Definisi pribumi untuk suasana macam itu akan menimbulkan dampak yang tidak tepat. Bila kriteria "pribumi" ini dipakai untuk menerangkan suratkabar dan "kebangsaan" Indonesia, sebelum dan sesudah Medan Prijaji, bisa kacau-balau penelitian ini.

Sekadar contoh. Kalau Anda perhatikan thesis Daniel Dhakidae di Universitas Cornell, Anda akan membaca setidaknya tiga suratkabar sekarang --Kompas, Sinar Harapan dan Tempo-- yang punya cikal bakal "non pribumi." Djawa Pos di Surabaya didirikan The Chung Sen, seorang penerbit Tionghoa, pada 1949 sebelum dibeli PT Grafiti Pers, yang memiliki saham Tempo, pada 1982. Tidak konsisten dengan kriteria "pribumi" bila Anda tak memasukkan Kompas, Sinar Harapan dan Tempo dalam "Seabad Pers Indonesia." Tapi kalau memasukkan mereka, Anda mengingkari keberadaan suratkabar-suratkabar Tionghoa yang terbit sebelum Medan Prijaji.

Tjahaja Sijang di Minahasa, sebelum diawaki "pribumi," memang milik Nederlandsch Zendeling Genootschap, sebuah lembaga zending Belanda. Namun NZG adalah lembaga yang melahirkan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIH). Pengaruh GMIH di Minahasa setara dengan Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa. Saya kira mengabaikan Tjahaja Sijang, dengan alasan ia milik zending Belanda alias "non pribumi," akan membuat wartawan di Minahasa bertanya-tanya. Tjahaja Sijang (1868) terbit jauh lebih awal dari Medan Prijaji (1907). Anda bisa baca dalam penelitian David Henley Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indie tentang besarnya pengaruh Tjahaja Sijang.

Kalau mau mencari data siapa yang terbit lebih awal, tanpa memberi label "pribumi" atau "Indonesia" atau kebangsaan, Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia menyebut suratkabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, atau sekitar 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia. Mengapa patokannya bukan 1744?

Mungkinkah soal bahasa Belanda? Saya juga meragukan argumentasi yang mensyaratkan pakai bahasa Melayu. Claudine Salmon dalam Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annonated Bibliography, menyebut suratkabar-suratkabar berbahasa Melayu, antara lain milik penerbit Tionghoa, misalnya Soerat Chabar Betawie yang terbit di Batavia pada 1858 atau sekitar 50 tahun sebelum Medan Prijaji?

Contoh lain. Harian Flores Pos (1999), yang Anda pilih, juga milik Societas Verbi Divini (SVD), sebuah organisasi Katolik dengan pusat di Roma. SVD adalah organisasi multinasional. Bisa jungkir balik kalau mau dicari dia pribumi mana. Cikal bakal Flores Pos adalah majalah Bintang Timoer (1928) dan dwimingguan Bentara (1948). Bintang Timoer dan Bentara juga punya komponen "non pribumi."

Contoh lain. Kalau kategori "pribumi" juga dipakai di Papua, bagaimana Anda memandang Eri Sutrisno? Dia orang Jawa, sekarang pemimpin redaksi mingguan Suara Perempuan Papua. Eri bekerja keras menjadikan Suara Perempuan Papua jadi mingguan paling bermutu di Papua. Namun di Papua ada sentimen terhadap "pendatang" atau "rambut lurus" (istilah ini keponakannya "non pribumi"). Rekan-rekan Papua di Suara Perempuan Papua, misalnya Joost Willem Mirino, tentu saja, tak membenarkan rasialisme ini. Namun bagaimana menyusun logika "pribumi" Indexpress terhadap Eri Sutrisno mengingat orang Jawa dianggap bukan penduduk asli Papua?

Eri mantan redaktur majalah Pantau. Ada lagi mantan redaktur Pantau, Irawan Saptono, juga orang Jawa, lama bekerja di harian Suara Timor Timur pada 1990an zaman pendudukan Indonesia. Kini Timor Lorosae sudah merdeka. Irawan juga lama kembali ke Jakarta. Apakah Irawan tak berjasa dalam pengembangan jurnalisme di Dili?

