Saturday, October 28, 2006

Sengkarut Harian Equator Pontianak


Andreas Harsono
Pantau

PONTIANAK -- Suasana Lebaran hari keempat tampaknya sudah tuntas dengan acara maaf lahir dan batin ketika Djunaini KS, direktur utama PT Kapuas Media Utama Press, merangkap pemimpin umum dan pemimpin redaksi harian Equator, memecat empat redakturnya: Yusriadi, Tanto Jacobus, Hairul Mikrad dan Asriyadi Alexander, Jumat malam.

Alasannya, empat wartawan itu ikut membuat "mosi tidak percaya" terhadap Djunaini. Djunaini memakai kata "dinonaktifkan" saat mengusir keempatnya secara lisan. PT Kapuas Media Utama Press adalah penerbit harian Equator, satu dari lima suratkabar milik Kelompok Jawa Pos di Pontianak.

Menurut beberapa saksi, sekitar pukul 20:10 Djunaini tiba-tiba berteriak memanggil mereka di ruang redaksi, "Alex, Yusriadi, Dek berdiri! Kalian keluar!” Kalimat itu diulanginya tiga kali. Keempat kalinya, Djunaini menambahkan, “Alex, Yusriadi, Dek, Tanto, berdiri. Kalian keluar!"

Banyak orang terpana. Dek adalah nama panggilan Hairul Mikrad. Menurut Alex, dia sempat bertanya, "Apa alasan Anda memecat saya?"

Djunaini menjawab, "Surat yang Anda tulis ke Jawa Pos. Saya adalah direksi di sini dan saya berhak."

"Saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum ada pemecatan dari Dahlan Iskan," kata Alex, mengacu pada orang nomor satu Jawa Pos. Djunaini tak menyangka ada sanggahan.

Djunaini kemudian menelepon Zainal Muttaqin, CEO Jawa Pos. Namun, telepon Djunaini tak dijawab. "Jawa Pos minta saya mereshuffle. Silahkan Anda keluar dari tempat ini. Mulai saat ini Anda dinonaktifkan sampai ada keputusan lebih lanjut," kata Djunaini.

Djunaini langsung memanggil Rido Ibnu Syahrie, mantan koresponden Equator di Singkawang yang baru pindah ke Pontianak, untuk mengambil alih pekerjaan editing. Suasana tegang. Menurut dua saksi, Djunaini terlihat emosi sampai lupa memasang gigi palsunya.

Keempat wartawan itu pun keluar dari kantor Equator. Alex dan Yusriadi duduk di depan kantor. Mereka melihat beberapa orang tak dikenal, kelihatannya orang keamanan, ditempatkan Djunaini di pintu masuk. Orang-orang itu memberi ultimatum: tak boleh ada wartawan luar masuk ke Equator. Malam itu beberapa wartawan datang dari Pontianak Post, Kompas, Antara, TV7, Volare serta Muhlis Suhaeri dan saya dari Pantau.

Beberapa wartawan Equator, antara lain Elfrida Sinaga, Indra Nova, Anton Perdana dan Stevanus Akim, ikut mengelilingi Alex dan Yusriadi. Mohamad Iqbal, putra sulung Djunaini, berada di depan pintu masuk.

Pemecatan ini buntut dari mosi yang ditandatangani 32 karyawan Equator. Mereka mengirim surat kepada Zainal Muttaqin pada 5 Oktober. Intinya, mereka minta penggantian Djunaini selaku direktur dan editor. Jawa Pos memiliki saham 67.5 persen, Djunaini 2.5 persen dan karyawan 30 persen.

Dalam mosi itu, karyawan menilai Djunaini sering mencampuri urusan Equator dengan bisnis non-media (Djunaini terlibat dalam usaha perkebunan kelapa sawit), sering melarang berita-berita tertentu (antara lain, protes masyarakat Dayak dan organisasi lingkungan terhadap perkebunan sawit), sering tak masuk kantor, mempraktikkan nepotisme (kedua putranya dilibatkan dalam Equator) dan mem-black-list 13 politisi dan organisasi dari pemberitaan Equator.

Mereka yang masuk daftar hitam Djunaini, termasuk Bupati Kabupaten Landak Cornelis, kandidat Gubernur Kalimantan Barat Akil Mochtar, Bupati Kabupaten Pontianak Agus Salim, anggota DPR Uray Faisal Hamid, ketua DPRD Pontianak Gusti Hersan Asli Rosa, ketua Yayasan Bhakti Suci Lie Kie Leng, Adhie Rumbee dari Majelis Adat Budaya Tionghoa serta organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat. Djunaini juga tak suka pada politisi AR Muzammil, advokat Cecep Priyatna, akademikus Rousdy Said. Dua organisasi ini dinilai Djunaini anti perkebunan kelapa sawit. Mosi tersebut dilampiri berita-berita Equator yang tak dimuat karena intervensi Djunaini.

Para karyawan juga mengeluh soal ketiadaan genset (listrik Pontianak sering mati), komputer sudah tua, tenggat waktu berita sering dilanggar, tiadanya transparansi pembangunan gedung baru Equator, kontrak kerja tak jelas, dan karakter Djunaini temperamental. Fakun dari bagian grafis juga mengeluh Djunaini kurang menghargai upaya perbaikan tata letak Equator sesudah mereka mendapat pelatihan dari Georgia Scott, desainer harian The New York Times. Djunaini sering bilang, "Bantai, bantai jak," ketika orang grafis bekerja membuat tata letak dengan memakai bekal pelatihan Scott. Kata “jak” dalam bahasa Melayu, yang lazim dipakai di Pontianak dan sekitarnya, artinya “saja” dalam versi resmi Indonesia.

Saya mengenal banyak karyawan Equator. Saya kira mereka yang dipecat relatif wartawan berprestasi dan punya niat meningkatkan mutu suratkabar itu. Yusriadi wartawan ahli bahasa. Dia sering jadi tempat bertanya rekan-rekannya. Dia mendapatkan gelar doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Dia menulis buku, bersama rekannya Hermansyah, Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan.

Riset dan penulisan buku ini dibimbing Prof. James T. Collins, ahli Borneo dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Collins memuji buku tersebut karena membongkar stereotip Borneo bahwa orang Melayu selalu Muslim dan tinggal di daerah pesisir, sedangkan orang Dayak tinggal di pedalaman.

Yusriadi sendiri orang Embau, sebuah komunitas Dayak Muslim, kadang disebut Melayu, yang tinggal di sepanjang Sungai Embau di jantung Kalimantan. Etnisitas adalah isu penting di Pontianak. Berbagai buku --termasuk karya Jamie Davidson dari Universitas Washington, Seattle, soal akar kekerasan di Kalimantan Barat-- menyebut pulau ketiga terbesar dunia ini selalu penuh dengan masalah keragaman etniknya. Davidson menelusuri ethnic cleansing orang Tionghoa dan Madura.

Alex dan Tanto orang Dayak. Hairul orang Bugis. Alex juga seorang penyair. Dia pernah diundang ke Sarawak, Malaysia karena puisi-puisinya. Alex, Hairul dan Tanto juga anggota Aliansi Jurnalis Independen, sebuah organisasi wartawan, yang giat kampanye anti-amplop.

