Sunday, December 26, 1999

Lho, Jurnalis Jadi Politisi?


Herry Komar calon kuat gubernur Sumbar. Gus Dur merekrut Ratih Hardjono ke istana. Mengapa jurnalis berambisi jadi politisi?

Bagaikan ulat, kepompong, dan kupu-kupu, barangkali begitu perumpamaan jurnalis, reformasi, dan politisi. Lho apa hubungannya? Semuanya jadi jelas ketika fenomena mencolok muncul gelombang migrasi pekerjaan dari jurnalis ke politisi. Era reformasi telah menjadi kepompong yang menjadikan "ulat" jurnalis menjadi "kupu-kupu" politisi. Ini terlepas dari kesan tentang ulat yang menggatalkan dan kupu-kupu yang menawan, terbukti banyak jurnalis rela meninggalkan profesinya menjadi politisi begitu kesempatan itu datang.

Masih ingat dengan Herry Komar? Mantan wartawan Tempo yang saat dibredel kemudian mendirikan Gatra, lalu ketika di Gatra ada konflik internal ia cabut keluar dan mendirikan Gamma. Entah siapa yang mencalonkan, nama Herry yang jelas masuk sepuluh besar calon Gubernur Sumatera Barat berdasarkan "aspirasi masyarakat."

Kabar yang diterima Xpos dari Padang, Herry Komar tampaknya ambisi betul untuk jadi gubernur. Ia tak segan mulai kampanye, dengan cara bagi-bagi duit ke panti asuhan dan warga yang tertimpa bencana. Tak cukup dengan tindakan sosial, Herry pun mengolah imaji yang bagus tentang dirinya di media massa.

Karena merasa Herry orang media massa, maka media massa di Sumatera Barat seperti berkewajiban membela, memuji dan tentu saja mendukung Herry. Apalagi Herry terkesan ringan tangan membantu media di Sumatra Barat, khususnya memberikan ceramah dan training jurnalistik gratis dengan terjun langsung sebagai pembicara.

Sebetulnya, selain Herry ada Basril Djabar, Pemimpin Umum Harian Singgalang menjadi calon gubernur. Tapi karena media massa Sumatra Barat menganggap Basril hanyalah seorang pengusaha ketimbang jurnalis, maka publikasi tentang Basril akhirnya cuma di Singgalang saja.

Pengaruh publikasi di media sebagai kampanye terselubung ini ternyata berpengaruh cukup besar. Terbukti dari hasil diskusi antara Pemuda Pancasila dengan Gapensi soal mau mendukung siapa, Herry Komar menjadi calon terbaik menurut mereka. Padahal ketika ditanya lebih lanjut para aktivis organisasi a la Orde Baru ini mengaku tak begitu kenal dengan Herry Komar, di mana kampung halamannya dan apa saja jasanya bagi Sumatra Barat yang telah ia sumbangkan.

Sialnya, DPRD Tingkat I Sumbar menganggap rekomendasi lembaga-lembaga kolot itu menjadi acuan juga.

Fenomena Herry Komar sebetulnya juga bukan barang baru. Dulu, jurnalis Suara Merdeka Bambang Sadono, aktif sekali mendukung Golkar bahkan mempengaruhi policy-nya di Suara Merdeka hingga koran Jawa Tengah itu dikenal sebagai koran kuning alias corong Golkar. Konflik kepentingan ini dibuktikan Y. Kristiawan dalam risetnya yang kemudian dibukukan dengan judul Pers Memihak Golkar.

Di tingkat nasional, pindah profesi di atas bahkan digerakkan oleh Presiden Gus Dur. Ia menarik orang-orang dekatnya dari kalangan jurnalis seperti Ratih Hardjono dari Kompas dan Wahyu Muryadi dari Tempo. Ratih yang menjadi sangat dekat dengan Gus Dur ketika sang presiden masih ketua PBNU dan berobat di Australia, direkrut menjadi sekretaris presiden. Wahyu Muryadi adalah seorang jurnalis yang kerap melansir sepak-terjang NU, kini ditarik jadi kepala protokol istana kepresidenan. Bedanya Ratih dan Wahyu dengan Herry dan Bambang, mereka melepas keterikatannya dengan media asal.

Mengomentari fenomena migrasi profesi ini, jurnalis The Nation, Bangkok, Andreas Harsono mengatakan, wartawan sebaiknya tak ikut dalam kancah pekerjaan politikus. Atau kalau dia mau menjadi politikus (di kursi legislatif atau eksekutif), ya sekali masuk jangan kembali jadi wartawan. Alasan klasik adalah adanya ide bahwa wartawan seharusnya jadi pengamat yang berjarak terhadap semua pemain politik. Kalau Herry Komar sekarang jadi politikus, katakanlah mewakili partai tertentu, bagaimana dia bisa membuat coverage yang fair terhadap partai tersebut?

Secara umum mungkin tidak sulit untuk tetap menjaga jarak karena institusinya (Gatra maupun Gamma misalnya) bisa mengimbangi Komar. Mereka bisa tetap fair terhadap partai tersebut. Tapi bagaimana kalau dia terlibat dalam kasus yang Catch-22 di mana dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati? Lantas kalau kelak dia kembali bekerja sebagai wartawan, bagaimana sumber-sumbernya dari lawan politik partai tersebut, bisa bersikap terbuka kepada Komar kalau sedang diwawancarai?

Di Amerika, jurnalis yang mau jadi politisi akan tamat riwayat karirnya di media. Ini bisa terjadi karena dunia jurnalistik sangat beda dengan dunia politik bahkan berjarak. Dunia politik sendiri sudah punya pemasok kader lewat rekrutmen dan pendidikan di partai. Di Indonesia, partai biasanya hanya sangat aktif ketika menjelang pemilu hingga Sidang MPR selesai. Sementara jurnalis di Indonesia jadi punya insting politisi karena sangat sering bersentuhan dengan hal-hal politis, di samping memang ada yang sudah punya watak sebagai politisi. Presiden pertama RI, Soekarno, adalah contoh yang mashyur betapa ia berpolitik sebagai jurnalis.

Pada akhirnya memang layak ditanyakan pada para jurnalis yang masuk dunia politik. Untuk apa dan kepentingan siapa migrasi profesi itu mereka lakukan? (*)

-- Xpos