Saya tahu pasti kerja keras dan keberanian Irawan membela orang-orang Timor dari penindasan tentara Indonesia sehingga dia harus lari dari Dili. Irawan bekerja untuk melayani masyarakat Dili dengan informasi tanpa ribut soal "kebangsaan" Timor Leste. Tidakkah ini tindakan terpuji?

Ini belum lagi kalau Anda memperhatikan modal yang masuk ke beberapa perusahaan "media Indonesia" zaman sekarang, terutama televisi, yang sudah terdaftar dalam bursa saham. Bagaimana Anda bisa membedakan "modal pribumi" dan "modal asing" ketika saham mereka, setiap hari teoritis bisa jadi objek transaksi, tidak hanya di Jakarta, namun di luar bursa saham Jakarta? Seluruh dunia?

Tidakkah keadaan ini bisa menjelaskan bahwa orang-orang macam F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, G. Franscis, Multatuli, ter Haar, Kwee Kek Beng, J.H. Pangemanann, F.D.J Pangemanann dan sebagainya juga, bekerja keras menyampaikan kebenaran kepada pembaca mereka, sama dengan Tirto. Mereka tak bisa diabaikan dengan mengambil Medan Prijaji sebagai tonggak media yang menyuarakan "kebangsaan" Indonesia.

Ide soal nation-state juga bukan "pribumi" di Hindia Belanda. Ide ini mulanya berkembang di Perancis dan Amerika Serikat lebih dari 200 tahun lalu. Ide ini menyebar tanpa mengenal batas kerajaan, etnik, agama maupun lautan. Ia juga mendarat di Hindia Belanda dengan segala macam tafsir dan variasi. Kini faham kebangsaan inilah yang mengatur hubungan dunia internasional. Saya pernah bikin kritik soal pemahaman nasionalisme di kalangan media Jakarta saat tsunami Aceh untuk jurnal Nieman Reports.

Contoh-contoh ini bisa diperpanjang. Saya anjurkan Anda membaca sebuah paper dari Endy M. Bayuni, pemimpin redaksi The Jakarta Post, orang Minangkabao kelahiran Jakarta, sekolah di London, yang menyatakan bahwa sebagai wartawan bisa meliput keragaman bila newsroom kita sendiri beragam. Dalam Covering Diversity in Indonesia -- It All Begins in the Newsroom, Endy mencontohkan adanya keragaman newsroom di Jakarta. Dia mengambil contoh harian Kompas dimana ada orang Jawa, Arab, Tionghoa, Katolik, Muslim dan sebagainya.

Saya kira penelitian Indexpress akan lebih baik bila metodologinya diperbaiki dengan memperhatikan keragaman ini. Tradisi newsroom media mainstream di Indonesia adalah keragaman. Sejak awal ia campur baru, ada Belanda, Itali, Jerman, Inggris, Minahasa, Hokkian, Hakka, Jawa, Sunda, Batak dan seterusnya. Menariknya, kebiasaan ini berjalan terus, termasuk untuk Jurnal Nasional dimana ada modal uangnya Putera Sampoerna (Tionghoa) plus "moral support" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Jawa). Ada juga Ramadhan Pohan (Batak), Taufik Rahzen (Sumbawa), Shaun Levine (Amerika) dan seterusnya.

Kalau pun Anda sudah terlanjur masuk dalam penelitian ini, tanpa bisa mengubah metodologinya lagi, mungkin lebih tepat bila judulnya diganti "Seabad Medan Prijaji." Terima kasih.

Tuesday, June 12, 2007

Peserta Kursus Jurnalisme Sastrawi XII

Jakarta, 18 – 29 Juni 2007
Instruktur Janet E. Steele dan Andreas Harsono

Aditya Heru Wardhana, saat ini bekerja sebagai video journalist di Trans TV sekaligus aktif di Aliansi Jurnalis Independen cabang Jakarta. Ketika training broadcaster dua tahun lalu, ia mendapat tugas membaca naskah berjudul "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah. Sejak itu timbul niat ingin menulis seperti itu, yang elok dan memikat. Sejak kuliah sudah asyik membaca tulisan-tulisan di majalah Pantau. Mengikuti training jurnalisme sejak tahun 2002.

Adriana Sri Adhiati, saat ini bekerja untuk Down to Earth sebagai researcher, campaigner and websiter co-administrator (part-time) di London. Sejak tahun 2005 selalu mengkampanyekan isu-isu yang berhubungan dengan agrarian reform, policy reform in natural management and ecological justice in Indonesia.

