Saturday, December 27, 2014

Permintaan Papua kepada Jokowi


Delegasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia serta Konferensi Waligereja Indonesia di Istana Merdeka dengan Presiden Joko Widodo. Dari kiri ke kanan: Pendeta Benny Giay, Pendeta Bambang Widjaya, Pastor Benny Susetyo, Presiden Jokowi, Uskup Suharyo Hardjoatmodjo, Pendeta Phil Erari, Novel Matindas, serta Pendeta Krise Gosal. ©Jaleswari Pramodhawardani

Dr. Benny Giay, ketua Sinode Gereja Kingmi Papua dan mungkin intelektual dengan kesetiaan pada hati nurani paling dikenal di Papua, ikut dalam pertemuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dengan Presiden Jokowi pada malam menjelang keberangkatan Jokowi pertama kali ke Papua sebagai presiden.

Saya kebetulan bertemu dengan Benny Giay, seorang kawan lama saya, sehari sesudah dia bertemu Jokowi. Kami tentu bicara soal pertemuannya di Istana Merdeka. Dia relax sedang menunggu jadwal dokter. Saya memutuskan mencatat dan merekam kenangan Giay terhadap pertemuan semalam. Mumpung ingatannya masih segar. Saya kira catatan ini penting buat mengukur permintaan Benny Giay terhadap pemerintah Indonesia yang baru.

Benny Giay bilang dia mulai dengan memuji Jokowi karena berhasil "mencuri hati orang Papua." Dia mengingatkan Jokowi soal kunjungan para presiden pendahulunya: Abdurrahman Wahid (31 Desember 1999); Megawati Soekarnoputri (25-26 Desember 2002); dan Susilo Bambang Yudhoyono (26 Desember 2006). Mereka semua berjanji bikin penderitaan orang Papua berakhir. Namun mereka kurang beruntung, kurang setia, dalam memenuhi janji-janji tersebut.

Giay bicara soal pembantaian anak sekolah di Enarotali, Paniai, pada 8 Desember 2014. Dia minta Jokowi "buang suara." Dia juga minta Jokowi memenuhi janji kampanye buat menghentikan pembatasan buat wartawan internasional, lembaga donor, maupun utusan Perserikatan Bangsa-bangsa bisa masuk ke Papua guna memantau keadaan di Papua, terutama pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan maupun jalanya pemerintahan termasuk korupsi. Giay juga minta Jokowi membebaskan tahanan politik.

Benny Giay menekankan bahwa persoalan utama antara Jakarta dan Papua adalah ketiadaan (trust). ©Jaleswari Pramodhawardani

Buku Filep Karma buat Jokowi.
Delegasi juga melibatkan Pendeta Bambang Widjaya, Pendeta Phil Erari, Novel Matindas serta Pendeta Krise Gosal dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Delegasi Konferensi Waligereja Indonesia diwakili Pastor Benny Susetyo serta Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo.

Benny Giay minta Jokowi membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) terhadap penembakan remaja Papua di Enarotali.

Khusus tahanan politik, Giay sebut ada setidaknya 55 tahanan politik Papua, termasuk Filep Karma, pegawai negeri yang dipenjara sejak 2004. Giay menyerahkan buku Karma berjudul, Seakan Kitorang Setengah Binatang, kepada Jokowi.

Giay minta Jokowi meluangkan waktu berkunjung ke penjara Abepura dan mengunjungi Filep Karma. Ia akan mempercepat proses pembebasan para tahanan politik.


Benny Giay juga sempat menulis di Facebook saya --menjawab komentar kawan saya, Partini dari Pontianak, yang seorang pendukung Jokowi dan menulis bahwa "Jokowi bukan pesulap"-- pada malam hari sesudah pertemuan tsb:

"pk jokowi brangkali seorg presiden terbaik yg d panggil sejarah utk mengurus tumpukan sampah yg d biarkan br tahun2 oleh presden2 nkri sbelumnya (kodam, kapolda, dll sebelumnya sejak 1960an hingga); artinya tdak semua org papua dewasa ini berpkir magis sperti mba tini; sehingga papua sedang butuhkan pesulap. memang ada unsur papua dewasa ini yg brpkir magis sedang butuh "pesulap": pimpinan gereja papua yg mndatangkan jokowi dan elit pmrintah karena mentalnya memang di bentuk masy dan pmerintah indonesia yg berpikir magis ditambah dengan badan penyiaran yg ikut berperan d situ slama bertahun2; di samping watak elit papua sendiri yg sangat hedonis.

