Thursday, August 30, 2001

Malaysian suspect admits role in bombings in Indonesia

By ANDREAS HARSONO

JAKARTA: Taufik Abdul Halim, the Malaysian who was arrested for the bombing of a shopping mall here a month ago, has admitted he carried the explosive device but it was not supposed to go off there.

He also denied he was responsible for the bombing of two churches here in July, saying two other Malaysians carried out the act on the eve of Megawati Sukarnoputri's election as Indonesian president.

He said he had no knowledge of the Kumpulan Mujahideen Malaysia, which he has been linked to and implicated in the bombings.

He said he had gone to Indonesia on his own initiative to be in "solidarity" with Muslims in Malukus who were fighting Christians, something he learned about through Malaysian newspapers and the Internet.

"Only after I was brought to this hospital (following the Atrium Senen shopping complex explosion on Aug 1) that Malaysian police visited me and showed me pictures of people who had been arrested. I don't know them. I also don't know the existence of that Kumpulan," said Taufik from his hospital bed in an exclusive interview with The Star yesterday.

Earlier press reports from Indonesia said he had admitted to both Indonesian and Malaysian police that he belonged to the KMM. Clad in an old T-shirt, the 26-year-old Taufik looked frail but relaxed during the hour-long interview.

He had difficulty hearing and kept cupping his ear to listen to the questions. He smiled often but could not hide his pain. "Too many stitches to count," he said, showing his leg amputated below the knee.

Duni Nirbayati, Taufik's lawyer, was present during the interview while three police detectives stood guard outside his room. "He's a little bit deaf from the explosion," said Nirbayati.

Indonesian police arrested Taufik after he was injured in the explosion. Jakarta police alleged Taufik and three other Malaysians currently on the run were the bombers.

Malaysian authorities said Taufik was also apparently involved with the KMM, several of whose members in Malaysia have been detained under the Internal Security Act.

Recounting the bomb explosion, Taufik said he went to the mall with three other Malaysians.

He was asked to carry "the packet" and waited for instructions from "Abas" on where to bring the bomb. "It was not designed to explode in Senen," he said. But it went off accidentally and seriously injured him and two shoppers.

Asked about Abas, Taufik said Abas was "my friend" who had assigned another friend, whose name he does not know, to produce the bomb.

Taufik illegally entered Indonesia in June last year through the Nunukan area in Kalimantan on Borneo island. From Nunukan, he went to northern Sulawesi with nine other Malaysians before they proceeded to northern Malukus.

"I helped the masyarakat guard their kampung from attacks," Taufik said, referring to the Muslim neighbourhoods in the Malukus.

Taufik said he only began to get to know his fellow Malaysians during the trip, adding that three of them came from Terengganu, two from Selangor, two from Kuala Lumpur, one from Pahang, and one from "northern Malaysia."

Taufik admitted that his group was involved in bombing two Christian churches in Jakarta on July 22, a day before Megawati's election as Indonesia's fifth president, but said he was not involved.

Andreas Harsono is The Star's correspondent in Jakarta

Wednesday, August 01, 2001

Joyo@aol.com


"APA kabar?” seru Gordon Bishop. Dia mendekat, membuka tangan, dan merangkul dengan hangat. 

Bahasa Indonesianya agak kaku. “Tapi saya bisa membaca, lancar sekali, bagus, bagus.” 

Praktek berbahasa Indonesia pun dipamerkannya. Kalimat-kalimat diucapkan dengan logat New York. Bunyi “ch” sangat tajam, bunyi “r” agak tumpul, dan frase “you know what I mean?” diucapkan berkali-kali. 

Bishop berusaha menyenangkan tamunya, yang datang dari Jakarta, mengunjungi tempat Bishop di sebuah apartemen dalam kondominium Pac Vendrome, di Jalan 56, daerah Manhattan, New York.

Ukuran apartemen Bishop lumayan, terletak di lantai tujuh, ada satu kamar tidur, dan satu ruang keluarga yang luas. Isinya penuh barang antik. Semuanya berbau oriental. Ada wayang kulit, topeng Cirebon, gebyok Jawa, ranjang Jawa, buku Jawa kuno, dan bertumpuk majalah. 

Dekat jendela ada satu perangkat komputer, yang tak terlalu tua, tapi juga tak bisa dibilang mutakhir. 

“Dari komputer ini saya bekerja, menelusuri internet, melayani pelanggan, menjawab email,” kata Bishop. 

Sehari-hari pekerjaan utama Bishop adalah menghadapi komputer itu. 

“Ketika orang tidur, Gordon bekerja. Ketika orang bekerja, dia tidur,” kata Yudhis Tjoe, tertawa geli. 

Tjoe warga Indonesia yang sering bertandang ke tempat Bishop dan memperkenalkan diri sebagai “temannya Gordon.” 

Bishop bersungut-sungut, “Kantor berita macam ini menuntut kecepatan. Joyo menyesuaikan diri dengan jam Indonesia.” 

Dia mengambil contoh berita kematian jaksa agung Baharuddin Lopa pada 3 Juli 2001 di Saudi Arabia. “Setengah jam sebelumnya Associated Press melaporkan dia sakit. Joyo masukkan segera. Setengah jam kemudian dia meninggal. Joyo juga langsung kirim berita itu,” kata Bishop. 