Asep Mohammad BS, sejak tahun 2000 bergabung dengan majalah Swa sebagai wartawan. Pengalaman menulis sejak April 1999 ketika menjadi Kepala Publikasi dan Dokumentasi di organisasi non pemerintah Pusat Ilmu dan Kajian Perbukuan. Artikelnya sering dimuat diberbagai media masa seperti harian Pikiran Rakyat, Suara Karya, Galamedia, Suara Publik dan Risalah.

Edy Purnomo, setelah lulus dari sastra Universitas Indonesia tahun 1991, Edy kemudian mulai bekerja di majalah Manajemen Produktivitas hingga 1993. Tahun 1993-2000 bekerja pada harian Bisnis Indonesia, harian Indonesia Shangbao tahun 2001-2002. Sejak tahun 2002 sampai sekarang bekerja di harian Investor Daily.

Emmy Kuswandari, bergabung di harian sore Sinar Harapan sejak 2001. Semasa kuliah sudah akrab dengan jurnalistik karena mengambil jurusan jurnalistik dan ikut andil pada majalah kampus di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Emmy tercatat sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen, Coordinator for Gender Imago Dei Studi, anggota Gerakan Antikekerasan terhadap Perempuan Indonesia. Mendapat "Rule of Law and Independence Press Fellowship in Massachussets" di dekat Boston pada 2000.

Endah Imawati, bekerja di media sejak tahun 1994 di tabloid anak-anak Hoplaa. Baru tahun 2000 menulis untuk harian Surya Surabaya (masih dalam satu grup). Kebanyakan dia bercerita tentang keluarga, remaja, sedikit gaya hidup, perjalan, dan feature. Dia mengatakan tak pernah menulis tulisan yang berat. Karya yang dihasilkannya antara lain kumpulan cerita anak, novel remaja dan cerita bersambung.

Frans Obon, sejak 1994 bekerja di mingguan Dian. Bergabung dengan harian Flores Pos sejak didirikan tahun 1999 oleh Yayasan Dian dan menjabat sebagai Manajer Liputan sampai 2003. Sejak 2003 sampai sekarang menjadi Manajer Produksi (Pracetak). Secara rutin dia menulis untuk Bentara (Tajuk Flores Pos). Selain menjadi wartawan, Frans juga mengajar di Universitas Flores di Ende.

Frans S. Imung, mulai mengenal dunia jurnalistik pada awal 1997. Pertama menjadi wartawan pada majalah ekonomi, dengan fokus pasar modal, Uang & Efek (almarhum). Selanjutnya ikut membidani lahirnya majalah Investor pada masa krisis tahun 1998. Saat ini sebagai editor di majalah Investor.

Hillarius U Gani, pernah menjadi reporter Lampung Post sebelum akhirnya bergabung dengan Media Indonesia tahun 2001 sampai sekarang. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia pernah mengikuti diklat jurnalistik yang diadakan Media Indonesia (2001), pelatihan jurnalistik pemula oleh LP3Y Jogjakarta tahun 2002 dan Jurnalistik oleh UNDP di Bogor.

Lisa Suroso, saat ini menjabat sebagai redaktur majalah Suara Baru. Menulis untuk media sejak Desember 2004. Dia juga pengurus pusat Perhimpunan Indonesia Tionghoa bagian humas. Dia banyak terlibat dalam kegiatan sosial organisasinya dalam bencana alam di Aceh dan Flores.

Rozzana Ahmad Rony, panggilannya Nana, mengetahui kursus ini dari temannya, Alexander Mering, redaktur harian Borneo Tribune. Ia merupakan satu-satunya peserta dari Malaysia. Sejak tahun 2006, dia bekerja sebagai journalist di Utusan Sarawak, sebelumnya tahun 2003-2006 bergabung di Sarawak Tribune. Kegiatan lainnya adalah menjadi anggota Kuching Journalists Association dan anggota Sarawak Women for Women Society.