Kelompok ini yg saya kira sealiran dan sekelas dngan kalangan indonesia yg sedang menunggu pesulap; shg utk prkuat Timnas hdapi AFC harap pesulap bwa pemain asing utk naturalisasi. Saya kira ada banyak indonesia yg lebih berakal sehat; yg bisa jadi mitra berdialog papua. Sulit utk kta berdialog dgn kalangan indonsia yg merasa diri klas yg berakal sehat smentara posiikan papua sbgai pihak yg sdang mnghabiskan wkt tunggu "pesulap" dri indonesia yg wataknya d gmbarkan pk mohktar lubis dlam bukunya brjudul 'manusia indonesia'
."

Thursday, December 25, 2014

Silabus Jurnalisme Sastrawi XXIII

Jakarta, 5 – 16 Januari 2015

Pertemuan alumni Yayasan Pantau di Jakarta pada Desember 2014.

PADA 1973 di New York, Tom Wolfe menulis definisi genre baru: New Journalism. Ia mengawinkan disiplin jurnalisme, riset akademis dan daya pikat sastra. Genre ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat.

Sejak 1980an, suratkabar-suratkabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televisi membuat suratkabar tampil dengan laporan mendalam. Kini dotcom pun mulai masuk ke format penulisan panjang.

Tujuan kursus ini adalah memperkenalkan narasi, mulai dari tujuh pertimbangan menggarap narasi sampai liputan sampai struktur naskah. Ia juga akan membahas beberapa contoh narasi.

Instruktur

Janet Steele dari George Washington University, spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism. Menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia serta Email dari Amerika.

Andreas Harsono salah satu pendiri Yayasan Pantau, peneliti Human Rights Watch, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat serta menulis antologi “Agama” Saya Adalah Jurnalisme.

MINGGU PERTAMA oleh Janet Steele

Senin, 5 Januari pukul 10:00-12:00 – Pembukaan: perkenalan, membicarakan silabus dan membagi tugas. Diskusi tentang kemungkinan jurnalisme sastrawi untuk keperluan suratkabar, lebih praktis, serta sejarah dan perbedaan antara "new," “literary" dan "narrative" journalism.

Bacaan: “The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro” oleh Arif Zulkifli; “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid, “Bearing Witness in Syria: A Reporter’s Last Days,” oleh Tyler Hicks, dan “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia.

Senin, 5 Januari 2015 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi lanjutan tentang definisi jurnalisme sastrawi, dari Tom Wolfe hingga Mark Kramer, dan pengaruhnya pada perkembangan suratkabar mainstream di Amerika Serikat.

Tugas untuk hari Rabu: Menulis tentang sebuah peristiwa yang disaksikan. Mulai dengan adegan, tanpa "penjelasan" berdasarkan karya Tom Wolfe "The Girl of the Year." Topiknya bisa apa saja tapi yang bisa memikat pembaca untuk membaca narasi itu. Mohon tak membuat lebih panjang dari dua halaman, dua spasi agar semua peserta bisa mendapat bagian membacakan karyanya.

Rabu, 7 Januari 2015 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah.

Bacaan: “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini; sebagian dari buku “In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959 “Wealthy Family, 3 of Family Slain.”

Rabu, 5 Januari 2015 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang immersion reporting berdasarkan karya Truman Capote “In Cold Blood” serta membandingkannya dengan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Tugas untuk hari Kamis: Tulislah sebuah narasi dengan gaya orang pertama (“saya” atau “aku” atau “abdi” atau “gua” atau lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan. Gunakan model “Buru, Menziarahi Negeri penghabisan” oleh Amarzan Loebis, atau ”Bearing Witness in Syria,” oleh Tyler Hicks, dimana penulis memasukkan dirinya dalam laporannya. Bahan ini akan dibacakan di depan kelas. Panjang maksimal dua halaman, dua spasi.

