Saturday, September 29, 2007

Superhero Norman


Akhir pekan ini Norman mengajukan satu permainan baru lagi. Dia usul kami semua bermain kelahi-kelahian namun direkam dengan kamera video. Dia misalnya minta Sapariah melakukan adegan "tendangan" dan kameranya, ibarat serial Matrix, berputar mengelilingi Sapariah.

Maka jadilah kami mengenakan kostum-kostum aneh. Norman bilang Batman dan Superman, maupun kebanyakan superhero dalam Justice League, memakai celana dalam di luar. Maka dia pun pakai celana dalamnya di luar. Lebih ramai lagi, celana dalam pun dipakainya sebagai penutup kepala. Norman merancang setiap adegan. Ada dimana Sapariah dan aku harus bertanding, perang gelitik-gelitikan. Norman punya "obsesi sutradara." Dia memegang kamera dan mengarahkan dua orang aktor amatirnya untuk bertanding. Repotnya, bila sang sutradara lagi ikut jadi aktor dan "kalah" maka dia pun langsung teriak, "Cut, cut."

Ada juga dimana Sapariah memegang kamera dan Norman serta aku yang perang bergulat. Paling ramai adalah adegan dimana kami bertiga berantem bersama-sama. Norman dan Sapariah bersama melawan aku. Seru banget deh! Ramai! Konyol! Bila selesai, tergantung sutradara tentu, kami sama-sama melihat rekaman video. Tertawa lebih kencang lagi! Bila kurang bagus, adegan diulang. Keringat Norman berkucuran. Dia memegang peran seorang jagoan yang muncul membantu seorang perempuan, yang kalah berantem dengan si penjahat! Dalam video, terlihat bagaimana "Superhero Norman" tiba-tiba muncul dari arah kamera menyerang si penjahat itu! Pemeran tokoh jahat itu ya aku sendiri. Erni Pasar, pembantu kami, tertawa melihat adegan konyol ini diulang-ulang terus.

Jumat malam Sapariah dan Norman membuat topeng dan "baju besi" dari kertas dan karton. Minggu depan, kebetulan Norman akan bermain teater kecil-kecilan di sekolahnya. Dia memilih peranan sebagai setan si penggoda. Dia lagi suka bikin topeng. "Baju besi" dibuatnya dengan duri-duri di punggung. Sapariah diminta memotret baju zirah tersebut. Lantas dia pun bergaya. Mereka membuat kostum dan topeng hingga larut malam. Aku pergi tidur duluan.

Jumat sore dan aku membeli kertas dan karton untuk baju zirah dan topeng di Kinokuniya, Plasa Senayan. Kami juga beli satu komik Asterix serta Lucky Luke. Ini perlu untuk memenuhi janji. Ketika di Roma, aku tak berhasil mendapatkan dua serial Asterix edisi paling baru dalam bahasa Inggris. Aku juga belikan dia satu kamus kecil bahasa Perancis-Inggris. Dia lagi belajar bahasa Perancis. Last but not the least, Sri Maryani usul Norman dibelikan sepatu warna hitam baru. Kakinya cepat sekali membesar. Maka kami pun cari-cari sepatu di Plasa Senayan maupun Senayan City. Tak mudah mendapatkan sepatu laki-laki, tipe sport, ukuran 37. Kami berhasil mendapatkannya di Senayan City.

Related Stories
Norman Kurang Istirahat
A Letter from Norman

Friday, September 28, 2007

Norman Kurang Istirahat


Jumat pukul 6:00, Norman minta izin pada aku tak masuk sekolah. Dia bilang masih mengantuk. Aku sudah ganti pakaian, siap-siap mengantarnya sekolah. Aku bilang tidur saja. Kalau pun dia bangun pukul 6:30, bahkan 6:45, aku masih punya waktu mengejar masuk sekolah pukul 7:10.

Ternyata hingga pukul 7:00, dia masih pulas tidur. Aku coba membangunkannya namun dia bilang masih mengantuk. Aku mau mengomel. Bagaimana pun juga, aku harus mendidiknya disiplin, tak bolos sekolah.

Namun aku tiba-tiba ingat, kemarin dia bilang kantung matanya menghitam karena kurang tidur. Aku kira dia memang capek. Setiap hari, bila tinggal di rumah ibunya di Bintaro, Norman harus bangun pukul 5:00. Pulangnya, dia menempuh jarak Kemayoran-Bintaro 64 km. Tiba di Bintaro, pukul 4:00 lebih, sudah menjelang petang dan dia tidur lagi.

Aku biarkan saja dia tidur. Alamak! Bangunnya hampir pukul 10.

Capek nian anakku ini. Jumat lalu, dia juga bolos sekolah kecapekan.

Norman maupun Sri Maryani, pengasuhnya, bilang dia kekurangan waktu untuk istirahat dan bermain. Aku berharap Norman tetap kuat dan tabah menghadapi kesulitan ini.

Kompas1 dan Tajuk Rencana Soeharto


Saya penasaran membaca begitu banyak kritik terhadap editorial Kompas "Menjaga Harga
Diri Bangsa." Ini saya baca di beberapa mailing list, bukan hanya pantau-komunitas atau ajisaja, tapi juga list lain.

Saya pun kirim SMS kepada beberapa kenalan di harian Kompas, termasuk pemimpin redaksi Suryopratomo. Saya tanya siapa sih penulis editorial ini? Suryopratomo tak menjawab. Kenapa editorial dengan visi "nasionalisme sempit" bisa lolos dari redaksi harian ini?

Hasilnya, saya mendapatkan jawaban bahwa penulisnya adalah Suryopratomo sendiri. "Kompas 1," ujar seorang reporter.

Sebelum naik cetak, editorial ini sempat dipermasalahkan oleh Budiman (BDM). Namun ia
lolos saja. Bre Redana (BRE) juga belakangan mengeluh. Suryopratomo yang menulis,
namun getahnya terkena semua orang Kompas.

Soal definisi, saya kira istilah "nasionalisme sempit" sudah benar, tapi ada satu lagi yang lebih tepat. Namanya, "fasisme." Editorial itu mencerminkan fasisme Orde Baru dimana "bangsa" dianggap sesuatu yang homogen. Serangan dari "pihak asing" terhadap seorang Soeharto dianggap serangan terhadap bangsa.

Ideologi ini dulu sering dibahas oleh Y.B. Mangunwijaya dan belakangan oleh Daniel Dhakidae. Sutan Sjahrir dulunya menulis pertama kali tentang trend ini pada 1945. Mangunwijaya dan Dhakidae notabene adalah orang yang sering menulis di Kompas. Mangunwijaya seorang pengagum Sjahrir. Ironisnya, bagaimana kolom-kolom Dhakidae dan Mangunwijaya ternyata tak membuat sistem redaksi Kompas bisa mencegah editorial fasistis muncul disana?

Wednesday, September 26, 2007

Retno Menolak Mediasi KPAI


Retno Wardani, ibu kandungnya Norman, menolak dua kali panggilan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk bicara soal pengaduanku tentang keberatan Norman menempuh jarak rumah-sekolah sejauh 64 kilometer setiap hari.

Panggilan pertama untuk Jumat 14 September 2007. Pada jam yang ditentukan, ketika tak muncul, Maya Nur Elisa meneleponnya. Retno bilang dia tidak mau datang. Retno berpegang pada keputusan pengadilan Jakarta Selatan pada Desember 2003 dimana pengasuhan Norman diatur 5 hari dengannya dan 2 hari dengan aku.

Retno bilang kalau memang aku keberatan dengan jam perjalanan Norman, setiap hari Bintaro-Kemayoran, solusinya adalah memindahkan sekolah Norman. Solusinya bukan memindahkan Norman dari Bintaro ke Senayan, tempat aku tinggal, yang lebih dekat ke sekolah.

KPAI melayangkan surat panggilan kedua untuk Jumat 21 September 2007. Susilahati dan Maya dari KPAI menunggu Retno di kantor KPAI. Retno juga tak muncul. Kali ini, Maya tak meneleponnya.

Pada panggilan pertama tersebut, Retno mengirim SMS kepada aku di Napoli dan bilang agar tak memberikan alamat rumahnya di Jl. Camar Bintaro kepada "orang lain." Dia bilang adik lelakinya, Bagus Kristianto, keberatan alamat rumah ini diberikan kepada "orang lain."