Tindakan Djunaini sangat berani memecat langsung empat dari lima redakturnya. Nur Iskandar, redaktur pelaksana, yang ikut memotori mosi tersebut, tak ikut dipecat namun disingkirkan dengan halus lewat penunjukan Rido. "Saya memutuskan tidak bekerja Sabtu ini," katanya. Artinya, Djuanini sekaligus membabat habis lapisan redaktur paling atas di Equator. Hanya satu redaktur, Mutadi, yang tak disingkirkannya.

Rido Ibnu Syahrie, yang menggantikan Nur Iskandar, mulanya ikut rapat-rapat dan menandatangani mosi tak percaya Djunaini. Entah bagaimana dia bersama delapan karyawan lain kemudian berbalik arah dan membuat surat tandingan. Mereka tetap minta perbaikan manajemen, tapi tak menggugat status kedirekturan Djunaini.

Saya minta komentar Rido tentang surat tandingan itu, namun tak dijawab. Nur Iskandar mengatakan bahwa sesudah pemecatan, Djunaini, Rido dan kawan-kawan mengadakan rapat serta makan-minum.

Anton Perdana, koresponden Sanggau yang ikut barisan Rido, mengatakan mereka bisa memahami keputusan penonaktifan keempat rekan mereka, "Itu kebijakan pimpinan, kami ikut. Kami hanya ingin menyelamatkan tempat kami makan."

Mohamad Qadhafy, putra bungsu Djunaini yang menangani bagian event Equator, menolak tuduhan nepotisme. Dia menyebutkan bahwa dia sudah menulis untuk Equator sejak 2003. "Saya mulai bisa nyari duit dengan menggarap event sebelum bekerja di harian Equator," katanya.

Barisan Djunaini-Rido kebanyakan didukung koresponden Equator di luar kota Pontianak. Mereka termasuk Adrianus Jumadi (Landak), Darussalam (Ketapang), Indra Nova (Melawi), Yuni Kurnianto dan Ramdan (Singkawang). Seorang reporter baru, Aulia Marti, juga ikut gabung gerakan mendukung Djunaini ini.

Gerakan Djunaini-Rido mendapat momentum dari sebuah pertemuan di rumah Djunaini di daerah Parit Haji Husin pada hari Rabu, Lebaran kedua. Tujuan pertemuan mendukung Djunaini. "Pimpinan ternyata commit," kata Anton. Ketika Jumat malam saya hubungi, Djunaini menolak memberi komentar, "Maaf, internal."

Menariknya, Djunaini sempat memberi tahu saya akan memecat “yang tak suka” padanya hari Kamis siang, sehari sebelum peristiwa Jumat. Ketika itu saya ikut beberapa karyawan Equator bertamu ke rumahnya. Sapariah Saturi, tunangan saya, pernah bekerja untuk Equator. Sapariah mengajak saya ke sana untuk diperkenalkan dengan "Boss Djun."

Kami berbasa-basi saja. Djunaini (terlihat dalam gambar bawah) bicara soal mempersiapkan gedung baru sebelum dia "lengser." Dia mengatakan dirinya "owner Equator dan kuasa Jawa Pos." Dia juga cerita akan “mempersilahkan” orang yang tak suka padanya untuk keluar dari Equator.

Rumahnya dua tingkat, perabotan baru, mengkilat, desain modern, kitchen set rapi dan sebagainya. Di halaman banyak koleksi bonsai. Saya tak melihat ada rak buku di lantai satu namun di meja tamu tergeletak novel Tom Clancy, The Bear and The Dragon.

Rumah Djunaini kontras dengan kantor Equator di kawasan pertokoan Nusa Indah. Kantor kumuh. Perabotan bobrok. Komputer tua. Wartawan miskin. Alex sering bergurau bahwa tiga mobil yang sering parkir depan kantor Equator cuma mobil milik Djunaini, Mohamad Iqbal dan Mohamad Qadhafy: ayah dan dua anaknya.

Jumat malam, ketika baru dipecat, Hairul Mikrad kalut, memacu sepeda motornya keliling kota Pontianak. Dia sempat menerima pesan pendek dari nomor 0858-22059993, yang berbunyi, “Kau te dari mani anjing hitam yang kancut mak kau.” Artinya, “Kamu itu asalnya dari air mani anjing hitam yang menyetubuhi ibu kamu sendiri.”

Menurut Hairul, kalimat ini khas dialek Melayu Ketapang. Hairul beranggapan Djunaini tak mungkin mengirimkan pesan tersebut. Kemungkinannya, nomor itu nomor instant dan dikirim seorang kroni Djunaini yang tak mau diketahui identitasnya.

"Saya tidak sedih atau gundah dinonaktifkan, tapi saya sedih dengan kawan-kawan yang tidak komitmen," kata Hairul. Mayoritas pendukung mosi balik badan ketika melihat keempat rekan mereka dipecat. Nur Iskandar mengatakan mayoritas takut kehilangan pekerjaan. Surat buatan Rido bahkan diedarkan dan dimintakan tanda tangan lebih banyak lagi.

Yusriadi pucat sekali. Dia tidak biasa diperlakukan kasar. Dia sempat mengungkapkan kegeramannya pada Anton Perdana dengan menyebut Anton sebagai "tim suksesnya" Djunaini. Anton menolak tuduhan Yusriadi.

Menurut Tanto Jacobus, dia sudah punya firasat akan kehilangan pekerjaan. "Saya pikir, jangan-jangan ini hari saya terakhir kerja di Equator." Dia juga sudah menyiapkan isteri dan kedua anaknya untuk menghadapi perubahan situasi. "Kami biasa hidup miskin, tidak apa-apa," katanya.

(Asriyadi Alexander, Nur Iskandar dan Hairul Mikrad pernah ikut kursus jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau di Jakarta dengan ampuan Janet Steele dari Universitas George Washington dan Andreas Harsono dari Pantau.)

Mosi Tak Percaya Djunaini KS

Kepada Yth
Bp H Zainal Muttaqin
CEO Jawa Pos Group
d.a Jalan Ahmad Yani No 88
Surabaya-Jatim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salam sejahtera.

Berkenaan dengan hari baik bulan baik, Bulan Suci Ramadan 1427 Hijriyah, maka dengan ini kami karyawan-karyawati Harian Equator mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa kepada Bapak. Semoga amal ibadah kita semua selama menjalankan ibadah puasa itu diterima di sisi Allah Swt. Amin.

Berikut ini kami kirimkan satu berkas laporan Mosi Tidak Percaya kepada Pemred Harian Equator sekaligus Pimpinan Perusahaan/Dirut PT Kapuas Media Utama Press Sdr Djunaini KS. Demikian untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Pontianak, 5 Oktober 2006
Para Penandatangan
Karyawan-Karyawati Harian Equator

Tembusan disampaikan kepada Yth:
1. Bapak H Dahlan Iskan
2. Bapak H Untung Sukarti
3. Arsip



Mosi Tidak Percaya Kepada Pimpinan Redaksi Harian Equator
Pimpinan Perusahaan/Dirut PT Kapuas Media Utama Press Sdr Djunaini KS


Sangat disayangkan Harian Equator yang sudah melekat di hati masyarakat Kalbar sejak 1998 harus rusak gara-gara kepemimpinan yang tidak demokratis yang mencerminkan nilai-nilai dasar pers.

Harian Equator yang sudah tumbuh dan besar tidak diurus secara benar sehingga virus-virus negatif tumbuh besar. Perusahaan dijalankan di bawah kepentingan pribadi dibanding idealisme pers. Ibarat penyakit kanker, jika penyakit ini tidak segera diobati sejak dini secara cepat dan tepat maka akan berakibat fatal.