Kamis, 8 Januari 2015 pukul 10:00-12:00 -- Diskusi tentang pekerjaan rumah yang dibuat berdasarkan “Buru, Menziarahi Negeri penghabisan” serta persoalan kata “saya.”

Bacaan: “Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran” oleh Marta Nurfaida, “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin, “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” oleh Amarzan Loebis.

Kamis, 8 Januari 2015 pukul 13:00-15:00 -- Diskusi tentang persoalan struktur narasi, dengan contoh ”Kehidupan Pengungsi Sampit di Pasar Keputran,” dan bagaimana memanfaatkan narasi dalam berita hangat (breaking news) dengan contoh “It’s an Honor” oleh Jimmy Breslin.

Sabtu, 10 Januari 2015 pukul 10-12 – Diskusi dengan Metta Dharmasaputra, yang sebagai wartawan Tempo, menghabiskan enam tahun menyelidiki dan menulis skandal penggelapan pajak Asian Agri Group. Dia menghadapi ancaman, gugatan hukum, penyadapan telepon maupun kampanye hitam. Mahkamah Agung akhirnya menghukum Asian Agri bayar pajak Rp 2.5 triliun plus tunggakan pokok Rp 2 triliun. Ini hukuman pajak terbesar dalam sejarah Indonesia.

Bacaan: Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak Asian Agri Group.

MINGGU KEDUA oleh Andreas Harsono

Senin, 12 Januari 2015 pukul 10-12 -- Diskusi soal jurnalisme dengan The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Diskusi tentang persoalan etika, pengelolaan emosi pembaca dan sebagainya.

Bacaan: The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel; “Media Bias in Covering the Tsunami in Aceh” karya Andreas Harsono. Buku Sembilan Elemen Jurnalisme terjemahan karya Kovach dan Rosenstiel disediakan dalam paket.

Senin, 12 Januari 2015 Pukul 13-15 -- Perkakas Menulis - Diskusi sebagian dari 50 “perkakas menulis” dengan memakai buku Roy Peter Clark dari Poynter Institute. Bagaimana melihat tata bahasa? Soal dialek bagaimana? Kapan kalimat pasif digunakan? Mengapa korban bisa ditonjolkan lewat kalimat pasif?

Bacaan: “Fifty Writing Tools: Quick List.” Bila Anda biasa, atau sedang belajar menulis dalam bahasa Inggris, tak rugi beli buku Writing Tools karya Clark.

Tugas untuk Rabu: Bikinlah deskripsi dengan padat. Manfaatkan indra penciuman, pendengaran, warna, gerakan, kasar-halus, kontras (lucu, aneh, menarik) dan sebagainya. Hindarkan klise macam “nyiur melambai” atau “angin sepoi-sepoi.” Bikin deskripsi yang akan menarik perhatian pembaca! Maksimal 500 kata.

Rabu, 14 Januari 2015 pukul 10-12 -- Diskusi struktur narasi dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey.

Bacaan: “Hiroshima” oleh John Hersey; “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey” oleh Bimo Nugroho.

Rabu, 14 Januari 2015 Pukul 13-15 — Satu isu namun muncul dalam pendekatan beda. Isunya Aceh namun muncul dengan empat naskah, empat gaya, empat struktur. Perhatikan perbedaan masing-masing struktur. Perhatikan masing-masing "tokoh cerita."

Bacaan: “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah; “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono; “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini.

Jumat, 16 Januari 2015 pukul 10-12 -- Mendiskusikan pekerjaan rumah, sumber anonim, referensi kedua, interview dan diskusi soal struktur.

Bacaan: “Tujuh Kriteria Sumber Anonim” serta “Ten Tips for Better Interviews.”

Jumat, 16 Januari 2015 Pukul 13-15 -- Penutupan serta tanya jawab. Diskusi struktur bila ada peserta yang punya rencana bikin liputan panjang.