Aku sebelumnya memberikan alamat rumah Bintaro kepada Maya Nur Elisa guna pengiriman surat panggilan. Kalau tak ada anakku di Bintaro, tentu saja, aku tak punya kepentingan buat memberikan alamat itu kepada KPAI. Retno bilang aku "idiot" dan minta aku "BACA BAIK-BAIK" peringatan dari Bagus tersebut. Surat panggilan ditandatangani ketua KPAI Giwo Rubianto Wiyogo serta Susilahati dari kelompok kerja pengaduan KPAI.

Related Stories

Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Kredit Kepemilikan Rumah BII
Asthma Cases on the Rise Among Children

"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"
Norman Dipindah ke Bintaro
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono

Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneagles
20 Menit Senayan-Kemayoran
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak
Transportasi Norman Rp 4.5 Juta Sebulan

Kemayoran-Bintaro 64 Kilometer
Susilahati dari Komisi Anak
Superhero Norman
Mobil Norman Serempetan

Sunday, September 23, 2007

Makan Soto di Jakarta


Makanan apa yang paling aku inginkan bila agak lama berada di Eropa atau Amerika Utara? Jawabannya bisa macam-macam. Ketika tinggal di Cambridge, dekat Boston, setelah empat atau lima bulan, aku sangat ingin makan pete. Aku suka pete dipotong kecil-kecil, dioseng dengan daging ayam, juga kecil-kecil, bumbunya bawang putih dan merica. Cabenya juga harus pedas banget.

Aku ingat Norman berapi-api makan bubur ayam ketika pertama kali menemukan Chinese restaurant di di Boston. Dia bahkan bertempur rebutan untuk makan cakwe.

Kini dua minggu di Roma dan Napoli, dimana harga sekilo beras Thailand saja 1.5 Euro, atau Rp 20, maka makanan kebanyakan aku ya giliran antara roti, pizza, pasta atau mashed potato. Aku sih oke-oke saja. Jadi ingat argumentasi Thomas Friedman soal globalisasi dan selera makan. Makin global seseorang, makin banyak juga ragam seleranya.

Sapariah lebih rewel. Dia tak mau makan daging sapi, daging kambing. Bahkan makan ayam pun, yang dianggapnya masih sedikit berbulu, tak sebersih di Jakarta pembuluannya, membuatnya ragu makan ayam.

Di Roma, kami biasa "berbuka puasa" di sebuah doner kebab. Ini restoran kebab milik orang Mesir. Ada label "halal" tentunya. Tapi Sapariah juga hanya makan sayur-sayuran. Bayam, tomat, pizza dan buah-buahan macam anggur, pisang dan apel. Dia tak mau makan ayam di restoran ini.

Ketika kembali ke Jakarta, malam ini juga, aku jadi ingin makan soto. Maksudnya, mau makan soto Madura di Jl. Juanda, depan Bina Graha. Tapi sudah terlalu malam. Ia juga jauh dari rumah kami di Senayan. Maka Sapariah, Linda Christanty dan aku, pergi ke Soto Bangkong di Jl. Pakubuwono. Linda menginap di rumah kami selama tiga minggu terakhir.

Mungkin inilah selera makan. Aku sangat suka makan soto --juga oseng pete atau bubur ayam-- tapi juga makan risotto, pizza atau ravioli. Tapi ketika kelamaan di negeri orang, rasa kangen muncul juga terhadap soto.

Jadi ingatlah aku pada "Soempah Soto" dimana Soto Madura, Soto Kudus, Coto Makassar, Soto Betawi, Soto Babat, dan lain-lain bersumpah jadi "Soto Indonesia."

Saturday, September 22, 2007

Dari Fontana di Trevi ke Colloseo


Piazza Venezia: Pagar dari landmark terbesar di Roma, Vittoriano, mengenang Vittorio Emanuele II, yang menyatukan Itali.

Selama dua hari, Sapariah dan aku mengunjungi lebih dari selusin tempat penting di kota Roma. Kami mengikuti buku petunjuk Lonely Planet dengan jalan kaki. Lokasi-lokasinya relatif berdekatan sehingga lebih praktis jalan kaki.

Kami sendiri menginap di sebuah biara Katolik di daerah Trastevere. Antonia Soriente, teman kami di Nocera, menganjurkan kami menginap di biara Serve di Maria Addolorata di Via G. Corrandi 15. Disini biasa kamar biara disewakan. Tempatnya bersih. Ongkosnya berdua Euro 62 semalam. Tak ada sarapan pagi. Kamar mandi, AC, gorden, room service dan semuanya lengkap. Suster-susternya ramah. Salah satunya lagi belajar bahasa Indonesia. Dia akan bertugas di Ruteng, Pulau Flores. Kira-kira setara hotel bintang tiga. Cuma tak ada televisi. Kami juga harus pulang maksimal pukul 22:00. Maklum ini sebuah biara.


Tour dua hari ini kami mulai dari Fontana di Trevi, sebuah air mancur gaya baroque dibuat oleh Nicola Salvi pada 1732. Ia menggambarkan dewa laut Neptune menaiki chariot ditarik oleh kuda laut --satu buas, satunya jinak. "Fontana" artinya air terjun atau fountain. "Di Trevi" artinya juga "di Trevi."

Di kolam dengan air dingin ini ada kebiasaan pengunjung melempar koin. Mitosnya, kalau Anda melempar satu koin, Anda akan kembali lagi ke Roma. Kalau dua kali, Anda akan jatuh cinta pada orang Itali. Kalau tiga kali, Anda akan menikahi dia. Sapariah melempar uang Rp 500 sekali saja.

Aku tak percaya pada mitos ini. Lonely Planet melaporkan bahwa koin-koin itu dikumpulkan oleh seseorang. Dia bisa mengumpulkan uang hingga Euro 1,000 dalam semalam. Dan ini sudah dilakukan selama puluhan tahun. Polisi menangkap lelaki tersebut.

Lalu kami lanjutkan ke Palazzo Chigi, kantor Perdana Menteri Italia, lalu Palazzo Monteritorio, yang jadi gedung parlemen, serta Pantheon. Ada juga piazza Navona dengan air terjun yang indah. Kami juga menelusuri sebuah jalan kecil, yang penuh dengan toko antik, ristorante, pizzaria, toko seni, pakaian dan sebagainya.


Arti kata "pantheon" adalah pan (semua) dan theos (tuhan). Ia mulanya dibangun pada 27 SM oleh Marcus Agrippa untuk semua dewa-dewi Romawi. Pada 120, kuil ini mengalami perubahan atas permintaan Kaisar Hadrian, yang bentuknya kami lihat hari ini. Bangunannya besar sekali. Ini salah satu bangunan Romawi tertua yang bentuknya masih utuh.

Kaki Sapariah lemas ketika kami sudah keliling 10 tempat. Sapariah puasa dengan disiplin. Kami sering duduk istirahat. "Kalau nggak diselingi belanja nggak kuat," kata Sapariah. Suhu udara lebih dari 28 derajat Celsius. Semangat Sapariah bangkit lagi ketika kami mencapai Ponte Sant' Angelo. Ini sebuah jembatan untuk menyeberangi Sungai Tiber menuju Castel Sant' Angelo. Bentengnya dibangun Kaisar Hadrian pada tahun 136. Pada 1450, jembatan ini runtuh dan dibangun lagi, menggunakan hiasan dan patung yang lama.


Dari Castel Sant' Angelo kami berjalan lagi menuju Piazza San Pietro. Ini lapangan luas terletak depan Basilica San Pietro. Basilika ini mulanya dibangun oleh Kaisar Konstantin, penguasa Romawi pertama yang masuk Kristen, pada abad keempat. Konon jenazah Petrus, salah satu pengikutnya Yesus, atau Iesus atau Iesa, dibangun di basilika ini. Gereja ini dihiasi oleh karya-karya besar seniman macam Michelangelo, Bernini, Giacomo dan lainnya. Di tengah-tengah piazza ini diletakkan satu obeliks dari Mesir. Hari pertama kami berjalan delapan jam. Sapariah bilang ini macam "naik haji." Kaki lemas sekali!

