Monday, April 30, 2007

Silabus Narasi Angkatan Kedua

Kursus “Narasi” angkatan kedua ini (1 Mei-28 Agustus 2007) dirancang untuk orang yang ingin belajar menulis panjang dengan memikat dan mendalam. Ini dirancang mereka yang berminat menulis esai atau buku nonfiksi.

Kursus diadakan selama 18 sesi dengan frekuensi mingguan, petang hari (pukul 19.00-21.00), kecuali pada sesi Daoed Joesoef. Cara mingguan ini sengaja dibuat agar peserta punya waktu mengendapkan materi belajar, mengerjakan pekerjaan rumah serta membaca. Jumlah peserta maksimal 20 orang agar ada waktu diskusi. Kursus ini ditekankan pada banyak latihan.

Tugas akhirnya berupa penulisan sebuah narasi sekitar 5.000 kata. Ia dilakukan sesudah peserta berlatih melakukan riset, liputan, wawancara, dan menulis. Jumlah kata sekadar pegangan saja. Ia bisa lebih pendek atau panjang lagi. Peserta akan membaca dan membicarakan karya-karya Joseph Mitchell, Truman Capote, John Hersey, dan Ryszard Kapuscinski.

INSTRUKTUR

Andreas Harsono wartawan Jakarta, pernah bekerja di harian The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia menang beberapa penghargaan internasional antara lain The Correspondent of the Year dari The American Reporter (1997) serta Nieman Fellowship dari Universitas Harvard (1999-2000). Dia co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (2005). Kini ia sedang menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Budi Setiyono wartawan Jakarta, pernah bekerja untuk Suara Merdeka (Semarang) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia jadi co-editor buku Revolusi Belum Selesai yang berisi kumpulan pidato politik Presiden Soekarno serta Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini ia sedang menyelesaikan buku soal Lembaga Kebudayaan Rakyat.

SYARAT DAN BIAYA

Peserta terbiasa dengan dunia tulis-menulis. Entah menulis di blog, makalah, buku harian atau media. Mereka juga terbiasa melakukan riset dan akrab dengan internet. Latar belakang bisa dari berbagai disiplin ilmu, minat atau profesi. Angkatan pertama terdiri dari aktivis, wartawan, dokter, pengacara, mahasiswa, dosen, manajer NGO dan sebagainya. Peserta juga lancar membaca naskah dalam bahasa Inggris karena banyak materi kursus dari bahasa Inggris. Peserta dikenakan biaya Rp 4 juta.

SILABUS

Sebelum memasuki hari pertama, sebaiknya Anda sudah membaca Resensi buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” oleh Andreas Harsono (kalau tertarik baca bukunya The Elements of Journalism atau versi Indonesia Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel)


SESI PERTAMA (1 Mei 2007)
Perkenalan, pembicaraan silabus dan diskusi soal jurnalisme dasar, isu tentang “objektivitas” wartawan dengan membahas “Sembilan Elemen Jurnalisme” dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel serta membandingkannya dengan praktik jurnalisme di Jakarta a.l. byline, firewall, advertorial. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono; edisi jurnal Nieman Reports edisi Spring 2002 Volume 56 No. 1 tentang narrative journalism. Bacaan Nieman ini cukup tebal. Ini penting guna tahu sejarah dan perdebatan soal genre ini di Barat.

SESI KEDUA (8 Mei 2007)
Diskusi soal jurnalisme sastrawi, bagaimana Tom Wolfe memulai gerakan ini di Amerika Serikat pada 1960-an dan bagaimana suratkabar-suratkabar Amerika mengambil elemen-elemen genre ini. Diskusi tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan reportase, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, kriteria dari gerakan “literary journalism.” [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Hiroshima” oleh John Hersey dan “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”oleh Bimo Nugroho. Usahakan baca John Hersey hingga selesai. Bacaan dari Bimo Nugroho membantu memahami “Hiroshima.”

SESI KETIGA (15 Mei 2007)
Diskusi soal struktur dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey. Ini sebuah karya klasik, dimuat majalah The New Yorker pada Agustus 1946, yang pernah dipilih sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika pada abad XX. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Siapkan ide laporan yang akan dijadikan tulisan panjang; bisa dari pengalaman, bahan bacaan, dll. Ide ini bisa atau malah sebaiknya dipakai untuk setiap tugas dalam tiap sesi. Hasil akhirnya sebuah naskah panjang pada akhir kursus. Setiap peserta sangat diharapkan mengerjakan ide laporan panjang ini.

SESI KEEMPAT (22 Mei 2007)
Diskusi menggali, mengembangkan, dan menajamkan ide laporan, serta menemukan fokus dan angle. Setiap peserta akan presentasi ide masing-masing, dan dibahas bersama-sama; baik dari kebaruan ide maupun cara kerjanya. Setiap sesi bisa empat hingga lima orang. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Matangkan ide laporan Anda. Perbanyak riset dan wawancara background untuk memperkuat ide liputan. Tuangkan ide Anda dalam sebuah outline yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

SESI KELIMA (29 Mei 2007)
Diskusi lanjutan. [Budi Setiyono]

SESI KEENAM (5 Juni 2007)
Diskusi lanjutan. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono, ”Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah, ”Panglima, Cuak, dan RBT” dan ”Sebuah Kegilangan di Simpang Kraft” karya Chik Rini, dan ”Orang-orang Di Tiro” karya Linda Christanty.

Pekerjaan rumah kedua: Perhatikan sesuatu, lakukan wawancara dan buatlah sebuah deskripsi pendek, sekitar 200 kata saja. Kita akan membacakan empat atau lima karya ini pada pertemuan berikutnya. Ini untuk melatih peserta membuat deskripsi.

SESI KETUJUH (12 Juni 2007)
Diskusi soal struktur karangan dengan melihat lima tulisan tentang Aceh dikerjakan empat orang berbeda. Tujuannya, bagaimana sebuah isu sama dikerjakan dengan sudut pandang dan metode beda-beda. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: bacalah karya Daoed Joesoef dalam buku Emak dan Aku dan Dia (hanya bab ”Monsieur Courazier dan Aku”). Joesoef seorang cendekiawan didikan Sorbonne, Paris. Dia pernah jadi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Menteri Pendidikan rezim Presiden Soeharto. Orangnya sangat disiplin. Please don’t be late!

SESI TAMBAHAN (Sabtu, 16 Juni 2007 pukul 10:00-12:00)
Diskusi dengan Daoed Joesoef tentang penulisan buku-bukunya di rumahnya, Jl. Bangka Dalam VII No. 15 telepon 7190431). Isterinya, Sri Soelastri Joesoef, akan menemani. Diskusi akan diakhiri dengan makan siang bersama di rumah asri keluarga Joesoef.

Pekerjaan rumah: Bacalah ”The Riverman” Joseph Mitchell lalu buatlah sebuah deskripsi pendek, sekitar 200 kata saja. Kita akan membacakan empat atau lima karya ini pada pertemuan berikutnya. Mitchell salah satu penulis yang terkenal dengan pengamatannya terhadap detail.

SESI KEDELAPAN (19 Juni 2007)
Diskusi soal deskripsi dan dialog dengan melihat ”The Riverman.” [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah ”Shah of Shahs”dan ”The Soccer War” karya Ryszard Kapuscinski.

SESI KESEMBILAN (26 Juni 2007)
Diskusi soal deskripsi dan dialog dengan melihat karya-karya Ryszard Kapuscinski. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah ”A Hidden Language-Dutch in Indonesia” karya M.H.J. Maier; ”Ganasnya Bahasa dan Ganasnya Kekuasaan” karya Ariel Heryanto; “Semangkin Dikangeni: Pocapan Umar Kayak dalam KR” karya Jennifer Lindsay; serta ”Bahasa Jurnalistik Indonesia” karya Goenawan Mohamad.

SESI KESEPULUH (3 Juli 2007)
Diskusi soal bahasa dan bangsa serta bagaimana melihat isu itu dalam kepenulisan di Jakarta. Bahasa adalah alat utama seorang penulis. Namun bahasa juga alat utama negara Indonesia untuk menguasai cara kita berpikir. Dibahas juga soal teknik penulisan [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Bacalah ”The Silent Season of A Hero” karya Gay Talese dan Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Lalu buatlah sebuah profil pendek, satu halaman, dari seorang tokoh dalam tulisan panjang yang sedang Anda rencanakan.

SESI KESEBELAS (10 Juli 2007)
”The Silent Season of A Hero” mengubah cara wartawan menulis sosok orang di Amerika Serikat. Cindy Adams seorang wartawati cantik yang beruntung bisa menulis autobiografi Bung Karno. Diskusi soal penulisan profil. [Budi Setiyono].

Pekerjaan rumah: Bacalah oleh ”Ten Tips For Better Interview” (www.ijnet.org) dan ”The Art of the Interview” oleh Eric Nalder

SESI KEDUABELAS (17 Juli 2007)
Teknik wawancara dengan melihat teknik-teknik yang dikembangkan oleh International Center for Journalists. Peserta melakukan praktik wawancara di depan kelas dan sesudahnya menonton ”Black Hawk Down” karya Mark Bowden untuk lihat deskripsi yang berubah jadi film. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Ini sebuah Kehormatan” karya Jimmy Breslin. Buatlah sebuah deskripsi pendek, satu halaman, yang menampilkan penokohan dan sudut pandang orang pertama ("saya" atau “aku” atau “kita”). Kalau masih ada waktu, bacalah “In Cold Blood” karya Truman Capote. Ini karya klasik dari The New Yorker.

SESI KETIGABELAS (24 Juli 2007)
Diskusi soal penokohan dan sudut pandang; bagaimana mengembangkan tokoh serta menampilkan cerita dari suatu sudut pandang. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Bacalah bagian-bagian dari kumpulan esai dalam buku Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat karya Fadjroel Rachman.

SESI TAMBAHAN (31 Juli 2007)
Diskusi dengan Fadjroel Rachman, seorang aktivis, penyair serta penulis esai. Fadjroel seorang pembicara yang sangat menarik. Dia menguasai banyak pepatah dan bacaannya luas. Kesukaannya, politik, kebangsaan, sekulerisme dan pernah jadi murid Soedjatmoko dari Partai Sosialis Indonesia.

Pekerjaan rumah: Serahkan liputan panjang Anda untuk dikomentari bersama.

SESI KEEMPATBELAS (7 Agustus 2007)
Diskusi perkembangan liputan panjang. [Andreas Harsono]

SESI KELIMABELAS (14 Agustus 2007)
Diskusi perkembangan liputan panjang. [Budi Setiyono]

SESI KEENAMBELAS (21 Agustus 2007)
Warna sari, tanya jawab. Penutupan. [Andreas Harsono dan Budi Setiyono]

Saturday, April 28, 2007

Norman Menjelang Perceraian


Salah satu pikiran yang selalu menghantui aku menjelang perceraianku dengan Retno Wardani adalah anak kami Norman. Aku sangat mencintai Norman. Kami bergaul lebih merupakan teman dari hanya ayah dan anak. Kami pergi belanja bersama-sama. Norman menemani aku belanja setiap minggu. Kami saling cerita soal kesukaan kami masing-masing. Bila Retno tak tidur di rumah, kami memilih tidur di ruang tamu, menghadap televisi dan mengobrol sepanjang malam.

Hukum Indonesia tak menguntungkan posisi seorang ayah soal perwalian anak kecil bila menggugat cerai ibunya. Aku menunda-nunda keinginan menggugat cerai Retno karena posisi lemah ini. Aku tak mau hubunganku dengan Norman menurun bila kami bercerai. Namun aku juga tahu tak sehat bagi Norman hidup dalam keluarga yang hubungan orang tuanya sudah begitu buruk. Aku dan Retno saling tak mempercayai. Sebenarnya ketika baru setahun menikah, aku sudah berpikir tak cocok dengan Retno. Aku pernah membatalkan rencana pernikahan kami namun Retno keberatan.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Foto ini aku ambil suatu sore menjelang perceraian kami pada Desember 2003. Kami pergi belanja. Lalu lintas macet. Hujan deras sekali. Maka aku minta Norman berpose dalam mobil Taruna kami. Aku menangis dalam hati ketika memotret Norman. Dia senang sekali bila harus pergi belanja menemani papanya.

Ketika akhirnya para pengacara kami mengambil keputusan menyelesaikan perceraian ini secara damai, aku sepakat menerima hak separoh perwalian Norman saja. Kalau aku mau membongkar tingkah-laku Retno, kemungkinan besar aku akan menang di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Namun aku kasihan pada Norman. Retno juga minta agar rahasianya tak diberitahukan kepada keluarganya, terutama ibunya, M.Th. Koesmiharti. Retno kuatir ibunya usah. Aku memenuhi janji itu.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Sri Maryani, seorang gadis tani dari Tawangmangu, yang mulai bekerja di rumah Pondok Indah, mengasuh Norman, sejak Desember 2002, aku minta tetap bekerja disana. Yani mulanya ingin ikut aku. Namun aku bilang dia lebih aku perlukan untuk mengasuh dan menemani Norman di rumah Retno. Yani justru dibutuhkan Norman.

Maka aku pun menyewa sebuah apartemen di Senayan. Ini letaknya dekat dengan kantor Retno sehingga bila Norman pulang sekolah, aku harap dia bisa menunggu mamanya di tempatku. Bila Norman pulang sekolah, dia memang akan melewati apartemen aku. Pondok Indah terlalu jauh dari sekolahnya. Belakangan ternyata Retno tak mengizinkan Norman berhenti di apartemenku.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Aku juga perlu punya orang yang aku percaya guna membantu Norman. Retno juga bekerja sehingga dia sering pulang malam. Yani menemani Norman ke sekolah. Norman baru umur enam tahun ketika kami bercerai. Yani terbukti jadi pengasuh yang bertanggungjawab. Dia sangat memperhatikan kebutuhan Norman.

Aku menyiapkan dua set kamar untuk Norman. Di Pondok Indah dan di Senayan. Aku membayar semua keperluannya. Dari uang sekolah, makan bulanan, uang bensin Retno, uang bus sekolah, kesehatan, asuransi rawat inap, gaji bulanan Yani dan sebagainya. Di Senayan, Norman juga punya kamar sendiri. Mainan sendiri. Koleksi video sendiri dan sebagainya. Pokoknya, aku tak mau dia merasa dua rumah ini tak seimbang untuk keperluannya.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Aku selalu ingat hari pertama ketika mengantar Norman pergi ke rumah Retno --rumah kami yang aku berikan ke Retno sesudah dia menolak menjualnya sesuai kesepakatan-- Norman menangis sepanjang jalan. Why, why, why? ujarnya. I don't want to live without you. Aku menangis dalam hati.

Beberapa kali dia sembunyi di bawah ranjangnya di apartemen bila saat pindah rumah mendekat. Retno lagi-lagi memaki-maki bila Norman terlambat datang ke tempatnya. Kini setiap kali mengantarnya ke tempat Retno, mood sedih itu selalu menghampiri Norman. Aku selalu merasa bersalah tak bisa memberikan keutuhan orang tuanya kepada Norman. Aku sangat mencintai Norman. Aku ingin dia jadi orang yang bahagia.