Kronologis I

1. Masalah kelistrikan menjadi masalah besar bagi Harian Equator. Selain sejumlah kerusakan komputer, juga molornya deadline. Mundurnya deadline adalah sesuatu yang sangat diharamkan untuk bisnis media. Sdr Djunaini KS agaknya sudah lupa dengan hal sakral tersebut.

2. Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan sekaligus Dirut, Sdr Djunaini KS sudah disarankan oleh para staf dengan cara-cara dialogis agar segera membeli genset agar faktor pemadaman listrik PLN bukan faktor pembatas dalam proses produksi. Sayang usul dan saran staf tidak diindahkan. Akibatnya hari demi hari komputer rusak dengan biaya maintenance (perawatan) jauh lebih besar.

3. Kepala Bagian Elektronic Data Processing (EDP) sudah menyarankan untuk pembelian UPS tapi dihardik dengan kata-kata menyinggung perasaan, “Kamu sejak menikah jadi banyak belanja barang elektronik!” Akibat kata-kata seperti itu tak lagi ada keberanian pengusulan oleh pihak EDP. Pimpinan juga tidak menyetujui pembelian UPS sehingga mempercepat kerusakan barang-barang elektronik kantor. Padahal UPS yang ada sudah uzur serta sudah lewat waktu untuk diganti. Pimpinan tidak bersikap rasionil.

4. Bukan hanya kerusakan alat elektronik, tapi setiap listrik padam sesuai jadwal atau di luar jadwal karyawan-karyawati menjadi tidak produktif karena hampir 100 persen pekerjaan di malam hari mengandalkan listrik. Begitupula telepon dan faximili kantor tak dapat digunakan. Akibatnya order iklan, masuknya pelanggan baru maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan interaksi luar dalam kantor menjadi mati suri. Pernah 11 materi iklan gagal terbit gara-gara listrik tak diurus dengan benar.

5. Sdr Djunaini KS pun hampir tidak pernah masuk kantor di pagi sampai sore hari. Kantor tidak diurus. Karyawan ibarat anak ayam tak punya induk.

6. Gaya kepemimpinan yang tidak demokratis Sdr Djunaini KS juga merusak hubungan timbal balik yang positif yang diharapkan dalam suasana kerja produktif. Misalnya setiap ada pemadaman listrik bukan genset yang hendak dibeli sebagai ikhtiar cerdas perusahaan yang dewasa, tapi pimpinan mengajarkan menelepon pimpinan PLN untuk dimarahi. Tak urung kata-katanya kasar. Tak cukup menelepon langsung, juga mendidik redaktur berbuat demikian. Bahkan kepada putra kandungnya agar bersikap serupa.

7. Karyawan resah. Hubungan baik dengan pihak PLN bisa rusak. Padahal PLN pelanggan dan pengiklan yang baik. Sikap Djunaini KS sama sekali tak mencerminkan pemimpin media yang seyogyanya mengedepankan sikap intelektual.

8. Bagian redaksi sudah bekerja lebih awal sebagai antisipasi pemadaman listrik. Tapi listrik byar pet menyebabkan data-data rusak. Tanpa genset akhirnya wartawan mengetik di luar kantor.

9. Pernah terjadi jadwal deadline molor hingga pukul 03.30 akibat tidak ada genset. Karyawan mencari akal dengan menggabungkan UPS yang masih ada untuk menghidupkan 1 komputer pracetak dan printer. Masih tak cukup kuat, tak urung, karyawan meminjam genset tetangga di tengah malam buta demi koran agar terbit. Pimpinan tidak ada di tempat dan tidak mau ambil peduli. Pernah juga Equator terpaksa harus naik cetak pada pukul 04.30 gara-gara listrik. Djunaini KS yang datang kantor pada malam hari hanya bisa berkata, “Udahlah bantai-bantai saja. Tak perlu menata wajah bagus-bagus kalau telat.”

Kronologis II

1. 6-8 September Harian Equator belajar tatawajah dari Georgia Scott seorang pakar desain New York Times. Djunaini KS tidak menunjukkan respek yang baik. Menyapa instruktur pun tidak. Padahal pelatihan dilakukan di ruang kerja redaksi Harian Equator. Acara dibuka oleh Gubernur yang diwakili Ass III, Djunaini KS juga tidak hadir. Hal ini tidak mengedukasi karyawan dan karyawati Harian Equator. Apalagi ketidakhadiran tanpa alasan yang jelas.

2. Hasil pelatihan menunjukkan perubahan penataan yang lebih profesional di mana aspek-aspek teoritis jadi diketahui padahal sebelumnya hanya mengandalkan insting.

3. Kata-kata yang keluar dari bibir Djunaini KS yang tak dipikir sebelumnya telah menyinggung solidaritas bagian lay out untuk berkreativitas sesuai hasil pelatihan yang pernah diikuti. Kata-kata seperti “Bantai-bantai saja,” pada saat halaman ditata sama sekali tak mencerminkan sikap Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan yang baik.

4. Secara psikologis batin Kabag Pracetak drop hebat karena berhadapan dengan pemimpin seperti Djunaini KS. Dua hari Kabag Pracetak tidak masuk karena berpikir media yang dipimpin oleh figur seperti Djunaini KS tak lagi punya masa depan. “Apalagi yang hendak dicari bagian pracetak jika seni tata wajah sudah dipungkasi dengan sikap bantai-bantai saja?!”

5. Ketidakhadiran Kabag Pracetak berpengaruh berantai kepada situasi kerja keredaksian. Jumlah penata wajah yang hanya 6 orang untuk 20 halaman berkurang 1 yang paling vital, yakni penata wajah halaman utama koran 1 dan utama koran 2. Sulih tugas berakhir dengan hasil yang tidak sesuai performa Equator karena dikerjakan dengan terburu-buru akibat saratnya beban penata halaman. Deadline juga molor 30 menit dari pukul 01.00 WIB. Djunaini KS saat dilapori terkesan jika Kabag Pracetak mundur ya biarkan sajalah.

6. Karyawan-karyawati bertanya kepada Kabag Keuangan apakah cukup dana untuk membeli genset di tengah suasana membangun gedung karena masih banyak jadwal pemadaman listrik? Kabag Keuangan mengatakan untuk pembelian yang standar kebutuhan cukup. Tapi rapat bisnis yang mengurai masalah-masalah kantor tanpa dipimpin Djunaini KS justru dinilai Djunaini KS sebagai tindak provokasi.

7. Kabag Keuangan dinilai tidak etis memberitahukan debet-kredit keuangan dalam rangka maintenance, ketentuan kenaikan gaji, bonus, kepemilikan Equator antara Jawa Pos dan Pontianak Post. Kabag Keuangan terancam diganti karena dinilai induknya provokator.

8. Djunaini KS juga menilai Kabag Iklan tidak punya kreativitas dalam meningkatkan pendapatan iklan. Di satu sisi Djunaini KS memuja-muji putranya yang diangkat sebagai Kabag Even Organizer. Dengan usia yang baru tamat SMA ketika menggantikan Zainuddin (keluar gara-gara berseberangan sikap dengan Djunaini KS) pembayaran upahnya sudah melebihi pembayaran seorang redaktur yang memiliki masa kerja lebih tiga tahun. Putra Djunaini KS bekerja dengan surat penunjukan dari Djunaini KS.