Said Abdullah Dahlawi, mulai menulis secara profesional sejak menjadi wartawan di harian Sijori Mandiri, Batam April 2005. Sejak mahasiswa suka mengirimkan artikel yang diterbitkan Radar Mojokerto dari Kelompok Jawa Pos di Jombang, Jawa Timur dan sering diminta untuk mengisi artikel di bulletin Motive yang dikelola secara independen oleh mahasiswa.

Stefanus Akim, merupakan salah satu wartawan Equator dari Kelompok Jawa Pos, yang keluar kemudian mendirikan harian Borneo Tribune di Pontianak. Borneo Tribune sendiri mulai launching tanggal 19 Mei 2007. Sejak duduk di bangku SMA, Akim sudah bergelut dibidang jurnalistik sebagai pemimpin redaksi majalah Sidus, dilanjutkan ketika kuliah aktif sebagai anggota dan pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Tanjungpura di Pontianak.

Sunaryo Adhiatmoko, mulai menulis sejak di bangku SMA, belajar jurnalistik di Institut Ilmu Sosial Politik IISIP Jakarta. Pada tahun 2000 Sunaryo ikut merintis pendirian Tabloid Fikri. Juga membuat INSANI Islamic Digest majalah Islam popular. Sekali waktu pakai nama pena Arsa Wening. Menurutnya, ia menulis untuk barisan orang-orang yang kalah, kumpulan feature tentang orang-orang kecil terangkum dalam buku Merajut Masa Depan yang Terkoyak. Kini aktif menulis untuk Lembar Ziswaf di Republika yang terbit setiap Jumat selain sebagai Public Relations Manajer Dompet Dhuafa Republika.

Yayan Ahdiat, sejak 1989 menulis di Suara Pembaruan, Pelita, Jayakarta, Berita Buana, Suara Karya, Republika dan Media Indonesia. Tahun 1993-1998 bergabung di Majalah VISTA-TV, kemudian menjadi redaktur majalah Sportif tahun 1998-2000, redaktur Lippostar.com tahun 2000-2002. Tahun 2002 sampai sekarang menjadi redaktur pelaksana View Magazine.

Yuyun Wahyuningrum, mahasiswa penerima beasiswa di Universitas Mahidol, Thailand mengambil jurusan Human Rights and Social Development. Saat ini sedang mengerjakan tesisnya di Jakarta dan tinggal bersama ibunya di daerah Kalibata. Telah bekerja di isu-isu sosial yang berkenaan dengan gender, hak azasi manusia, pembangunan, perempuan dan anak sejak tahun 1998. Yuyun tidak pernah menulis untuk media, kebanyakan dia menulis untuk esai akademis di jurnal bukan di media massa.

-- Dayu Pratiwi

Monday, June 11, 2007

Kesultanan Banten


Jumat ini Sapariah dan aku pergi berlibur di daerah Banten. Tujuannya, melihat-lihat sisa-sisa kesultanan Banten, yang mengalami perang dengan Belanda, antara 1813 dan 1832. Kami menginap di satu hotel kecil di kota Serang, tempat urban paling dekat untuk mengunjungi Banten.

Daerah Banten memang memiliki beberapa kota, termasuk Cilegon (industri baja), Merak (pelabuhan Sumatra-Jawa) serta Anyer dan Carita, yang dikenal sebagai tempat pesiar di Selat Sunda, serta Serang (ibukota provinsi). Kami menginap di Hotel Taman Sari, di pusat kota Serang. Hotel kecil, namun terbesar di Serang, dengan harga Rp 120,000 semalam kamar standar. Kami membeli obat gosok anti-nyamuk sesudah melihat serangga ini banyak berterbangan dalam kamar.

Sabtu pagi, kami naik mobil umum menuju apa yang disebut "Banten Lama." Ia makan waktu sekitar satu jam. Perjalanan yang panas sekali. Daerahnya lebih merupakan daerah nelayan terpencil, tanpa hotel satu pun. Aku sama sekali takkan percaya, bila tak baca buku, bahwa daerah ini lima ratus tahun lalu merupakan pelabuhan yang lebih besar dari Sunda Kelapa, yang kini jadi bagian dari metropolitan Jakarta. Banten bahkan dulu dianggap setara dengan Paris.