Monday, December 22, 2014

Reuni Alumni Yayasan Pantau


Pertemuan diawal dengan perkenalan karena datang dari berbagai kelas

ADA kejutan menyenangkan dari Firliana Purwanti, Nenden Tjahjadi, dan Titi Moektijasih. Mereka bertemu dan sepakat bikin reuni alumni Yayasan Pantau di Jakarta. Mereka datang dari kelas yang berbeda-beda serta bekerja di tempat berbeda-beda pula. Namun mereka menemukan bahwa mereka semua pernah belajar menulis di Yayasan Pantau.

"Saya dapat kelas yang gratisan," kata Titi, mengacu pada kelas yang disponsori Eka Tjipta Foundation.

Titi masih bekerja buat United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. Dia juga meminjam sebuah ruang pertemuan UNOCHA buat makan siang. Dia mengelola sebuah perpustakaan buat anak-anak, serta mengajar bahasa Inggris, di sebuah perumahan Tiga Raksa, Tangerang.

Nenden Tjahjadi bekerja buat sebuah proyek United States Agency for International Development. Firliana kini bekerja di New Zealand Aid Programme. Dia juga dikenal sebagai seorang feminis serta memiliki blog The Orgasm Project.

Tiurlan Sitompul belajar soal makanan Amerika Latin di University of Warwick.

Dia mengingatkan saya cerita kami pertama kali bertemu di airport Jakarta pada Desember 2004. Dia minta tolong agar saya mau menerima sebagian bagasinya karena keberatan. Lucu juga.

Ada sekitar 20an orang ikut pertemuan ini. Makan siang berupa nasi pecel lele. Ada cerita macam-macam. Dari mereka yang menulis buku sampai bikin web, dari Balikpapan sampai Coventry. Dari soal diskriminasi sampai Timor Leste, dari sunat perempuan sampai Parkinson.

Intinya, soal janji mau menulis dalam setahun ke depan. Kami semua dikumpulkan karena keinginan menulis panjang. Ada yang sudah bikin buku maupun film. Namun ada yang masih belum.

Ada Muhammad Husnil, yang baru selesai menulis biografi Anies Baswedan, kini menteri pendidikan, dengan judul Melunasi Janji Kemerdekaan. Atau Ucu Agustin dengan film Ragat'e Anak soal pekerja seks di Tulungagung maupun film Di Balik Frekuensi soal mutu rendah televisi Indonesia.

Leila Mona Ganiem sudah selesai Ph.D di Universitas Indonesia, Jakarta. Kini dia mengajar komunikasi di Universitas Mercu Buana. Leila sudah menulis beberapa buku soal komunikasi antar pribadi.

Saya juga lihat beberapa alumni bekerja buat organisasi internasional, termasuk Mellyana Frederika di United Nations Development Programmer serta Sri Dewi Susanty di Australian Aid. Sely Martini bekerja buat Indonesia Corruption Watch.

Rasanya tak bisa diceritakan satu demi satu alumni dalam acara tersebut. Saya kira forum ini forum alumni.

Kalau rata-rata setahun Yayasan Pantau bikin minimal tujuh kali pelatihan --sebenarnya antara 2005 sampai 2008 diadakan minimal 12 kali dalam setahun-- dan setiap program ada 15 orang berarti selama 14 tahun sudah ada minimal 1,470 orang pernah ikut program Pantau.

Di Jakarta, pelatihan diadakan minimal empat kali setahun, antara 2001 dan 2014. Di luar Jakarta lebih acak, dari Banda Aceh sampai Jayapura, dari Manado sampai Kupang. Pernah sekali diadakan di Davao City, Mindanao. Saya perkirakan jumlah mereka yang datang dari luar Jakarta lebih besar daripada mereka yang dari Jakarta.

Lovina Soenmi, yang bekerja buat Riau Corruption Trial, sedang mengumpulkan nama-nama dari berbagai kelas menulis yang pernah dibikin Yayasan Pantau sejak tahun 2001. Dia juga usul semua alumnus bisa daftar lewat Facebook milik Yayasan Pantau.

Ia cara praktis buat bertemu. Minimal tahun depan akan ditagih janji hari ini.