Hari kedua, kami bertemu seorang wartawati harian Il Manifesto, Marina Forti. Dia beberapa kali meliput di Pulau Jawa dan Papua. Kami mengobrol dekat Villa Borgeze. Kami dikenalkan oleh Goenawan Mohamad. Dia cerita interviewnya dengan Goenawan pertama kali pada hari Soeharto mundur.

Hanya pertemuan sosial. Aku cerita soal buku aku baru selesai ditulis. Kini masih berunding dengan penerbit. Kami juga bicara tentang suatu kasus yang terkait antara pemerintah Indonesia dan suatu perusahaan Itali. Marina cerita soal pengalaman dia tinggal di Roma. Asalnya dari Milan. Kami juga jalan-jalan di sekitar piazza Navona.

Kami juga keliling Colloseo, tempat hiburan terkenal zaman Romawi, dimana gladiator sering bertempur melawan sesama gladiator atau binatang buas dari Asia dan Afrika, singa dan macan. Colloseo, atau Colloseum, diresmikan Kaisar Vespasian pada tahun 80. Anaknya, Titus, ketika ditahbiskan jadi kaisar, merayakannya dengan bikin pertunjukan 100 hari, siang dan malam, dimana 5,000 binatang buas dibantai.

Gereja yang paling mengesankan aku adalah Basilica di Santa Maria in Trastevere. Gereja kecil di daerah Trastevere, dekat penginapan kami, dimana Sapariah memilih berbuka puasa.

Dari luar kelihatan sederhana. Namun di dalam, ada lukisan dan ukiran di langit-langit basilika, dengan warna keemasan. Ini gereja tertua yang didedikasikan kepada Perawan Maria. Ia mulanya dibangun pada tahun 337. Pada 1138, menara gereja ditambahkan. Mozaik keemasan dibuat oleh Pietro Cavallini.

Kami mengakhiri tour dua hari ini dengan makan es krim dan pasta, yang lezat sekali di Ristorante Frontoni, di Trastevere. Sapariah makan es krim dua kali. Buka puasa dengan es krim besar, lezat dan dingin!

Friday, September 21, 2007

Pesan dari Norman di Jakarta


Selama berjalan di Campaina dan Roma, dari ikut pertemuan Euroseas hingga jalan-jalan di Roma, kami tetap berhubungan dengan Norman di Jakarta. Ketika di Napoli dan Nocera, hubungan terutama lewat SMS. Hubungan ini terkadang sulit sekali. Aku duga koneksi antara operator di Jakarta dan Napoli serta Nocera agak kurang lancar.

Norman mengatakan dia rindu aku. Terkadang dia protes mengapa lama sekali? Kami pergi selama hampir dua minggu. Setiap kali pindah kota, aku selalu kirim SMS kepada Norman. Setiap pagi, aku juga cerita apa saja rencana kerja hari itu. Aku juga cerita siapa saja yang aku temui. Ketika masih di Napoli, dimana aku harus presentasi sebuah liputan, Murder at Mile 63, aku juga cerita pada Norman persiapanku. Dia ikut lega ketika aku kasih tahu hasilnya baik. Presentasi itu akan diperbaiki dan bersama empat makalah lain akan masuk jurnal South East Asia Research.

Norman juga cerita perkembangannya di Jakarta. Dari dia terpaksa bolos sekolah karena capek hingga minta dicarikan satu lagi edisi Asterix bahasa Inggris.

"No school, tired, found asterix yet?" (14 September 10:10)

"Paaa i miss u" (15 September 19:06)

"Do you think you could find 'operation getafix?'" (16 September 12:19)

"Asterix Comic Limited" (16 September 12:42)

Sri Maryani, pengasuh Norman, juga kirim SMS, "Pak, selama bp pergi dek norman ud bilang kangen 4 kali ke aku, katanya ak tu ud kangen ma papa." (18 September 12:23)

Norman memang lebih dekat kepadaku daripada kepada ibunya. Dia sempat minta izin pergi ke apartemennya Sabtu lalu guna nonton acara televisi kesukaannya lewat TV kabel. Ibunya tak mengizinkan. Norman jadi kecewa. Ibunya tak langganan TV kabel.

"I miss you, when will you come back? (19 September 12:13)

"Why so long?" (19 September 14:28)

Ketika di Roma, Sapariah menemukan phone point dimana kami bisa bicara telepon jarak jauh. Sapariah dan aku bergantian bicara dengan Norman. Norman menangis ketika pertama kali bicara dengan aku. Dia bilang sudah lama sekali aku pergi. Aku bilang sulit sekali menelepon. SMS sering juga tak masuk.

Kami bicara selama 20 menit pada Kamis 20 September. Norman cerita soal sekolah. Aku dimintanya komentar soal pelajaran sejarah serta protes dia terhadap pemotongan pohon-pohon di daerah Pondok Indah guna pembangunan jalur busway.

Kami lagi melewati masa-masa yang sulit untuk Norman sejak ibunya memindahkan Norman ke Bintaro. Di sisi lain, aku juga sudah setuju sejak Oktober tahun lalu dengan Gerry van Klinken untuk hadir di Napoli pada konferensi Euroseas. Gerry adalah peneliti dari KITLV Leiden yang jadi moderator untuk sebuah panel Euroseas. Aku juga bertemu dengan beberapa penerbit buku untuk bicara soal kemungkinan mereka menilai draft buku aku.

Aku bermimpi beberapa kali soal Norman. Aku sangat merindukannya.

Wednesday, September 19, 2007

Roma Termini


Sapariah yang pertama kali melihat papan besar, warna hijau tulisan putih, "Roma Termini" ketika aku masih mengira ada 10 menit lagi, sebelum kami sampai ke kota ini. Inilah bagian terakhir dari perjalanan kami mengelilingi bagian selatan Itali.

Roma Termini adalah stasiun kereta api, kereta metro bawah tanah maupun bus, yang menjelujuri Roma, Itali dan seluruh Eropa. Kami turun dari gerbong kereta api nomor sembilan, yang tadi kami naiki dari stasiun kereta api di Napoli, dekat piazza Garibaldi.

Stasiun besar sekali. Ada toko buku, ristorante, tempat penitipan bagasi, berbagai macam toko, mesin tiket dan ribuan orang lalu lalang. Kami mencari tempat titip bagasi. Sapariah membeli banyak sekali baju, magnet, sepatu, sandal dan sebagainya, selama kami berjalan di Napoli, Nocera, Pompeii dan Salerno. Tulang belakang rasanya mau bungkuk membawa tas-tas tersebut.

Di Nocera, kami terpaksa membeli satu tas lagi, guna memuat "oleh-oleh" ini. Hitungan simpan bagasi adalah Euro 0.2 per jam. Kami titip bagasi dua buah agar bisa berjalan lebih santai di Roma.

Kami juga masuk ke toko buku internasional di Roma Termini. Maksudnya, mencari komik Asterix, dua edisi paling mutakhir, titipan Norman. Namun tak ada yang bahasa Inggris. Semua bahasa Itali. Mereka juga tak punya dua edisi tersebut.

Kami keluar dari stasiun dan mencari tempat penukaran uang. Kami juga pergi ke sebuah internet point buat membersihkan mailbox. Capek, isinya lebih banyak spam. Capek, serasa menjalani satu desa besar di Roma Termini. Kini kami bersiap-siap mengarungi Roma. Setiap kilometer persegi Roma penuh dengan sejarah, dari 100 tahun hingga 2,500 tahun.

Related Links
Dari Fontana di Trevi ke Colloseo
Pesan dari Norman di Jakarta
Kota Abadi Pompeii
Nocera dan Salerno

Ralat: Foto Sapariah di Roma Termini ditambahkan pada 23 September 2007

Nocera dan Salerno


Ketika mengikuti pembukaan conference Euroseas di benteng dell'Ovo di Napoli, aku bertemu dengan kenalan lama, Antonia Soriente. Antonia warga Italia. Suaminya Feisol Reza, orang Madura dan aktivis hak asasi manusia, asal Probolinggo tinggal di Jakarta. Antonia kelahiran Nocera, sebuah kota kecil dekat Napoli. Setiap tahun, dia mengajar di Universitas Napoli "L'Orientale" selama beberapa bulan. Reza, Antonia dan kedua anak mereka, ikut ke Nocera bila Antonia mengajar di Napoli. Kebetulan kali ini mereka tak ikut.