9. Djunaini KS juga berkeinginan mendirikan anak perusahaan di bawah payung Equator padahal situasi sedang krisis. Bisnis inti Equator sedang terseok-seok. Sdr Djunaini KS mengutip pernyataan Pak Dahlan Iskan bahwa Beliau sudah setuju. Dalam hal ini karyawan ingin bertanya benarkah Pak Dahlan setuju ada perusahaan di dalam perusahaan yang fundamen bisnisnya saja belum kokoh? Dibenarkankah mendirikan perusahaan tanpa ada pembicaraan sebelumnya? Betulkah cara mendirikan perusahaan tanpa unsur pimpinan dilibatkan untuk mengetahui target, ruang gerak dan struktur permodalan? Struktur dan tanggung jawab perusahaan? Yang ditunjuk sebagai Dirut adalah putra Djunaini KS? Yang dalam aktivitas perusahaan itu mengintervensi Harian Equator?

Kronologis III

1. Rapat bisnis setiap hari Senin dan rapat produksi setiap hari Rabu adalah kreativitas middle manager untuk mengatasi masalah-masalah sedini mungkin tanpa pernah dihadiri Djunaini KS. Tak pernah juga ada petunjuk yang jelas darinya sebagai pimpinan. Cukup banyak masalah yang bisa diselesaikan, tapi berkenaan dengan keputusan strategis tetap butuh pimpinan, Djunaini KS. Sayang ia tak mengurusi Equator yang bersemangat tumbuh. Jika diurus, Equator bisa berkembang jauh lebih baik.

2. Situasi negatif berurat-berakar sejak masalah listrik, pembangunan gedung, overlap Even Organizer (EO) dan kontraktor serta intervensi redaksi dilakukan demi kemulusan proyek kontraktor (putra Djunaini KS). Intervensi itu didukung Djunaini KS dengan mengarahkan wartawan atau redaktur untuk memblack-list tokoh-tokoh tertentu. Termasuk Bupati Kabupaten Pontianak di mana putranya mengusulkan 6 proyek bernilai Rp 1 miliar. Di satu sisi tokoh LSM yang tak kredibel pun boleh digunakan sebagai narasumber. Harian Equator jadi gamang. Kepala Biro diperintah di luar garis kebijakan dewan redaksi. Idealisme pers digadaikan.

3. Hasil rapat bisnis pada Senin, 25 September merumuskan sembilan poin pokok untuk dibahas bersama Djunaini KS. Ke-9 poin itu meliputi:

a. Genset
b. SK karyawan
c. Gaji
d. Transparansi pembangunan gedung
e. Anak perusahaan
f. Sistem dan manajemen
g. Karakter pimpinan
h. Kontrak kerja
i. Komputer (pengadaan)

4. Poin tersebut disampaikan kepada Sdr Djunaini KS secara gentlement-dialogis. Djunaini KS menerima laporan secara terbatas di ruang kerjanya pukul 21.30-23.00 WIB setelah sebelumnya sempat mencak-mencak. Orang tertentu dituduh sebagai provokator. Karyawan tetap kesatria sehingga semua dibahas kecuali menyisakan poin c. “Ada waktu khusus untuk menjawab masalah tersebut,” ujarnya.

5. Poin a diterima dengan pembelian genset. Pesan pagi, sore dipasang. Besok genset sudah operasional. Pada saat jadwal pemadaman malam situasi kerja tidak terganggu. Jika saja keputusan membeli genset ini dilakukan sejak awal, banyak kerugian bisa ditekan. Poin lain yang dibahas hasilnya masih mengambang.

6. Dengan adanya genset situasi kerja mulai membaik, namun Sdr Djunaini KS seperti balas dendam dengan menjatuhkan “air muka” staf di depan yang lain. Mulai dari kritik wacana pemindahan Pelabuhan Pontianak dengan komentar, “Ketua DPRD Kota, Gusti Hersan tidak perlu dimuat lagi. Dia ....(maaf, tak patut untuk dituliskan).” Komentar yang tak sepatutnya dilontarkan oleh sosok pemimpin redaksi. Black list tokoh untuk kepentingan sesaat Sdr Djunaini KS semakin bertambah panjang. Berikut tokoh-tokoh yang diminta diblacklist:

a. Rousdy Said, SH, MS → Pakar hukum
b. Drs Cornelis, MH → Bupati Kab Landak
c. H Uray Faisal hamid → DPR RI/DPW PPP Kalbar
d. HM Akil Mochtar, SH, MH → Calon Gubernur, DPR RI
e. Drs AR Muzammil, M.Si → Tim Sukses Akil Mochtar
f. H Gusti Hersan Asli Rosa, SE → Ketua DPRD Kota
g. Drs H Agus Salim, MM → Bupati Kab Pontianak
h. Cecep Priyatna, SH → Advokat
i. Lie Kie Leng / Lindra Lie → Ketua Yayasan Bhakti Suci
j. Adhie Rumbee → Ketua Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) KB
k. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar → Kontra sawit
l. Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalbar → Dinilai kontra sawit
m. Drs Amran → Ketua PSI dinilai menghambat proyek Equator (Proyek apa?)

Kronologis IV

1. Senin, 2 Oktober 2006 Rapat Rutin Dewan Redaksi membahas standar liputan lapangan, evaluasi penulisan tajuk rencana, evaluasi program Ramadan dan sosialisasi hasil rapat bersama Djunaini KS soal 9 poin masukan karyawan setelah Rapat Bisnis. Disepakati rapat pada Sabtu 7 Oktober untuk menyiapkan draft serta system manajemen sebagai bahan pembahasan bersama Djunaini KS. Semangat kerja redaksi masih full untuk memberikan yang terbaik bagi Harian Equator. Berhadapan dengan karakter pimpinan seperti Djunaini KS ibarat paku, jika tidak diketuk tak akan masuk. Jadi, planning disusun dari bawah.

2. Pukul 15.30 dalam perjalanan pulang dari liputan Gas Metan Rawa serta Ikan Salamander di Nipah Kuning, Redpel ditelepon dengan pernyataan Redpel bekerja tidak selektif, tidak patuh pada titah dan perintah pimpinan (Djunaini KS) bahwa HM Akil Mochtar, SH, MH diblack-list di Harian Equator tetap dilanggar. Terbukti dengan tulisan yang ditulis redaktur Harian Equator, Dr Yusriadi. (Tulisan dilampirkan). Redpel meloloskan naskah itu karena memang kebijakan redaksional menempatkan masing-masing kandidat secara proporsional, jadi bukan kepentingan orang tertentu di Harian Equator. Dalam program keredaksian selain proporsional, juga menganut azas “news value” serta syarat-syarat sebuah story layak halaman 1. Naskah itu bisa dicek syarat maupun kerukunannya. Adakah dia layak disebut naskah Tim Sukses Akil Mochtar? Naifnya, Sdr Djunaini KS juga memblack-list Drs AR Muzammil, M.Si sosok tim sukses Akil Mochtar. Merembet-rembet.

3. Dr Yusriadi dalam rapat redaksi menyatakan dia bukan Tim Sukses Akil Mochtar bahkan bertemu pun tidak sering, kecuali hanya sekali berjabat tangan, namun Sdr Djunaini KS sewenang-wenang memfitnah Yusriadi dan menyatakan jika dia hendak keluar lebih baik keluar saja dari Harian Equator. Hal ini sangat tidak layak dilakukan pimpinan, apalagi Yusriadi adalah wartawan paling senior di Harian Equator. Jika kepada pegawainya pimpinan tak melindungi apalagi yang jauh lebih muda, yang jauh dari S3? Sebaliknya dalam hal SDM untuk melahirkan doktor linguistik apakah Equator cukup punya dana?