Bangunan, tepatnya fondasi bangunan, yang paling mencolok mata di Banten Lama adalah apa yang disebut Surosowan. Ini dulunya adalah benteng kesultanan Banten. Dulu ia disebut Gedung Kedaton Pakuwan, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Temboknya yang sangat tebal ini dibuat belakangan. Ia terbuat dari batu dan batu karang,dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf (1570-1580). Tembok inilah yang tersisa. Tebalnya kira-kira 0.5-2 meter dan tingginya sekitar 5 meter. Ia memiliki empat pintu masuk. Semua bangunan sudah hancur. Hanya sisa satu kolam air. Namun tembok-tembok tebal masih menyisakan ruang-ruang penjagaan.

Bangunan yang paling banyak dikunjungi orang adalah Mesjid Agung, yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Di sisi kanan mesjid adalah bangunan tambahan, dua lantai yang disebut bangunan Tiyamah. Gedung ini dibangun oleh arsitek Hendrik Lucasz Cardell. Ia dipakai untuk tempat musyawarah. Kini sebagian gedung dipakai untuk pemakaman (dalam ruang) bangsawan-bangsawan Banten. Sapariah dan aku sempat naik ke lantai dua. Baunya alamak! Ternyata atap mesjid jadi sarang kelelawar.

Aku tertegun melihat keadaan situs bersejarah ini. Banyak kerusakan pada mesjid maupun Surosowan. Permintaan sumbangan ada dimana-mana. Pengemis juga membuntuti kami dari depan hingga belakang. Tubagus Nasruddin, kepala harian kompleks Mesjid Agung, mengatakan bahwa mereka ingin Banten dibangun "secara jujur dan bersih." Dia mengatakan pemerintah Indonesia kurang memperhatikan pemeliharaan daerah ini. Mereka pernah minta orang Badui mengusir kelelawar namun tak berhasil.

Dalam areal mesjid juga ada Menara Mesjid, juga dibangun oleh Cardell. Menurut Journal van de Reyse (De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie onder Cornellis de Houtman 1595-1597), diperkirakan menara ini sudah ada pada pertengahan abad XVI. Ia diperkirakan dibangun antara 1560 dan 1570. Sapariah dan aku sempat naik ke atas menara. Tangganya terbuat dari batu. Sangat sempit. Hanya selebar 40-50 cm. Rasanya sesak di dada harus jalan menaiki tangga sesempit ini.

Kami juga melihat sisa-sisa mesjid Pacinan Tinggi, terletak beberapa ratus meter belakang Mesjid Agung. Menurut buku Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama (1987), terbitan Yayasan Pembangunan Banten, yang dibantu Ford Foundation, mesjid ini kemungkinan besar dibangun sebelum Mesjid Agung. Ia disebut Pacinan tampaknya karena ia dulunya dibangun oleh komunitas Cina. Kampungnya dulu juga dinamai Pacinan. Kini disebut Dermayon karena banyak orang asal Indramayu. Dalam halaman mesjid Cina ini juga ada satu makam kuno dengan karakter Cina. Sayang, aku tak bisa membacanya walau karakter-karakter ini masih bisa dibaca jelas.

Ada satu lagi sisa bangunan benteng. Namanya, Benteng Speelwijck, yang terletak di dekat pantai, tepatnya di kampung Pamarican. Sudah hancur juga tapi fondasinya masih utuh dari batu dan batu karang. Benteng ini didirikan 1685 oleh perusahaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Di bagian luar benteng ada parit buatan. Dalam benteng juga ada ruang-ruang kerja dengan ventilasi. Temboknya setebal 2 meter.

Dekat bentent Speelwijck ada klenteng Ma Kwan Im Pouw Sat. Klenteng ini, sama dengan Mesjid Agung, adalah tempat ibadah yang masih aktif. Beda dengan mesjid Pacinan. "Dulu katanya Cheng Ho pernah kesini," kata Citra Gunawan, seorang pengurus klenteng, kepada saya. Dia memperkirakan klenteng ini dibangun sekitar 1652 di daerah Pacinan. Lalu ia pindah ke tempat sekarang, Pamarican, pada 1774. Klenteng ini sempat dipugar lagi 1932. Kini ia jadi tempat ibadah tiga "aliran agama" yaitu Taoisme, Buddha dan Khong Hu Chu. Secara Buddha, namanya adalah Vihara Avalokitesvara.