Wednesday, April 25, 2007

Nasionalisme dan Jurnalisme



Dear Zen dan Firman,

Saya kira argumentasi saya hanya satu. Intinya, jurnalisme itu tak elok bila diupayakan kawin dengan nasionalisme. Tujuan jurnalisme adalah mencari kebenaran. Sedang tujuan nasionalisme adalah menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat. Hubungan antar masyarakat dunia hari ini resminya diatur berdasarkan prinsip nation-state.

Tujuan jurnalisme karenanya sering bertabrakan dengan kepentingan nasionalisme. Ia tak harus selalu bertabrakan tapi sering ia harus memberikan informasi yang mungkin tak menyenangkan buat masyarakatnya. Semboyan yang terkenal dari nasionalisme, "Right of wrong is my country" sering ditabrakkan dengan semboyan jurnalisme, "Right is right, wrong is wrong."

Saya menanggapi Zen karena isu nasionalisme dan jurnalisme ini lagi marak di Indonesia. Zen berupaya mengawinkan "jurnalisme" dan "nasionalisme" itu lewat penciptaan apa yang disebutnya "bapak wartawan indonesia." Tarman Azzam, ketua Persatuan Wartawan Indonesia, kini lagi sibuk minta "wartawan Indonesia harus membela NKRI." Tarman Azzam sebagai ketua PWI Jakarta termasuk pihak yang dulu ikut menyetujui pembredelan mingguan Tempo, Detik dan Editor. Tarman ikut menekan redaktur Jakarta agar tak mempekerjakan wartawan-wartawan Aliansi Jurnalis Independen.

Ini bukan isu baru. Wartawan kita sejak dulu sering diminta melayani kepentingan apa yang disebut "bangsa Indonesia." Saya anggap permintaaan Tarman dan kreatifitas Zen akan melemahkan semangat meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia, yang sudah tersandung-sandung selama beberapa dekade.

"Wartawan" adalah kata benda untuk orang yang menjalankan jurnalisme. Artinya, dia teoritis mau mencari kebenaran. "Indonesia" adalah nama sebuah proyek nasionalisme. Proyek ini belum final walau banyak orang, termasuk Tarman dan Zen, sama-sama menganggapnya final. Masih banyak orang di Republik Indonesia ini yang tidak atau kurang setuju dengan proyek ini. Dan "bapak" adalah title untuk seseorang yang melahirkan anak-anaknya.

Saya berpendapat campuran tiga kata ini dibuat, dengan segala hormat saya pada energi anak muda macam Zen, tanpa pemahaman yang kuat terhadap definisi jurnalisme dan nasionalisme. Zen lagi bermain-main menjadi seorang Muhammad Yamin (Sukarno's principal myth maker) yang mensubordinasikan sejarah untuk nasionalisme.

Coba deh browing internet dan carilah kalau ada gelar "father of american journalists" atau "le pere france reporters." Kalau ada, saya kira, ia juga merupakan hiburan saja. Ini sekedar perbandingan bahwa upaya mengawinkan jurnalisme dan nasionalisme akan bermasalah.

Ini akan memancing debat kusir atau upaya lain yang sama tak eloknya. Entah itu muncul dari sudut Acheh, Minahasa, Papua, Jawa, Tionghoa, Belanda atau lainnya. Setara dengan upaya ini adalah mengawinkan jurnalisme dengan agama lewat "jurnalisme Islami" atau agama apapun.

Saya sering geli melihat fenomena ini. Sayangnya, kegelian ini sering harus dibayar mahal lewat meningkatnya pertikaian antar kelompok masyarakat di negeri ini, yang sering berakhir dengan represi terhadap yang lebih lemah. Sayang bukan bila anak muda macam Zen ada di kubu pemikiran Tarman Azzam?

Wenny Pahlemy soal menulis resensi buku


Dear Wenny,

Secara umum, menulis resensi punya dua bagian. Pertama, ia menceritakan isi dari buku yang dibahasnya itu. Ini penting karena tidak semua orang membaca buku yang dibahas. Bahkan cukup banyak orang mengandalkan resensi karena memang tak mau atau tak bisa membaca buku aslinya.

Saya pernah tinggal di Boston dan New York. Kalau Anda tinggal disana dan berlangganan harian setempat, misalnya Boston Globe dan The New York Times, setiap akhir pekan kedua harian itu menerbitkan satu seksi khusus tentang resensi buku. Tebalnya bisa 12-24 halaman (termasuk iklan dari industri buku). Tentu ini juga memiliki wawancara dengan para penulis.

Bahkan kalau masih belum puas, ada juga The New York Review of Books, sebuah majalah dwi mingguan yang isinya khusus resensi buku dan analisis. Goenawan Mohamad dari Jakarta berlangganan tabloid ini. Goenawan setiap minggu harus menulis kolom di majalah Tempo. Ia butuh banyak buku. Namun dia belum tentu bisa mendapatkan buku-buku mutakhir yang ingin dibacanya (harus beli di luar negeri) atau waktunya tak cukup, maka dia membaca The New York Review of Books. Majalah Esquire menyebutnya, ".. the premier literary-intellectual magazine in the English language." Pada 2003, sirkulasinya mencapai 125,000.

Kedua, resensi ini juga sebaiknya dilengkapi perbandingan dengan karya lain. Artinya, seseorang yang menulis resensi buku baru soal nasionalisme misalnya, seyogyanya dia juga tahu karya-karya klasik Benedict Anderson, Ernest Gellner, Ernest Renan, Michael Billig dan sebagainya.

Saya seringkali menemukan resensi di Jakarta ini yang ditulis tanpa tahu referensi klasik. Minggu lalu saya menggoda seorang kenalan yang menulis resensi di Koran Tempo tentang buku Mia Bustam, isteri pertama pelukis S. Soedjojono, namun tak tahu siapa Claire Holt, seorang kritikus seni rupa Indonesia modern.

Kalau bicara soal nasionalisme, topik yang sedang saya geluti, aduh, salah kaprah disini cukup parah. Kebanyakan orang disini tak membaca Benedict Anderson, yang banyak menulis soal Indonesia, maupun karya-karya orang Indonesia sendiri soal nasionalisme, dari Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir hingga Goenawan Mohamad.

Kelebihan The New York Review of Books terletak pada analisis ini. Banyak orang yang mengkritik buku menulis dalam tabloid ini. Saya kenal beberapa kontributor majalah ini, antara lain, Margaret Scott serta Clifford Geertz.

Scott mantan redaktur halaman kebudayaan majalah Far Eastern Economic Review di Hongkong. Geertz seorang anthropolog yang menulis karya klasik The Religion of Java serta Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia, Negara: The Theater State in Nineteenth Century Bali dan Works and Lives: The Anthropologist As Author. Para penulis resensi ini tak jarang menelusuri tempat-tempat dimana sebuah buku ditulis atau bahan reportase, guna menulis kritik terhadap buku bersangkutan.

Saya kira dua unsur itulah yang diperlukan dalam menulis sebuah resensi. Saya pernah bikin resensi panjang tentang beberapa buku soal majalah The New Yorker. Anda bisa baca dalam buku hitam terbitan Pantau itu. Terima kasih.

Tuesday, April 24, 2007

Nasionalisme dan Jurnalisme



Untuk Zen di Jogja dan Udin di Semarang,

Saya lagi jenuh menghadapi penulisan satu sub bab buku saya, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, khusus tentang intisari kejahatan Presiden Suharto. Ternyata cukup emosional juga untuk merangkum semua kejahatan Suharto. Dampak kerusakannya besar sekali. Hingga hari ini, tentu saja, kerusakan yang ditimbulkan Suharto masih terasa dalam macam-macam bidang.

Saya menulis email ini sebagai selingan terhadap kerja enam jam setiap hari dalam menulis buku. Terkadang saya letih terus-menerus membaca, riset, interview dan menulis tema yang sama ini. Saya sudah mengerjakannya selama tiga tahun lebih.

Untuk Zen di Jogja dan Udin di Semarang,

Pertama-tama, terima kasih untuk tanggapan yang panjang lebar. Saya mau menegaskan bahwa saya pribadi mengagumi Mas Marcodikromo. Pada 1991, ketika pertama kali berkunjung ke perpustakaan KITLV di Leiden, entry pertama yang saya cari adalah Mas Marco. Saya menemukan naskah karya Soe Hok Gie tentang Mas Marco. Saya setuju dengan Zen bahwa Mar Marco seorang pemberani dan punya prinsip. Dia juga orang kiri, kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Namun saya tak setuju dibikinkan gelar "Bapak Wartawan Indonesia" untuk Mas Marco. Tindakan ini hanya akan bikin masalah. Tiga kata itu, "bapak" dan "wartawan" dan "indonesia," bila digabung jadi satu, akan lebih menimbulkan masalah daripada mengatasi berbagai masalah pelik yang sudah ada di Indonesia (korupsi, fasisme, militerisme, imperialisme, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain).

Ini akan menimbulkan pertanyaan di tempat-tempat macam Aceh, Papua, Minahasa, Maluku dan sebagainya: "Lagi-lagi orang dari Jawa dijadikan pahlawan Indonesia." Ini akan memperkuat kesan bahwa seakan-akan Indonesia itu hanya Jawa. Anda belum tahu betapa dihinakannya Pangeran Diponegoro di beberapa tempat di luar Jawa.

Mas Marco praktis tak berbuat sesuatu untuk Aceh, Minahasa, Maluku dan lain-lain. Jangan-jangan nanti timbul perlawanan terhadap ide Zen ini dengan bentuk munculnya "Bapak Wartawan Minahasa" untuk seseorang dari Tjahaja Sijang, media zaman Hindia Belanda yang dicetak di Tanowangko?

Jangan-jangan nanti muncul penokohan seseorang dari Papua guna melawan penokohan Mas Marco dengan nama Indonesia? Acheh juga senantiasa potensial melawan dominasi Jawa di Indonesia. Saya kira kita harus sensitif terhadap harga diri mereka. Saya tidak rela bila perjuangan tulus Mas Marco --contoh lain, juga Raden Ajeng Kartini-- jadi berkurang nilainya karena perjuangan mereka dijadikan komoditas penokohan yang tak relevan.

Alasan lain, jurnalisme dan nasionalisme bukan dua isu yang compactible. Ibaratnya, kita mau mengawinkan silang seekor sapi dan sebatang pohon. Mereka berada pada domain beda.

Dulu saya pernah mempertanyakan pada Udin frasa "Jurnalisme Islami" yang seakan-akan mengatakan ada jurnalisme yang berdasarkan Islam. Logikanya, seharusnya bisa dimunculkan juga "Jurnalisme Kristiani" atau "Jurnalisme Hindu" dan sebagainya.

Ini masalah serius. Pantas para wartawan pada berantem di Maluku ketika mereka semua pakai label "wartawan Muslim" dan "wartawan Kristen." Kelak kita juga akan lihat "jurnalisme Indonesia" dibuat berantem dengan "jurnalisme Amerika" atau jurnalisme dengan dasar nation lainnya.

Tujuan jurnalisme adalah menyajikan kebenaran. Loyalitasnya kepada warga masyarakat dimana media tempatnya bekerja melayani. Ketika bekerja, mereka teoritis harus meletakkan kewartawanannya lebih tinggi dari identitas lain, baik agama maupun negaranya. Mas Marco dengan jenius dan berani melayani warganya lewat Hidoep, Sarotomo atau Medan Bergerak. Dia bekerja juga dengan orang Belanda, misalnya, Douwes Dekker dari Indische Partij, karena Mas Marco bukan orang narrow minded.

Nasionalisme adalah satu set pemikiran tentang khayalan adanya kebersamaan nasib sekelompok orang. Mereka dianggap punya nasib sama. Lantas kepentingannya dilindungi bersama pula, tanpa memandang agama atau etnik, oleh negara mereka bersama agar tercipta keamanan dan ketertiban. Namun pelaksanaan dari nasionalisme ini di Indonesia ternyata jauh dari teorinya. Jutaan warga Indonesia dibunuh atas nama negara Indonesia sejak 1945.

Jurnalisme karenanya seringkali harus bertentangan dengan nasionalisme. Anda mungkin ingat semboyan kaum nasionalis, "Right or wrong is my country." Jurnalisme dalam sosoknya yang terbaik terkadang harus memberikan laporan yang mungkin tak menyenangkan buat warga di mana ia melayani. Semboyan jurnalisme, "Right is right, wrong is wrong."

Seymour Hersh dari The New Yorker menunjukkan sosok terbaik jurnalisme di New York baru-baru ini ketika membongkar kekejaman tentara Amerika di penjara Guantanamo, Kuba. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld mencelanya dan menyebutnya "wartawan teroris." Banyak wartawan Amerika merasa Hersh kurang patriotik. Hersh tidak peduli. Saya kira sikap Hersh ini yang justru dibutuhkan warga Amerika agar mereka tahu kejahatan Presiden George W. Bush. Hersh justru melayani warga dengan sebaik-baiknya ketika dia menempatkan prinsip kebenaran adalah kebenaran.

Bagaimana wartawan di Jakarta, Semarang atau Jogjakarta harus meliput daerah-daerah yang selalu bermasalah dengan keindonesiaan mereka? Apakah mereka harus membela Indonesia? Atau mereka memberitakan ketidakpuasan disana terhadap apa yang disebut Indonesia?

Misalnya, beberapa kalimat yang sering saya dengar di luar Jawa:

"Indonesia dulu menduduki Timor Leste. Now we're already free."

"Bangsa Jawa menghisap bangsa Acheh. Indonesia itu nama samaran bangsa Jawa."

"Kitorang di Papua tidak pernah ditanya mau bergabung ke Indonesia atau tidak. Kitorang langsung dipaksa jadi orang Indonesia."

"Maluku ini korban dari Jawanisasi."

Saya harap kita memilih memberitakan kebenaran, daripada sekedar melayani "nasionalisme" atau "imperialisme" Indonesia, sama dengan Mas Marco ketika melawan imperialisme Belanda. Jangan salah lho bahwa 90 persen dari birokrasi dan militer Belanda ini isinya ya orang pribumi.

Lantas pengalaman macam-macam orang terhadap Belanda juga beda-beda. Di Pontianak, banya sekali orang tua yang berpendapat Belanda itu baik sekali. Mertua saya bilang "zaman normal" lebih tenang daripada zaman Indonesia. Kini saya paham mengapa Sultan Hamid memilih berpihak pada van Mook daripada kepada Sukarno. Di Flores, saya juga menemukan kesan serupa, pengalaman mereka terhadap Belanda berbeda dengan pengalaman di Jawa. Ini belum lagi di Papua dimana Belanda jauh lebih populer daripada Indonesia.

Mas Marco berjasa ikut melawan imperialisme Belanda di Indonesia. Namun nasionalisme Indonesia bisa berubah jadi imperialisme Jawa, yang bentrok dengan nasionalisme Papua atau nasionalisme Acheh.

Kita harus belajar dari sejarah. Kita kini menanggung beban berat sekali bila kita memang mau membangun masa depan yang lebih baik untuk anak kita, termasuk Norman, anak saya, maupun kelak anak-anaknya Norman, cucu-cucu kita. Seyogyanya kesempatan ini kita pakai dengan maksimal daripada menciptakan problem baru. Terima kasih.