4. Penistaan pada karya jurnalistik seperti dilakukan Sdr Djunaini KS tanpa dasar news value dan sikap memblack-list cagub tertentu adalah pemasungan kerja, kreativitas, dan kebebasan berpikir maupun berpendapat. Dengan kata lain idealisme pers sebagai “watch dog” telah digadaikan demi kepentingan pribadi yang subjektif. Hal ini sudah melanggar fungsi pers yang informatif dan edukatif.

5. Pada malam hari Senin, 2 Oktober masuklah empat naskah dari wartawan yang ikut kunjungan lapangan bersama Akil Mochtar di Ketapang, saat diedit redaktur Sdr Djunaini KS langsung intervensi dengan langsung memblock berita tersebut untuk tidak keluar. Pesan koran 400 eks pun gagal. Padahal program redaksi sudah disepakati bersama bagian pemasaran dan iklan terkait program Pilgub 2007. “Kalau bayar 10 juta saya masih mampu,” kata Djunaini KS. Hal tersebut benar-benar kontra-produktif seperti program kerja yang dicanangkan sebelumnya atas kesepakatan bersama lewat Rapat Dewan Redaksi. Padahal Djunaini KS pernah berkata sebelumnya, “Saya bukanlah dewa. Keputusan yang dijalankan di Equator adalah hasil rapat bukan dari orang perorang.” Ternyata Djunaini KS melanggar amanatnya sendiri. Dia telah jauh berubah.

Kronologis V

1. Kamis (5 Oktober 2006) pukul 00:30, Sdr Djunaini KS tiba di kantor redaksi untuk kali kedua pada hari itu. Ia tiba-tiba mengatakan agar segera mengembalikan Stevanus Akim yang sudah ditarik ke kantor pusat di Pontianak ke Biro Kabupaten Pontianak. Ia beralasan, tersinggung. Karena pemindahan itu dianggapnya bertendensi politis terkait Sdr Ahmadi sebagai Ketua DPW PPP Kalbar yang juga anggota DPRD Kabupaten Pontianak. Padahal, penempatan Sdr Akim di kantor pusat sudah melalui rapat dewan redaksi untuk menunjang kesuksesan program Suksesi Pilgub 2007.

2. Sdr Djunaini KS menyatakan, kepala biro apabila ditarik ke kantor pusat semestinya langsung menjadi redaktur. Padahal belum ada ketentuan dari perusahaan menyangkut soal itu. Maka alasan ini sangat mengada-ada. Banyak contoh kepala biro ditarik ke kantor pusat tapi bukan untuk jadi redaktur.

3. Penempatan Sdr Akim kembali ke Kabupaten Pontianak tak lebih dari kebutuhan putra Sdr Djunaini KS untuk melakukan lobi proyek dan atau mempresure Bupati Kabupaten Pontianak. Hal itu hanyalah semata untuk kepentingan pribadi atas nama Harian Equator.

Berdasarkan kronologis I s.d V di atas kami menyatakan secara tegas bahwa:

1. Independensi pers Harian Equator dipasung oleh Sdr Djunaini KS untuk kepentingan pribadi Djunaini KS serta kroni-kroninya.

2. Djunaini KS tidak menjalankan fungsi manajemen.

3. Karyawan didoktrin tidak boleh memiliki loyalitas ganda tapi Sdr Djunaini KS melakukannya.

4. Anak perusahaan yang dipimpin putra-putra Djunaini KS mengintervensi iklan, pemasaran, keuangan dan redaksi Harian Equator diback-up Djunaini KS.

5. Akibat intervensi dan tingginya kepentingan pribadi dibanding idealisme pers dan bisnis pers, perusahaan menjadi stagnan dan penjualan cenderung terus turun.

6. Sdr Djunaini KS telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan seperti menampar pipi dan pelecehan dengan kata-kata dalam bekerja.

7. Sdr Djunaini KS menyatakan tidak setuju terhadap program redaksi untuk laporan Pilkada 2007 yang diorientasikan bagi pertumbuhan dan perkembangan Harian Equator.

Kami (32 tanda tangan terlampir) merekomendasikan kepada unsur pimpinan dalam lingkup Jawa Pos Group agar melepaskan jabatan Sdr Djunaini KS sebagai Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan sekaligus Dirut PT Kapuas Media Utama Press sesegera mungkin. Jika hal tersebut tidak diindahkan hingga Selasa, 7 November 2006 maka kami akan melakukan mogok kerja, dan atau langkah lain jika dipandang perlu.


Ditetapkan di Harian Equator
Pontianak, 5 Oktober 2006

Sunday, October 22, 2006

37 Jam Dipermainkan KM Munic

Ketika Jusuf Kalla Jumat kemarin sibuk memuji prestasinya sendiri selama dua tahun jadi wakil presiden ­"Nilainya sembilan dari total 10," pujinya-- saya bersama ribuan calon penumpang sibuk mempertahankan kemanusiaan kami di pelabuhan Tanjung Priok. Perasaan, tak ada tanda apapun bahwa telah terjadi perbaikan dalam pengaturan angkutan Lebaran.

Kami menunggu kapal Munic Lines, jurusan Jakarta-Pontianak, sejak Jumat pukul 8:00 hingga akhirnya kesal dan memutuskan pulang ke rumah di Jakarta Sabtu pukul 21:00. Para penumpang tidur di lantai, ada yang kehilangan uang, berjejal-jejal untuk mencari tempat menggelar tikar, berebut macam hewan ternak digiring satu kandang ke kandang lain, masuk ke sebuah pintu ukuran setengah meter dengan rebutan 300 orang lebih, toilet tak cukup, AC mati, tanpa pengumuman, pendek kata, akal sehat kami dihina selama 37 jam.

Kami mulanya pesan tiket Batavia Air namun dibatalkan sesudah airport Supadio ditutup. Alasannya, pesawat tak bisa terbang karena tebalnya asap kebakaran hutan (Pertanyaan buat Jusuf Kalla: Apa kebakaran hutan sudah diatasi bila nilainya memang sembilan?).

Sapariah Saturi, pasangan saya, membeli tiket kapal Munic di PT Mila Muris Mala Perkasa di Tanjung Priok (021-43930389 dan 021-43935775) seharga Rp 185,000 per orang.

"Nani" dari PT Mila Muris mengatakan kapal berangkat Jumat pukul 10.00. Kami diminta "harus" sudah di pelabuhan sejak pukul 08.00 buat masukin barang.

Jumat pukul 08.00 kami tiba di Tanjung Priok. Tapi pukul 10.00, Nani menelepon dan bilang kapal ditunda. Dia mengatakan kapal terlambat masuk. Nani mengakui sebelumnya dapat informasi kapal akan datang pukul 18.00. Dia mengatakan sengaja tak menelepon penumpang, "Toh masih hari yang sama." Bayangkan beda delapan jam dan dianggap tak perlu memberitahu penumpang? Lalu Nani mendapat informasi lagi kalau kapal ternyata ditunda hingga Sabtu pukul 14.00. Maka Nani memutuskan menelepon karena bedannya 28 jam.

