Friday, December 31, 2021

Perjalanan


Sebuah pagi di Yosemite, California. 
Saya mengatur pemaparan perjalanan saya berdasar pada tahun penerbitan naskah. Setiap tahun saya berjalan ke tempat jauh. Ada yang sering saya kunjungi. Ada yang mungkin hanya saya kunjungi sekali.

2021
Kunjungan ke Bali menyegarkan saya, serta memberi tambahan energi buat tetap bekerja dan berjuang soal hak asasi manusia serta lingkungan hidup.

Jember kota kelahiran saya dimana saya tinggal dari 1965 sampai 1981. Saya mengunjungi kerabat sesudah hampir dua tahun pandemi.

Pangandaran, Cilacap dan Kebumen, dari makam penyanyi Nike Ardila sampai cagar alam Pulau Nusa Kambangan. 

2017
Menyelesaikan buku kekerasan etnik dan agama
Gunung Salak tempat dimana saya suka sembunyi dari keributan Jakarta. Sebuah villa pernah jadi tempat saya membaca, menulis dan berpikir. Ia dekat dari Jakarta, hanya tiga jam, bawa bekal dan diam sendirian seminggu.

Omah Tani in Bandar
Pekalongan Has a Few Things to Do

2014
Mengajar Jurnalisme di Wamena

2013
Makam Pejuang Hak Asasi Manusia Munir di Batu
Naik Kereta Api Berlin-Brussels

2012
Dari Central Park ke Harlem

2010
Melaka: Sebuah Teratak di Stadthuys
Chik Rini di Padang Halaban
A Baby was Shot to Death in Merauke
Palembang: Parkour Benteng Kuto Besak
Tokyo: Seichi Okawa
Banda Aceh: Ali Raban dan Adi Warsidi

2009
Pertama Kali Datang ke Merauke
Kembali ke Salatiga

2006
Perjalanan di Jayapura
Kepulauan Wakatobi

2005

Halmahera: Duma dan Cahaya Bahari
Tobelo, Tobelo, Tobelo
Perjalanan Ternate-Tidore
Pulau Maitara dan Pulau Tidore: Gambar Uang Rp 1,000
Jalan ke Kupang dan Pulau Rote
Wutung: Satu Desa Dua Negara
Penyu, Sukamade dan Meru Betiri
Ule Lheue Diterkam Tsunami

2004
Belajar dari Kao untuk Mamasa
Baroto Island
Miangas, nationalism and isolation

2003
Pulau Sabang: Republik Indonesia Kilometer Nol
Puri Lukisan Ubud

Monday, December 27, 2021

Tiga kawan satu angkatan sudah pergi dulu

HARI ini tak sengaja saya membuka Facebook milik Go Eng Hwie, kawan kuliah di Salatiga, yang meninggal 29 Juni lalu dalam masa pandemi. Eng Hwie dulu dikenal jagoan matematika. Dia termasuk rekan satu angkatan saya, masuk kuliah Universitas Kristen Satya Wacana pada 1984, yang lulus paling cepat. Dia lantas bekerja sebagai programmer komputer. 

Eng Hwie tampaknya jarang update Facebook. Dia tak memasang foto apapun di Facebook. Namun pada Juni 2009, ada pesan dari Harry Santoso, juga rekan seangkatan, menyapa Eng Hwie dan langsung dijawab. 

Harry cerita bahwa dia buka restoran Tayang-Suki di Jakarta. Percakapan tersebut dapat tanggapan dari Suwanto Gunawan, juga kawan sekelas kami. 

Sedihnya, Suwanto meninggal pada 15 Februari 2019 –sebelum pandemi karena kena stroke. Suwanto sedang berada dalam kamar mandi di kantornya, PT Halilintar Lintas Semesta, di Jakarta ketika kena serangan jantung. 

Harry Santoso meninggal pada 26 Maret 2020 karena virus corona. Harry meninggal di rumah sakit Pantai Indah Kapuk. 

Eng Hwie adalah orang ketiga yang meninggal dari angkatan kami, total 60 orang. 