Aku kenal Antonia sejak 1993, beberapa saat sebelum majalah Tempo dibredel pada Juni 1994. Kami biasa ketemu di acara-acara sosial di Jakarta. Ketika pembredelan terjadi, suasana politik di Jakarta makin panas, kami jadi sering bertemu.

Aku kenal Reza ketika dia bekerja untuk Partai Rakyat Demokratik. Reza diculik Kopassus pada akhir masa rezim Presiden Soeharto. Reza termasuk yang bebas. Reza menjaga integritasnya. Kini Reza ikutan Wimar Witoelar jadi host acara Perspektif Baru.

European Association for South-East Asian Studies, atau Euroseas, didirikan pada 1992 oleh 19 sarjana ahli Asia Tenggara. Setiap tiga tahun, Euroseas mengadakan international conference (Leiden, 1995; Hamburg, 1998; London, 2001; Paris, 2004; Napoli, 2007). Antonia juga seorang sarjana. Dia dapat doktoralnya dari Universiti Kebangsaan Malaysia di Penang. Penelitiannya tentang bahasa Dayak Punan di sebelah timur Borneo. Supervisornya James T. Collins dari Borneo Research Council, sarjana Borneo yang banyak menulis buku soal bahasa di Borneo.

Di dell'Ovo, Antonia menawari Sapariah dan aku menginap di rumahnya. Kami gembira dengan undangan ini. Pesawat kami kembali ke Jakarta juga kebetulan masih seminggu lagi. Maklum lagi high season. Hari Minggu, sesudah conference selesai, kami naik kereta api Napoli-Nocera. Kami berhenti di stasiun Nocera Inferiore. Antonia menjemput di stasiun.

Nocera ada dua kota. Nocera Superiore dan Nocera Inferiore. Stasiunnya juga dua. Rumah keluarga Soriente terletak di Nocera Superiore, tepatnya jalan Porta Romana. Rumahnya besar. Goenawan Mohamad, kenalan kami yang pernah menginap disini, menyebut keluarga Soriente "petani kaya." Mereka juga memiliki sebuah peternakan dan tanah pertanian di sebuah bukit. Ada kebun zaitun, kandang kuda, sapi, kambing, babi, ayam, kalkun dan sebagainya. Di ruang tamu, aku melihat ada foto Goenawan dan rombongannya, Ahmad Sahal, Sitok Srengenge, Ayu Utami, Rayya Makarim serta Antonia dan kedua orang tuanya berfoto bersama.

Antonia anak kedua dari lima bersaudara. Semuanya sudah berkeluarga. Mereka punya rumah sendiri-sendiri. Antonia, bila tinggal di Nocera, tinggal bersama ibunya, Ida Soriente. Papanya, Guglielmo Soriente, meninggal April lalu. Rumahnya dua lantai, besar sekali.

Kami diajak ikut pertemuan keluarga Antonia di kebun mereka. Ada nonna-nya, Antonietta Consalvo, mama dari mamanya Antonia, yang sudah umur 98 tahun. Keluarga besar kumpul bersama. Antonietta Consalvo, Ida Soriente, adik-adik perempuan Antonia (Monica dan Simona), suami-suami mereka, keponakan-keponakan, seorang teman keluarga dan lainnya. Hari Minggu juga hari ulang tahun Vittorio, anaknya Monica, umur dua tahun. Ada kue tart, isi coklat dan es krim. Enak sekali. Sapariah kagum dengan kesehatan Nonna. Dia makan dengan lahap dan berdandan dengan rapi. Duduk di ujung meja, mengawasi anak, cucu-cucu serta cicit-cicitnya bermain.

Mamanya Antonia cerita bagaimana Antonia pernah dimuat majalah Pantau, sewaktu aku jadi redaktur pelaksananya. Pada akhir 2000, Antonia hamil anak pertamanya, perutnya mulai membesar. Aku usul bagaimana bila proses kelahiran si bayi diabadikan dan dimuat sebagai esai foto majalah Pantau. Antonia setuju.

Dia senang juga ketika tahu Erik Prasetya, seorang fotografer kenalan kami, yang akan memotret proses persalinan itu. Maka jadilah esai delapan halaman dimuat Pantau edisi Maret 2001. Ayu Utami menulis karangan pendek kelahiran Guglielmo, putra pertama Reza-Antonia. Ini pertama kali ada penerbitan Jakarta memuat foto perempuan melahirkan anak.

Kami suka jalan-jalan naik sepeda di Nocera. Selasa sore, Sapariah mengajak aku naik sepeda dan berhenti di satu piazza. Kami melihat-lihat suasana kota. Sapariah juga sempat belanja di pasar senenan Nocera --setiap Senin buka. Aduh, banyak sekali barang-barang bagus dengan harga miring. Maklum mode musim panas dan gugur akan segera ganti dengan musim dingin. Barang-barang diobral.

Mamanya Antonia juga beberapa kali minta tolong aku membeli harian Il Mattino kesukaannya. Aku beli di tabacchi di ujung Porta Romana. Naik sepeda beli koran di kota kecil. Il Mattino terbitan Napoli.

Antonia menganjurkan kami jalan-jalan ke Salerno. Ini kota kecil, pinggir pantai, yang cantik. Kami naik kereta api dan berhenti di stasiun Salerno, di piazza Vittorio Veneto. Pusat perbelanjaan terletak di Corso Vittorio Emanuele dimana mobil dilarang masuk. Kami juga jalan-jalan sepanjang pantai.

Ketika naik bus pulang ke Nocera. Kami melewati Trevi, sebuah desa kecil di pegunungan dengan pemandangan laut di bawah. Ini kecantikan yang mengagumkan. Aku tak heran Goenawan Mohamad menganggapnya tempat paling indah di muka bumi. Kami menikmati pemandangan Gunung Vesuvius. Biru menjulang ke langit. Gunung ini meledak beberapa kali, termasuk pada Agustus 79 SM, ketika ia meratakan kota-kota sekitarnya, termasuk Pompeii dan Nocera. Bus meliuk-liuk sepanjang jalan. Ai ai ai ... cantiknya.

Grazie così tanto, Antonia. Li avete lasciati vedere un'altra Italia. Terima kasih sekali, Antonia. Kamu membuat kami melihat Italia yang lain.

Sunday, September 16, 2007

Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu


OLEH NASRUL AZWAR


HARIAN
Jurnal Nasional yang terbit di Jakarta, semenjak tanggal 1 Januari dan rencananya hingga 31 Desember 2007 setiap hari menerbitkan semacam kilas balik perjalanan sejarah pers nasional. Tulisan tentang pers itu hadir berkaitan dengan peringatan seabad pers nasional yang jatuh pada tahun 2007 ini. Dalam pengantar yang ditulis Taufik Rahzen disebutkan, tarikh ini dihitung sejak Medan Prijaji terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan Prijaji adalah tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi. Dan dua kegiatan itu menjadi gong yang ditalu dengan nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu: Raden Mas Tirto Adhi Surjo.

"Pada 1973, pemerintah mengukuhkan Raden Mas Tirto Adhi Surjo sebagai Bapak Pers Nasional. Sementara pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempurnakan gelar itu menjadi Pahlawan Nasional atas jasanya menggerakkan kesadaran merdeka lewat jalan organisasi modern dan pergerakan nasional," tulis Jurnal Nasional. Namun, dalam pengantar itu tidak dijelaskan alasan mengambil tarikh tersebut, yakni Januari 1907 sebagai awal terbitnya surat kabar Medan Prijaji dan titik awal mengukur usia kehadiran pers di negeri ini.

Sepanjang pembacaan saya terhadap sejarah pers (dan pers juga identik dengan penerbitan), dan juga hasil bacaan saya terhadap disertasi Sudarmoko yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda (2005) dan beberapa artikel Suryadi yang juga mengajar di Universitas Leiden, mengesankan, semenjak abad-19, pertumbuhan surat kabar dan dunia penerbitan di Minangkabau (Sumatra Barat) sangat signifikans.