Banyak penumpang, yang tak punya tempat singgah di Jakarta, terpaksa tidur di terminal penumpang Tanjung Priok. Ada satu keluarga dari Bandung dengan bayinya tidur disana. Kami sendiri memilih pulang ke rumah Jakarta.

Keesokan harinya, pukul 10.30 kami sudah tiba di pelabuhan. Manajemen pelabuhan mengatakan hari itu, pukul 15:00 kapal Munic dijadwalkan berangkat ke Pontianak.

Sekitar pukul 12:00, penumpang mendapat gosip kalau kapal baru berangkat sore. Semua serba simpang siur. Sampai pukul 14.00, ratusan penumpang, entah dapat gosip dari mana, serentak berebut berdiri di depan pintu masuk, menunggu dibuka karena kapal sudah tiba.

Ternyata kapal Munic mau bongkar muat dulu. Kapal ini jenis roll-on-roll-off, muatan barang dan penumpang. Maka berpuluh truk diatur keluar dari lambung kapal. Pukul 16.00 penumpang masuk, berebut macam ternak, bantuan kuli pelabuhan seharga Rp 30,000 untuk mencari tempat.

"Kapal ini tidak layak mengangkut manusia. Air minum saja tidak ada. Ini overload," kata Hotma Hutapea, seorang penumpang, yang juga aktivis Rakyat Pemantau Reformasi. Namun seperti mayoritas penumpang, Hutapea tak melawan, lebih baik menunggu, penting kapal bisa berangkat dan orang bisa liburan di kampung halaman.

Dia memperkirakan kapasitas kapal sekitar 200 penumpang namun dijejali hingga 600 lebih. Jumlah pelampung ­syarat layak jalan sebuah kapal‹tak cukup untuk seluruh penumpang. AC kapal tak dihidupkan. Menunggu beberapa jam dengan suhu panas Tanjung Priok, apalagi yang ada dalam kabin ruang duduk, bisa pakai sabun seraya mandi keringat. Namun dalam kapal pun tak ada kejelasan kapan berangkat.

Kapten Muhammad Nur mengatakan pada Anteve bahwa kapal terlambat karena terjadi pendangkalan pelabuhan Banjarmasin. Dia menjamin air cukup tersedia dan penumpang tanpa karcis akan diminta keluar mengingat kapal kelebihan kapasitas. Kapten menyalahkan "agen" yang tetap menjual karcis walau kapasitas kurang.

Namun Nani menyalahkan kapal yang tak memberitahu kepastian tiba. Pemilik kapal, seorang pengusaha bernama "Nicky" datang ke Priok, memakai kaos polo warna hitam-garis-putih, tertawa bercanda dengan karyawan dan petugas pelabuhan.

Hutapea menghitung kasar. Bila setiap penumpang bisa didapat bersih Rp 100 ribu maka Nicky panen Rp 600 juta dari penumpang. Belum lagi ongkos ratusan sepeda motor baru, belasan truk dan muatan lain. Nicky bisa dapat Rp 1 milyar dengan ongkos solar sekitar 15 ton atau sekitar Rp 65 juta. Angkutan Lebaran jadi tambang uang.

Hingga pukul 20:00 janji Kapten Nur tak dipenuhi. Mundur pukul 22.00, lalu mundur lagi pukul 23.00. Anak saya, Norman, sering bilang "panas dan bosan." Anak-anak lain tertidur di lorong, depan toilet, buka baju dan sebagainya.

Kami memutuskan turun dari kapal. Kami secara finansial rugi Rp 1 juta lebih untuk ongkos bolak-balik, beli tiket, telepon pembatalan dan sebagainya. Mungkin Lebaran adalah nasib baik bagi pengusaha macam Nicky atau nahkoda macam Nur.

Kami beruntung bisa cari tiket Batavia Air (Supadio dibuka lagi) dan ganti pesawat. Namun ratusan penumpang Munic tetap terperangkap dalam kesengsaraan. Setiap tahun jutaan orang juga tak punya uang untuk beli tiket pesawat dan harus rela diperlakukan macam ternak.

Saya ingat pengalaman pertama pada 1982 mudik Lebaran, ketika sekolah di Malang dan pulang ke rumah orang tua di Jember. Capeknya, sesaknya, tak manusiawi, berjejal, sedemikian rupa sehingga saya memutuskan menghindar dari bepergian saat Lebaran.

Kini 24 tahun berlalu, saya coba lagi, ternyata masih sama. Membaca suratkabar dan menonton televisi, ceritanya juga sama saja, masih bolak-balik kisah sedih mudik Lebaran. Orang ditipu dengan harga melangit. Pengusaha cari untung. Pemerintah cuma bikin pujian diri sendiri.

Pertanyaan untuk Jusuf Kalla (dan Nicky): Tahi kebo macam apa pula ini?

Monday, October 16, 2006

Peace and Conflict Reporting Workshop

Ini sekedar informasi awal untuk sesama wartawan yang concern dengan jurnalisme berbahasa Melayu. LP3ES Jakarta, Universitas Sains Malaysia dan Yayasan Pantau akan bikin sebuah workshop untuk wartawan pada awal Desember ini tentang bagaimana meliput konflik dan perdamaian.

Tujuannya, membuat sebuah forum dimana isu-isu hangat soal konflik di berbagai tempat di Indonesia bisa didiskusikan bersama. Hasilnya, kalau bisa, juga berupa esai dari masing-masing peserta. Esai yang dianggap representatif akan kami kumpulkan dan diterbitkan sebagai buku soal "conflict reporting."

Ambisinya, kalau bisa ini jadi semacam referensi gimana peliknya meliput konflik. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan wartawan bila menulis soal konflik. Bagaimana soal terima amplop atau duit tambahan lain? Bagaimana soal ikutan bela agamanya, etniknya, kebangsaannya atau golongannya? Bagaimana soal memakai istilah, misalnya, "rumah ibadah" atau "gereja atau masjid yang dibakar"?

Badrus Sholeh dari LP3ES dan Mustafa Anuar dari USM lagi mencari pembicara untuk workshop ini serta menyusun budget. Budget dari Ford Foundation tidak banyak sehingga akan diadakan di Jakarta (kalau bisa sih diadakan di Ambon, Dili atau Jayapura tapi khan mahal). Namun akan ada uang pesawat terbang serta hotel gratis.

Secara draft, mereka kini mencoba mencari orang-orang yang bisa mengisi sesi-sesi berikut:

- Aceh independent movement and peace agreement (Acehkita columnist Otto Syamsudin Ishak)
- Dayak revitalization, Malay struggle and Madurese ethnic cleansing (UI reseaher Iqbal Jayadi)
- Poso's ethnic and religious concern (writer George J. Aditjondro)
- Minahasa seeking identity and history (Gerakan Minahasa Merdeka politician Dolfie Maringka)
- Maluku sectarian problem (peace activist Ihsan Malik)
- Papua independence movement (Papua writer Frans Maniagasi)
- East Timor's independence and West Timor's worry
- Java's communist past (historian Asvi Marwan Adam or former communist prisoner Oei Hay Djun)
- Ethnic Chinese discrimination and economic power in Indonesia


Coba Anda bayangkan, kapan lagi bisa dapat workshop dimana dari Aceh hingga Papua, dari Jawa hingga Timor Leste, dibahas dalam satu paket?

Syaratnya, saya usulkan wartawan yang sudah punya pengalaman kerja cukup lama (sudah komitmen jadi wartawan), integritas utuh (bebas amplop dan bebas partai politik) serta mampu menulis sebuah esai tentang conflict reporting. Pantau biasanya juga bikin seleksi orang dari karyanya.