Monday, April 23, 2007

Nasionalisme dan Jurnalisme


Dear Zen Rahmat Sugito,

Saya pernah bicara dengan Pramoedya Ananta Toer soal jurnalisme dan nasionalisme. Saya kira ini dua isu dengan domain beda. Dua domain ini sangat luas dan never ending. Ia bukan dua isu yang compatible, yang seakan-akan bisa disatukan. Pramoedya setuju. Kalau dia menyebut Tirto sebagai seorang pemula, ia melakukannya dalam konteks Tirto sebagai seorang aktivis nasionalisme. Bukan seorang wartawan melulu.

Saya kira argumentasi ini juga perlu diterapkan pada Mas Marcodikromo. Upaya mencari-cari "Bapak Wartawan Indonesia," sama dengan usaha Taufik Rahzen dari Index Press menghitung-hitung "seabad" pers Indonesia. Ia hanya akan memperkuat apa yang dikritik Soedjatmoko pada kongress sejarah pada 1957 dimana sejarah disubordinasikan pada kebutuhan membangun nasionalisme. Kubu Soedjatmoko kalah. Kubu Muhammad Yamin menang.

Selanjutnya kita bisa melihat bagaimana sejarah dijadikan alat propaganda? Coba kita cari adakah orang yang dianggap sebagai "Bapak Wartawan Inggris" atau "Bapak Wartawan India"? Atau siapakah yang dianggap sebagai sang pemula dalam jurnalisme di Amerika Serikat? Khan tidak ada!

Jurnalisme tidak berada pada tataran nation atau bangsa. Jurnalisme ada untuk mengabdi pada kebenaran. Pribumisasi jurnalisme hanya akan membuatnya subordinasi dari nation-state. Kalau ia terjadi, maka ia akan gagal menjalankan fungsinya.

Friday, April 20, 2007

Menjawab Marshel Joan Indriany


Terima kasih untuk email Anda. Kami senang sekali mendapati seorang pembaca muda umur 21 tahun macam Anda. Novelis Pramoedya Ananta Toer selalu bilang bahwa masa depan Indonesia ada pada anak-anak muda. Dalam salah satu karyanya, Pramoedya menulis, "Semua percuma kalau toh harus diperintah Angkatan Tua yang bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma, Tuan. Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh, Tuan."

"Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi. Angkatan Tua itu sungguh-sungguh bobrok. Angkatan Muda membuat revolusi. Jangan lupakan angkatan muda. Mereka sedang melahirkan sejarah."

Pramoedya memang suka bicara soal perubahan sejarah. Kalau Anda tertarik mengirim naskah soal ekonomi, tentu saja, kami akan senang sekali. Pantau agak jarang punya naskah panjang di bidang ekonomi. Pramoedya pasti suka kalau ada anak muda mau menulis panjang di bidang ekonomi.

Saya pernah menulis sekali saja soal ekonomi dengan cukup panjang, judulnya, "Dari Thames ke Ciliwung." Isinya, soal privatisasi perusahaan air bersih PAM Jaya oleh konglomerat Prancis Suez dan perusahaan raksasa Jerman-Inggris RWE Thames Water.

Soal produk Pantau? Kini secara rutin, kami mengisi sindikasi suratkabar di beberapa kota Indonesia dan Timor Lorosae. Anda bisa membaca isinya lewat www.pantau.or.id. Redakturnya Linda Christanty di Banda Aceh. Isi sindikasi ini memang banyak isu Aceh. Sekali-sekali boleh dong pusatnya tidak di Jakarta?

Kami juga akan rutin menerbitkan buku dari naskah-naskah yang kami anggap bermutu baik dari Aceh maupun isu lain. Antologi delapan narasi yang kami terbitkan pada 2004 itu, berjudul Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, jadi semacam pembukanya. Tahun depan kami akan menerbitkan antologi sejarah keluarga.

Bulan ini kami akan menerbitkan dua buku antologi pegangan untuk wartawan. Judulnya, Business and Economic Reporting: Covering Companies, Financial Markets and the Broader Economy dengan editor Anya Schiffrin, Margie Freaney dan Jane M. Folpe terbitan International Center for Journalists (Washington) serta Covering Oil: A Reporter's Guide to Energy and Development dengan editor Svetlana Tsalik dan Anya Schiffrin terbitan Revenue Watch (New York).

Buku-buku ini akan membantu wartawan macam Anda meliput ekonomi dan minyak dengan lebih kuat teorinya. Oil Reporting diterjemahkan oleh Arif Gunawan Sulistiyono, seorang wartawan harian Bisnis Indonesia, sedang Business Reporting dikerjakan Alexander A. Mering dari harian Borneo Tribune. Arif dan Alex sama-sama alumni kursusnya Pantau.

Buku ini sejenis Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Pantau juga menterjemahkan buku dasar jurnalisme tersebut ke versi Indonesia untuk orang melek maupun versi Braille-nya. Antologi yang Anda baca itu juga ada versi Braille-nya.

Pantau sebenarnya juga bikin riset dan penelitian soal media. Kini Esti Wahyuni memimpin sebuah proyek kecil kami di Ende, Pulau Flores, dimana dia melakukan penelitian pasar, survei audiens seluruh Flores (pembaca, pemirsa, pendengar) serta membantu proyek media development kami bersama harian Flores Pos.

Saya kira masih banyak produk Pantau lainnya. Coba deh sesekali Anda baca situs kami maupun ikutan diskusi di mailing list pantau-komunitas@yahoogroups.com.

Sekali lagi terima kasih untuk emailnya. Saya senang sekali mendapatkan email dari seseorang semuda Anda.

Thursday, April 12, 2007

Penghargaan Blogger dari Maverick


JAKARTA -- Kamis malam ini saya mendapat sebuah penghargaan dari Maverick, sebuah perusahaan public relations di Jakarta, sebagai blogger-wartawan pilihan mereka tahun ini. Mereka menyebutnya hadiah 2007 Maverick Click of The Week.

Rommy Rustami dari Maverick mengatakan bahwa Maverick setiap minggu memilih seorang wartawan untuk mendapat kehormatan "Click of the Week." Tahun ini sudah ada belasan orang mendapatkan kehormatan "Click of the Week." Mereka memutuskan memilih nomor satunya.

Mereka lantas memilih lima blogger yang mereka anggap memenuhi tiga kriteria utama penilaian Maverick: tampilan bagus, writing style memikat dan isi baik (content). Empat finalis lainnya adalah Budi Putra (wartawan Tempo News Room), Antyo Rentjoko (wartawan Kelompok Kompas Gramedia), Satrio Arismunandar (produser Trans TV) dan Sri Nanang Setiyono (wartawan Kelompok Jawa Pos). Maverick memilih saya sebagai pemenangnya.

Ong Hock Chuan, technical advisor Maverick, serta Lita Soenardi, partner Maverick, menyerahkan penghargaan itu pada saya. Ada sekitar 70-an wartawan dan orang Maverick hadir di acara ini. Acara ini dibungkus dalam kegiatan tahunan media gathering Maverick. Kostum mereka lucu-lucu dengan tema utama Gypsi. Ada meja tarot, ada hias wajah dan makanan banyak: spaghetti, french fries, bistik, ayam kecap, bir hitam dan sebagainya.

Ong mengatakan, "We realized that blogging has the potential to change the way that we - journalists, companies, organizations and PR practitioners - communicate."

"We started our company blog and the rest of us started individual blogs, initially to experiment and get a feel of what this blogging was all about. Since then it has been one great learning curve, an adventure and serendipitous results. According to Indonesian website observer Nukman Lutfie, Maverick's blog is the first corporate blog in Indonesia. It's also been cited by other influential bloggers like Fatih Syuhud and Budi Putra, among others."

"We found that our blog attracted recruits, who would read about our postings and want to join Maverick because they thought its cool; clients; people would read what we wrote and decided that it is the PR firm they wanted to work with. Reading a blog of this nature certainly gives someone a better insight into the thought processes of the PR consultants than a pitch ever could."

"We also discovered that many local journalists were into blogging and this intrigued us. We ran thought experiments about what would happen to the PR-journalist relatonship if we wrote about journalists instead. So we hatched the idea of "gamekeepers turned poachers" for our blog and began to include postings that are gossips, reports and events in the media industry. From there it was a short step to the "Click of the Week" feature in the blog, where we would highlight a journalist's blog in the Maverick blog.
"

"From there we decided to create an award for journalists who had been featured in our Click of the Week."

"So far we are very happy with the outcome of our decision to move into the blogosphere. We now know much more than other PR firms about the ins and outs of blogging and in the not too distant future we see this knowledge coming very useful as a lot of communications make use of social media instead of the mainstream media. By then we would have the street creds to engage bloggers. Which other Indonesian PR firm is even close?
"

Saya mengucapkan terima kasih kepada Maverick. Saya sangat menghargai upaya ini. Saya juga senang karena kegiatan bikin blog ini dapat penghargaan orang. Upaya ini sebenarnya didorong-dorong oleh rekan saya, Agus Sopian, ketika dia melihat saya sering sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan mahasiswa atau wartawan, yang notabene saya ulang-ulang. Mengapa tak semua jawaban atau naskah saya soal jurnalisme dijadikan dalam satu blog?

Saya percaya blog menjadi makin penting dalam dunia jurnalisme berbahasa Melayu di Indonesia, Malaysia dan sebagainya ketika media kebanyakan makin dikuasai kepentingan konglomerat pemiliknya. Baik suratkabar, televisi, internet dan radio, makin hari makin tak berdaya menghadapi tekanan pasar dan makin meminggirkan kepentingan publik. Independensi makin jadi tanda tanya besar untuk semua media mainstream di Indonesia. Blog takkan bisa menggantikan semua media itu namun blog akan jadi alternatif.

Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan saya dari Pantau, yang banyak mendukung kegiatan saya bikin blog ini. Malam ini saya ditemani Dayu Pratiwi, Eva Danayanti, Rina Erayanti serta anak saya, Norman. Acaranya berjalan singkat. Ia lalu dilanjutkan dengan acara permainan dan mengobrol. Norman dan ketiga rekan perempuan itu kelihatannya asyik mengikuti. Ramai, main puzzle, tertawa dan makan-makan. Saking asyiknya, saya lupa membawa pulang tas saya. Untungnya disimpan oleh Maverick. Sekali lagi, terima kasih untuk Maverick.

Monday, April 09, 2007

Kemerdekaan yang Hakiki untuk Aceh

Rony Zakaria adalah satu-satunya wartawan dan fotografer yang mengikuti perjalanan kampanye Irwandi Yusuf, yang kemudian terpilih sebagai gubernur Aceh. Dia mengungkapkan rahasia di balik kemenangan mantan gerilyawan GAM itu.

KANTOR pusat Komite Peralihan Aceh atau KPA berada di tepi jalan Lamdingin, Banda Aceh. Berlantai dua. Di situ dipajang bendera bulan bintang, bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan foto almarhum Abdullah Syafe’i, panglima GAM yang sangat dihormati dan dicintai orang Aceh. Syafe’i gugur ditembak tentara Indonesia pada tahun 2003 dalam sebuah operasi militer di desa Jiem Jiem, Aceh Utara.

KPA diketuai Muzakir Manaf, panglima GAM yang menggantikan Syafe’i. Badan ini jadi wadah untuk bekas panglima dan anggota Teuntara Neugara Aceh (TNA) setelah kesepakatan damai Helsinki ditandatangani. Tanggung jawab KPA antara lain membantu mereka kembali ke kehidupan sipil dan bekerja di masa damai.

Siang itu, 23 November 2006, saya menemui Irwandi Yusuf di salah satu ruang. Rambutnya sudah memutih. Sorot matanya tajam. Perawakannya tidak mirip anggota militer, tapi akademisi.

Irwandi adalah dokter hewan lulusan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dan pemegang gelar master dalam bidang kedokteran hewan dari Universitas Oregon, Amerika Serikat. Ia bergabung dengan GAM pada 1999 dan jadi penasihat intelijen militer GAM di bawah komando Muzakir Manaf.

“Tapi nanti ada yang off the record juga yah,” selorohnya, ketika saya mengutarakan niat saya untuk mengikuti perjalanan kampanyenya.

Sambil berbincang, ia sibuk memeriksa tinta mesin printer yang baru dikirim dari Jakarta. Ia menjelaskan bahwa kampanyenya dikerjakan orang-orangnya sendiri. Tidak ada pihak luar yang terlibat.

“Kerja saya merangkap. Apa yang bisa dikerjakan, dikerjakan,” katanya. Telepon selulernya terus berbunyi.

Kami akan berangkat ke Pidie tanggal 26 November untuk kampanye pertamanya. Tetapi sebelum tanggal tersebut, saya akan dikabari lagi.


PADA 26 November, pukul enam kurang lima menit, saya tiba di Lamdingin. Ternyata kantor sepi. Padahal Fahlevi, anggota Sentra Informasi Referendum Aceh atau SIRA, yang jadi salah seorang tim sukses Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, meminta saya datang pukul enam pagi. Nazar, yang jadi pasangan Irwandi dan mencalonkan diri jadi wakil gubernur Aceh juga orang SIRA.

Rumah bertingkat dua tersebut tampak gelap, sama seperti langit pagi buta di atasnya. Saya menunggu, sendirian. Saat jam hampir sampai pada pukul tujuh, Irwandi datang. Ia menyetir mobilnya sendiri dan di sebelahnya duduk seorang perempuan muda, yang kemudian saya ketahui adalah istrinya.

Saya menyapa Irwandi dan istrinya, Darwati. Saya bertanya pada Darwati apakah ia akan ikut serta ke Pidie. “Iya ikut, sekalian mau pulang ke Bireuen,” jawabnya.

Irwandi dan keluarganya memang punya rumah di Bireuen, Aceh Utara, namun sehari-hari ia lebih banyak di Banda Aceh dan mengontrak rumah di kawasan Darussalam.

“Nazar sudah berangkat kemarin malam ke Aceh Selatan,” kata Irwandi menjawab pertanyaan saya tentang kampanye Nazar hari ini.

Ia mulai sibuk dengan telepon selulernya, lalu menemui anggota tim suksesnya di halaman depan. Suasana sedikit kaku karena Irwandi tampak sedikit kesal, mungkin karena banyak anggota tim sukses belum datang.

“Kalau marah, Bang Wandi bisa lebih seram daripada Muzakir Manaf,” kata Nashruddin, tim sukses Irwandi yang baru saja tiba.

Akhirnya kami berangkat ke Pidie pada pukul 07.30. Saya dipersilahkan masuk ke mobil yang dikemudikan Irwandi. Saya duduk di belakang, sedangkan istrinya di kursi depan.


DIIRINGI alunan musik Scarborough Fair, laju mobil cukup kencang, bahkan cenderung ngebut. Melihat kekhawatiran saya, salah seorang tim sukses Irwandi yang duduk di sebelah saya berkata, “Maaf, tapi kami harus mengejar waktu.”

