Friday, November 30, 2007

Perkembangan Saga Norman


Selasa, 13 November 2007

Norman hari ini memutuskan tidur di Senayan. Alasannya, Retno mengatakan kepada Norman bahwa Retno hendak pergi ke luar kota. Siangnya, ketika aku jemput Norman di sekolah, Retno mengatakan rencana itu batal. Dia minta Norman pergi ke Bintaro. Norman tak mau. Dia ingin tidur di Senayan.

Aku kira biar saja Norman tinggal di Senayan. Mengapa anak harus dihalang-halangi untuk memilih tinggal? Dengan papa atau mamanya? Ternyata Retno tidak terima. Dia mengancam hendak membawa polisi sekali lagi untuk menjemput Norman dari Senayan.

Norman mengatakan langsung kepada mamanya bahwa dia mau di Senayan. Sri Maryani, pengasuh Norman, juga menyaksikan Norman tak mau menerima telepon mamanya. Norman mengunci diri di kamarnya ketika Retno menelepon. Aku beritahu ini kepada Rudy Parasdio dari Komisi Anak. Parasdio usul nomor telepon dia ditinggalkan di pintu rumah kami agar Retno terpaksa menghubunginya.

Kuatir dijemput dengan polisi, Norman minta ikut aku. Seharusnya, sore ini aku ada undangan makan malam di rumah Dutabesar Amerika Serikat Cameron Hume di Menteng. Malamnya, aku juga harus mengajar kursus narasi di Yayasan Pantau. Aku batalkan untuk pergi ke Menteng.

Aku datang ke Yayasan Pantau lebih awal. Ternyata Retno benar-benar datang ke Senayan, tanpa polisi, dan menelepon aku berulang-ulang. "Mana Norman? Mana Norman? Mana Norman? Mana Norman? Mana Norman?" teriaknya.

Aku terangkan berkali-kali bahwa Norman menolak bicara dengannya. Aku menyerahkan telepon ke rekan kantor, Siti Nurrofiqoh, karena kelas sudah mulai pukul 19:00.

Nurrofiqoh, ketika ditelepon Retno, menerangkan bahwa Norman ada bersama papanya di kantor. Retno langsung datang ke kantor Pantau bersama Sri Maryani. Ketika tahu mamanya datang ke kantor, Norman yang lagi main komputer di sekretariat, langsung lari masuk ke kelas. Dia berteriak, "Pa, Mama is coming." Dia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

Aku terpaksa keluar kelas untuk menemui Retno. Di hadapan Eva Danayanti dan aku, dia mengajak Norman kembali ke Bintaro. Norman tak mau. Retno mengulang-ulang permintaan itu. Norman tetap menolak. Retno lalu minta Norman mengganti malam ini, bila tinggal dengan aku, dengan jatah dia tinggal dengan aku hari Kamis. Norman terpaksa bilang "ya."

Norman merasa tak enak dengan para peserta kursus. Dia tak mau aku meninggalkan kelas terlalu lama. Para peserta kursus tentu menunggu. Norman juga tak ingin Retno mengganggu pelajaran di Pantau.

Ketika malam ini kami pulang ke Senayan, Norman bilang dia menyesal bilang "ya" kepada Retno. Dia merasa dipaksa mamanya sendiri. Dia merasa Retno tak mau memahami perasaan Norman. Dia merasa mamanya menganggap dia "benda mati."

Minggu, 18 November 2007

Taufik Wijaya, seorang wartawan Palembang, mendatangi rumah Laksito Rukmi di Baturaja. Tujuannya, minta tolong diberikan nomor telepon rumah Rukmi agar aku bisa menelepon M. Th. Koesmiharti, ibunya Retno. Koesmiharti berlibur di Baturaja sejak Lebaran lalu. Rukmi adalah kakak kandung Retno.

Aku sudah mencoba menghubungi Koesmiharti sejak Oktober. Sebelumnya juga sempat minta waktu bertemu namun ditolak ketika masih di Jakarta. Koesmiharti beralasan dia tak mau ikut campur urusan anaknya. Sesudah Retno menolak berkali-kali panggilan Komisi Perlindungan Anak, sedang Norman terus mengeluh karena tinggal di Bintaro, aku minta tolong Taufik mencari rumah Rukmi di Baturaja. Tujuannya, agar aku bisa bicara via telepon.

Aku minta tolong orang-orang di rumah Retno di Bintaro untuk memberi nomor telepon Rukmi. Tak ada satu pun yang berani memberi nomor telepon ini. Aku terpaksa minta tolong Taufik untuk datang langsung ke Baturaja sesudah lewat nomor 108 tak bisa mendapat nomor mereka. Aku hanya tahu Rukmi membuka sebuah toko kecil dekat kantor kejaksaan Baturaja. Maka Taufik pun berangkat ke Baturaja.