Ini sekedar --pinjam bahasa perwayangan Jawa-- "woro-woro" agar orang yang berminat dalam list ini bisa mulai mikir-mikir. Kami juga mendatangkan beberapa pengamat dari Bangkok, Manila, Davao dan Penang. Mereka profesor-profesor yang aktif dalam mempromosikan perdamaian di Asia Tenggara.

Saya kira, kalau disain ini bisa berjalan bagus, ia bakal jadi workshop yang ciamik!

Wednesday, October 11, 2006

Buset, Saya dan Workshop di Balikpapan

Oleh SAHRUDIN

"Buset, tapi bukan buaya darat," kata Budi Setiyono, ketika memperkenalkan diri di hadapan 16 peserta Mining Workshop di Balikpapan, 26 September lalu. "Buset" adalah nama panggilan Budi Setiyono. Dia menyandingkannya dengan lirik lagu milik duet Ratu: Buaya Darat.

Sebelumnya, saya membaca nama itu berikut beberapa tulisannya di "mendiang" majalah Pantau dan di situs Pantau. Jadi, bisa dibayangkan betapa girang diri ini bisa bertemu langsung dengan Buset. Layaknya berjumpa tokoh idola saja. "Oo, ternyata kayak gini toh orangnya", batin saya di awal perjumpaan dengannya.

Buset adalah "Man with Hat and Jacket" – itu kalau boleh saya memberinya julukan. Dalam sebuah posting di www.pantau-foundation.blogspot.com, saya melihat Buset menjadi moderator “Seminar Investigasi” di Jakarta, 20 Desember 2005. Pembicaranya, Bambang Harymurti dan Bondan Winarno. Terlihat pada potret, Buset memakai topi warna hitam dan mengenakan jaket warna krem. Di Balikpapan pun begitu: bertopi hitam yang di sisi kirinya ada tulisan bordir "Pantau", serta berjaket warna krem. Buset melepas topinya setelah Charles Imanuel, seorang peserta yang juga wartawan harian Tribun Kaltim, menegurnya,"Kenapa di ruangan pakai topi?"

Selain Buset, ada pula Samiaji Bintang. Lulusan STT Telkom Bandung tahun 2002 ini pernah bekerja di Tribun Kaltim selama tiga tahun. Lepas dari harian itu, Bintang masuk Pantau menjadi kontributor Aceh. Saya membaca tulisan-tulisan Bintang di situs Pantau dan weblog Andreas Harsono.

Buset merokok Gudang Garam International, Bintang tidak merokok. Buset berkulit kuning, Bintang hitam seperti saya. Kalau Buset cenderung kalem, Bintang cukup cekatan dan tangkas dalam bergerak: des, des, des! Saya ikut Buset, Bintang dan Siti Munawarah menata ruangan tempat diadakannya acara. Siti adalah panitia workshop. Dia bekerja untuk harian Bisnis Indonesia.

Ketiga orang baik itu juga mengajak saya makan malam. Sempat basa-basi menolak, tapi kemudian ikut -begitulah saya menyikapi tawaran kawan baru. Kami makan ikan bawal dan trakulu goreng di sebuah kedai di Jalan A. Yani. Malam itu, meja kami penuh oleh piring-piring bermuatan makanan dan gelas-gelas berisi es jeruk dan es teh. “Sampai capek makan”, kata Buset. Penulis cerita “Ngak-Ngik-Ngok” ini membayar semuanya. Saya lirik, Buset merogoh beberapa lembar lima puluh ribuan dari kantung celananya.


Selasa, 26 September adalah hari dimulainya Mining Workshop. Acara ini merupakan perpaduan antara training jurnalistik dan persoalan seputar dunia pertambangan. Pada silabus, sesi pertama tertera jam delapan pagi, tapi acara baru dimulai kira-kira 20 menit selepasnya.

Di awal acara, Buset terlebih dulu memperkenalkan diri, disusul satu persatu peserta. Kecuali saya, semua peserta punya lembaga tempat bernaung, baik penerbitan, penyiaran juga NGO. Saya satu-satunya peserta yang tak tergabung dalam institusi jurnalistik manapun. Lebih tepatnya, saya satu-satunya orang yang berprofesi bukan-wartawan dalam workshop ini. Pada daftar hadir, kolom "lembaga" saya ditik "freelancer" oleh panitia. Saya beruntung, sebab saya akan merasa tak nyaman hati bila peserta lain tahu profesi saya sebenarnya: tukang cuci truk dan bus di Samarinda.

Buset mengisi dua sesi. Masing-masing sesi berisikan materi yang tak jauh-jauh dari istilah-istilah "jurnalisme sastrawi", "piramida terbalik", "feature", "narasi", "jurnalisme investigatif", "sembilan elemen jurnalisme" serta beberapa yang lain. "Saya sebenarnya jangkar saja. Pembicaranya Keith Slack, besok," tutur Buset.

Para peserta dipancingnya untuk mengutarakan pendapat maupun pertanyaan. Satu, dua orang melancarkan kalimat-kalimat. Ada yang bertanya, ada pula yang memaparkan gagasan, kesepakatan sampai ketidaksetujuan. Beberapa peserta menceritakan pengalamannya selama bekerja sebagai pewarta.

Buset memberikan pekerjaan rumah. Satu orang peserta diminta melakukan wawancara dengan satu orang lainnya, lalu dituangkan ke dalam bentuk narasi. Pekerjaan rumah itu rencananya akan dibahas bersama-sama pada hari terakhir. Belakangan, hanya satu orang saja yang membuat pekerjaan rumah, yakni Charles Imanuel. Charles menulis tentang kondisi bekas sebuah areal pertambangan emas di Kutai Barat. Tulisan Charles itu yang kemudian dijadikan bahan diskusi.

Setelah Buset, ada Syarifuddin, direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur. Syarifuddin adalah alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, Samarinda. Bang Udin berbicara tentang dampak-dampak berbagai praktik penambangan dan pembabatan hutan di Kalimantan Timur.

Beberapa peserta yang sepertinya memiliki cukup wawasan soal bidang ini menyambut pancingan Bang Udin. Susyla, kontributor Media Indonesia dan Antara, memaparkan pengalamannya membuat berita lingkungan.


Acara ini diadakan oleh Yayasan Pantau dan Initiative for Policy Dialogue. Ia diadakan di bulan Ramadhan. Pada hari ketiga workshop, saya membatalkan puasa karena mesti minum obat. Sejak sebelum makan sahur, mendadak dada saya panas, tenggorokan seperti terkena radang, suara menjadi serak dan berat. "Mungkin kaget kelamaan tidur di tempat enak," kata Eva Danayanti dari Yayasan Pantau.

Selama workshop berlangsung, peserta dari luar Balikpapan memang diinapkan gratis di Hotel Pacific, tempat diadakannya acara. Sehari sebelumnya, bersama Keith Slack, Eva datang dari Manokwari. Bersama Eva, saya sempat makan sahur ditemani Siti, Muhammad Fadli, Bintang, Lazuardi Saragih dan Dani. Muhammad Fadli adalah seorang penulis sekaligus aktivis lingkungan hidup di Kalimantan Timur. Dua nama yang terakhir datang dari Banjarmasin.