Eng Hwie ikut reunian di Salatiga pada Februari 2019. Menurut beberapa kawan, saat reuni, dia sudah pakai kursi roda karena stroke. Saya sendiri tak ikut reuni karena sedang berada di New York. 

Sedih membaca percakapan tiga orang kawan sekelas yang semuanya sudah meninggal. Kebetulan sekali mereka bicara dalam satu percakapan dan satu dekade sesudahnya mereka meninggal, satu demi satu. 

1 Juni 2009

Harry Santoso - Eng Hwie Go
Hai. Apa kabar Eng Hwie? Kamu selama ini di mana saja? Aku sekarang di Pluit Jakarta. Salam ketemu lagi....

Eng Hwie Go
skrg di semarang,sesekali ke jkt juga kalau pas ada tugas. Salam juga

Harry Santoso
Kamu kerja apa sekarang? Aku buka restorant : Ta yang suki. www.tayang-suki.com
Kapan2 mampir ya.

Eng Hwie Go
wah hebat, udah jadi bos Harry nih,kapan2 aku pasti mampir

Suwanto Gunawan
di semarang kerja apa Hwie?

Suwanto Gunawan (duduk paling kiri, kaos hijau) dan Harry Santoso (berdiri paling belakang, ketiga dari kiri) dalam reuni kecil pada Oktober 2014 di Jakarta. 



Thursday, December 23, 2021

Perjalanan Ubud, Kuta dan Sanur

Kami sekeluarga pergi ke Bali dari Jember, sesudah menengok keluarga saya di Jember, mengunjungi Ubud, Kuta dan Sanur di Pulau Bali. Saya mencoba program work from Bali

Norman, anak saya, yang wartawan The Jakarta Post, kerja dari Canggu, dekat Denpasar. Dia langsung pergi ke Ubud dari Canggu. Saya manfaatkan kesempatan ini, menemui Norman, sekaligus bertemu dengan beberapa cendekiawan publik di Bali. 

Perjalanan dari Jawa ke Bali termasuk naik ferri Ketapang-Gilimanuk. Ia hanya 35 menit. Sopir Ahmad Nuroni Irwansyah, orang Madura dari Jember, punya pengalaman dan kenalan sepanjang Jember-Ketapang. Dia membuat pembelian tiket ferri maupun tes rapid antigen di Rogojampi, dekat pelabuhan Ketapang, berjalan cepat. Ini masa pandemi. Setiap orang harus jalani tes buat buktikan dia tak membawa virus ketika melintasi perbatasan. 

Di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, kami tak perlu antri, langsung masuk ke ferri. Di pelabuhan Gilimanuk, dia juga ngemel agar langsung keluar pelabuhan. Namun saya tak sangka bahwa route Gilimanuk-Negara-Tabanan-Mengwi-Ubud sangat lambat. Jarak 120 kilometer ditempuh empat jam. Rata-rata hanya 30 kilometer per jam padahal lalu lintas tak seramai biasa, kata Nuroni.

Namun saya pikir ada baiknya juga tidak ada jalan tol dalam route Gilimanuk-Denpasar. Saya tak bisa bayangkan kerusakan lingkungan, termasuk polusi udara dan suara, bila ada jalan tol di pulau sekecil dan sepadat Bali. Kemacetan akan makin parah. 

Di Ubud, kami menginap di Hotel Gana, persis depan Museum Arma di Jalan Pengosekan. Sapariah, isteri saya, memilih hotel ini. Ia hotel baru, buka Mei 2021, ketika masa pandemi. Ia hanya ada 15 kamar, milik orang Bali, disain khas tradisional Bali. Dalam hotel bahkan ada sawah dengan tanaman padi. Malam hari terdengar suara-suara serangga. Adem rasanya. Malam pertama, hanya ada empat kamar disewa termasuk dua kamar kami. 