Bicara Banten juga mengingatkan aku pada buku Simon Winchester Krakatoa: The Day the World Exploded - August 27, 1883. Ledakan hebat ini disusul tsunami yang membunuh hampir 40,000 orang di Pulau Jawa dan Sumatra. Mayat-mayat korban dibawa ombak hingga ke Zanzibar. Dampaknya terasa hingga Perancis. Winchester menulis bahwa ledakan Krakatoa juga menimbulkan banyak perubahan sosial, ekonomi dan politik. Ia membantu memicu munculnya militansi para petani Jawa terhadap orang Belanda.

Menariknya, baik di klenteng maupun mesjid, aku diberitahu orang-orang bahwa tempat-tempat ibadah itu tidak rusak ketika tsunami menghantam Banten pada 1883. Menurut sebuah lembaran kuning pemberian Citra Gunawan, "Air bah mengelilingi setinggi pohon kelapa namun keajaiban telah terjadi. Air bah tersebut tidak memasuki ruangan vihara." Orang-orang disini bangga tempat-tempat ini selamat dari tsunami Krakatoa.

Kami seharian mengelilingi Banten Lama. Banyak sekali situs kuno. Ada jembatan tarik, jalan-jalan lebar, ada makam-makam "keramat" maupun kuburan orang Belanda. Aku percaya bahwa lima ratus tahun lalu, kota ini memang termasuk besar dan modern, bila melihat ragam dan besaran bangunan yang ada. Perang dengan Belanda, antara 1813 dan 1832, membuat sebagian besar bangunan hancur. Ledakan Krakatoa 1883 menciptakan kerusakan raksasa. Mungkin dua hal ini ikut mengubah Banten jadi desa nelayan sepi, yang hanya ramai dikunjungi peziarah makam-makam kuno dan vihara itu.

Thursday, June 07, 2007

Pertanyaan soal metodologi Indexpress

Dear Agung,

Terima kasih untuk emailnya. Kami senang Pantau masuk kategori organisasi yang diperhitungkan dalam proyek "Seabad Pers Indonesia" buatan Indexpress. Ini suatu penghargaan buat Pantau mengingat dalam 100 tahun terakhir ini ada ribuan, bila tidak puluhan ribu, organisasi media di kepulauan yang kini disebut "Indonesia."

Ada beberapa rekan saya, termasuk Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, menganjurkan saya melihat dulu konsep dan metodologi seleksi ini sebelum menjawab pertanyaan Anda. Mereka alumni sekolah sejarah. Mereka juga pernah menerbitkan buku kumpulan pidato Soekarno Revolusi Belum Selesai. Mereka berpendapat setiap penulisan sejarah harus diketahui konsep dan metodologinya. Mengapa Pantau dan Flores Pos yang masuk kategori Indexpress? Mengapa bukan mingguan Modus? Suara Perempuan Papua? Harian Borneo Tribune?

Anda menyebut Bataviasche Nouvelles yang terbit 1744-1746. Mengapa patokannya bukan 1744? Mengapa bukan Tjahaja Sijang yang terbit di Minahasa sejak 1868? Atau Soerat Chabar Betawie di Batavia (1858)? Mengapa patokannya Medan Prijaji?

Saya merujuk data-data tadi dari tiga buku: (1) Abdurrachman Surjomihardjo (ed), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2002; (2) David Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indie, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, 1996; (3) Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annonated Bibliography, Association Archipel, Paris, 1981.

Anda mungkin tahu bahwa Pantau punya minat besar terhadap penulisan sejarah media. Rubrik ini sering diisi oleh Setiyono. Dalam penulisan sejarah, kami biasanya menerangkan proses kerja dengan transparan. Bisakah saya mendapatkan konsep dan metodologi penelitian ini?

Soal harian Flores Pos, saya kira sebaiknya ditanyakan langsung kepada Frans Anggal dan kawan-kawan di Pulau Flores. Pantau memang bekerja sama dengan Flores Pos namun ini tak berarti kami boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka atas nama mereka bukan?

Sekali lagi terima kasih untuk perhatiannya.


Andreas Harsono

Sumber: Email Andreas Harsono kepada Agung Dwi Hartanto pada 7 Juni 2007 soal metodologi Indexpress

Wednesday, June 06, 2007

Indexpress minta interview

Jakarta, 6 Juni 2007

Salam hormat,

Sebelumnya ijinkan saya perkenalkan diri. Saya, Agung Dwi Hartanto. Belajar di Indexpress Jakarta menjadi peneliti partikelir. Saya tahu Mas Andreas dari teman saya di Bataviase Nouvelles, Fahri Salam. Saya juga pernah ke apartemen Mas Andre beberapa bulan silam.