Di tengah perjalanan, mobil berhenti untuk beristirahat sebentar di sebuah rumah kecil milik lembaga swadaya lokal. “Dulu bapak ikut membantu di sini,” kata Darwati tentang keterlibatan Irwandi di Flora Fauna Indonesia (FFI). Lembaga ini bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup dan Irwandi merupakan salah satu pendirinya.

Menurut jadwal, jam sepuluh seharusnya kami sudah tiba di Pidie. Tetapi beberapa saat sebelum memasuki perbatasan Sigli, mobil mengalami masalah. Asap keluar dari kap depan mobil. Perjalanan harus terhenti sebentar.

Radiator mobil ternyata bocor. Irwandi sendiri yang memeriksa keadaan radiator. Jalanan tempat mobil berhenti sangat lengang, hanya satu dua mobil saja yang lewat. Salah seorang anggota rombongan berkata, “Dulu di sini sering terjadi kontak.” Yang ia maksud adalah kontak senjata antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Ya, mudah-mudahan dengan rahmat yang di atas, tetap seperti ini,” lanjutnya, sebelum ia kembali membantu Irwandi. Ia ingin masa damai selamanya.

Ketika rombongan kami sampai di perbatasan Sigli, di sana sudah menunggu massa dan simpatisan Irwandi-Nazar. Jumlah mereka kurang dari 100 orang. Mereka membawa poster dan memasang stiker Sinar (Seramoe Irwandi Nazar) di motor dan mobil mereka. Banyak yang ingin bersalaman dengan Irwandi atau sekadar mengabadikan momen tersebut dengan kamera telepon seluler.

Tepat jam tiga sore, mobil kami sampai di lapangan sepak bola Beureunuen. Podium tempat orasi terlihat sangat sederhana. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Irwandi bahwa dia calon yang paling miskin dalam kampanye.

Panggung terbuat dari kayu yang ditumpuk sejajar dan ditumpu beberapa drum kosong. Atapnya pun hanya terpal plastik dengan bambu sebagai penyangga.

Di lapangan tersebut berkumpul kurang dari seribu orang. Pidie memang bukan basis pendukung Irwandi-Nazar. Daerah tersebut merupakan basis kuat pasangan H2O, sebutan untuk pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah, yang merupakan rival utama mereka. H2O calon dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan secara resmi pernah didukung KPA. Dukungan ini diduga karena Hasbi Abdullah tak lain dari saudara kandung Zaini Abdullah, menteri luar negeri GAM di Swedia.

Kampanye disampaikan dalam bahasa Aceh yang saya tidak mengerti, walau ada beberapa kosa kata yang mirip dengan bahasa Indonesia. Walau demikian saya sempat menangkap ucapan Irwandi tentang desas-desus hubungannya dengan Jusuf Kalla.

“Saya tidak menerima uang dari Jusuf Kalla,” katanya, yang disambut dengan tepuk tangan dan riuh massa. Kabar burung mengatakan bahwa kampanye Irwandi-Nazar mendapat sumbangan uang sebesar Rp 5 miliar dari Jusuf Kalla, wakil presiden Indonesia.

Di tempat itu pula saya bertemu dengan anggota tim sukses Irwandi yang lain, Isjkarudin Muda bin Usman. Pertama kali jumpa, ia mengira saya adalah wartawan asing. Perawakan saya seperti orang Jepang, katanya. Setelah saya berbicara dalam bahasa Indonesia, baru ia paham bahwa saya wartawan Indonesia. Isjkarudin adalah pengawal khusus Irwandi, sehingga ia akan selalu satu mobil dengan atasannya itu.

Rombongan kemudian menuju Bireuen untuk beristirahat dan bermalam di sana. Dalam perjalanan pulang, Isjkarudin sering terlihat bercanda dengan Irwandi dalam bahasa Aceh yang menunjukkan ia orang kepercayaannya. Usianya tigapuluhan dengan postur yang seperti tentara. Tegap dan kekar. Kebanyakan anggota tim sukses Irwandi, mantan TNA.

Sehabis berbicara dengan Isjkarudin, Irwandi berkata pada saya, “Dik, kami mendapat banyak laporan dari teman-teman di lapangan, banyak pemilih yang liar.”

Saya tak paham apa yang ia maksud.

“Banyak pendatang yang baru seminggu atau sebulan tiba, sudah dapat KTP (kartu tanda penduduk) dan didaftarkan,” tuturnya

“Mereka umumnya pekerja konstruksi dari Jawa,” katanya, menjelaskan asal pemilih liar itu. Irwandi dan orang-orang GAM mencurigai kuli-kuli bangunan ini, yang mereka sebut sebagai permainan intelijen Jakarta.

“Kami sudah lama tidak percaya sama pemerintah Indonesia,” kata Isjkarudin. Mereka khawatir suara-suara itu akan diberikan ke salah satu calon pesaing mereka yang didukung partai dari Jakarta. “Kami kalau kalah tidak apa-apa, asal adil,” tambah Isjkarudin.


ROMBONGAN tiba di Bireuen, tepatnya di desa Sagoe. Mobil berhenti di muka rumah keluarga Irwandi. Kami akan bermalam di sini sebelum melanjutkan kampanye ke Lhokseumawe keesokan harinya.

“Silahkan.” Ia mempersilahkan saya masuk. Rumah sederhana, punya empat kamar dan berlantai semen, bukan keramik.
Saya menempati kamar belakang bersama Isjkarudin.

Suara kokok ayam yang berulang-ulang terdengar di pagi 27 November 2006 itu. Saya baru setengah terjaga dan berusaha tidak menghiraukan suara itu.

Tapi saya benar-benar terbangun ketika Isjkarudin membangunkan saya dengan setengah memaksa.

“Rony, Rony bangun! Sudah jam tujuh, ayo cepat mandi. Sebentar lagi kita sudah mau jalan,” katanya. Mau tidak mau, saya pun melek dan langsung mandi.

Selepas mandi, saya menemukan Irwandi dan anggota rombongan di meja makan, bersiap untuk sarapan. Lhokseumawe salah satu basis terkuat GAM. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah pasar. Di situ Irwandi disambut warga yang umumnya pedagang dan nelayan.

Kampanye berlangsung di sebuah stadion sepak bola. Namun, di luar perkiraan, hanya sedikit orang yang hadir di sana. Sekitar 1.500 orang. Ternyata banyak warga yang salah lokasi karena tempat kampanye dipindahkan dari tempat sebelumnya, lapangan Hiraq, ke stadion tersebut.

Dalam kampanye sore itu, Irwandi menyatakan bahwa KPA yang sebelumnya secara institusional mendukung pasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah atau H2O telah mencabut dukungannya. Memang di markas KPA di Banda Aceh, ketua KPA Muzakir Manaf bersama dengan Bachtiar Abdullah dan Sofyan Dawood telah melakukan konferensi pers di hari yang sama untuk menyampaikan pernyataan mengenai pencabutan dukungan terhadap H2O.

Saya pun sempat membaca salinan surat pernyataan yang ditandatangani oleh semua panglima wilayah GAM itu. Keceriaan jelas terpancar dari wajah tim sukses Irwandi dan tentunya juga Irwandi sendiri.

Saya pernah bertanya kepada Irwandi mengenai pernyataan mendukung H2O dari ketua KPA, yang mengikuti arahan Swedia dan mengapa ia sendiri tidak tunduk pada instruksi pemerintah GAM di luar negeri. “Saya ini tentara pemberontak. Saya tidak bisa mengikuti perintah bodoh,” sahutnya.


SEPERTI hari sebelumnya, hari ini saya juga dibangunkan oleh Isjkarudin dengan perintah sama: cepat bangun. Mandi dan makan pun harus cepat. Bagi Isjkarudin dan teman-temannya, kedisiplinan seperti ini hal biasa. Mereka biasa bergerak cepat sesuai tuntutan keadaan sebagai gerilyawan TNA, dulu.

Selepas makan, seorang perempuan paruh baya yang juga tinggal di rumah Irwandi berkata pada saya, “Ada kawan di depan.” Yang ia dimaksud adalah sesama rekan wartawan. Pagi itu di teras depan sudah menunggu tiga wartawan Al-Jazeera Internasional. Salah seorang dari mereka mengenalkan diri dengan nama Stephanie. Mereka akan mengikuti kampanye Irwandi di Matang, Bireuen, hari ini.

Kepada Stephanie, Irwandi mengeluhkan soal pemberitaan di sejumlah media lokal Aceh, termasuk di Serambi Indonesia. Berita di Serambi Indonesia, menurut Irwandi, terlihat memihak salah satu kandidat gubernur. “Berita mengenai H2O pasti ditulis besar-besar,” katanya.

Tetapi ketika ada berita menyangkut dirinya dan Nazar, contohnya tentang pencabutan dukungan terhadap H2O oleh KPA, hanya ditulis kecil saja. Irwandi kemudian memperlihatkan surat kabar Serambi Indonesia yang memuat berita tersebut. Panjang berita memang hanya satu kolom.

Sebelum menuju tempat kampanye, Irwandi dan rombongan pergi ke desa Lhong. Di desa ini sering terjadi kontak senjata saat konflik dulu.

“Saya jadi teringat masa-masa dahulu (konflik), di mana kita akan bertemu di persimpangan jalan dan bersama-sama pergi ke hutan dan gunung, ” kata Irwandi, ketika ia melihat orang-orang KPA yang menunggunya di persimpangan jalan memasuki desa Lhong.

Apakah ia pernah menembak musuh?

“Seringkali saya memutuskan untuk tidak menarik pelatuk untuk menyelamatkan nyawa mereka. Ketika jauh, mereka hanya seperti target, tetapi ketika mereka berada dekat, saya bisa melihat ke dalam bola matanya, dan mereka seperti saudara saya, juga manusia,” tuturnya.

Mobil memasuki desa. Jalan-jalan berbatu. Rumah-rumah sederhana.

Hampir semua warga yang berpapasan dengan rombongan kami tampak akrab dan kenal dekat dengan Irwandi. Dalam rombongan hari itu, turut serta adik bungsu Irwandi, Edi Suhaemi. Ia memperkenalkan diri sebagai adik bungsu Irwandi.
Edi bercerita bahwa keluarganya adalah keluarga abdi negara. Banyak anggota keluarganya yang bekerja di institusi pemerintah.

Adik Irwandi nomor dua adalah polisi. Edi sendiri jadi dosen di Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe. Oleh Edi saya diperkenalkan pada beberapa orang GAM di desa Lhong, termasuk mantan anggota polisi Takengon yang desersi dan melarikan sembilan pucuk senjata AK-45.

Kampanye di lapangan Blang Asan, Matang, dikunjungi sekitar 5.000 orang. Seperti kampanye sebelumnya (di Pidie dan Lhokseumawe), kampanye ini pun dibuka dengan lagu-lagu perjuangan Aceh dan GAM yang selalu dinyanyikan Sarjani bin Abdul Samad, yang akrab dipanggil Imum Jon.

Saya sendiri tertarik dengan syair lagu-lagu yang dinyanyikan Imum Jon, terutama lagu yang khusus diciptakan untuk kampanye Irwandi-Nazar. Lagu ini lucu dan mengundang gelak tawa siapa saja.

Beutoi hana salah…beutoi hana salah…betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x

Tanyoe aceh bek le meukleh sahoe jalan
Teungku Irwandi dan Nazar beutapeumeunang
Nyoe pasangan perjuangan perdamaian
Nyoe ureung droe koen ureung jak peu ureung droe GAM

Bak po tallah temue do’a uruoe malam
Nyoe lumboi nan beubeureukat tanyaoe meunang
Tamat keudroe aceh nyoe droe po piasan
Insya allah nyan ek leumoe jeut keu intan

Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x

Geutanyoe koen ureung lap darah bak peudeung
Mita untong bak gop susah cok peuleuweung
Dalam uteun meutem susah meuteung payeung
Bak meutiyeup geuleugoeng yg raya umpeun

Watee rundeng ureung tanyoe geugloeng gaki
Hareum geu’ek ateuh perte atra RI
Independent tapeujuang nyan kajibrie
Pakoen pungo jinoe culok droe lam perte basi

Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x

Meuploeh thoen ka janji-janji dijak ruah
Goep poh rimueng teuka jih jak laboe darah
Beutaturi rakan droe yg tem susah
Demi nanggroe demi bansa geu rhoe darah

Kasep dile dum tadeungoe janji-janji
Kapileh kee kubloe bajee sareng kupi
Buet kupeuget jalan kulhat langet kucet
Ban teupileh peng dipeugleh pasoe lam bhep

Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi hai bang kaoy hana salah 2x
Beutoi hana salah… beutoi hana salah… betoi betoi nyoe lumboi nan hana salah 2x


Terjemahannya:

Betul tidak salah… etul tidak salah.. .betul betul ini nomor 6 tidak salah 2x

Kita orang Aceh jangan lagi terpisah-pisah, harus satu jalan
Teungku Irwandi dan Nazar harus kita menangkan
Ini adalah pasangan perdamaian
Ini orang kita sendiri (orang GAM) bukan orang-orang yang ngaku-ngaku GAM

Siang malam kita berdo'a pada Allah
Nomor enam (pasangan IRNA) semoga diberkati agar kita menang
Kita pegang sendiri pemerinta aceh
Insya allah taik lembu bisa jadi intan

Betul tidak salah.. .betul tidak salah.. .betul betul ini nomor 6 tidak salah 2x

Kita bukan tukang lap darah di pedang
Cari keuntungan dari kesusahan orang cari peluang
Dalam hutan kami menderita dan merana
Ketika mengejar bangsat-bangsat yang rakus

Ketika rapat, orang kita bersikukuh
Haram bergabung dengan partai RI
Jalur independen yang kita perjuangkan dan sudah di beri
Kenapa sekarang kita malah bergabung dengan partai basi

Berpuluh-puluh tahun sudah janji2 diberikan
Orang yang membunuh harimau, dia yang berdarah
Harus kita kenal kawan sendiri yang mau susah
Demi negara dan demi bangsa rela darahnya tumpah

Sudah cukup dulu kita dengar janji-janji
Pilihlah aku biar kubeli baju saring kopi
Aku akan bekerja, jalan kubuat, langit akan aku cat
Setelah kita pilih, uang habis masuk ke kantong sendiri

Betul tidak salah.. .betul tidak salah.. .betul betul hai bang kaoy tidak salah 2x
Betul tidak salah... betul tidak salah... betul betul ini nomor 6 tidak salah 2x


Nazar juga hadir dalam kampanye di Matang dan untuk kali pertama sang calon gubernur dan wakilnya hadir dalam sebuah kampanye bersama di luar Banda Aceh. Mereka memang mengagendakan kampanye keliling Aceh secara terpisah. Bagi-bagi tugas, istilahnya.

Dari komandan khusus saya, Isjkarudin, saya diberitahu bahwa besok rombongan akan pulang ke Banda Aceh. Ini kabar yang cukup menyenangkan. Artinya, saya bisa beristirahat dan mengambil beberapa pakaian bersih sebelum mengikuti perjalanan kampanye berikutnya. Maklumlah, saya hanya membawa dua helai baju dan sepotong celana yang saya pakai.