Ubud adalah ibukota intelektual dan kesenian Bali. Ia bukan saja tempat dimana maestro I Gusti Nyoman Lempad bertemu seniman Walter Spies dari Jerman pada 1930an --era yang sering dielu-elukan soal Bali-- namun juga kerja sama yang berkembang menjadi magnet buat kegiatan seni dan intelektual di Pulau Bali. Spies dan Lempad termasuk pendiri Pita Maha, perkumpulan pelukis yang dibuat pada 1938 di Ubud. Pengaruh Pita Maha menyebar ke seluruh Bali dan memicu gerakan pembaruan kesenian Bali. 

Diana Darling, seorang penulis dan penterjemah Amerika, yang tiba di Bali sejak 1980 dan tinggal di Ubud, mengajak saya kongkow di Monsieur Spoon --cafe Perancis dengan croissant yang harum. Almarhum suaminya, John Darling, membuat film Lempad of Bali (1980). John juga salah satu penulis dari buku Lempad of Bali terbitan Museum Puri Lukisan (2015). Diana sendiri menulis novel The Painted Alphabet

Rio Helmi, fotografer kelahiran Jakarta, namun sudah bekerja di Bali sejak 1978, mengajak makan malam di Table Talk Ubud, sebuah restoran milik orang Bali. Saya mencicipi pork ribs yang lezat --sambil kepikiran berat badan. Rio memperkenalkan saya dengan berbagai foto yang diambilnya di Bali termasuk soal trance

Kami juga cerita soal almarhum Aristides Katoppo, redaktur Rio ketika kerja di mingguan Mutiara, yang meninggal September 2019. Katoppo saya kenal baik karena kami sama ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi di Jakarta pada 1995. 

Kadek Purnami, mantan manajer Ubud Writers' and Readers' Festival, cerita berbagai pengalaman, manis maupun pahit, selama 16 tahun ikut membangun festival. Lonely Planet, sebuah buku soal perjalanan global, rekomendasi orang untuk datang ke festival ini bila mau ke Indonesia. Ia diadakan setiap bulan Oktober. 

Janet de Neefe, ketika lihat Instagram saya duduk dengan Kadek, juga kirim pesan dan mengajak ketemuan. Maka saya pun jalan kaki ke Casa Luna, restoran dekat Puri Ubud, yang didirikan Janet dan suaminya Ketut Suardana. Mereka adalah penggagas Ubud Writers' and Readers' Festival. Senang bisa mengobrol dengan Janet. Dia banyak kenal orang. Dia juga pendengar yang sabar. 

Kami juga bertukar cerita soal keluarga kami. Janet baru pulang dari Melbourne, kota kelahirannya di Australia, dimana dia mengurus rumah orang tua. Mereka sudah meninggal, kini rumah disewakan. 

Setiap kali ke Ubud, saya juga selalu mengunjungi berbagai museum. Kali ini beruntung bisa bertemu Agung Rai, pemilik museum Arma, seluas tujuh hektar. Harian The Jakarta Post menjulukinya sebagai "guardian" (penjaga) kesenian Bali. Museum tentu sedang sepi karena pandemi. 

Bali sangat terpukul dengan pandemi karena pembatasan perjalanan global. Ketika saya berada di Bali, berbagai media mengutip dinas pariwisata Bali yang mengatakan Bali hanya kedatangan 45 turis internasional pada 2021. Bandingkan dengan kedatangan hampir 6.3 juta turis internasional pada 2019. 

Agung Rai cerita pengalaman dia, mulai dari penjual souvenir serta lukisan tradisional Bali, lantas jadi kolektor, serta membangun museum yang juga dilengkapi dengan kebun, sanggar lukis, hotel, galeri serta beberapa toko. Dia bangga bisa membeli dan memperbaiki sebuah lukisan Raden Saleh Bustaman asal Semarang (1811-1880) yang karirnya banyak dilakukan di Eropa abad 19. 

Uniknya, Agung Rai, dengan kain batik dan udeng, sering mengantar pengunjung museum, menerangkan lukisan satu demi satu. Dia bangga cerita bahwa dia masih tinggal di rumah warisan leluhurnya berdekatan dengan tetangga-tetangga yang juga beberapa generasi tinggal di sana. 