Friday, December 19, 2014

Tidak Ada Jurnalisme Independen di Papua

Remotivi

Papua kembali berdarah. 8 Desember 2014 yang lalu di Kabupaten Paniai, aparat keamanan menembaki warga sipil yang menewaskan 5 orang dan puluhan lainnya luka-luka. Empat di antara korban yang tewas adalah pelajar sekolah menengah.

Informasi yang mengemuka beberapa saat setelah penembakan masih simpang-siur dan saling bertolak-belakang. Selain sedikit memberikan ruang, media-media, terutama media arus utama Jakarta, terlihat berhati-hati. Pernyataan-pernyataan yang dikutip berasal dari sumber resmi, baik pemerintah maupun militer. Narasi yang merebak pun cenderung satu sisi dan bias. Komnas HAM bahkan meminta TNI berhenti memberitakan kabar bohong tentang penembakan.

Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Paniai dan bagaimana media-media memberitakan peristiwa ini, Remotivi mewawancarai Andreas Harsono melalui surat elektronik. Andreas adalah peneliti di Human Rights Watch yang juga merupakan pendiri Yayasan Pantau dan secara intensif mengikuti perkembangan isu di Papua.

Sebagai catatan, di tengah simpang-siur informasi, sampai artikel ini kami unggah, Presiden Jokowi belum mengeluarkan pernyataan tentang penembakan warga sipil di Paniai ini. Komitmen pemerintahan Jokowi yang pernah berjanji akan menyelesaikan konflik di Papua sedang diuji.

Areki Wanimbo bersama isteri dan anaknya di penjara Wamena. Pada 6 Agustus 2014, Wanimbo ditangkap polisi karena jadi nara sumber buat dua wartawan Perancis, yang hendak meliput ke daerah Lanny Jaya. ©Asrida Elisabeth 

Sejauh apa dan dalam kapasitas apa Anda mengikuti kasus kekerasan yang sering terjadi di Papua termasuk penembakan di Paniai kemarin?

Salah satu kekhususan saya adalah Papua. Sebagai wartawan, saya pertama meliput Papua pada 1996. Saya juga beberapa kali mengajar kelas jurnalisme di Jayapura, Manokwari, Nabire, Merauke, Timika, dan Wamena. Sejak 2008 saya bekerja untuk Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia, yang bekerja secara global.

Saya punya murid, kenalan, narasumber di berbagai tempat di Papua, baik orang Papua maupun non-Papua, sipil maupun militer. Saya juga kenal berbagai macam organisasi di kota-kota Papua. Setiap minggu saya praktis menerima laporan, gambar, dan sebagainya. Bila ada kejadian meletus, tentu saja, saya bisa cepat mengetahui.

Sejauh informasi yang Anda dapat, apa yang sebenarnya terjadi di Paniai kemarin? Benarkah Organisasi Papua Merdeka (OPM) terlibat?

Dalam 24 jam pertama sesudah peristiwa, kami mewawancarai dua saksi mata, wartawan dan seorang aktivis hak asasi manusia di kota-kota terdekat dengan Enarotali, Kabupaten Paniai. Mereka melaporkan bahwa aparat keamanan menembakkan peluru tajam ke arah sekitar 800 demonstran, termasuk perempuan dan anak-anak, di lapangan Karel Gobay di Enarotali. Lima demonstran – Simon Degei, 18; Otianus Gobai, 18; Alfius Youw, 17; Yulian Yeimo, 17; dan Abia Gobay (usia tidak diketahui) – meninggal akibat luka tembak. Empat dari mereka adalah siswa sekolah menengah. Mereka meninggal dengan seragam celana abu-abu dan kemeja putih. Setidaknya 17 orang lainnya termasuk lima anak SD, terluka dan dirawat di rumah sakit. Kami tidak mendengar ada informasi gerilyawan OPM bekerja di Enarotali.

Simon Degei, siswa dari SMU Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili, umur 18 tahun, mati ditembak masih dalam pakaian seragam sekolah.  ©Gereja Kingmi

Sejauh yang Anda tahu, apa yang menyebabkan simpang siurnya informasi mengenai insiden ini?