PAGI itu saya sudah bersiap untuk kembali ke Banda Aceh bersama rombongan. Namun ketika sarapan pagi selesai, Irwandi mendapat telepon dan setelah itu ia mengabarkan bahwa rombongan tidak jadi kembali ke Banda Aceh. Kami akan menuju Blangkejeren untuk kampanye esok hari. Musnahlah impian saya untuk bersantai barang sehari di Banda Aceh. Pakaian bersih lupakan saja.

Blangkejeren terletak di kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues. Untuk mencapainya kami harus ke Bener Meriah yang berjarak sekitar 101 kilometer dari Bireuen. Perjalanan ke sana dapat ditempuh dalam dua jam.

Irwandi akan bertemu Nazar yang pada hari itu dijadwalkan berkampanye di Bener Meriah. Irwandi sendiri tidak ada jadwal kampanye hari itu. Baru keesokan harinya ia akan berkampanye di Blangkejeren.

Ternyata perjalanan menuju Blangkejeren memakan waktu lebih lama. Dari Takengon, kami harus menempuh jarak 156 kilometer. Tak cuma jauh, medannya pun sulit. Kami harus melalui barisan gunung yang berada di antara Takengon dan Blangkejeren.

Sebelum berangkat, Irwandi membeli beberapa sekop dan kapak.

“Untuk membersihkan tanah longsor,” katanya.

Perjalanan ke Blangkejeren sangat rawan akan tanah longsor, terutama ketika hujan turun. Hal ini membuat saya sedikit khawatir. Jalanan cukup sempit dan terjal. Lagi-lagi, Irwandi mengemudikan sendiri mobil yang membawa kami. Ketika saya menanyakan mengapa ia suka mengemudi sendiri, ia menjawab, “Saya tidak dapat mempercayakan nyawa saya di tangan seorang supir”.

Ia sebetulnya pantas jadi pembalap. Ia senang mengemudi kencang-kencang. Jantung saya seperti mau terbang dibuatnya.

“Ngeri liat Bang Wandi bawa mobil? Kami pun ngeri takut kalo Bang Wandi yang bawa,” kata Isjkarudin, sambil sedikit tertawa.

Kemampuan mengemudi Irwandi rupanya sudah tersohor di kalangan orang GAM, terutama para gerilyawan. Suatu hari seorang perwakilan Aceh Monitoring Mission, lembaga yang memantau pelaksanaan Perjanjian Helsinki di Aceh, ikut mobil Irwandi untuk bersama-sama ke rumahnya di Bireuen dari Banda Aceh. Di tengah perjalanan, orang ini minta diturunkan, saking takutnya. Ia memilih naik bus umum ketimbang ikut Irwandi.

Di perjalanan menuju Blangkejeren, saya pun makin percaya, mungkin bila ia tidak jadi gubernur, ia bisa jadi pembalap handal. Betapa tidak, dalam perjalanan tersebut ia dengan santainya dan mudahnya melewati jalan-jalan di barisan gunung yang berliku-liku, bahkan memasuki tikungan pun, kecepatan mobil tidak dikuranginya! Akibatnya mobil ngepot, seperti yang biasa disaksikan di reli-reli dunia!

Mobil melaju dengan alunan musik Bon Jovi, grup musik asal Amerika, yang distel agak keras. Saya terus-menerus khawatir. Jurang menganga di bawah kami.

Irwandi kemudian mengatakan kepada saya, kalau mengemudi pada malam hari sebenarnya lebih tidak menyeramkan. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab sambil bercanda, karena kalau malam hari katanya, jurang tidak kelihatan, hanya hitam saja, jadi tidak terlalu khawatir. Padahal, mungkin, jarak mobil dan jurang tinggal sentimeter saja. Alamak!

Semakin jauh mobil melaju, makin sedikit mobil yang ditemui di jalan. Tak berapa lama kami mulai melewati desa-desa kecil. Saya pun bingung, karena di tiap rumah ada gambar bendera merah putih, bendera kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Itu tanda kesetiaan pada RI (Republik Indonesia),” Irwandi menjawab keingintahuan saya, “Kalau tidak ada merah putih dianggap GAM, padahal dulu GAM juga ada yang tidur di rumah-rumah itu,” lanjutnya.

Ia kemudian juga bercerita mengenai penggundulan hutan yang terlihat di jalan yang kami lewati.

“Lihat itu di atas, gundul begitu, hanya ada satu dua pohon saja,” katanya, kesal.

Saat istirahat sejenak di tengah perjalanan, ia kembali menunjuk bukit di atas kami yang gundul karena penebangan hutan besar-besaran. Ia juga menyebut Hak Penerbangan Hutan atau HPH sebagai biang keladi penggundulan hutan yang terjadi di sana. “Yah, Bob Hasan dan kawan-kawan sejenisnya,” katanya.

Bob Hasan pengusaha keturunan Tionghoa. Di masa kejayaan Orde Baru, ia sangat dekat dengan presiden Soeharto. Hal ini memudahkannya mendapat izin menebang hutan sesuka hati, sampai-sampai ia dijuluki Si Raja Hutan. Ketika Soeharto lengser jadi presiden, kroni-kroninya tak lagi punya pelindung, termasuk Bob Hasan. Ia terpaksa mendekam di penjara Nusakambangan, Jawa Tengah, karena kasus korupsi pemetaan hutan yang dilakukannya di masa Soeharto.

DI desa bernama Kampung Owaq, kami kembali istirahat. Ketika itu hari sudah sore, hampir pukul empat. Kampung tersebut tampak lengang. Tidak ada aktivitas yang terlihat di jalan-jalan. Hanya seekor anjing saja yang melenggang di jalanan itu. Rombongan memanfaatkan waktu untuk melepas rasa lapar di warung yang ada. Irwandi berbincang-bincang dengan pemilik warung dan beberapa lelaki yang kebetulan sedang berkumpul di situ.

Tiba-tiba keheningan jalan pecah oleh suara laju rombongan mobil berkecepatan tinggi. Semakin dekat, diikuti bunyi klakson, seorang pria paruh baya menampakkan dirinya di jendela salah satu mobil itu. Ia sudah memasang senyum, meski mobil tersebut belum lagi berhenti.

Irwandi pun menyapanya dan berteriak memanggil-manggil nama pria tersebut. Ketika mobil berhenti, kedua lelaki ini berpelukan dan saling senyum.


Lelaki paruh baya itu ternyata Jenderal purnawirawan Djali Yusuf, yang juga mencalonkan diri jadi gubernur Aceh. Perbincangan menjadi agenda yang tidak dapat dielakkan, sedang pertemuan merupakan suatu kebetulan belaka. Djali Yusuf adalah mantan Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, yang membawahi semua pasukan TNI yang ada di Aceh. Dulu kedua tokoh yang sama-sama mempunyai nama belakang Yusuf ini pernah terlibat dalam kontak senjata di Cot Trieng, yang lebih dikenal sebagai Pengepungan Cot Trieng.

Pada pengepungan tersebut banyak pasukan TNI yang tewas oleh gerilyawan GAM. Awal mulanya adalah ketika TNI mendapat kabar bahwa ada petinggi GAM di Cot Trieng. Petinggi itu dikabarkan sebagai Sofyan Dawood, juru bicara GAM. Djali Yusuf pun memerintahkan pasukannya untuk mengepung daerah tersebut. Namun kabar tersebut tidak benar dan malah TNI dikepung balik oleh gerilyawan GAM. Sampai sekarang TNI tidak mengakui “kekalahan” di Cot Trieng tersebut. Irwandi mengetahui kejadian itu dengan tepat, karena ia sendiri yang mengatur strategi di sana dan sengaja menyebarkan informasi bahwa ada petinggi GAM yang di situ. Saat itu ia menjabat penasihat intelijen militer GAM.

Djali Yusuf dan Irwandi berbicang-bincang dan bercanda dengan orang-orang yang ada di warung. “Kami ini sama-sama Yusuf. Bedanya yang ini Irwandi Yusuf, yang satunya lagi Djali Yusuf,” canda Djali, sambil merangkul bahu mantan musuhnya.

“Inilah indahnya damai, jadi bisa seperti ini. Di rombongan saya pun ada juga yang bekas TNA,” lanjut Djali.

Senyum tak pernah lepas dari wajah mereka berdua. Akhirnya waktu yang harus membuat masing-masing rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Kami ke Blangkerejen dan rombongan Djali Yusuf kembali ke Banda Aceh.

Sebelum kembali mengemudikan mobilnya, Irwandi sempat bercanda lagi dengan pemilik warung, “Bedanya TNI sama TNA, TNA nyetir sendiri.”

Kami sampai di Blangkejeren pada pukul tujuh malam dan bermalam di sebuah losmen.


BLANGKEJEREN, 30 November 2006. Kampanye akan berlangsung di sebuah lapangan pacuan kuda, tidak jauh dari losmen tempat kami menginap. Pukul tiga sore.

Untuk kampanye, Irwandi mengajak dua orang pemuka agama setempat. Ini lantaran GAM kurang mempunyai pengaruh di sini, juga bahasa setempat yang berbeda dengan bahasa Aceh yang dipergunakan sehari-hari oleh rombongan Irwandi.
Pemandangan di sekitar lapangan sangat indah. Gunung-gunung tampak mengelilingi daerah ini.

Hanya sekitar 500 orang yang datang. Masalah bahasa pun terlihat ketika Irwandi menyampaikan orasinya dan untuk pertama kali pula ia harus menggunakan bahasa Indonesia dalam kampanye. Sorak-sorai penonton pun jarang terdengar, karena bahasa Indonesia penduduk setempat juga kurang lancar. Lagu-lagu perjuangan Aceh yang biasanya dinyanyikan oleh Imum Jon pun ditiadakan.

“Kami tidak laku di sana, karena orang tidak mengerti,” kata Imum Jon setelah kampanye.

Nagan Raya adalah target kampanye hari berikutnya.

Namun, tidur bukan hal mudah. Pada pukul satu pagi, Irwandi memasuki kamar yang saya tempati bersama dengan Isjkarudin.

“Ayo jalan,” perintahnya, singkat.

Perjalanan menuju Nagan Raya harus melalui Takengon dan jalan yang sama, yang kami tempuh saat datang ke Blangkejeren. Artinya, kami akan melakukan reli lagi melalui barisan gunung.

Irwandi mengemudi, Isjkarudin duduk di sampingnya dan saya di bangku belakang.

Sebelum berangkat, Irwandi menginstruksikan, “Ikat, ikat!” untuk memastikan semua sudah mengenakan sabuk pengaman. Seperti kebiasaannya, ia memutar kembali lagu-lagu Bon Jovi dan dengan santainya memacu kendaraan dengan kencang. Medan yang berat, terjal, ditambah kegelapan malam seperti tidak menyusahkannya sama sekali. Di tengah alunan lagu “Blood Money” Bon Jovi, saya pun terlelap.

Saya terbangun ketika mobil tiba-tiba berhenti. Ternyata hari masih gelap dan dari jendela di kiri-kanan mobil masih terlihat wujud daun-daun pepohonan dan jurang, penanda kami belum sampai tujuan.

Mobil kami mengalami masalah radiator lagi, hal yang terjadi sejak pertama kali rombongan akan memasuki Pidie di hari pertama kampanye. Namun kerusakan kali ini sepertinya lebih parah.

Kerusakan itu mengakibatkan radiator cepat kering. Untuk mengisi ulang air radiator, Irwandi menggunakan air mineral botol. Ketika air di botol habis, ia mengambil air dari mata air. Radiator yang bocor itu membuat rombongan harus berhenti setiap 20 menit hanya untuk mengecek radiator dan mengisinya kembali dengan air yang bisa didapat di sekitar dan itu berlangsung terus, berkali-kali, sampai akhirnya rombongan sampai di kota dingin Takengon pagi harinya.

Sesampai di Takengon, rombongan berhenti untuk sarapan pagi. Saya kagum pada stamina dan ketahanan tubuh orang-orang GAM ini. Bayangkan, tujuh jam menyetir non-stop dan saat ini mereka dapat bercanda dan makan dengan santainya, sedang saya sendiri masih mabuk dan mual akibat reli malam itu.

Irwandi meledek saya, “Kamu kan masih muda, saya yang sudah tua saja kuat.”

Kampanye di Nagan Raya dihadiri sekitar seribu orang. Hujan jadi salah satu faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah massa. Hujan yang makin deras membuat banyak orang meninggalkan tempat kampanye, meski ada juga yang tetap bertahan sambil hujan-hujanan. Hujan juga yang membuat waktu kampanye lebih cepat.

Hari itu kami bermalam di rumah anggota KPA setempat. Besok, 2 Desember 2006, kami berangkat ke Calang.


PERJALANAN ke Calang, ternyata tidak kalah sulit dibanding rute ke Blangkejeren. Bukan karena medan yang berat, melainkan karena banjir memutus jalan satu-satunya dari Meulaboh ke Calang. Di Kuala Bhee mobil terpaksa berhenti gara-gara banjir menutupi jalan sepanjang 50 meter. Sebuah truk Colt terbalik setelah nekad melaluinya.

Melihat jalan satu-satunya menuju tempat kampanye terputus, saya mengira kampanye hari itu akan dibatalkan. Ternyata tidak. Naik mobil tak bisa, naik truk terbalik, maka para mantan tentara GAM itu pun memutuskan naik sampan untuk melalui banjir. Sampan untuk menyeberangi banjir hanya dapat memuat tiga orang, termasuk pangayuhnya.

Irwandi sudah menyeberang lebih dulu. Saya agak ngeri, meski banjir tersebut saya perkirakan cuma setinggi pinggul orang dewasa. Sampan tidak stabil dan sering goyah. Kalau sampai sampan terbalik, maka semua kamera dan hasil foto saya akan hilang semua.

Di ujung jembatan sudah menunggu dua buah mobil yang akan membawa rombongan kami ke tempat kampanye. Sekitar tiga jam perjalanan lagi harus ditempuh untuk sampai ke tempat tujuan.

Di Calang sudah berkumpul sekitar 10.000 orang yang berkerumun di sekeliling podium yang didirikan secara sederhana oleh KPA setempat. Orang-orang yang datang itu kebanyakan berasal dari barak dan tempat pengungsian yang letaknya dekat situ.

Calang adalah daerah pesisir barat Aceh yang paling parah terkena tsunami. Rumah dan bangunan yang layak masih jarang terlihat, meski bencana sudah dua tahun berlalu. Rumah-rumah warga lebih tepat disebut gubuk.

Wartawan tak terlihat di tempat kampanye Irwandi. Selama ini kampanyenya memang kurang mendapat liputan wartawan.
Irwandi mengenakan pakaian tradisional Aceh lengkap. Ia bersiap-siap pidato, yang isinya tak jauh beda dengan kampanye di kota-kota sebelumnya. Pendidikan gratis mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Pelayanan kesehatan dasar gratis. Sambil bercanda ia mendefinisikan arti kata “dasar” itu. “Dalam arti bukan kosmetik. Kalau mancungin hidung yah tidak gratis,” katanya, yang disambut tawa riuh massa.

Ia juga berorasi tentang kemerdekaan. Tetapi “kemerdekaan yang ingin kita capai bukan lagi kemerdekaan secara teritorial, tetapi kemerdekaan secara hakiki,” ucapnya.