Saya punya kesan, Agung Rai ingin mengatakan bahwa dia hidup sederhana, tak memiliki keperlucan pribadi berlebihan, tenang dengan gaya hidupnya sendiri. Dia minum kopi bubuk biasa, walau dia tentu punya dompet tebal. Hitung saja harga ribuan lukisan di museum ini. Lebih mahal kopi saya daripada kopi yang diseduhnya sendiri. Ini agak bikin malu diri saya.

Suatu pagi saya juga jalan kaki ke sanggar musik Cudamani, salah satu kelompok musik yang berhasil membawa musik tradisional Bali ke pentas dunia. Saya suka dengan album "Bamboo to Bronze" mereka. Kini Cudamani dipimpin I Dewa Putu Berata. Cudamani artinya fokus. Ia juga berarti nama mata ketiga Dewa Syiwa.

Sanggar ini mengingatkan saya pada Colin McPhee (1900-1964), seorang komposer kelahiran Montreal, Kanada, yang lama tinggal di Bali dan belajar gamelan dari para seniman Bali. Dia bikin komposisi "Tabuh Tabuhan." McPhee datang ke Bali pada 1931. Kehadirannya menambah deretan seniman-seniman global yang mendapatkan inspirasi dari Bali. Coba dengarkan McPhee di Spotify. Saya suka putar komposisinya ketika sedang setir mobil sendirian. 

Bagus Ari Saputra, pemilik Gayatri Ubud, hotel boutique dekat Puri Ubud, mengundang makan malam dan diskusi. Ibunya orang Finlandia, ayahnya orang Bali. Saya dikenalkan oleh Sebastian Partogi, seorang penerjemah dan mantan wartawan The Jakarta Post. Tamunya, beberapa produser film, seniman dan aktivis. Diskusinya soal buku saya, Race, Islam and Power. Saputra sudah membaca buku tersebut. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik. Tak terasa hampir empat jam di Gayatri.

Norman terkejut melihat Ubud, sesudah dia sering tinggal di Canggu, "Ubud is empty. The only lively place is Pengosekan."

Sapariah jatuh cinta dengan kedai kopi Seniman di Jalan Sri Wedari. Kedai ini terkenal karena membuat lingkaran "Roda Rasa Kopi Indonesia." Flavor wheel ini diciptakan lewat konsultasi ribuan barista dan laboratorium kopi di Indonesia serta dilengkapi 36 acuan aroma serta 82 deskripsi sensoris. Mereka juga pakai botol bekas sebagai gelas yang dipotong agar ukuran cocok buat berbagai taningan kopi. Sapariah bisa ngopi dua kali dalam seminggu di Ubud. Kedai Seniman kelihatannya ramai sekali, tak terpengaruh pandemi. 

Dari Ubud kami pindah ke Kuta dan sempat mencicipi wine di Sababay Winery di Gianyar. Ayu Wulandari, pemandu Sababay, seorang perempuan Bali, menerangkan entah berapa abad, anggur buat sakramen Gereja Katolik di seluruh Indonesia didatangkan dari luar negeri. Padahal setiap bikin misa harus ada anggur. 

Kenapa? 

Perusahaan anggur sedikit sekali. Negeri tropis macam Indonesia sulit buat fermentasi buah anggur dengan suhu 5-10 Celcius. Tak berarti Indonesia tak punya gunung dan suhu dingin tapi tak ada sistem transportasi serta pekerja trampil dekat gunung bukan? 

Sababay mengubah keadaan. Mereka dapat sertifikat Konferensi Waligereja Indonesia pada 2018 buat produksi sacramental wine. Ia tak dijual kepada umum. Mereka pakai tangki stainless steel dgn mesin pendingin. Senang juga lihat teknologi baru buat bikin wine. Saya beberapa kali mencicipi wine di Eropa dan Amerika Serikat. Senang kini ada tujuan wisata wine tasting di Indonesia. 

Nama perusahaan diambil dari Teluk Saba (Saba Bay) yang terletak dekat winery ini. Sababay juga produksi wine jenis lain. Paling populer adalah Moscato, menurut Wulandari. Anggur mereka kebanyakan datang dari para petani Singaraja. 