Menurut Suryadi (2004) orang Padang bukan kemarin sore mulai membaca koran. Sejak 7 Desember 1864—hampir satu setengah abad lalu—orang Minang untuk pertama kalinya membaca surat kabar berbahasa Melayu. Pada bulan itu, edisi perdana Bintang Timoer diluncurkan. Itulah koran pribumi pertama (vernacular press) yang terbit di kota yang sudah berusia tua ini. Minangkabau memang merupakan kota pers tertua di Sumatra, dan termasuk kota Indonesia yang awal mengenal surat kabar. Karena mendapat respons dan pasar yang baik, maka manajemen Bintang Timoer menerbitkan menjadi mingguan setiap Rabu yang dimulai sejak 4 Januari 1865.

"Ketika di tempat lain di pulau ini orang baru mengenal naskah (manuscript) beraksara Jawi yang berisi sastra pagan, di Padang orang (Minangkabau) sudah membolak-balik halaman kertas lebar bernama surat kabar yang berisi informasi dari luar dunia lokalnya," tulis Suryadi (lihat di www.ranah-minang.com). Sejumlah surat kabar yang terbit di Minangkabau setelah Bintang Timoer antara lain, Pelita Ketjil (Padang, 1892-1894), Warta Berita (Padang, 1895), Tjahja Sumatra (Padang, 1906).

Tokoh pers yang menonjol saat itu antara lain, Mahyoeddin Datoek Soetan Maharadja, anak nagari Sulit Air, Abisin Abbas, Dja Endar Muda, dan Syekh Achmad Chatib. Tokoh pers itu hadir mewarnai dinamika pemikiran, arah kebijakan publik, dan dunia keintelektualan.

Khairul Jasmi (Pantau, Februari 2002) menulis, saat itu, kepiawaian menulis atau mengeluarkan pendapat orang Minangkabau berpendaran di halaman-halaman surat kabar. Media massa jadi sarana melancarkan perbincangan dan polemik. Mula-mula tentang kebangkitan Asia, Jepang, lalu format masa depan negara. Tak luput juga tentang bagaimana agama Islam seharusnya dipahami dan dijalankan. Pesertanya kaum tua dan muda. Perdebatan agama inilah yang malah berlangsung tajam.

Karena demikian bagusnya kondisi pers saat itu, surat kabar Pelita Ketjil mampu menempatkan seorang korespondennya di Kota Mekkah, yang tugasnya mengirimkan berita perkembangan Islam untuk pembacanya di Sumatra Barat. Hal serupa tidak lagi kita temukan dalam manejemen surat kabar sekarang. Berita dari luar cukup dikutip dari kantor-kantor berita yang bertebaran itu.

Selain koran mainstream di atas, seperti Bintang Timoer, Pelita Ketjil, Warta Berita, Tjahja Sumatra dan lain sebagainya, di tingkat nagari dan etnis juga muncul berbagai penerbitan berkala. Media komunitas hadir dikesankan sebagai ruang komunikasi dan silaturahmi bagi masyarakatnya. Dalam catatan Sudarmoko (2005) beberapa penerbitan "pers" komunitas saat antara lain, Barito Koto Gadang (Fort de Kock, 1929-32), Boedi Tjaniago (Fort de Kock, Drukkery Agam, 1922), Soeara Kota Gedang (Fort de Kock, Vereeniging Studiefonds Kota Gedang, 1916-17), Al Achbar (Padang, 1913-14, dalam bahasa Arab), Al I'laam (Koto Toeo, Ampat Angkat, 1922-23), Moeslim India (Padang, Moeslim India, 1932), Algementeen Advertieblad (Padang, Padangsche Snelpres, 1921, dalam bahasa Belanda), Bintang Tiong Hoa (Padang, Tiong Hoa Ien Soe Kiok, 1910-15).

Dari catatan sejarah dan tarikh keberadaan dunia pers di Sumatra Barat, tampaknya, kehadiran surat kabar Medan Prijaji (1907) yang lahir di Bandung (Jawa Barat) masih muda dibanding surat-surat kabar yang sudah terbit di Minangkabau sebelumnya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, alasan apa sesungguhnya menempatkan awal lahirnya Medan Prijaji tahun 1907 sebagai tarikh lahirnya pers nasional, yang kini (tahun 2007) diperingati sebagai "satu abad pers nasional"?

Apa artinya kehadiran Bintang Timoer yang lahir pada 7 Desember 1864, Pelita Ketjil (1892-1894), Warta Berita (1895), Tjahja Sumatra (1906) itu? Dan kita tidak mengetahui pula, siapa atau lembaga apa yang memutuskan dan melegetimasi satu abad pers di Indonesia ini dimulai hitungan tahun 1907? Bagaimana mekanisme dan prosedurnya, apakah ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah, atau Surat Keputusan Presiden, dan lain sebagainya? Apakah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau lembaga pers lainnya ikut serta melegitimasi tahun kelahiran surat kabar Medan Prijaji 1907 sebagai awal lahirnya pers nasional? Selanjutnya, di mana suara sejarahwan Sumatra Barat yang jumlahnya tidak sedikit itu: Apa sesungguhnya yang terjadi di negeri ini, sehingga fakta sejarah bisa saja diubah dan diklaim sesuka hati?

Pertanyaan serupa bisa dilebarkan lagi. Tapi, yang jelas, dari titik berangkat sejarah pers Indonesia, sudah diambil orang, sejarah itu sudah dianjak orang lain. Sejarah sudah berada di negeri orang lain. Kita yang berbuat, orang lain yang hebat. Berteriaklah kita sekuat tenaga, bahwa pada pertengahan abad-19 orang Minanglabau sudah baca koran, dan banyak surat kabar yang terbit di sini, dan lain sebagainya, jelas tak ada gunanya.

Para sejarahwan yang bertebaran di Unand dan UNP, dan di perguruan tinggi di kota-kota lainnya, yang diharapkan bisa menjelaskan duduk perkara fakta sejarah ini, tampaknya lebih tertarik menyelesaikan proyek penelitiannya yang tidak akan pernah habis-habisnya. Karena proyek itu terus mengalir sepanjang bangsa ini terus memakai APBN (D) dan proyek penelitian memang banyak di sana.

Sementara, tokoh pers di daerah ini dan juga lembaga pers terkait lebih asyik dengan dirinya sendiri. Padahal, di pundak mereka tanggung jawab itu kini berada. Fakta sejarah pers telah diplintir orang lain, kita diam saja. Dikatakan orang lain bahwa pers berawal di Bandung, kita di sini seolah mengangguk balam saja. Entahlah, entah apa yang salah di negeri saya ini: Semua seperti sudah tergadai, termasuk harga diri itu.
***


Nasrul Azwar seorang penulis, tinggal di Padang, naskah ini mulanya muncul di harian Padang Ekspres edisi 16 September 2007

Saturday, September 15, 2007

Kota Abadi Pompeii


Bagaimana rasanya hidup dua ribu tahun silam? Bagaimana cara orang memasak saat itu? Apa jenis makanan mereka? Dan bagaimana mereka menyimpan makanan ketika belum ada lemari es? Penerangan, tentu saja, pakai obor atau lentera. Tapi minyaknya dari apa? Bagaimana cara mencuci pakaian ketika belum ditemukan amoniak?

Kami beruntung bisa berkunjung ke Pompeii, sebuah kota kecil, dekat Napoli, untuk melihat langsung cara orang hidup zaman itu. Pompeii dulu tertimbun tanah, setinggi 5-6 meter, akibat ledakan Gunung Vesuvius pada 25 Agustus 79 SM, atau lebih dari 2000 tahun lalu.

Ledakan tersebut membenamkan Pompeii dalam timbunan lapili --kerikil campur pasir. Baru pada abad 18, ketika mulai digali, kota ini ditemukan relatif utuh, dari arsitektur gedung-gedungnya hingga mozaik, dari kamar tidur hingga tempat penyimpanan anggur, air dan makanan. Kami bahkan menemukan tanda "awas anjing galak."

Pada 1594, seorang arsitek, Domenico Dorgana, sedang membangun sebuah kanal, ketika menemukan satu bagian kecil dari Pompeii. Dorgana mencatat penemuan itu namun tak ada kelanjutannya.