Dia menggeser kursi, “Lopa orang baik. Mengapa Indonesia selalu kehilangan orang baik?” 

Joyo adalah singkatan nama Joyoboyo, seorang pujangga Jawa abad 19, yang dikenal karena ramalan-ramalannya. Gordon Bishop memakai nama Joyo untuk kantor berita miliknya Joyo Indonesia News atau dikenal joyo@aol.com

Sejak Juli 1996, Joyo mendistribusikan lebih dari 80 ribu artikel, transkrip, kolom opini, laporan, dan sebagainya, semua dalam bahasa Inggris, kepada sekitar 150 pelanggannya dengan gratis. 

Sejak 1998 Joyo tak henti satu hari pun mengirim berita demi berita. Kiriman-kiriman lewat email ini memiliki multiplier effect karena juga dipakai oleh berbagai mailing list lain. Dua organisasi di Jakarta juga minta izin Bishop untuk menaruh semua posting Joyo Indonesia News di situs web mereka. 

Isi kiriman sebenarnya bermacam-macam berita dari The Jakarta Post hingga Reuters, dari Associated Press hingga Bloomberg, dari The New York Times hingga South China Morning Post. Juga The Asian Wall Street Journal, Financial Times, Fortune, Time, Newsweek, Foreign Affairs, The Australian, Green Left Weekly, Business Times, dan sebagainya. 

Siapa yang mendapatkan mailing list Joyo? 

“Lihat ini, ini orang baik dari State Department. You know Edmund McWilliams?” katanya, seraya membuka daftar alamat mailing list di layar komputer. 

McWilliams adalah seorang pejabat departemen luar negeri Amerika Serikat yang pernah jadi atase politik di Indonesia. Pada pertengahan 1998 McWilliams ribut dengan beberapa rekannya di kedutaan Amerika Serikat karena McWilliams kurang suka dengan kebijakan resmi Amerika Serikat yang terlalu dekat dengan militer Indonesia. 

Bishop dengan bangga menunjukkan nama hampir semua wartawan asing di Jakarta, profesor dari berbagai universitas yang menaruh minat pada Indonesia, juga orang Indonesia macam Laksamana Sukardi, M. Sadli, Dewi Fortuna Anwar, yang berlangganan Joyo. 

“CIA pasti juga memanfaatkan Joyo.” 

Tapi wajah Bishop berubah murung ketika diingatkan soal kesulitan yang dihadapinya. Pada 2 Juli 2001, para pelanggan Joyo mungkin terkejut ketika Joyo mengumumkan layanan gratis ini mungkin tak bisa bertahan lama tanpa bantuan dari pelanggan maupun kontribusi. Bishop bekerja dibantu satu atau dua orang Indonesia macam Yudhis Tjoe. Dia tak punya pendapatan selain memanfaatkan tabungan yang dulu pernah didapatnya ketika bekerja di Indonesia pada 1970-an dan 1980-an. 

Beberapa organisasi dana, termasuk beberapa kedutaan asing di Jakarta, pernah membantu Joyo Indonesia News, dengan memberinya uang. Sumbangan biasanya dilewatkan sebuah yayasan berbasis Jakarta, Indonesia Media Development Foundation, yang didirikan Bishop, Tjoe dan seorang temannya lagi. 

Tapi bantuan ini tak cukup bahkan untuk memenuhi keperluan pribadi Bishop. Di apartemen Pac Vendrome, Bishop tinggal bersama putrinya, Naomi, seorang remaja dari perkawinan Bishop dengan Nanis, istrinya, seorang putri Yogyakarta, yang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Banyumas lebih dari 10 tahun lalu. 

Jeffrey Winters, profesor Indonesia dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat, khawatir dengan keadaan Joyo dan hari itu juga mengirim bantuan US$ 2.000 buat Joyo. Winters juga menantang para pelanggan lain untuk membantu Joyo agar pengiriman berita mereka tak berhenti. 

Bishop terharu ketika menceritakan satu persatu pelanggannya. “You know saya hanya punya satu mata?” Dia menunjuk mata kanannya yang palsu, beberapa tahun lalu, mata kanannya rusak karena kanker. Kakinya juga rusak, dipasang pena, gara-gara kecelakaan yang merengut nyawa istrinya. 

“Butuh waktu dua tahun buat saya untuk tak terikat di kursi roda.” 

“Istri saya cantik sekali bukan?” Bishop menatap foto Nanis.

“Itu rumah yang saya beli di Yogyakarta. Ayah mertua saya seorang guru pencak silat. Ini foto ibu mertua saya. Aduh, dia orangnya anggun sekali.” 

Di ruang tamu terdapat foto Nanis dalam pakaian penari Jawa. Di dekat ranjang Bishop juga terpampang foto-foto mereka berdua. 

Ketika Bishop, Tjoe dan tamunya hendak keluar, Naomi mengingatkan ayahnya agar jangan pulang terlalu malam. “Dad, bisa beri saya beberapa dollar?” kata Naomi. 

Bishop mesra mencium kening Naomi seraya menyodorkan beberapa lembar dollar ke tangan putrinya.

-- Andreas Harsono

Majalah Pantau No. 16 Agustus 2001