Merdeka secara hakiki, menurut Irwandi, adalah bangsa Aceh dapat bebas dan makmur di segala segi. Kemerdekaan itu meliputi kebebasan mengatur kehidupan beragama, ekonomi, dan budaya, yang saat ini ia rasa belum tercapai.

Setelah kampanye, rombongan bersiap kembali ke Meulaboh. Namun, saat berjalan melintasi kantor polisi Aceh Jaya yang letaknya berdekatan dengan tempat kampanye tadi, seorang polisi keluar dan tiba-tiba tersenyum dan memanggil serta menjabat tangan Irwandi.

“Ayo-ayo diabadikan. Ini peristiwa bersejarah,” ujar seseorang pada saya.

Irwandi beserta beberapa anak buahnya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Rupanya polisi tadi adalah kepala polisi kabupaten Aceh Jaya (namanya saya lupa).

Ruang 3x10 meter persegi itu nyaman dan sejuk karena udara dari pendingin ruang. Polisi tersebut menyilahkan kami duduk di sebuah sofa yang ada di ujung ruang, dekat pintu.

Ia sangat ramah kepada kami khususnya pada Irwandi, seperti layaknya sahabat lama. Padahal sebelum Perjanjian Helsinki ditandatangani, Irwandi sempat ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara sampai tsunami pada akhir 2004 itu membebaskannya dari penjara.

“Dia ini guru saya,” kata kepala polisi itu, sambil melihat kepada Irwandi. Entah apa maksudnya. Mungkin serius. Mungkin bercanda.

Mereka berbicara dalam bahasa Aceh setelah itu. Kepala polisi bercerita tentang bagaimana ia bisa selamat saat tsunami menghantam Calang dan banyak anggota polisi yang meninggal waktu itu.

Saya heran saya melihat dua pihak, yang satu GAM dan yang satunya lagi polisi, bisa duduk dan berdialog dengan santai. Mungkin benar kata Djali Yusuf ketika bertemu Irwandi, “Inilah indahnya damai.”

Banjir rupanya belum surut benar di Kuala Bhee, tapi kali ini sampan sudah tidak ada dan truk besar jadi alat penyeberangan kami. Irwandi duduk di depan, sementara saya dan yang lain naik di bak truk. Dari serpihan kayu dan pasir di bak, saya pikir truk ini biasa digunakan untuk mengangkut pasir atau kayu.

“Baru pertama kali datang ke Aceh, semua sudah dijelajahi, utara, barat, timur sudah habis, sampan pun sudah, naik truk sudah, tinggal naik kuda saja yang belum!” Seorang anggota rombongan menyindir saya.
Kami tiba di sebuah rumah untuk bermalam pada pukul 00.30.


MEULABOH, 3 Desember 2006. Di lapangan Teuku Umar sudah berkumpul sekitar 12.000 orang. Sekali lagi liputan media sangat minim untuk Irwandi. Hanya seorang koresponden media cetak asing serta media elektronik yang mewawancarai Irwandi sehabis kampanye.

Minimnya perhatian media terhadap Irwandi disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah keputusan Irwandi dan Nazar untuk maju secara independen tanpa kendaraan politik berupa partai politik. Banyak orang menyangsikan kesiapan dan apalagi, kemenangan mereka.

Banyak orang yang menduga pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah (H2O) yang maju dengan dukungan Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) atau Malik Raden yang didukung oleh Partai besar Jakarta, Golongan Karya, lebih punya peluang besar untuk menang.

Dengan adanya dukungan dari partai, tentu saja dana sudah pasti tersedia untuk keperluan kampanye para calon. Humam-Hasbi sendiri dikabarkan menghabiskan lebih dari Rp 20 miliar untuk kampanye ini. Setidaknya jumlah poster dan spanduk kampanye terbanyak berasal dari pasangan tersebut.

Bagaimana dengan Irwandi? Ia mengatakan hanya menghabiskan kurang dari Rp 500 juta untuk kampanyenya. Dari mana sumber dananya? “Saya mencari dari teman-teman pendukung saya. Yah, ada dapat sedikit-sedikit, sesama miskin,” jawabnya, tanpa menyebut secara rinci siapa teman-temannya itu.

Irwandi memilih jalur independen, karena ia menganggap tidak ada partai politik yang mampu membawa aspirasi rakyat Aceh, dan partai lokal yang sedianya akan dibentuk oleh KPA, juga belum terbentuk. Setelah maghrib, kami menuju Bireuen dan bermalam lagi di rumah Irwandi.


DARI Bireuen kami menuju Lhokseumawe. Irwandi akan berkampanye lagi di Lhokseumawe. Banyak mobil datang mengangkut orang-orang yang ingin menonton kampanye di lapangan Hiraq. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan, bahkan ada anak-anak. Poster Irwandi-Nazar dipajang di mobil-mobil itu. Beberapa warga memakai ikat kepala bertuliskan “Irwandi-Nazar”. Saya memotret antusiasme massa, beberapa kali.

“Banyak dari mereka yang tak akan dapat memilih (dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada),” ujar salah seorang simpatisan. Banyak yang belum memiliki kartu tanda penduduk atau KTP. Orang berjubel. Lapangan sepak bola yang luas itu tidak dapat menampung keseluruhan massa, yang diperkirakan berjumlah 20.000 orang.

Tiba-tiba dua orang simpatisan GAM mengibarkan bendera bulan bintang, bendera GAM. Tim sukses Irwandi panik. Mereka minta bendera itu disimpan. Namun, wartawan dan fotografer justru ingin bendera tetap dikibarkan. Mereka ingin menghasilkan tulisan dan foto yang sensasional.


RELI malam akan terulang lagi. Rombongan kampanye akan menuju Tapak Tuan, Aceh Selatan, yang berjarak 220 kilometer dari Bireuen atau sekitar 12 jam perjalanan. Berangkat pukul satu malam, tiba di tujuan pukul satu siang.

Tapak Tuan mempunyai potensi yang amat besar untuk sektor wisata. Di satu sisi berdiri gunung megah, di sisi lain membentang pantai indah. Namun jalan menuju kota ini cukup sulit. Jalan sempit dan hanya bisa dilalui satu mobil. Di terminal bus Lhok Tapak Tuan, podium sudah nampak berdiri walaupun sederhana dan pengeras suara pun sudah siap dipakai. Semua itu dikerjakan orang-orang KPA setempat. Meski secara institusi KPA tidak mendukung calon mana pun, bahkan pernah mengeluarkan pernyataan mendukung H2O, tetapi orang-orang di dalamnya yang kebanyakan mantan gerilyawan GAM mendukung Irwandi Yusuf, sesama angkatan muda GAM.

Irwandi berusia 46 tahun, paling muda di antara tujuh calon gubernur lainnya. Calon wakilnya, Nazar, bahkan lebih muda. Usia Nazar 33 tahun. Jika terpilih, Nazar akan jadi wakil gubernur termuda di Indonesia.

Massa sudah berkumpul. Sekitar 12.000 orang. Kampanye berlangsung seperti yang sudah-sudah. Pidato. Lagu-lagu.
Besok adalah kampanye puncak dan akan diadakan di lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Artinya, dibutuhkan 14 jam perjalanan dari Tapak Tuan.

Saya makin kagum terhadap stamina Irwandi. Kalau dihitung-hitung, sudah 50 jam kami habiskan di jalan raya dan lebih dari setengahnya Irwandi yang mengemudi.


KAMPANYE di Blang Padang hanya dihadiri sekitar 3.000 orang. Tak ada lagu perjuangan yang dinyanyikan Imum Jon. Tapi kali ini liputan media amat besar. Mungkin karena kampanye berlangsung di Banda Aceh dan wartawan tak harus bersusah payah mencapai lokasi kampanye.

Fotografer sibuk memotret. Wartawan sibuk mencatat. Sofyan Dawood, juru bicara KPA, ikut hadir dan memberikan orasi. Irwandi pernah menyebut Sofyan sebagai ketua tim kampanyenya.

Saya tak mengikuti kampanye Irwandi yang terakhir di Sabang, Pulau Weh. Tubuh saya tak kuat. Tulang-tulang terasa mau patah.

Kami baru bertemu lagi pada hari pencoblosan, 11 Desember 2006. Irwandi mengenakan setelan hitam-hitam. Ia tersenyum menyambut wartawan yang sudah menunggu di halaman kantor KPA di Lamdingin, Banda Aceh. Senyum tegang, senyum khas politisi, bukan senyum yang biasa saya lihat saat kami reli.

Seorang wartawan bertanya tentang kansnya dalam pemilihan ini. Ia menjawab bahwa ia yakin akan menang dalam satu putaran saja. Ketika si wartawan menanyakan alasan di balik keyakinan itu, ia menjawab bahwa ia tidak punya dana untuk putaran kedua.

Bagaimana kalau kalah? “Jika saya kalah, saya akan jadi loser saja,” ucapnya santai, lalu menegaskan kembali bahwa ia akan menang.

Pada pukul tujuh malam di Swiss Bel-Hotel, Banda Aceh, diadakan pengumuman hasil quick count pencoblosan hari itu. Penyelenggaranya adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Hasil resmi akan dikeluarkan Komisi Independen Pemilihan (KIP), tapi penghitungan ala LSI pun cukup akurat. Ia pernah digunakan di pemilihan presiden yang lalu.

Denny Jauhar Ali, ketua LSI, menyatakan Irwandi memperoleh 39,7 persen suara. Itu artinya 14 persen lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk menang pemilihan secara langsung dalam satu putaran.

Setelah mendengar pengumuman tersebut, saya memutuskan pergi ke kantor KPA di Lamdingin dengan becak.

Kantor itu tampak lengang. Tak ada kerumunan wartawan yang terlihat di ruang depan. Ternyata Irwandi sedang berada di ruangannya dan melayani wawancara dengan media asing. Saat wawancara selesai, saya langsung menemui dan menyalaminya.

“Saya menang kan karena kamu ikut kampanye saya,” selorohnya, diikuti derai tawa.

Kemenangan ini jadi kejutan bagi banyak orang.“Salah satu hal yang orang lain tidak tahu adalah jaringan. Saya memiliki jaringan, yang walaupun compang-camping tetapi masih rapi sampai ke bawah,” katanya.

Garis komando itulah yang ia maksud. Para panglima sagoe yang tersebar di seluruh pelosok Aceh adalah mereka yang menyokong dan jadi ujung tombak kemenangannya. Tetapi perjalanan untuk membawa Aceh pada kemerdekaan yang hakiki itu masih panjang. Dan ia menyadari itu. ***


Rony Zakaria adalah kontributor sindikasi Pantau di Jakarta, bekerja sebagai fotografer paruh waktu.

Terminology 'Indonesia'

The terminology of Indonesia is not necessarily a native idea. The term "Indonesia" is compounded by Indo (Latin word for India or Indus) and Nesos (Greek word for island).

James Richardson Logan, a jurist born in Scotland, worked in Singapore and buried in Penang, is known as the inventor of the terminology Indonesia when writing The Ethnology of the Indian Archipelago in 1850, which expressed, “The name Indian Archipelago is too long to admit of being used in an adjective or in an ethnographical form. Mr (George Samuel Windsor) Earl suggests the ethnographical term Indunesians but rejects it in favour of Melayunesians. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym of Indian Islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders.”

Multatuli used Insulinde in his book Max Havelaar, published in 1860, compounded by “inseln” means islands and “indie.” There were also Malay Archipelago or Le Grand Archipel Malais or Nusantara Malayu Raya (Nusantara Raya) that extended to use.

But it was Adolf Bastian of University of Berlin who popularized the name of Indonesia through his book Indonesien oder die Inseln des Malayichen Archipels 1884-1894. Bastian was then much more popular worldwide than Logan nor Multatuli.

Well, the term Indonesia is finally a Scottish creation, an Indian geography and a German socialization! There is nothing native here.

Murder at Mile 63

By S. Eben Kirksey and Andreas Harsono


U.S. intelligence reports linked the Indonesian military to the 2002 murder of American school teachers in Timika, a mining town in the remote Indonesian province of Papua. Despite these reports, and opposition from the U.S. Congress, the Bush Administration removed a decade-old ban on funding for military education programs in Indonesia. In May 2006, the Bush Administration announced a new Pentagon program that will provide up to $19 million in additional funds for building Indonesian military capacity. An Indonesian court charged that Antonius Wamang, an alleged Papuan guerrilla, was the ringleader of this attack and sentenced him to life in prison on Nov. 7 2006. Six other alleged coconspirators were given sentences ranging from 18 months to seven years in jail. The same day that the sentences were handed down, Pentagon officials announced a “new era of military co-operation” with Indonesia. Yet, rigorous standards of evidence didn’t prevail in this Indonesian court and questions remain about whether Wamang’s group acted alone. This report—prepared for the Joyo Indonesian News Service and the Pantau Foundation—is based on internal police documents, court records, and eyewitness accounts. Antonius Wamang, Decky Murib, Patsy Spier and more than 50 other sources were interviewed in Timika, Jayapura, Biak, Jakarta and Washington DC.


When Antonius Wamang boarded a Garuda jet in September 2001 at Timika’s Moses Kilangin airport in Papua, his heart was pounding—he was on a mission to get weapons and ammunition in Jakarta. Born in the remote highland village of Beoga in 1972, Wamang was a young boy when Indonesian Brigadier-General Imam Munandar launched Operation Eliminate (Operasi Kikis) in the highlands of Papua. Anti-personnel Daisy Cluster bombs, mortars and machine-guns were used against Papuan villagers who were armed with bows and arrows. Nearly 30 years later, Wamang found what he thought was an opportunity to buy arms in hopes of fighting back against the Indonesian military.

Wamang flew to Jakarta alone and was met at Cengkareng airport by Agus Anggaibak, a sandalwood (kayu gaharu) dealer with close ties to the Indonesian military. According to Janes Natkime, a Beoga native who has known Wamang since elementary school and currently heads the Warsi Foundation in Timika, “Agus Anggaibak set up everything, he lobbied the officers and arranged the money.” Anggaibak, Natkime and Wamang are members of the Amungme tribe, a relatively small ethnic group where almost everyone knows everyone else. Anggaibak had earlier visited Wamang’s group in their jungle hideout, encouraging them to raise money to buy guns. He brought a rifle with him. Anggaibak showed off this weapon in Wamang’s camp: “MODEL P88-9, Col 9 mmp AK, Made in Germany.”

Anggaibak promised to help Wamang obtain weapons like the one he was carrying, as well as other guns, from arms dealers in Jakarta. Like all groups in West Papua’s Tentara Pembebasan Nasional (National Liberation Army)—a group without a clear hierarchical command structure founded in 1971—Wamang’s group was poorly armed.

Antonius Wamang’s group, according to the prosecutor’s indictment and several witnesses, only had three aging weapons: an SS1, an M16, and a bolt-action Mauser. Following several weeks of intensive gold panning, and sandalwood collecting, Wamang’s group raised money to purchase more guns. Anggaibak departed for Jakarta, with an advance payment from Wamang, where he began working on securing a deal. Wamang later flew to meet Anggaibak. He brought sacks of sandalwood probably worth more than 500 million rupiah. On the international market sandalwood fetches even higher prices. This rare wood is used to make incense and perfume.