Memang tak mengherankan bila informasi simpang siur di Papua. Di Enarotali hanya ada dua wartawan, masing-masing dari Selangkah dan Suara Papua. Mereka bekerja dalam suasana menakutkan. Ada informasi dari mereka keliru, misalnya, kronologi terbalik. Di Nabire, ada seorang aktivis yang terlalu cepat mengirim email sehingga nama-nama keempat korban keliru. Namun dia sudah lakukan koreksi.

Masalah paling besar yang menyebabkan kesimpangsiuran ini adalah ketiadaan jurnalisme yang independen di Papua, baik media lokal, nasional, maupun internasional. Wartawan lokal banyak yang takut buat verifikasi. Wartawan media nasional, kalau tidak takut, banyak yang terkooptasi. Bahkan ada yang bekerja sebagai informan atau mata-mata (agen). Wartawan internasional dibatasi masuk ke Papua sejak 1960an. Mereka harus dapat persetujuan 18 instansi dalam clearing house di Kementerian Luar Negeri bila hendak meliput Papua, termasuk dari Badan Intelijen Negara maupun Badan Intelijen Strategis.

Kami tentu mau percaya pada proses verifikasi yang kami kerjakan sendiri. Saya berusaha bekerja maksimal dalam verifikasi. Saya baru tidur pukul 03.00 pagi sesudah kejadian karena harus terus-menerus menjawab berbagai pertanyaan dari editor dan pengacara kami di New York.

Media-media Jakarta terlihat berhati-hati menulis kasus penembakan kemarin. Ini terlihat dari seringnya penggunaan narasumber resmi, baik pemerintah maupun militer. Menurut Anda apa yang menyebabkan kehati-hatian tersebut?

Saya tak tahu persis mengapa mereka tak mau mengambil sumber dari Dewan Adat maupun berbagai sumber dari masyarakat di Enarotali, Nabire maupun Jayapura. Sebaiknya kalian wawancarai berbagai media Jakarta, termasuk Kompas, Metro TV, RCTI, Tempo, TVOne dan lain-lain.

Adakah peran negara dan perangkatnya dalam menciptakan disinformasi insiden Papua? Seperti apa?

Saya kira besar sekali. Ada seorang kawan saya, orang Ambon kelahiran Jayapura bekerja buat sebuah lembaga Australia di Jakarta. Dia juga harus minta izin bila hendak ke Papua dari clearing house di Kementerian Luar Negeri. Suatu hari, dia sedang ada acara keluarga di Papua. Dia tentu terbang begitu saja ke Papua. Itu tempat kelahiran dia. Di bandara, dia ditegur seorang intel karena dia tak ada izin masuk Papua.

Ini gila bukan? Mau kembali ke kota sendiri harus minta izin!

Pada 2011, sekitar 500 halaman dokumen militer, termasuk dari Kodam Cenderawasih maupun Kopassus, bocor. Ia berisi laporan harian, penyadapan telepon, pemantauan turis internasional maupun rekrutmen wartawan-wartawan di Jayapura, Wamena, dan lainnya buat bekerja mata-mata untuk Kopassus. Kegiatan mereka adalah kasih informasi soal para aktivis, pemuda, tokoh gereja, dan lainnya. Memata-matai warga sendiri memang bukan kegiatan melanggar hukum, tapi hal itu merusak kepercayaan masyarakat terhadap media.

Macam-macam organisasi, termasuk Dewan Pers, juga Human Rights Watch, minta agar pembatasan terhadap jurnalisme yang independen dihentikan di Papua. Tanpa jurnalisme yang independen, maka tak ada cara buat warga memantau kekuasaan para pejabat.

Kepala Pusat Penerangan TNI sempat menyatakan bahwa penembakan ini dipicu oleh OPM. Menurut Anda, mengapa alasan itu sering digunakan oleh pihak militer dalam setiap insiden kekerasan di Papua?