Sababay juga menang beberapa penghargaan internasional dari produk mereka termasuk Moscato. Pembuat wine mereka adalah Nicolas Martin asal Perancis. Ini transfer teknologi yang penting. Saya senang Sababay bisa lakukan kerja di Bali.

Di Kuta, kami menginap di Risata Resort, yang pintu belakangnya  terletak sebelah Lippo Mall. Hotel luas dengan kebun hijau menggiurkan. Kamarnya ada lebih dari 140 namun hanya belasan yang terisi. Mereka terpukul dengan pandemi sehingga restoran harus tutup. Makan pagi diantar ke kamar. Sebagian karyawan dirumahkan. Malam hari, saya diberitahu hanya lima karyawan bertugas. Kasihan. 

Kami melihat bagaimana banjir melanda Kuta ketika hujan deras. Tampaknya pemerintah kabupaten Badung, yang mengatur Kuta, perlu bekerja lebih keras buat memperbaiki manajemen lingkungan hidup di Kuta. Trotoar tampaknya perlu diperlebar agar orang dimudahkan buat berjalan kaki. Bukan melulu motorisasi. Pemerintah Badung juga setidaknya perlu menertibkan pengendara sepeda motor dan mobil yang parkir di atas trotoar. Mereka merampas hak pejalan kaki dan bikin rumit usaha melindungi alam. 

Tidakkah motorisasi juga dilakukan di Pulau Jawa? Tentu saja. 

Pejalan kaki dan alat transportasi non-motor --sepeda, dokar, pedati, perahu, rakit dan lainnya-- maupun kereta api, yang punya kemampuan transit jauh lebih besar dari jalan tol dan motorisasi, tidak diperhatikan di Pulau Jawa. Ia menular ke seluruh Indonesia sejak 1970an. 

Saya sampai capek menulis soal bahaya motorisasi sejak 1990an. Motorisasi bikin kemacetan, polusi udara, polusi suara, serta tak menjawab keperluan transit masyarakat. Tapi Jawa kan Jawa. Ia tak diharapkan secantik dan secerdas Bali. Mungkin beban orang Bali untuk bisa sedikit membuat baik naluri buruk yang sering muncul dari pikiran-pikiran orang di Pulau Jawa, terutama Jakarta. Saya kecewa bila Bali tak mau mengatasi bahaya motorisasi.

Di Sanur, kami menginap di Sri Phala Resort, yang terletak dekat museum Le Mayeur di pinggir pantai. Museum yang cantik ini didirikan dengan rumah yang dibeli pelukis Adrien-Jean Le Mayeur (1880-1958) asal Belgia. 

Dia mulanya berpikir hanya tinggal delapan bulan di Sanur namun jatuh cinta pada Bali dan memutuskan tinggal di Bali seumur hidup. Pada 1935, Le Mayeur menikah dengan Ni Nyoman Polok, seorang penari legong cantik, yang juga sering jadi modelnya. Pameran-pameran lukisan Le Mayeur sukses di Singapura. Mereka membangun rumah dengan ukiran tradisional Bali. Ni Polok mengabadikan warisan suaminya dengan museum ini. 

Sayang, ada belasan lukisan sudah rusak termasuk karya yang dibuat dengan kain bagor dari zaman Jepang. Kayu-kayu juga ada yang keropos. Sapariah berpendapat, "Museum tepi pantai dan bersuhu panas mempercepat kerusakan lukisan. Ruang tempat lukisan panas, tak ada pendingin ruangan." 

Dinas kebudayaan Bali perlu segera memasang mesin pendingin serta memperbaiki kayu-kayu yang keropos di museum ini. Kami menghabiskan waktu hampir tiga jam berkeliling di rumah yang indah ini. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru pernah mendatangi rumah merangkap studio Le Mayeur. Saya bayangkan hari ini seandainya Presiden Joko Widodo atau Raja Filip Leopold Lodewijk Maria dari Belgia datang ke museum ini. Sayang, bila generasi yang akan datang tak bisa menikmati keindahan ini. 