Baru pada 1748, atau 150 tahun kemudian, ketika Charles de Bourbon berkuasa di Napoli, penggalian serius mulai dilakukan. Orang ingin tahu bagaimana rupa Pompeii. Artinya, penggalian dilakukan 1,600 tahun sesudah ledakan Vesuvius. Hasilnya spektakular! Namun banyak barang bernilai justru dirampok dari situs seluas 66 hektar itu.

Giuseppe Fiorelli, yang mulai bekerja pada 1858, dianggap orang yang paling banyak menemukan Pompeii. Hingga hari ini, Pompeii masih belum sepenuhnya digali. Kami masih melihat banyak sekali penggalian atau bagian tertutup. Para anthropolog bekerja dengan sekop kecil dan kuas. Pagar-pagar besi masih bertebaran. Gunanya, mengatur lalu lintas pengunjung sekaligus menjaga situs ini dari penjarahan. Menurut buku Lonely Planet, ada 2.3 juta pengunjung setiap tahun ke Pompeii.

Kini orang yang berkunjung ke Pompeii, bisa melihat jalan-jalan kota ini. Kebudayaan Romawi membangunnya dari batu-batu besar dengan permukaan rata. Permukaan rumah dibangun sekitar 30 cm dari permukaan jalan. Jalan juga berguna sebagai saluran air. Di setiap persimpangan ada batu-batu besar untuk batu loncatan agar jubah orang tak basah bila menyeberangi jalan. Orang kebanyakan memakai kereta keledai. Orang kaya bisa memakai kuda.

Bangunan rumah dibuat dari bata dan batu. Menurut Antonio Campinelli, guide yang mengantar kami, rumah-rumah penduduk Pompeii terdiri sedikitnya dua tingkat. Setiap rumah punya halaman dalam dimana mereka menanam pohon zaitun dan anggur.

Gunanya, biji buah zaitun diperas, dijadikan minyak zaitun. Anggur, tentu saja, dijadikan minuman. Mutu zaitun terbaik dipakai untuk obat-obatan dan bahan makanan. Mutu terjelek dipakai untuk bahan bakar lampu. "Banyak terjadi kebakaran waktu itu karena penerangan dari lentera zaitun," kata Campinelli. Lantai dua atau tiga kebanyakan terbuat dari kayu. Budak-budak tidur di lantai kayu. Majikan tidur di lantai dasar. Budak-budak ini rentan meninggal kalau terjadi kebakaran.

Ketika Pompeii digali, juga ditemukan rumah dengan tubuh-tubuh korban membatu. Ada anak kecil. Ada perempuan. Ada lelaki. Ada yang tiduran. Ada juga yang berusaha bangkit. Ada juga anjing dan pepohonan. Menurut Campinelli, tubuh-tubuh itu ketika ditemukan sudah mirip kepompong. Selama 1,600 tahun, daging korban tentu sudah mengerut dan tinggal tulang-belulang. Giuseppe Fiorelli menyuntikkan sejenis plaster ke dalam bagian-bagian yang kosong tersebut. Kini tubuh-tubuh, manusia, hewan dan tanaman yang membatu tersebut diletakkan pada lokasi dimana mereka ditemukan.

Menurut buku Pompeii 2000 Years and Today karangan Alberto C. Carpiceci, Pompeii memiliki warga sekitar 20,000 orang. Di kota ini ada penginapan (hospitia), kandang kuda (stabula), rumah makan (cauponae), cafe (thermopolia) serta rumah model satu-keluarga (domus italica).

Makanan kebanyakan disimpan dalam kuali-kuali kecil dari tanah liat. Bahannya kebanyakan sayuran atau hewan kecil. Mereka belum terbiasa memakan hewan besar mengingat sulit mengawetkannya. Sapi atau kerbau lebih diambil susunya. Mereka membuat wine namun proses penyulingannya belum sehalus sekarang. Di tembok-tembok pagar rumah terlihat guci-guci tanah liat. Gunanya untuk menyimpan air hujan. Air seni ditampung untuk mencuci pakaian.

Namun juga rumah bordil. "Waktu itu, orang berhubungan seks dianggap sama dengan makan dan minum," kata Campinelli. Kami mengunjungi satu rumah bordil dengan lukisan-lukisan dinding yang menawarkan berbagai pelayanan seks erotis. Ada juga rumah pelacur dengan harga lebih murah. Ranjang dan bantalnya terbuat dari batu. Ruang prakteknya juga kecil.

Pompeii juga memiliki rumah mandi, dengan air dingin, air panas dan mandi uap. Rumah kebanyakan tak dilengkapi kamar mandi. Hanya rumah orang kaya pakai kamar mandi. Air dialirkan masuk ke rumah mandi. Kini mereka masih bisa dilihat tiang-tiangnya.

Pompeii juga memiliki dinding-dinding jalan yang dipakai untuk beriklan atau propaganda. Ada propaganda pemilihan anggota dewan kota. Ada iklan rumah pelacuran. Ada juga protes terhadap penguasa. Menurut Carpiceci, Pompeii diatur oleh dua orang gubernur (duumviri) yang dipilih lima tahun sekali. Sudah ada demokrasi waktu itu!

Juga ada dua pejabat (aediles) yang bertanggungjawab untuk kesehatan publik, hiburan massal, manajemen pasar serta penyediaan bahan pangan. Kota ini juga ada dewan kota (ordo decurionum) dengan jumlah 100 warga pilihan.

Seharian kami berjalan dalam Pompeii. Masuk dari rumah ke rumah. Melihat kamar mandi, kuburan, rumah makan, saluran air bahkan membaca materi kampanye pemilihan ordo decurionum. Warnanya merah. Rasanya, senang sekali bisa memahami sejarah begini dekat.

Sebagai sebuah desa pertanian, Pompeii mula-mula didirikan oleh orang-orang Orci, lalu Yunani, lalu sejenak oleh kaum Estrucan. Orang Samnite memperbesarnya hingga akhir abad 4 sebelum Masehi ketika orang Romawi ikut tinggal disana. Saat itu Pompeii sudah jadi kota besar, pusat perdagangan, ketika daerah-daerah sekitarnya masih kecil, termasuk Neapolis (kini Napoli).

Kami jadi lebih mengerti mengapa kebudayaan Barat jadi begitu lekat dengan realitas, minimal Romawi, dengan adanya tempat bersejarah, yang diteliti dan ditulis secara profesional, macam Pompeii.

Thursday, September 06, 2007

Susilahati dari Komisi Anak


Pagi ini, saya mengirim SMS kepada Susilahati dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dengan pesan singkat, bahwa Norman setiap pagi dua jam pergi sekolah, setiap siang dua jam pulang sekolah. Ini sebentuk kekerasan terhadap Norman.

Susilahati, kepala Kelompok Kerja Pengaduan KPAI, membalas, "Kami sudah telp ibunya Norman, utk bisa hadir hari ini di KPAI. Tetapi menurut laporan Maya, ibunya Norman tidak mau hadir dan tidak mau dimediasi oleh KPAI. Solusinya, menurut ibunya Norman adalah pindah sekolah. Saran saya, diskusikan solusinya dengan mantan istri Bapak spt sarannya. Dia mau koq pak diajak diskusi, tapi menurutnya jgn dimediasi oleh KPAI. Tawaran ini saya rasa baik jika Bapak respons. Ceritakan kondisi ini sama ibunya Norman. Dicoba deh Pak."

"Maksud saya, diskusikan dan cari solusi bersama ibunya Norman, mana yang terbaik bagi Norman. Ajakan ibunya Norman untuk mencari solusi bersama, bagaimana jika segera Bapak respon? Dicoba dulu ya Pak bicara dengannya. Cari jalan keluarnya bersama. Nanti jika buntu, kita cari lembaga terapinya keluarga. Atau mau dicarikan KPAI?"

Saya menelepon Susilahati dan bilang bahwa saya sudah pernah coba bicara kepada Retno Wardani. Dia menawarkan Norman pindah sekolah dan saya yang bayar uang pangkal, uang sekolah dan sebagainya. Retno yang bikin keputusan. Saya yang membayar.