Initially Anggaibak and Wamang stayed in a police guest house in Jakarta. A sandalwood middleman from Makassar named Mochtar introduced Anggaibak and Wamang to some Indonesian army and police officers. Well aware of how to exploit internal conflicts within the Indonesian security forces, Wamang hoped to secure weapons from one faction in hopes of attacking another faction.

Sergeant Puji, a police officer, befriended Wamang while he was staying at the guest house. Sergeant Puji took Wamang and Anggaibak on trips around Jakarta. They toured around while Puji asked them about the activities of Papuan guerillas around Timika. Puji said that he wanted to help the movement: he presented Wamang with a gift of six magazines of bullets (total 180 bullets) that could be used in Wamang’s M16 or SS1 rifles. Sergeant Puji also gave Wamang bullets for his Mauser. One night in the guest house, Sergeant Puji showed Wamang fifteen M-16 rifles. Wamang said he paid 250 million rupiah for these guns and Sergeant Puji held on to them for safe keeping.

Later Wamang moved to Hotel Djody at Jalan Jaksa 35, a backpacker hostel in downtown Jakarta. He probably checked in using a false name. “Mochtar was a regular guest here,” said Herry Blaponte, the hotel’s front office staff. Blaponte said Mochtar had regularly made sandalwood business deals with his Papuan guests. Hotel staff remember Mochtar as having a stocky build and being a “dandy”—their memories of him are not fond, however, since he left without paying his bill. Blaponte and hotel security staff Mahmud Trikasno told Indonesian chief detective Dzainal Syarief that they did not remember Wamang’s stay at their hotel. “I don’t remember his face,” said Trikasno. Four cleaning service staff also did not recognize Wamang’s picture.

One afternoon at Hotel Djody, according to Wamang, a stranger approached him and Anggaibak. “I hear you are looking to buy guns”, Wamang quoted the stranger as saying. Eventually Anggaibak admitted that they were. The stranger—Captain Hardi Heidi—said that he was an Indonesia soldier from Surabaya. Eventually Wamang paid for four additional guns from Hardi Heidi: two AKs and two M-16s. As with Sergeant Puji, Wamang arranged for Hardi Heidi to keep the weapons for safe keeping until he was ready to depart for Timika.

Hardi Heidi introduced Anggaibak and Wamang to Sugiono, an active duty Kopassus officer who pledged to help transport the weapons to Timika. They all traveled to different cities in Java together—to Bandung, Yogyakarta, and Surabaya. Sugiono and Hardi Heidi had interests similar to Sergeant Puji’s—they wanted to hear about TPN activities around Timika.

On September 21, Wamang visited 40 Amungme and Kamoro tribal leaders, who had just returned from negotiations with Freeport McMoRan at its New Orleans head office. They were making a stop in Jakarta and stayed at Hotel Mega Matra. Excited to see many fellow Amungme leaders, Wamang visited the hotel a number of times. The leaders were negotiating a profit sharing deal with Freeport’s management.

Wamang asked many delegates for money. Omaleng said Wamang had bragged about how he had secured a shipload of weapons that were ready to be shipped to Papua. Wamang needed the extra money to transport the weapons. Janes Natkime gave Wamang 1.5 million rupiah, “Five days later he came back to the hotel, saying that the ship had been rerouted to Aceh.”

Wamang said that he had paid Sugiono nearly 50 million rupiah to ship the guns to Timika. After a chartered boat was loaded with the weapons, Wamang claims that Sugiono and Hardi Heidi gave him the slip. The ship motored away with Wamang standing alone on the dock. Just prior to the boat’s departure, Wamang said that he overheard a conversation between Hardi Heidi and his wife. Wamang quoted the wife as saying: “We should sell these in Aceh.”

After calling associates back in Timika for more money, Wamang traveled alone back to Timika on the Kelimutu passenger ship. Wamang arrived in Timika with only the bullets that Sergeant Puji had given him. His extensive contacts with Sergeant Puji, with Sugiono, with Hardi Heidi, and with Mochtar had given him moments of hope. But his mission to obtain guns had ultimately failed. Instead, Wamang revealed his plan to attack Freeport to these Indonesian officers and gave them intelligence about TPN activities.

THE AMBUSH

In early August 2002, Antonius Wamang started out on foot with at least six other men, including Johni Kacamol, Yulianus Deikme and Elias Kwalik, from a jungle camp near Kali Kopi . Their destination was the main road that connects Tembagapura, the mining town of Freeport McMoRan, to Timika, a sprawling urban center in the lowlands. This 79-mile road connects Grasberg, Freeport’s highest mining site, down to the Amamapare port site in Timika.

According to Wamang, the journey took nearly three weeks. Wamang, and his men, were preparing to launch an armed assault on Indonesian military troops traveling on this road. The group set up a temporary camp in a ravine below mile 63 of the road.

One of Wamang’s co-conspirators, Hardi Tsugumol, was also very busy getting ready for “an action” on the road, according to Deminikus Bebari of the Amungme Indigenous Council (Lemassa). In the weeks leading up to the ambush, Tsugumol “amassed food and other supplies,” wrote Bebari, in a 2002 report prepared for Indonesian police investigators.

When Hardi Tsugumol was a boy, growing up in an Amungme village, he wanted to be a soldier. As an adult, Tsugumol cultivated relationships with Indonesian soldiers stationed in Timika. He once worked in a lobster company in Biak and later moved to Java, marrying a Javanese woman. The couple separated and Tsugumol’s wife maintained custody of their only child. Tsugumol returned to Timika alone. In the lead up to the ambush Tsugumol “contacted his friends in the military to buy ammunition—300 bullets for 600,000 rupiah, via his friends who were in Kopassus and Brimob,” wrote Bebari.

On Saturday 31 August 20002, just before dawn, three men, including Tsugumol, were “picked up at the Kwamki Lama neighborhood by a white Toyota Land Cruiser from Freeport’s Emergency Planning Operation division,” wrote Bebari. The EPO is a Freeport division that provides logistical, transportation and communication supports for the more than 3,000 Indonesian security personnel stationed in the area. Tsugumol, declined to reveal the vehicle’s driver, saying that he has to protect his “friend.” He only admitted that they had traveled along the Timika-Tembagapura road, past five checkpoints, that morning. The 79-mile road has 14 military posts manned by various units such as Kopassus special forces, Kostrad army reserves, the Marines, the Air Force’s Paskhas elite unit, the Army Battalion 752, the Army’s Cavalry, as well as Brimob (Mobil Brigade) police troops.

Decky Murib, an Amungme informer, said that ten soldiers picked him up at Hotel Serayu in Timika at 8 am that same day. Murib often accompanied Indonesian officers in their operations. He said that he was surprised to see Kopassus Captain Margus Arifin leading this group. “He was supposed to be in Bandung,” said Murib. Formerly, Margus had been the Kopassus liaison officer at Freeport’s EPO office. Murib later told police investigators that Margus brought him in a car with license plate number 609 through the Freeport checkpoints and dropped him, with four solders at mile 62 of the Tembagapura road. Margus reportedly continued north along the road with the remaining soldiers. Margus Arifin denied Murib’s testimony, saying that he was in Bandung that day. Kopassus commander Major General Sriyanto Muntrasan told Tempo that Margus’s signatures showed that he was in the Bandung military course that day.

Freeport operates its check points to register every car and person traveling along the road. Workers have to show their employee ID cards at the checkpoints. Locals have to show special permits issued by Freeport’s Community Liaison Office. There are also special Freeport-issued visitor cards. “Only the soldiers usually refuse to report at the checkpoints,” said Lexy Lintuuran, Freeport’s corporate security chief. According to Linturan, a car with the license plate 609, the car Decky Murib claimed he was in, passed through the checkpoints in the morning of the attack.

That morning a group of school teachers from the Tembagapura International School, went on a picnic around mile 62 of the road. The rugged terrain around this high-elevation section of the road is covered by old-growth cloud forest. Patsy Spier, who was part of this picnic with 10 others, said that it was rainy and foggy. “We ended up leaving the picnic early,” said Spier.

The teachers traveled in two white Toyota Land Cruisers. Rick Spier, her husband, drove the first SUV with four colleagues riding as passengers. Ted Burgon, the school’s principal, sat next to Rick Spier. Patsy Spier traveled in the second car driven by Ken Balk. She sat next to Bambang Riwanto, her Javanese colleague.

When Antonius Wamang, and his men, approached the ambush site, the group was carrying three weapons. “We had one M16, one SS1, and one Mauser,” Wamang said. One white Freeport SUV went by, and then another filled with men in camouflage. They did not shoot. When a third car passed, they opened fire.

Suddenly, in the fog, Patsy Spier saw her husband’s car stopped by the side of the road. Another car was speeding towards her on the opposite side of the road. “They ran Rick’s car off of the road,” Spier thought. Turning around in her seat to get a good look at its license plate, Spier felt a sharp stab in her side. She had been shot. The windshield shattered. Blood splattered all over the SUV interior.

The first shots, fired by a sniper at a moving car, were deadly. They came from straight in front of the first car. The windshield of Rick Spier and Ted Burgon’s car exploded. Within moments they both sustained fatal wounds. Wamang’s group—a rag-tag band of teenagers and men with limited weapons training—shot at the cars from the side. They wore black shorts, black t-shirts, and black plastic headbands. They were all barefoot.

“I did not see the shooters,” said Patsy Spier. Ken Balk, in the same car as Spier, saw a pair of black army boots underneath a truck, some 20 yards away from where their vehicle had come to a stop. Three other vehicles, a yellow Mac truck and two Canadian Pacific dump trucks, were also riddled with bullets.

“All of us were shot, wounded. Bambang was laying on top of me, bleeding. I was worried about my husband but the shooting just continued,” said Spier. Bambang died in the attack. Among the 11 people who were wounded in the attack, there were three Indonesian drivers. The two drivers who were seriously injured, Loudwyk Worotikan and Johannes Bawan, were employees of a Freeport contract company. Mastur, the third driver, sustained light injuries.

Another pick up truck was also shot but its driver, Daud Tandirerung, managed to speed away from the crime scene. Two colleagues, Yohan Jikwa and Kamame Moom, were riding with Tandirerung. They told investigators that they saw “two men in ski masks.” According to witnesses, and a reconstruction by police investigators, the shooting lasted between 30 to 45 minutes.

Wamang does not know who fired the first shot. In the initial burst of gunfire it was hard to tell who was shooting. “With everyone shooting, you can’t hear well .... If I had shot first, then I would have been able to tell,” recalled Wamang.

Wamang’s men were edgy. They did not approach the stopped cars. “We weren’t there very long. We immediately retreated,” Wamang told us.

We asked him, “Were you there thirty minutes?” “No,” he said, “30 minutes is way too long.” Of the six magazines given to Wamang by Sergeant Puji, only 1½ magazines (about 45 bullets of 5.56 caliber) were used by his men that day. As Wamang’s group retreated, the other unknown gunmen continued shooting. No one followed as they beat a hasty retreat on foot.

Andrew Neale, a Freeport expatriate, came upon the scene from the north. Neale jammed his vehicle and drove back to the Kostrad military post about 500 meters away at mile 64. According to Lexy Lintuuran, Freeport’s security chief, the Kostrad company stationed there “has more than 100 soldiers.” Why didn’t the Kostrad soldiers come sooner? Did they hear the 30-45 minutes of gunfire?

When the soldiers finally arrived at the scene, the attackers melted away. The soldiers briefly fired their guns. Then the shooting abruptly stopped. “I assumed that the shooters left after the TNI came,” said Spier, using the acronym of the Indonesian military. She remembered a soldier, dressed in full camouflage and black boots, who stood over her, glaring down. Victims were immediately transported to a nearby hospital and soon evacuated to bigger hospitals in Australia and Indonesia.

Decky Murib, the military informer, said that he had heard some shots while he was waiting, and drinking. Captain Margus Arifin later picked him up again and told him, “Your people (TPN) are responsible for those shots.”

A total of thirteen guns were used in this assault on the five cars, according to a ballistics report issued by the Police Central Forensic Laboratory (Pusat Laboratorium Forensik Polri) on 19 December 2002: six SS1s, five M16s, and two Mausers.

Ch. Syafriani, one of the Lab’s ballistics experts, reiterated the data contained in this report on 29 September 2006 in the Central Jakarta district court —the lab analyzed 30 bullets of 5.56 caliber, 77 bullet fragments, 94 bullet casings of 5.56 caliber, 7 bullet casings of 7.62 caliber. A total of 208 bullets, shells, or fragments were recovered from the crime scene.

Wamang’s account of his weaponry is consistent with the evidence presented by chief prosecutor Anita Asterida: his group carried a total of three guns. The prosecution did not account for the ten other guns.

Wamang told us that other gunmen were present. He saw other men shooting into the cars, but he could not clearly identify them. “The testimony of Anton Wamang and others at the crime scene is clear and consistent: there was a second group of shooters,” said Paula Makabory, a human rights worker in Timika who repeatedly interviewed Wamang over the course of three years.

Evidence of a second group of shooters was not considered by the Indonesian courtroom that recently found Wamang guilty. An Indonesian police investigation questioned 30 soldiers, 44 civilians, and conducted extensive forensic research. These police investigators found “a strong possibility” that there were Indonesian military shooters.

Why would the Indonesian military stage an attack at the Freeport mine? One theory is that Freeport paid a total of US$5.6 million in 2002 for “support costs for government-provided security.” The Sarbanes-Oxley Act of 2002 imposed new reporting requirements on U.S. companies in the wake of the Enron corporate accounting scandal. After this measure was passed into law, Freeport was forced to disclose their payments to the Indonesian military. Under public scrutiny, Freeport began reducing official and unofficial payments to Indonesian security forces. The August 2002 attack may have been orchestrated by the Indonesian military in a bid to convince Freeport of their continued need for security.

On 1 September, one day after the attack, the body of “Mr. X” appeared near the crime scene. Senior Indonesian military officers claimed that their troops had shot one of the Papuan guerrilla attackers. Second Class Corporal Wayan, an Indonesian soldier with Satgas Pam 515 Kostrad, claimed to have shot Mr. X while patrolling a mountain near the crime scene at 11:40 am.

At 1:30 pm senior military and police officials—including Papua police chief Major General I Made Mangku Pastika—arrived at the side of the road where Corporal Wayan was standing with the body. There were no blood stains on the ground near the body. The body was sent to the Tembagapura hospital at 3:30. Dr. Kunto Rahardjo conducted an autopsy. He concluded that Mr. X had been killed more than six hours before he was examined at the hospital. Mr. X had not eaten for more than 12 hours before his death. He had suffered from a severe intestinal worm infection and had a condition called hydrocele which caused his testicles to swell to 17 cm in diameter.

Corporal Wayan claims that Mr. X was standing on a small ledge approximately ½ meter in width on the side of a steep cliff when he shot and killed him. A police reconstruction conducted on 10 September 2002 found no blood stains on the ledge, at the base of the cliff, nor along the route where Corporal Wayan and his patrol members reportedly dragged the body. The Timika-Tembagapura road is 78 meters from the base of the cliff. This rugged terrain is covered with dense roots and loose rocks. The police reconstruction deemed Wayan’s story implausible. The body reportedly fell 8 meters off the cliff, yet did not have any broken bones. A report by Indonesian forensics experts found that the blood type of Mr. X was “O” and that dirt and leaves from the site where Wayan claimed to have shot the man did not contain any blood of this type.