Saat hari libur, saya juga menemani keluarga berenang dan bermain di Pantai Semawang. Diana, anak saya, bisa bermain di pantai sampai empat jam. Kulitnya terbakar tentu.

Ketika sedang ngopi di Infinity Coffee, Sanur, saya ditelepon Anton Muhajir dari media Bale Bengong. Dia sedang jogging di pinggir pantai Sanur. Maka jadilah kami mengobrol pinggir pantai. Anton wartawan lepas, blogger serta aktivis kritis dari Denpasar. Bale Bengong blog yang menarik sekali, sudah lebih satu dekade mencatat berbagai perubahan sosial di Bali. 

Saya tanya bila bekerja dari Bali, sebaiknya tinggal dimana. "Di rumah warga," jawabnya. Ini akan membuat pendatang lebih tahu Bali dari pikiran dan pandangan orang Bali. Jangan tinggal di villa atau hotel, katanya. Ia etalase pariwisata Bali. Saya kira nasehat yang baik. Ini mengingatkan saya pada seniman 1930an. Semuanya tinggal bersama masyarakat. Memang pariwisata belum sebesar sekarang.

Saya juga bertemu Rudolf Dethu, putra Bali yang mengelola Rumah Sanur Creative Hub, dengan kedai, panggung seni serta kantor dan penginapan kecil. Rudolf seorang penulis musik, aktivis pluralisme, pustakawan, disc jockey, dan event organizer, dan pernah mengatur manajemen dua band punk rock Bali, Superman Is Dead dan Navicula. 

Kami bicara soal meningkatnya intoleransi Indonesia, bukan saja di Jawa dan Sumatra, tapi juga Bali. Dethu kritis terhadap politisasi Hindu Dharma. Dia juga prihatin dengan ratusan aturan yang diskriminatif di Indonesia, atas nama syariah Islam, terhadap minoritas agama, gender dan seksualitas. 

Saya cerita laporan Human Rights Watch soal setidaknya 64 aturan wajib jilbab dari tingkat nasional sampai daerah di Indonesia. Aturan-aturan tersebut mengandung sanksi. Murid bisa dikurangi nilai atau di keluarkan dari sekolah negeri. Pegawai negeri, termasuk guru dan dosen, bisa dikeluarkan dari pekerjaan. Mereka menciptakan pelataran buat merundung anak dan perempuan Muslim buat berjilbab tanpa punya ruang dan waktu buat memilih dengan bebas. Di Indonesia, juga makin marak peraturan diskriminatif terhadap minoritas seksual, termasuk gay, lesbian, transgender dan seterusnya.

Dethu mencoba mendidik masyarakat dengan bikin toilet di Rumah Sanur lengkap logo seksualitas dan gender non-biner. Bukan hanya lelaki dan perempuan. Anda perhatikan logo dengan gambar tiga manusia tersebut. Juga logo disabilitas. Ini pertama kali buat saya menemukan toilet non-biner di Indonesia. 🌈

Saya senang bisa berkenalan dengan Dethu. Banyak cerita datang dari Dethu termasuk kriminalisasi terhadap musikus Jerinx dari Superman Is Dead. Saya akan sering mengajak kawan-kawan saya buat makan malam di Rumah Sanur. 

Kai Mata, penyanyi muda kelahiran Jakarta, juga menemui saya di kedai Over the Moon. Saya kagum dengan bakat musik, sikap kritis dan keberanian Kai. Dia dulu belajar di Jakarta International School, salah satu dari setidaknya 10 sekolah terbaik di Jakarta, lantas lulus dan kuliah di University of California, Davis, cuma 10 minggu. Cita-citanya jadi musikus.

Dia memutuskan keluar dari bangku kuliah, pergi ke Mesir, selama enam bulan, lantas enam bulan di India, berkat tabungan yang dikumpulkan di Jakarta serta hidup hemat.

Kai Mata memutuskan tinggal di Bali. Dia adalah seorang lesbian yang terbuka. Dia sering membawakan lagu dengan tema LGBTIQ. Lagunya yang paling terkenal, "Where Love Goes," baru saja tembus 2 juta pendengar di Spotify. Ini prestasi buat penyanyi umur 24 tahun. Diana, anak saya, bangga sekali bertemu Kai. Diana minta selfie. 