Saya tidak tahu alasan di balik keterangan itu. Dari saksi mata – belakangan kami wawancara tiga orang lagi – tak ada indikasi OPM. Semua kesaksian menyatakan bahwa peristiwa tersebut dipicu oleh Tim Khusus dari Batalyon 753 asal Nabire yang terlibat sengketa dengan anak-anak kecil di lingkungan Ipakiye, Enarotali. Serdadu tersebut membalas teriakan sekelompok anak, termasuk remaja Yulianus Yeimo, yang minta sebuah mobil milik Tim Khusus 753 agar menyalakan lampu kendaraan saat lewat gubuk mereka. Mobil Toyota milik Tim Khusus 753 tersebut berhenti dan kejar anak-anak, menangkap dan memukul Yeimo. Kondisi Yeimo tak diketahui.

Ketika insiden terjadi, ada jenderal berandai-andai tembakan datang dari bukit dekat lapangan. Namun jaraknya minimal 5 kilometer. Saya ragu gerilyawan OPM punya senapan dengan kekuatan tembak sampai 5 kilometer. Mungkin saja jenderal tersebut punya informasi lain.

Sebenarnya bagaimana kondisi wartawan yang meliput di Papua? Apakah memiliki kebebasan dalam meliput atau justru kerap mendapatkan intimidasi dan teror?

Luar biasa berat buat bekerja sebagai wartawan di Papua. Bayangkan bila seorang kontributor hanya dapat honor Rp 70 ribu buat satu berita. Padahal harga seliter bensin bisa tiga kali lipat dari harga di Jawa. Sogokan besar sekali. Ancaman kekerasan juga nyata.

Pada Maret 2011, seorang wartawan meliput soal kekerasan seksual di tahanan polisi Jayapura. Seorang tahanan perempuan diminta oral sex tiga orang polisi. Banjir Ambarita adalah jurnalis yang gencar mengungkap pelanggaran tersebut. Buntutnya, suatu malam dia ditusuk di dada dan perut oleh dua orang dengan sepeda motor.

Beberapa saat lalu dua wartawan Perancis yang meliput di Papua ditangkap dan dijadikan tersangka. Mengapa pemerintah sampai saat ini masih menutup akses terhadap kehadiran wartawan asing di Papua?

Saya tak tahu mengapa Papua masih dibatasi. Ia berbeda dengan provinsi-provinsi lain. Padahal mandat dari UU Pers tahun 1999 tak boleh ada daerah yang dibedakan dalam hal akses kepada wartawan. Pembatasan hanya diperbolehkan bila daerah tersebut berada dalam keadaan bahaya serta dilakukan dalam waktu singkat. Ini juga sesuai dengan Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information (1995) yang secara khusus bicara soal pembatasan ke daerah tertentu.

Pembatasan wartawan asing meliput Papua, dalam periode sudah sekitar 50 tahun, tentu saja, melanggar standar internasional. Koresponden Australian Associated Press melamar 12 kali dalam dua tahun dan tak juga dapat visa sampai dia mengancam bahwa dia akan datang ke Papua tanpa visa. Dia tak takut ditangkap. Kementerian Luar Negeri segera kasih dia izin. Si wartawan jengkel karena semua sumbernya ditanyai intel dan ketakutan. Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, dua wartawan Perancis dari TV Arte, mengambil langkah dengan tak mencari visa wartawan. Mereka datang dengan visa turis karena melamar visa wartawan sulit sekali. Al Jazeera perlu enam tahun buat dapat visa ke Papua.

Pada Desember 2013, Human Rights Watch bersama tiga organisasi lain – Asia Justice and Rights, Kontras serta Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum – menulis surat kepada Wakil Presiden Boediono dan minta penjelasan mengapa pembatasan masih dijalankan. Boediono tak menjawab. Seorang asistennya mengatakan pada saya bahwa Boediono membaca surat tersebut dan setuju isinya. Tapi entah kenapa dia tak menjawab.

Menariknya, kedua kandidat presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, sama-sama berjanji saat kampanye 2014 bahwa mereka akan akhiri pembatasan ke Papua tersebut bila terpilih sebagai presiden. Kita tahu Jokowi menang pemilihan. Kita tunggu apakah Jokowi akan memenuhi janjinya.

Mahasiswa dan aktivis Indonesia aksi depan Istana Merdeka dengan hashtag #PapuaItuKita ketika Jokowi belum juga buka suara soal penembakan Enarotali.  ©Andreas Harsono

Bagaimana Anda menilai istilah-istilah yang dipakai media untuk memberitakan kasus-kasus yang ada, seperti “disintegrasi”, “separatis”, “bentrok”, dan lainnya?