Sebab kenyamanan tubuh yang terganggu itulah, sesi pertama dan kedua yang diampu oleh Keith Slack dari Oxfam America, akhirnya urung saya ikuti. Tapi sebelumnya, pada hari kedua, Keith sudah berbicara cukup panjang mengenai mining. Katanya, beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin tengah menghadapi dampak serius akibat praktik penambangan. Tak jauh berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia: Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi serta Sumatera. Keith menekankan, "Suatu negara yang mengalami ketergantungan oleh tambang, maka sudah pasti negara itu tengah dililit utang yang hebat." "Sebuah negara yang kaya akan tambang, maka kaya pula ia akan utang." Ah, benarkah demikian? Yang jelas, Keith juga memberikan alasan-alasan logis, yang cocok dikonsumsi akal.

Keith berbicara dalam Bahasa Inggris, Samiaji Bintang menjadi interpreter. Belum selesai satu kalimat Keith bicara, Bintang sudah memotongnya lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Mungkin ini sudah menjadi kesepakatan mereka.

Pada sesi-sesi Keith itu, ramai peserta tunjuk jari. Hampir semuanya bertanya dan mengemukakan argumen dalam bahasa Melayu. Tugas Bintanglah yang menyampaikannya pada Keith melalui bahasa Inggris. Itoy, seorang juru warta perempuan dari Antara, beberapa kali berbicara memakai Bahasa Inggris. Siti juga bertanya dalam bahasa Inggris.


Di hari pertama, ke dua dan ke tiga, panitia membagi-bagikan beberapa buku dan makalah mengenai jurnalisme dan mining. Majalah Pantau edisi Desember 2003 berikut t-shirt Pantau terbaru juga dibagikan cuma-cuma.

Dalam sebuah kesempatan, Samiaji Bintang berbicara di depan peserta tentang rencana pembuatan milis sebagai wadah diskusi lanjutan bagi peserta workshop. Bintang menunjuk Lazuardi mengurusi milis tersebut. Belakangan, milis itu pun terwujud, dan dinamai “pantau-pasific”.

Mengapa “pantau-pasific”? Barangkali, Lazuardi berniat mengajak para peserta agar selalu ingat akan workshop yang diadakan oleh Yayasan Pantau, bertempat di Hotel Pacific, Balikpapan.

Saya beruntung bisa mengikuti workshop ini. Saya berutang budi pada beberapa orang: Andreas Harsono, Rusman dari The Jakarta Post, Siti Munawarah dan Eva Danayanti. Andreas yang pertama kali memberi info pada saya perihal acara ini. Kemudian Rusman menghubungkan saya dengan Siti. Eva menelepon saya dan mengatakan bahwa sehari sebelum workshop dimulai, saya sudah bisa check in di Hotel Pacific.

Mining Workshop in Balikpapan berakhir pada 29 September. Malam sebelum berpisah, saya ikut Siti, Buset dan Bintang jalan-jalan ke sebuah toko buku. Siti membeli buku bernuansa Islami. Kami menghabiskan malam di sebuah kafe di kawasan Bandar Baru, persis di muka pantai. Lagi-lagi, Buset yang menjadi bos. Dia membayar beberapa cangkir kopi yang kami minum.

Monday, October 02, 2006

Mahasiswa IAIN Ar Raniry

SIANG INI aku terkejut ketika mengetahui hanya dua dari 34 mahasiswa di kelasku yang mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka adalah Rika Mufazallati dan Mahyaruddin EMK. Mereka bikin PR soal menulis dalam format piramida terbalik.

Sisanya, bilang tidak tahu kalau ada PR (Jumat lalu tak masuk) atau bilang mengerjakan PR satunya soal riset internet. Kebanyakan bilang tak ada event yang bisa diliput dan dijadikan berita. Memang ada dua macam PR. Satunya lagi menggunakan Google atau Wikipedia mencari data seseorang.

Mahyar pun sebenarnya hanya mencetak laporan lama. Dia kebetulan jadi kontributor sebuah suratkabar Medan. Dia pakai laporan itu sebagai PR. Jadi, praktis hanya Rika yang mengerjakan PR.

Sejak Jumat lalu, aku mulai mengajar kelas, Reporting, Writing and Editing di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh. Ini kelas bersama. Aku tidak mungkin mengajar sepanjang semester karena aku tinggal di Jakarta.

Maka Linda Christanty, seorang penulis dan kepala Pantau Banda Aceh, mengajar separuhnya. Kami masing-masing mengisi delapan kali pertemuan. Linda memulai kelas ini lebih dulu. Aku giliran sejak minggu lalu.

Jumat lalu, aku memberikan dua PR. Maksudnya, aku ingin mahasiswa berlatih riset internet. Ada delapan menyerahkan tugas riset: Junaidi, Zulfa Rumaya, Novia Liza, Saifuddin, Nursaadi dan Ira Marzayani. Sisanya, juga tak mengerjakan PR.

Sebel juga. Di Jakarta, bila aku mengajar di kursus Pantau atau di Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia, perasaan hanya satu atau dua orang yang tak mengerjakan PR. Mereka biasanya merasa rugi sendiri. Mereka kehilangan kesempatan belajar menulis dan dikritik. Di Manokwari minggu lalu, juga hanya dua atau tiga orang dari satu kelas, yang tak bikin PR. Mayoritas bikin PR.

Nah, di IAIN Ar Raniry ternyata mayoritas tak kerja PR.

Mungkin salah aku juga. Aku menekankan bahwa mereka tidak boleh menyontek. Daripada menyontek, lebih baik tidak mengerjakan PR. Kalau pun sibuk, aku bilang aku juga tidak keberatan mereka tak bikin PR. Maksudnya, aku ingin mahasiswa bersikap sebagai orang dewasa.

Hasilnya, mayoritas tidak mengerjakan PR. Padahal ini kelas menulis. Setiap kali pertemuan, kami akan membahas hasil tulisan mereka. Mana mungkin bisa belajar menulis bila mereka tidak berlatih menulis?

Lagi pula, bagaimana mereka bisa mengerjakan tugas akhir penulisan (membuat sebuah feature) bila dari sekarang tak berlatih elemen-elemen penulisannya? Aku bilang bahwa aku mau mengajar di IAIN Ar Raniry karena permintaan dari beberapa orang Aceh yang aku hormati. Antara lain, Daud Jusuf, mantan menteri pendidikan Jakarta, Imam Syuja' dari Muhammadiyah atau Sjamsul Kahar dari harian Serambi. I'm doing this not for money.

Mereka kebanyakan diam. Belakangan, ketika setiap kali bicara aku menyinggung ketiadaan PR, mereka mulai tersenyum. Aku mungkin juga harus memberi tugas yang lebih definitif. Mereka mungkin belum tahu apa news tersebut.

Hari ini kami pakai untuk membahas pekerjaan Rika dan Mahyar. Mereka berdua beruntung. Mereka punya kesempatan karyanya dibahas mendalam.

Mudah-mudahan pada sesi-sesi berikutnya mereka mau mengerjakan PR ... dengan kesadaran sendiri. Aku tetap pada keputusan aku bahwa mengerjakan PR bukan kewajiban. Aku tetap pada keputusan bahwa mahasiswa adalah orang dewasa. Mereka bisa mengambil keputusan sendiri.

Sjamsul sempat kirim SMS. Isinya, "Sabaaaaar mas, sabaaaaaaaaaar."

Linda Tangdialla dari Bisnis Indonesia kirim SMS, "... ini khan penyakit nasionaaaaaaaaaal."