Di Sanur rugi bila tak makan sup kepala ikan dan ikan goreng di Mak Beng. Sapariah mengajak saya dua kali makan di Mak Beng. Rumah makan ini berdiri pada 1941 ketika zaman pendudukan Jepang. Sambalnya alamak! Sup diberi potongan mentimun. Segar sekali. Senang lihat bisnis keluarga ini sudah lewat tiga generasi. 

Bali selalu menawarkan kesegaran setiap kali saya datang berkunjung. Saya bukannya tak tahu dengan berbagai tantangan terhadap toleransi dan demokrasi di Bali --dari pembantaian 1965 sampai pelarangan organisasi Hare Krishna (legalnya bernama International Society for Krishna Consciousness). Namun saya kagum dengan perjuangan, dengan segala kesulitan serta tekanan, yang dihadapi orang-orang Bali --termasuk para pendatang macam generasi 1930an sampai Rio Helmi, Diana Darling, Anton Muhajir dan Kai Mata-- untuk berpikir dan bertindak buat kemanusiaan dan lingkungan hidup. 

Sebagai seseorang yang banyak meneliti dan menulis soal intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, saya kira kunjungan ke Bali tersebut --tidak sekedar sebagai turis-- menyegarkan saya, serta memberi tambahan energi buat tetap bekerja dan berjuang soal hak asasi manusia, termasuk perlindungan minoritas, serta lingkungan hidup di tahun yang akan datang. 

***












Wednesday, December 22, 2021

Berkunjung ke Jember dalam masa pandemi

Dua minggu lalu
, kami mengunjungi mama dan beberapa adik saya di Jember termasuk Susanna yang tiga kali masuk rumah sakit tahun ini. Susan kehilangan berat badan 16 kg. Mama saya dua kali masuk rumah sakit. 

Selama pandemi, sejak awal tahun 2020, saya praktis tak bisa bertemu mereka. Sudah hampir dua tahun kami tak saling bersua. Hanya bisa komunikasi lewat telepon. Lega melihat mereka sehat dalam masa pandemi ini.

Susan dan saudara kembarnya, Rebeka, adalah adik saya. Mereka kini saling membantu di Jember karena keduanya ada kondisi mental. Ketika sakit, Susanna itu tak bisa angkat kepala, bahkan makan harus disuapi, buang air harus pakai pampers, pokoknya tak bisa gerak. Rebeka, yang tinggal di Tangerang, memutuskan pulang ke Jember pertengahan tahun 2020, dan menemani Susan di rumah sakit. 

Rebeka banyak membantu Susan termasuk ketika lantas berjalan pakai kursi roda, belakangan tongkat, lantas berjalan pelan. Kini sudah mulai lancar bahkan berenang juga bisa. Kagum dengan semangat Susan bertahan dan sembuh.

Saya juga melihat peternakan ayam petarung milik Dani Hariyanto, adik lelaki saya satu-satunya, di Rembangan, selatan kota Jember.

Dani memiliki sekitar 50 ekor ayam petarung. Dia bilang salah satu jago harganya Rp 5 juta. Dani juga seorang petani merangkap pedagang hasil bumi. Dia punya banyak kawan di Rembangan. Supel dan pandai bergaul. 

Kuswati, isteri Dani, cerita soal dia sebagai relawan Keluarga Berencana di daerah Kemunir Lor, Rembangan. Senang juga dengar cerita bagaimana mereka berusaha meningkatkan gizi anak, rutin periksa kesehatan reproduksi. 

Dani mengingatkan saya pada Ong Seng Hay, kakak dari papa kami, yang juga dikenal pada 1970an sebagai peternak ayam petarung di Jember. 

Dani cerita mereka sekampung terkena coronavirus, termasuk ibu, isteri dan dirinya, namun mereka tak pernah tes karena prosesnya repot. Ibunya bahkan sakit lebih dua bulan.
 
Kami pergi berenang bersama. Dani, Kuswati dan anak mereka ikuta menginap di hotel. Anak kami bisa bermain bersama. 