Ini bukan tawaran yang masuk akal. Bagaimana kalau Retno pindah rumah lagi? Apakah sekolahnya Norman akan dipindah lagi? Bagaimana ibu, yang tak pernah mau ikut menanggung biaya hidup anaknya, bisa selalu mengambil keputusan terhadap kehidupan anaknya? Kalau memang Retno mau berpikir terbuka, bagaimana menerangkan penolakannya terhadap sakit asma Norman? Bagaimana dengan terpal yang dilarang pakai sebagai alas tidur Norman guna mencegah tungau debu?

Saya bilang kepada Susilahati bahwa saya justru datang ke KPAI karena pembicaraaan sudah buntu. Kenapa sekarang disuruh kembali? Bagaimana saya harus bicara dengan Norman, yang sudah menaruh harapan kepada KPAI, bila tahu KPAI hanya minta kedua orangtuanya bicara sendiri tanpa mediasi?

Previous Stories
Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Kredit Kepemilikan Rumah BII
Asthma Cases on the Rise Among Children

"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"
Norman Dipindah ke Bintaro
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono

Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneagles
20 Menit Senayan-Kemayoran
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak
Transportasi Norman Rp 4.5 Juta Sebulan
Kemayoran-Bintaro 64 Kilometer

Monday, September 03, 2007

Lintasan Kemayoran-Bintaro 64 Kilometer


Lintasan yang ditempuh Norman Harsono, setiap siang dari sekolahnya di Kemayoran hingga rumah neneknya di Bintaro, ada 64 kilometer dengan jalur paling tak macet. Artinya, anak umur 10 tahun ini, menempuh jarak lebih dari 100 kilometer setiap hari hanya untuk bersekolah.

Aku menghitung lintasan Norman siang ini. Kami mulai dari sekolah GMIS Jakarta, lalu masuk gerbang tol Ancol, melaju kencang hingga ke ruang jalan tol Jl. T.B. Simatupang, untuk akhirnya keluar di gerbang Ulujami. Waktu tempuhnya, bila tak ada kemacetan dan kecepatan antara 80-120 km/jam, total sekitar 80-90 menit. Bila macet, misalnya hari ini, jarak tempuh hingga 120 menit. Norman kecapekan dan tidur di bangku belakang.

Gerbang Ancol-Dukuh ......................... 24 km ... Rp 4,500
Gerbang Dukuh-Pondok Aren .............. 22 km ... Rp 7,000
Gerbang Pondok Aren-Pondok Ranji ..... 2 km ... Rp 1,500
Gerbang Pondok Ranji-Ulujami ............ 2 km ... Rp 1,500


Bila dihitung, total perjalanan lewat tol 60 km, plus empat kilometer perjalanan menuju dan keluar tol, total 64 km. Biaya tol Rp 14,500. Nanti malam, PT Jasa Marga, juragan tol di Jakarta, akan menaikkan karcis tol.

Aku tahu, semua ini keterlaluan untuk seorang anak. Norman akan memiliki lebih banyak waktu istirahat dan belajar bila tinggal di rumahku di Senayan. Sebagai orang tuanya, kini aku harus usaha mengurangi kelelahan dan waktu tempuh ini serta mengupayakan Norman bisa pindah pengasuhan ke Senayan.

Dunia Fantasi dan Pelajaran Sejarah


Senin pagi ini, Norman bilang agak mengantuk ketika aku jemput untuk pergi sekolah. Dia bilang tadi malam pergi ke misa di gereja Pondok Indah dan ikut belanja dengan Retno Wardani, mamanya, di Carrefour hingga pukul 22:00. Norman bangun pukul 4:30 dan berangkat sekolah sekitar pukul 5:00. Aku menjemput Norman di Pondok Indah. Retno mengantar Norman dari Bintaro hingga Pondok Indah.

Sapariah ikut menemani kami pagi ini. Di mobil, Norman bilang merasa mau muntah, mengantuk dan kurang istirahat. Dia bilang juga stress mengingat tugas pelajaran sejarah. Siang ini, dia harus mengerjakan draft dan outline tugas menulis sejarah peradaban awal dalam mata pelajaran itu.

Esainya 700 kata. Gurunya, menurut Norman, guru paling strict di GMIS Jakarta. Murid-murid menjulukinya, "Mister Shut Up" karena suka bilang kata, "Shutuup," dengan aksen Hindi English. Aku sendiri tadi malam, riset internet, lewat Wikipedia dan Beyond Books lalu mencetaknya, 17 halaman, guna keperluan Norman. Di rumah Retno tak ada fasilitas internet. Norman harus titip sebagian pekerjaan rumahnya ke aku.

Hari Sabtu kemarin ada pertemuan orang tua murid dan guru-guru GMIS Jakarta. Ini pertemuan rutin setiap enam minggu sekali dimana orang tua bisa bicara dengan guru. Sapariah, Norman dan aku datang ke GMIS. Kami menemui masing-masing guru dari wali kelas hingga guru science, guru seni, guru olah raga, bahasa Perancis dan sebagainya. Norman dipuji sebagai anak yang suka membantu rekan-rekannya. Norman dibilang anak pendiam dan selalu berusaha mengerjakan tugas di sekolah.

Persoalannya, dia beberapa kali tak mengerjakan pekerjaan rumah semester ini. Guru sejarah, guru seni dan guru science bilang sebulan ini Norman sekali atau dua kali tak mengerjakan tugas rumah. Guru sejarah juga bilang soal tugas-tugas riset early civilizations, antara lain, peradaban Mesir, Sumeria dan India.

Aku coba menjelaskan soal Norman sakit asma dan jarak rumahnya jauh (64 km). Retno juga melarang Norman tidur dengan alas terpal. Ini memperburuk kesehatan Norman yang alergi tungau debu rumah. Namun ini bukan excuse. Aku akan membantu Norman bisa istirahat dan mengerjakan tugas rumah.

Dari GMIS Jakarta, kami langsung menuju Ancol dan bermain di Dunia Fantasi. Norman main Arung Jeram (bajunya basah semua, untung bawa ganti), Ombang-ombang dan sebagainya. Kami bertiga pergi ke Ancol bersama beberapa rekan lain --Eva, Wina, Ichank, Hesny, Kokoh, Indar, Dayu, Wewex. Eva dan kawan-kawannya antri naik permainan baru Tornado. Sapariah, Norman dan aku tak ikut. Untuk bisa naik Tornado, pengunjung harus antri 2.5 jam hingga 3 jam. Permainannya tak lebih dari 2.5 menit.

Kami menonton pertunjukan pantomim serta kembang api. Norman minta main Bumper Boat serta makan ayam goreng. Nonton Balada Kera. Lari kesana, lari kesini.

Aduh, anakku, di Dunia Fantasi dia berubah jadi penuh energi, selalu minta main ini dan itu. Dia tak tahu bahwa Retno menelepon aku dan minta Norman segera dibawa ke Bintaro. Aku tak sampaikan ke Norman. Aku kuatir dia jadi nervous dan terganggu kesenangannya.

Begitu sampai rumah, aku kirim SMS kepada Anju Kaul, supervisor Middle Section GMIS Jakarta, "My son, Norman, complains not feeling well but insisted to go school. Please check if something happen I will pick him up."

Aku ingin sekali kelak dia bisa kuliah di kampus bermutu dan jadi manusia yang bahagia. Ini harus dimulai dari sekarang.


Ralat
Kata "Tornado" mulanya diketik "Tordano." Ia sudah diperbaiki pada 3 September 2007.

Previous Stories
Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Kredit Kepemilikan Rumah BII
Asthma Cases on the Rise Among Children

"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"
Norman Dipindah ke Bintaro
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono

Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneagles
20 Menit Senayan-Kemayoran
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak
Transportasi Norman Rp 4.5 Juta Sebulan
Kemayoran-Bintaro 64 Kilometer

Sunday, September 02, 2007

Transportasi Norman Butuh Rp 4.5 juta Sebulan


Kini dengan Norman Harsono sudah dipindah ke Bintaro, Sapariah dan aku berusaha mengurangi Norman kekurangan waktu istirahat dan tidur, dengan memakai jalan tol T.B. Simatupang, yang lebih mahal, lebih jauh, namun lebih cepat.