THE COVER UP

Elsham human rights group, which was involved in the Timika investigation, issued a preliminary report on 26 September. It presented evidence “suggesting the shooting was carried out by Indonesian military personnel or groups facilitated by the TNI.” The BBC, Radio Australia, and many Papuan newspapers covered the report. Two days later, the Indonesian military announced that it was to sue Elsham. A court summons arrived in November, announcing that John Rumbiak and Yohanis Bonai, respectively the supervisor and director of Elsham, were being sued for libelous statements.

Thugs raided Elsham Papua’s Jakarta office on 10 October 2002. “During the raid, the men seized documents and computer diskettes containing Elsham reports on the August ambush,” wrote the Jakarta Post.

Yohanis Bonai’s wife, Elsje, and other members of their extended family, were attacked by unknown gunmen while travelling by car near the border between Indonesia and Papua New Guinea on 28 December 2002. Elsje Bonay was shot in both legs. She survived the attack, but after repeated surgeries she still has difficulty walking. Tempo magazine ran a story with the headline: “Shooting of Papuan Human Rights Activist’s Family May Be Related to Timika Incident.”

Brigadier General Raziman Tarigan, the second in command of the Papua police, headed an Indonesian police investigation. Tarigan worked closely with Elsham investigators. Tarigan told reporters that the 13 guns used in the attack were the types of weapons issued to soldiers stationed in the area. “Only the military and Freeport workers pass through the area,” Tarigan was quoted as saying by Koran Tempo.

Separately, I Made Mangku Pastika, Tarigan’s immediate superior, told three aides to Coordinating Minister on Political and Security Affairs Susilo Bambang Yudhoyono in a meeting in the Timika police station: “Gentlemen, this country belongs to all of us. If you do something for the sake of the country and the nation, well, please tell us first. So we’re not all in trouble.” Saul Tahapary, a Freeport security consultant, was party to this conversation, recalling that Pastika was upset with attempts by the military to cover up their own actions.

Soon Tarigan and Pastika were transferred off of the investigation to new assignments elsewhere in Indonesia. Pastika was assigned to investigate the Bali bombing that killed more than 200 people.

Following the reports by Tarigan and Pastika, Indonesia’s Central Military Police (Puspom TNI) sent a team to conduct a “reconstruction.” According to Richard Saferstien’s authoritative text on criminology, a murder reconstruction involves answering a series of questions: (1) was there more than one person involved? (2) how was the victim killed? (3) were there actions taken to cover up what actually took place? The Indonesian military reconstruction did not rigorously attempt to answer any of these three questions. In fact, this “reconstruction” itself is further evidence of a cover up.

Decky Murib told us that he was threatened and intimidated by Indonesian soldiers on 28 December 2002, the day of the reconstruction. In the months prior to this day, Murib had worked with police investigators to identify Kopassus soldiers whom he alleged were at the crime scene: Captain Margus Arifin, First Lieutenant Wawan Suwandi, Second Class Sergeant I Wayan Suradnya, and First Class Private Jufri Uswanas. Murib told us that he had changed his story as a result of threats by Captain Margus on the day of the reconstruction. Captain Margus told Murib to not participate in the reconstruction. Murib decided to go into hiding.

On 28 December 2002 at 11:30 am, the Indonesian military reconstruction team traveled by bus to mile 58. Deminikus Bebari of Lemassa and Albert Bolang of the Legal Aid Institute were accompanying the team as outside observers. Bebari protested, saying that mile 58 was not the place where Murib claimed to have heard the shots. Murib initially told police investigators that he had heard gun shots from his position in between mile 61 and 62 of the Timika-Tembagapura road. At this spot there was a large pole, shipping containers, and a place to sit. The team then traveled approximately 500 meters up the road and positioned themselves under some umbrellas by the roadside. The pole and shipping containers, from Murib’s testimony, were nowhere in sight. Over four miles of road and the Hanekam tunnel separated Bebari from the site where Murib said he heard the shots. But the military reconstruction team refused to travel further up the road.

Albert Bolang traveled with a separate team, a Brimob mobile police unit, to the site of the shooting at mile 63. Once both teams were in place, 20 bullets were shot in an automatic burst. Radio contact was made between the two groups. The reconstruction team and Bebari did not hear the gunshots. Brigadier General Hendarji, who headed the military reconstruction team, confronted Bebari as they stood on the road immediately after the shooting experiment. Hendarji said, Bebari recounted, “Since you did not hear any gunshots then all of Murib’s testimony about the Timika shooting were lies.”

That evening Bolang and Bebari were asked to sign two reports: Bolang signed a document that described the shooting experiment at mile 63 while Bebari signed a document stating that he did not hear gun shots at mile 58. In addition, Bebari was asked to sign an additional statement: “The testimony of Mr. Decky Murib is false and will not be used in the investigation of this case.” Deminikus Bebari refused to sign this document. “Decky might be a drunkard and an opportunist but he was at mile 62. How could we test whether he had heard the shots or not when I was placed four miles away from his position? They simply wanted me to state that he lied,” said Bebari.

In January 2003, Decky Murib was flown to Jakarta by Indonesian military officials. Major General Sjafrie Sjamsoeddin, the Indonesian military spokesman announced on 14 January 2003, “Decky Murib lied.”

The reconstruction took place at the height of President Megawati Sukarnoputri’s effort to restore military ties with the United States. Her chief security minister, Susilo Bambang Yudhoyono, told reporters, “There are some things that do not match between the investigation results of the police and the results of the TNI internal investigation into the case.” Yudhoyono called for a “synchronization” of the two investigations at “the political level.”

Recovering from her gunshot wounds, and mourning her lost husband, Patsy Spier closely followed the news as police investigators implicated Indonesian military troops in the attack. When the Indonesian military took over the investigation, and promptly exonerated themselves, Spier began her campaign for justice. After making a few tear-choked phone calls to the offices of Washington policy makers, she learned that the US government was poised to fund the controversial International Military Education and Training (IMET) program for Indonesian soldiers. “I just, I just couldn’t believe it,” Spier told ABC reporters, “If the Indonesian police had implicated the Indonesian military, why would my government want to give money to that military?”

The Bush administration made military aid to Indonesia a high priority in the post-September 11th era. Following the Santa Cruz massacre in East Timor, the U.S. Congress had blocked military aid to Indonesia in 1992. All military assistance to Indonesia had been cut by the Clinton administration in response to the bloodbath during the 1999 independence referendum in East Timor. When Spier first came to Capitol Hill in early 2003, human rights groups—Amnesty International, Human Rights Watch, and the East Timor Action Network—were losing a battle to keep restrictions on Indonesian military financing.

Spier’s presentations to lawmakers were well received. She secured meetings with some of the top U.S. government officials: Deputy Secretary of Defense Paul Wolfowitz, FBI director Robert Mueller, key Senators, and Congressmen. Spier also met FBI agents Paul Myers, Brad Dierdorf, and Ron Eowan, men who she came to see as her personal “guardian angels.”

Initially FBI agents were only permitted short visits to Timika. All their interviews of witnesses were, at first, conducted in the presence of Indonesian minders. “We were objective,” said Dierdorf during the interrogation of a witness on 24 February 2005. “Our gut feeling initially leaned away from Papuans,” Dierdorf said. The Australian published a sensational headline on 28 October 2002, “FBI: Army Lied about Papua Ambush.” This story discussed the planting of false evidence and removal of other evidence from the scene of the killing. Despite repeated high-level requests from the U.S. government, including a personal appeal by President Bush, the FBI had continual difficulties in gaining access to witnesses and material evidence.

Spier saw that restricting funds for the Indonesian military would provide a financial incentive for cooperation. Sen. Russell D. Feingold (D-Wis.) later sponsored an amendment to prohibit “normalization” of the U.S.-Indonesia military relationship. Sen. Wayne Allard (R-CO) sponsored a parallel amendment that prohibited the release of $600,000 in IMET military training funds. Both amendments passed in October 2003. Only “full cooperation” with the FBI in its investigation into the Timika ambush would prompt Washington to release these funds to the Indonesian military.

These congressional measures stymied Bush administration efforts to restore full military ties with Indonesia. Edmund McWilliams, formerly a U.S. Embassy political counselor in Jakarta, told us, “The FBI investigation, once it was finally launched, proceeded in the constraining political context of an administration policy which was pressing for rapid expansion of U.S.-Indonesian military ties. I personally observed FBI reluctance to accept or pursue information offered to it that pointed to Indonesian military involvement in the killings.”

Over a two-year period, Elsham’s John Rumbiak presented the FBI with specific details about Wamang’s ties to the Indonesian military. Senator Joseph R. Biden submitted written questions about this case to Dr. Condoleezza Rice during her January 19, 2005, confirmation hearing for the position of U.S. Secretary of State. Dr. Rice responded, “Although the investigation is not complete, the FBI has uncovered no evidence indicating TNI involvement in the Timika murders.” Did FBI investigators brief administration officials about Wamang’s trip to Jakarta and his extensive contacts with military agents? Were U.S. leaders informed about eyewitness reports of a second group of shooters?

Decky Murib was brought as a prosecution witness in the defamation suit against Elsham on 31 March 2004 in Jayapura, the capital of Papua. During the course of the trial, Murib stayed in the personal guest quarters of the Indonesian military commander for Papua. On 14 April 2004, the Elsham legal defense team staged a walk-out because the judges would not give them the opportunity to cross-examine Murib. The Elsham defense team was finally given the opportunity to question Murib on 5 May 2004, but Murib refused to answer any questions. On three separate occasions, Murib made death threats to Bebari, the human rights worker, in front of the court. The Elsham defense team asked that the judges take note of the threats. If bodily harm should come to their witness, the Elsham defense team observed, Murib would be suspected as the perpetrator.

Approximately one month later Bebari’s house was ransacked by an angry mob. A group of men wielding axes entered the house and grabbed Bebari’s wife, Nirmala Ohee, and their three children. The men destroyed books, clothes, and other personal property. They threatened to kill Nirmala Ohee and the children.

On 24 June 2004, U.S. Attorney General John Ashcroft and FBI Director Robert Mueller announced that Antonius Wamang had been indicted for the murders at mile 63. The indictment alleged that Wamang was a guerilla fighter seeking independence from Indonesia. He attacked the teachers to attract the international media attention. Ashcroft omitted any reference to the Indonesian military. The U.S. Department of Justice has not exonerated the TNI, but the TNI subsequently claimed exoneration. Following Wamang’s indictment, the Bush administration moved to eliminate the IMET training ban for Indonesian soldiers.

Less than one week after Wamang’s indictment, the Jayapura district court found Elsham guilty of libel. The rights group was fined 50 million rupiah (US$5,263) on 30 June and ordered to publicly apologize through national print and television media.

Following the indictment, the U.S. Congress dropped provisions that tied military education programs in Indonesia to cooperation in the Timika investigation. Yet, Indonesian authorities failed to capture Wamang. Willy Mandowen, a Papuan politician, began talking with the FBI and U.S. government officials about negotiating Wamang’s surrender. He sent an e-mail to a public discussion forum for Papuan activists on 7 December 2005: “Tomorrow at Capitol Hill, Washington D.C., we are meeting with important representatives of the U.S. Congress who are giving full support to help us resolve our problems in West Papua.” Congressional staffers talked with Mandowen about the possibility that FBI agents might bring Wamang to stand trial in America.

With Willy Mandowen’s help, Paul Myers and Ron Eowan of the FBI coordinated an 11 January 2006 “meeting” at a small hotel in Timika called Amole Dua. Invitations to this meeting were sent to suspects via Reverend Isak Onawame, a local church leader, who communicated extensively with Wamang’s group. The Washington Post reported that the FBI pledged to transport the suspects to the U.S. for trial. At the hotel, the two FBI agents told the 12 men attending the meeting, including Antonius Wamang, Reverend Onawame and two other church workers, to get into the back of a medium-sized truck. The agents reportedly said they would be driven to the Timika airport and flown out of Indonesia. Instead of driving to the airport, Myers and Eowan dropped the men at a local police station where Indonesian troops with the elite Brimob unit were waiting.

First the Indonesian police officers strip searched the 12 men. One detainee, Jairus Kibak, claimed he was hit by an Indonesian interrogator on his forehead. Four of them, who were never charged with any crime, were released on 12 January.

Reverend Onawame and his two church workers, Kibak and Esau Onawame, were not released. Denny Yomaki of Elsham Papua, who met with Reverend Onawame in the prison, said, “Interrogators extracted a false confession from Reverend Onawame. He told the police that he gave Wamang food.” Antonius Wamang has repeatedly said that Reverend Isak Onawame, and the two workers, were not involved in the crime. “It’s fine if I am held responsible,” Wamang said, “but, the Reverend didn’t even help us with logistics. He just wanted to visit the U.S. for free.”

The prisoners were soon transferred to the Indonesian Police Headquarters’ detention center in Jakarta. They were not given their own cells to sleep in. Instead they all shared the prison "TV room." Hardi Tsugumol, who was charged with providing Wamang with logistical support, developed serious heart problems in June 2006. His medical treatment was delayed until late August, when he underwent heart surgery. Tsugumol also suffered from hepatitis and HIV/AIDS. One of the prisoners’ lawyers, Riando Tambunan, repeatedly asked the court to attend to Tsugumol’s health problems. But, visits from doctors were infrequent.

Antonius Wamang was sentenced to life in prison by a Jakarta court on 7 November 2006. Two other defendants, teenagers Johni Kacamol and Yulianus Deikme, were sentenced to seven years in jail, while the other four, including Reverend Onawame, Hardi Tsugumol and the two church workers, were sentenced to 18 months. Tsugumol died on December 1st.

No charges have been brought against Sergeant Puji, the police officer who Wamang has fingered as supplier of the bullets used in the attack. Evidence of the reported involvement of Kopassus military agents—Captain Margus Arifin, First Lieutenant Wawan Suwandi, Second Class Sergeant I Wayan Suradnya, and First Class Private Jufri Uswanas—has not been heard by a court of law. Agus Anggaibak, who reportedly inspired Wamang’s attack and helped him get bullets, is now a member of Timika’s regional assembly.

The FBI does not yet consider this murder case closed. Despite the inconclusive outcome of this investigation, the Bush administration has launched aggressive new military aid programs for Indonesia. Earlier last year a new Pentagon program was announced that will provide up to $19 million in additional funds for building Indonesian military capacity. The same day that Wamang was sentenced to life, Washington signaled a “new era of military co-operation” with Indonesia.


This report is based on interviews with Wamang, Murib, Patsy Spier and more than 50 other sources in Timika, Jayapura, Jakarta, Washington DC. It is sponsored by the Joyo Indonesia News in New York and Pantau media group in Jakarta. S. Eben Kirksey conducted 17 months of anthropological research in Papua during six separate trips (1998-2005). He is now completing his Ph.D. at UC Santa Cruz. Andreas Harsono is a Pantau journalist, currently writing his book From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.