Seperti yang pernah saya katakan dulu, saya diminta menulis biografi singkat PANTAU. Sebenarnya saya sudah menyatakan tak sanggup. Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Maka Fahri Salam-lah yang kemudian ditunjuk. Hanya saja dia terlalu banyak pekerjaan. Akhirnya tugas itu kembali diberikan pada saya.

Untuk itu, jika Mas Andreas berkenan, saya ingin minta beberapa keterangan tentang PANTAU.

1. Sejarah PANTAU, termasuk di dalamnya pasang surut yang terjadi.
2. Para pendiri PANTAU
3. Liputan yang menurut teman-teman di PANTAU dianggap sebagai liputan terbaik
4. Selain jurnalisme sastrawi`, hal menarik lain yang terjadi di PANTAU. Mungkin yang membedakan PANTAU dengan media lainnya.
5. Bagaimana kondisi PANTAU hari ini, apa saja yang dilakukan.

Selain itu, saya dengar dari Fahri dan juga membaca dari blog Mas Andreas, saya ingin tahu tentang FLORES POS. Beberapa informasi terutama antara lain:

1. Sejarah perkembangan FLORES POS
2. Apa keterlibatan ordo SDV dalam penerbitan FLORES POS
3. Siapa yang membiayai media ini.
4. bagaimana koran lokal ini menghidupi dirinya sendiri sekaligus bersaing dengan media lokal dan nasional lain
5. bagaimana koran ini mampu membawa perubahan sosial dalam masyarakat FLORES

Informasi tersebut, sebagaimana Mas Andreas tahu, akan digunakan dalam penulisan Seabad Pers Indonesia.

Demikian, atas perhatian dan bantuan yang diberikan saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Agung Dwi Hartanto

NB: Mohon jika berkenan, jawaban pertanyaan ini tidak untuk difoward ke milis. Terima kasih.

Sumber: Email Agung Dwi Hartanto pada 6 Juni 2007 kepada Andreas Harsono

Silabus Kursus Jurnalisme Sastrawi XII

Jakarta, 18 – 29 Juni 2007


Hari ini hampir tak ada warga yang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Mereka mendapatkannya kebanyakan dari televisi, radio, SMS, telepon atau internet. Tantangan baru muncul: Bagaimana suratkabar bertahan bila mereka tak bisa lagi mengandalkan kebaruan?

Sebuah jawaban dimunculkan di New York dan sekitarnya oleh Tom Wolfe pada awal 1970an. Wolfe mengenalkan sebuah genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat novel tapi faktual. Genre ini mensyaratkan liputan dalam namun memikat. Wolfe bikin riset dengan materi-materi lama guna menawarkan jawaban ini.

Genre ini kemudian dikenal dengan nama “narative reporting” atau “literary journalism.” Sejak 1980an, suratkabar-suratkabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi membuat suratkabar tampil dengan laporan mendalam.

Pantau Jakarta mulai mengajarkan genre ini pada 2001. Pesertanya, 15 orang dengan anggapan mereka bisa optimal. Kursus ini kini berlangsung per semester, Januari dan Juni. Ia diadakan selama dua minggu, frekuensinya Senin, Rabu dan Jumat, masing-masing dua sesi sehari. Jeda satu hari dimaksudkan buat membaca dan membuat pekerjaan rumah.

Ia diampu oleh Janet Steele dari George Washington University, yang menulis buku Wars Within, serta Andreas Harsono dari Pantau, yang pernah belajar genre ini di Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard serta co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Dayu Pratiwi mengurus logistik, administrasi dan pendaftaran.

MINGGU PERTAMA oleh Janet Steele

Senin, 18 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Pembukaan: membicarakan silabus, perkenalan, bagi tugas, dan diskusi tentang jurnalisme sastrawi, tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan reportase, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, kriteria dari gerakan “literary journalism.”

Bacaan: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro“ oleh Arif Zulkifli; “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid.