Dampaknya, aku harus menempuh jarak Kemayoran-Bintaro 64 kilometer, setiap siang dengan karcis tol Rp 4,500 plus Rp 9,000 sekali jalan. Paginya, jalanan lebih sepi, kami lewat jalur Pondok Indah dan Senayan, hanya bayar karcis Rp 4,500 untuk gerbang tol Semanggi atau Slipi. Total biaya tol sebulan Rp 594,000.

Bensin rata-rata setiap 10 hari beli 80 liter atau Rp 360,000. Artinya, kami membayar bensin Rp 1,080,000 per bulan. Kredit mobil Rp 2.6 juta per bulan. Total setiap bulan, biaya antar jemput Norman menghabiskan biaya Rp 3.2 juta. Aku tak bisa terus antar-jemput Norman. Pekerjaan bisa terbengkalai. Kalau ditambah gaji sopir, maka pengeluaran khusus Norman bisa mencapai Rp 4.5 juta.

Mengapa begini mahal? Persoalan ini mulanya muncul pada Minggu, 15 Juli 2007, ketika Fadillah, sopir bus sekolah, yang biasa mengantar Norman, menelepon saya dan bilang route Pondok Indah dihentikan. Alasannya, Norman tinggal satu-satunya murid Gandhi Memorial International School, yang tinggal di Pondok Indah. Rekan satu busnya lulus semester sebelumnya.

Retno Wardani, ibu kandungnya Norman, menawarkan diri mengantar pagi hari, namun minta biaya bensin dan jalan tol. Kami menolak mengingat dampaknya tak pernah bisa diukur. Retno akan menuntut uang terus. Kini caranya minta uang bulanan Norman penuh dengan caci-maki. Ada-ada saja biaya tambahan. Mulai dari beli buku –“Pa, Mama wants to buy me an Art Attack book but she said her money is not enough. Can you pay Rp 150,000?” ujar Norman via telepon suatu kali—hingga makan di Kentucky Fried Chicken Rp 23,000.

Sri Maryani, pengasuh Norman, akhirnya mengantar Norman sekolah naik taxi Pondok Indah ke Kemayoran Rp 100,000 (termasuk tol). Pulangnya juga naik taxi Rp 100,000. Aku pikir taxi terlalu mahal. Kalau dihitung, Rp 200,000 x 20 hari, artinya kami harus bayar Rp 4 juta.

Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut --julukan ala Harry Potter, Anda mengerti untuk siapa-- juga hanya sedia antar pagi hari. Itupun minta dibayar bensin dan tol untuk dia pergi dan pulang (tanpa Norman). Siang harus naik taxi pula. Artinya, Rp 2 juta sebulan. Ini bagaimana? Anak sekecil Norman tapi biaya transportasinya semahal ini?

Kami sendiri tak punya mobil. Selain kemacetan Jakarta bikin capek, aku juga tak mau ikut menyumbang polusi udara dan kerusakan sosial di Jakarta. Sapariah usul kredit mobil. Kalau punya mobil, walau biaya sama, kami bisa pakai untuk keperluan Sapariah maupun aku. Akhirnya, kami utang kantor dan kredit mobil Rp 2.6 juta per bulan.

Eh, Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut membuat keputusan baru: Norman dipindah ke Bintaro sejak pertengahan Agustus. Maka jarak makin jauh. Norman makin kekurangan waktu untuk istirahat dan belajar. Biaya antar jemput makin tinggi. Aku terpaksa mengadukan masalah ini kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Bulan ini aku harus menyediakan Rp 4.5 juta untuk transportasi Norman. Ini belum uang sekolah, makan, buku dan lainnya. Total biaya untuk Norman Rp 9.4 juta. Penghasilan kami berdua takkan cukup menutup ini semua.

Ironisnya, Orang-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut itu bikin keputusan macam-macam, mulai dari minta rumah Pondok Indah hingga memindahkan Norman ke Bintaro, namun dia sama sekali tak keluar uang. Dia juga bersikeras, keputusan pengadilan mengharuskan Norman 5x24 jam tinggal dengan ibunya dan 2x24 jam dengan ayahnya. Sejak perceraian Desember 2003, praktis semua biaya pendidikan, kesehatan, pemeliharaan dan hiburan Norman ditanggung aku.

Mengapa Norman tak tinggal bersama aku saja? Bus sekolah sangat bersedia antar jemput Norman bila tinggal di Senayan. Biayanya per bulan hanya Rp 650,000. Bayangkan Rp 4.5 juta dan Rp 650,000?

Ralat
Aku salah menulis jarak sekolah Norman "34 km" dengan Bintaro. Seharusnya, 64 kilometer dari empat gerbang tol: Ancol, Dukuh 1, Pondok Aren, Pondok Ranji dan Ulujami. (3 September 2007)

Saturday, September 01, 2007

Draft Buku untuk Ford Foundation


Saya menyerahkan draft buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism Jumat kemarin kepada Ford Foundation, salah satu sponsor liputan, riset dan penulisannya. Saya dulu memang janji kepada Pratiwi Setianto, manajer Ford Foundation yang menangani book grant ini, mau menyerahkan draft buku pada Agustus 2007.

Sejak Kamis malam, saya print draft buku. Sempat kehabisan kertas HVS A4 sehingga menunggu Jumat pagi untuk beli satu ream. Saya juga sempat kehabisan tinta dua kali. Maklum, printer di rumah, Canon i255, sudah umur empat tahun dan rewel. Bolak-balik mengisi ulang tinta cartridge.

Draft ini belum selesai sepenuhnya. Saya masih membuatnya lebih rapi dan lebih mengalir bersama editor saya, Jim Simon, di Seattle. Ada saja soal referensi, konsistensi, style dan ekonomi kata, yang harus kami rapikan.

Kami juga masih mencari penerbit. Sapariah, isteri saya, membantu meneliti semua referensi dan sumber wawancara. Ada saja buku, esai, laporan atau kolom opini yang belum masuk dalam Notes on Sources. Jim Simon adalah asisten redaktur pelaksana harian Seattle Times. Salah seorang dosennya dulu adalah Prof. Daniel Lev dari Universitas Washington. Jim sukarela jadi editor buku ini.

Alexander Irwan, salah seorang pejabat Ford Foundation, menerima draft tersebut. Cukup tebal dengan cetakan satu spasi, font ukuran 11, total ada sekitar 150 halaman. Alex tanya apa sudah ada penerbit? Saya bilang belum mengingat Equinox, penerbit bahasa Inggris di Jakarta, kini tak menerbitkan buku baru lagi.

Alex usul cari penerbit di New York. Dia bilang jangan terburu-buru menentukan penerbit. Buku ini harus diterbitkan perusahaan bagus. "Ini bisa jadi text book," katanya. Dia minta saya tunggu dan sabar hingga dapat perusahaan bonafide. Saya bilang kini memang lagi mendekati sebuah perusahaan New York. Sidney Jones dari International Crisis Group tahun lalu juga usul saya menerbitkannya di New York.

Namun saya sampaikan juga keinginan agar buku ini beredar luas di kota-kota besar di Asia Tenggara, termasuk Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta dan kota-kota besar Pulau Jawa. Saya menulis buku ini dengan bahasa Inggris sederhana. Ia bakal mudah dimengerti oleh pembaca Indonesia. Ini akan juga bisa jadi bahan pelajaran menguasai dan menulis dalam bahasa Inggris.

Ketika pulang ke rumah, perasaan rasanya plong. Jalan masih panjang. Mungkin masih setahun lagi hingga buku ini menyentuh pasar. Saya juga masih harus terus bekerja merapikannya.

Sorenya, Norman dan saya, mencuci mobil bersama-sama guna merayakan penyerahan draft buku. Dia asyik sekali main air dan sabun. "It's a celebration!" katanya. Baju kami basah semua.

Precisely, 85 Locations in Three Years

I travelled from Sabang in Sumatra to Merauke in Papua, from Miangas Island, near Mindanao, to Ndana Island. It is a travelogue, covering dozens of killing fields and trying to understand the failure of Indonesia's nationalism.

Report to the Ford Foundation - 2005
Ford Foundation began to help sponsor this project in 2004 and extended it in late 2005. It is an 18-month sponsorship. I also got supports from some smaller sponsors.