Saya kira sulit kasih komentar secara umum. Saya harus melihat berita demi berita bila bikin analisis soal jurnalisme. Kadang penggunaan kata-kata yang terkesan sembrono sebenarnya bisa dilakukan. Tapi kadang juga memang sembrono. Ini pelajaran dari guru saya, Bill Kovach dari Universitas Harvard, soal analisis berita.

Apa dampak dari model-model pemberitaan diskriminatif macam demikian terhadap rakyat Papua dan konflik itu sendiri?

Secara umum, orang Papua merasa mendapatkan diskriminasi dari negara. Mereka merasa tidak aman berada dalam keadaan begini di mana diskriminasi terjadi, kekerasan rutin muncul dan pelaku tak dihukum dengan pantas. Celakanya, media juga melanggengkan rasialisme terhadap orang kulit hitam dan rambut keriting.

Contohnya, film Lost In Papua karya Irham Acho Bachtiar soal sebuah suku dengan anggota hanya perempuan, di pedalaman Papua. Ada pekerja tambang tersesat dan ditahan suku tersebut. Mereka dijadikan “bibit unggul” dengan pesan seakan-akan lelaki Papua tak seunggul lelaki dari Jawa. Aktor Fauzi Baadilah kepada Okezone mengatakan, "Jadi waktu itu ceritanya gue tersesat di daerah Papua. Tiba-tiba gue ketemu suku yang semuanya cewek. Jadi mereka kalau melihat pria hasratnya langsung deh. Cukup kacau juga deh, 16 orang secara bergantian perkosa gue.”

Saya jijik dengan rasialisme dalam film tersebut. Ia bukan satu-satunya. Ada rasa ketidakadilan yang besar sekali di Papua. Kepercayaan mereka terhadap media Indonesia, saya khawatir, tidak tinggi.

Contohnya, Filep Karma, seorang tahanan politik di penjara Abepura. Dia ditahan sejak 2004 dengan dakwaan makar, namun dia gugat ke pengadilan internasional. Indonesia kalah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa minta Karma dibebaskan pada November 2011. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menolak mengikuti rekomendasi PBB.

Karma baru saja menerbitkan biografi, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, yang menceritakan bagaimana militer dan polisi Indonesia melanggar hak asasi manusia lewat berbagai operasi. Pelakunya kebal hukum. Bahkan mereka yang terlibat dalam pembantaian Biak pada 6 Juli 1998, ketika ratusan orang Papua ditangkap, dipukul, dan mayat mereka dibuang ke laut. Karma juga cerita soal anak-anak yang lahir dari pemerkosaan oleh serdadu Indonesia.

Karma berpendapat warga Papua, sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 sampai hari ini dengan sistem noken—dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi—masih tidak diberi hak one man one vote. Dia juga jengkel ketika dia kuliah di Solo pada 1990an, dia sering disebut sebagai “monyet” atau “koyo ketek”. Orang juga sering tutup hidung ketika berdekatan dengan orang Papua. Ini bukan saja di Jawa tapi juga di Papua yang dilakukan oleh para pendatang yang tinggal di sana. Karma berpendapat orang Papua yang hitam, rambut keriting, dianggap “setengah binatang.”

Apa yang seharusnya media Jakarta lakukan dalam peliputan insiden semacam ini?

Sederhana sekali. Mereka harus kirim wartawan ke Enarotali. Mereka harus perlakukan Papua seperti mereka meliput persoalan di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan seterusnya. Jangan hanya parachuting journalist, yang datang beberapa hari lalu pergi, tapi juga koresponden yang handal. Mereka juga harus menaruh wartawan-wartawan yang profesional di Papua.

Bila ada kabar tak sedap soal koresponden di Papua, sebaiknya segera dipindah dari Papua. Saya tentu mengikuti jejak banyak wartawan di Papua. Rekam jejak mereka banyak yang buruk. Kalau tidak buruk ya penakut. Kasihan bukan, bila sudah ketakutan masih ditaruh di Papua?