Ini hanya kunjungan tiga hari, saya tak sempat menemui banyak kerabat dan kawan di Jember dan sekitarnya. Kami tentu punya kerabat di Kalisat, Ambulu, Balung, Kasihan, Ajung, sampai Puger dan Bandealit. Kami juga cerita soal kerabat dan kenalan di Surabaya dan Banyuwangi. Banyak dengar cerita sedih soal pandemi di kota kelahiran saya termasuk kenalan yang meninggal. 

Wednesday, December 08, 2021

The Internet, Islamism and Repressive Regulations Pressure Indonesian Media

Associated Press Photo/Dita Alangkara

Andreas Harsono

Agus Sudibyo, a member of Indonesia’s Press Council, is worried about the state of journalism in Indonesia. He just published a book, Tarung Digital: Propaganda Komputasional di Berbagai Negara (“Digital Battle: Computational Propaganda in Many Countries”), about the pressures that internet giants such as Google and Facebook have put on Indonesian media by sucking up more than 50 percent of media revenue.

In Jakarta, the digital disruption has led to frantic efforts by local media to find new sources of revenue.

“Some companies have introduced so-called content creators. Their task is more or less observing and writing what is viral in cyberspace in a bid to increase and maintain traffic. It’s sensationalized. What kind of journalism is this?” Sudibyo told me.

Journalism related to decline of democracy

These kind of content creators are filling the media and social media with disinformation. Professional journalism should be a source of accurate information and work as a corrective, but it is no longer funded well enough to do this. This is frightening, as many experts have noted that the decline of quality journalism is related to the decline of democracy.

One result has been to allow many people who call themselves journalists to use their platforms to present their own views as news. Bias that rejects accurate reporting is increasingly becoming a big problem in Indonesian newsrooms.

Growth of Islamism – and its perils

Among the most dangerous trends in Indonesia is the rise of Islamism, a political ideology that seeks the formalization of the Islamic sharia. Religious minorities, including Christians, Hindus, Buddhists, Ahmadiyah, and Shia Muslims, as well as native faith believers, face increasing levels of discrimination, intimidation, and violence – fueled by hate speech and disinformation masquerading as “news.”

This has provided impetus in recent years to close thousands of churches since the Indonesian government introduced the so-called “religious harmony regulation” in 2006, which effectively gives the majority veto power over religious minorities.

Women and LGBTIQ people also face increasing discrimination, in part because of distorted media. Provincial and local governments have introduced regulations that require girls and women to wear the jilbab, leading to bullying and psychological distress. Girls who don’t comply have been forced to leave school or have withdrawn under pressure, while female civil servants have lost their jobs or resigned to escape constant demands to conform.

Media outlets fail the test

Journalists are now often confronted by sensitive subjects, such as homophobia and misogyny, that test the notion of professional journalism. And many media outlets have failed the test.

“Unbalanced reporting, which is common in Indonesia, has the potential to kill LGBTIQ individuals,” said Kanza Vinaa of the Swara transgender group.

Yendra Budiana, the spokesperson for the Ahmadiyah community in Indonesia, said: “Religious minorities always struggle from the first second news coverage on their religion or beliefs begins, facing media framing that plays on emotions, escalates tensions and is always unfair towards the victims.” 

All of this takes place within a legal framework that includes colonial-era criminal defamation provisions and repressive homegrown laws and regulations, including regarding the internet.

David vs. Goliath

To address the deprofessionalization of the media in recent years, journalist associations are asking the Indonesian parliament to pass a draft bill that could compel tech giants to negotiate with Indonesian media to provide a fairer share of revenues, a move inspired by a groundbreaking new Australian law.

Smaller organizations are also working to train Indonesian journalists, especially in conservative provinces, to be professional reporters.

Free speech advocates have long campaigned to get rid of the country’s oppressive and speech-chilling criminal defamation laws. All of these efforts, and more, are necessary to preserve the gains made since the Suharto dictatorship. It is a fight for the soul of Indonesian journalism —and the future of democracy and human rights in Indonesia.