Senin, 18 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi lanjutan tentang definisi jurnalisme sastrawi, dari Tom Wolfe hingga Mark Kramer, dan pengaruhnya pada perkembangan suratkabar mainstream di Amerika Serikat.

Tugas untuk Rabu: Rekamlah pembicaraan dengan seorang teman, anggota keluarga, atau seorang nara sumber. Jadikan ia sebuah monolog. Buat transkripnya, lalu disunting sehingga enak dibaca. Topiknya bisa apa saja tapi cari yang bisa memikat pembaca. Contohnya, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini. Mohon tak membuat lebih panjang dari 500 kata agar semua peserta bisa mendapat bagian membacakan karyanya di kelas.

Rabu, 20 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Bacaan: “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; sebagian dari buku “In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 “Wealthy Family, 3 of Family Slain.”

Rabu, 20 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang immersion reporting berdasarkan karya Truman Capote “In Cold Blood” serta membandingkannya dengan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Tugas untuk Jumat: Tulislah sebuah narasi dengan gaya orang pertama (“saya” atau “aku” atau “abdi” atau ”gua” atau lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan. Gunakan model “The Armies of the Night” karya Norman Mailer dimana Mailer memasukkan dirinya dalam laporannya. Bahan ini akan dibacakan di depan kelas.

Jumat, 22 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “The Armies of the Night” serta persoalan kata “saya.”

Bacaan: “Tikungan Terakhir” (laporan kematian wartawan Rudi Singgih) oleh Agus Sopian; “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin dan “The Armies of the Night” karya Norman Mailer.

Jumat, 22 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang persoalan struktur narasi, dan bagaimana memanfaatkan narasi dalam berita hangat (breaking news) dengan contoh “Tikungan Terakhir” oleh Agus Sopian dan “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

MINGGU KEDUA oleh Andreas Harsono

Senin, 25 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi soal jurnalisme dengan The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Mencari tahu di mana letak jurnalisme sastrawi. Diskusi tentang persoalan etika, pengelolaan emosi pembaca dan sebagainya.

Bacaan: “The Elements of Journalism” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; “Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh” karya Andreas Harsono. Buku Sembilan Elemen Jurnalisme terjemahan karya Kovach dan Rosenstiel disediakan dalam paket.

Senin, 25 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi lanjutan soal jurnalisme dan nasionalisme, jurnalisme dan agama, jurnalisme dan etnik, ideologi, gender, dengan contoh-contoh di Indonesia.

Bacaan tambahan: “The Ethnic Origins of Religious Conflict in North Maluku Province, 1999-2000” oleh Chris Wilson, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan” oleh Jamie S. Davidson dan Douglas Kammen, “Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)” oleh Ashutosh Varhney, Rizal Panggabean, Mohammad Zulfan Tadjoeddin.

Tugas untuk Rabu: Bikinlah deskripsi dengan padat. Manfaatkan indra penciuman, pendengaran, warna, gerakan, kasar-halus, kontras (lucu, aneh, menarik) dan sebagainya. Hindarkan klise macam “nyiur melambai” atau “angin sepoi-sepoi.” Bikin deskripsi yang akan merampas perhatian pembaca! Maksimal 500 kata.

Rabu, 27 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi struktur narasi dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey. [Andreas Harsono]

Bacaan: “Hiroshima” oleh John Hersey; “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”oleh Bimo Nugroho.

Rabu, 27 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 — Satu isu namun muncul dalam empat pendekatan. Isunya Aceh namun muncul dengan empat naskah, empat gaya, empat struktur. Perhatikan perbedaan masing-masing struktur. Perhatikan masing-masing "tokoh cerita."

Bacaan: “Orang-orang di Tiro” karya Linda Christanty; “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini.

Jumat, 29 Juni 2007 pukul 10:00-12:00 -- Mendiskusikan pekerjaan rumah, sumber anonim, referensi kedua, interview dan diskusi soal struktur.

Bacaan: “Tujuh Kriteria Sumber Anonim” serta “Ten Tips for Better Interviews.”

Jumat, 29 Juni 2007 pukul 13:00-15:00 -- Penutupan serta tanya jawab. Diskusi struktur bila ada peserta yang punya rencana bikin liputan panjang. Penyerahan sertifikat oleh Andreas Harsono.

Daftar Nama Peserta Kursus