Menurut Taufik, Koesmiharti tak menemuinya. Hanya Rukmi bertemu dengan Taufik di toko mereka. Rukmi bilang dia tak mau ibunya mengetahui soal pengasuhan Norman. Ibunya akan segera ke Jakarta. Rukmi akan membelikan tiket bus. Hari Kamis Koesmiharti pasti sudah ada di Jakarta. Rukmi minta pada Taufik agar suaminya, Indra Rujadi, sebaiknya tidak tahu soal panggilan terhadap Retno ini.

Menurut Taufik, dia ada di rumah Rukmi sekitar 45 menit. Taufik langsung menelepon aku sesudah keluar dari rumah Rukmi. Dia menyampaikan salam dari Indra kepada aku. Dia naik bus kembali ke Palembang.

Selasa, 20 November 2007

Retno menemui Rudy Parasdio dari Komisi Anak. Retno juga menawari es teh kepada aku saat sore hari mengantar Norman. Dia juga menemui guru kelas Norman di Gandhi School. Ini termasuk aneh mengingat dia menolak bertemu KPAI sejak Agustus. Dia juga belum pernah menemui guru Norman semester ini.

Aku sudah ratusan kali mengantar Norman ke rumah Retno, sejak perceraian Desember 2003, namun tidak pernah sekali pun Retno menegur aku, apalagi mempersilahkan masuk dan menawarkan minum.

Sri Maryani, pengasuh Norman, bahkan takut mengizinkan aku untuk kencing atau cuci tangan bila kadang-kadang aku kebelet kencing atau ingin cuci tangan. Harap maklum! Aku setir mobil bisa 2.5 hingga empat jam. Mulai dari berangkat dari kantor ke sekolah lalu dari sekolah ke Bintaro. Jaraknya jauh sekali. Wajar bila tiba-tiba ingin buang air kecil. Cuci tangan juga perlu kalau di jalan kami makan atau minum. Norman sering membelikan aku minuman teh hijau dalam botol. Kami minum sama-sama dalam mobil. Terkadang tangan jadi lengket bila ada tetesan teh tumpah.

Ini perubahan yang aneh. Retno tiba-tiba menemui Rudy Parasdio serta menawari aku minum?

Rabu, 21 November 2007

Norman menemui psikolog Kristi Poerwandari dari Yayasan Pulih. Aku membawanya ke psikolog sesuai permintaan dari Komisi Perlindungan Anak. Susilahati dari Komisi Anak minta agar Norman diperiksa oleh seorang psikolog. Poerwandari mula-mula bicara dengan Sapariah dan aku. Kami menerangkan permintaan Komisi Anak bahwa Norman perlu diperiksa seorang psikolog. Janti Wignjopranoto membantu kami berhubungan dengan Pulih.

Lalu Poerwandari minta kami menunggu di ruang tamu. Dia hanya bicara berdua dengan Norman. Pertemuan inti adalah pertemuan dengan Norman sendiri. Menurut Poerwandari, percakapan dilakukan dalam bahasa Inggris karena Norman tampaknya jauh lebih lancar berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Selain itu, Norman juga bertugas menyelesaikan kalimat dan menggambar bebas.

"Norman dengan langsung memberikan jawaban yang mengena terhadap masalah, hampir tidak pernah memberikan jawaban yang berputar, menghindar atau berbelit-belit/tidak jelas. Jadi dapat disimpulkan bahwa ia sangat terbuka, sangat asertif menyatakan perasaannya, mampu mengutarakan pikiran dan argumentasinya dengan sangat jelas," tulis Poerwandari belakangan.

Sabtu, 24 November 2007

M. Th. Koesmiharti belum tiba di Jakarta. Aku kira Laksito Rukmi tak memenuhi janji untuk mengizinkan aku bicara atau bertemu dengan ibunya. Malam ini, Sapariah dan aku antar Norman ke Bintaro. Macet total gara-gara Jl. Deplu Raya ditutup. Ada empat jam aku tempuh untuk pergi-pulang Senayan Bintaro.

Senin, 26 November 2007

Norman menjalani tes psikologi di Yayasan Pulih. Kami pergi ke Bintaro sesudahnya dan terjebak kemacetan. Ada demonstrasi warga karena ganti rugi tanah belum beres. Lalu makan soto di Jl. RC Veteran. Norman merasa tenang dengan psikolog di Yayasan Pulih. Dia merasa mereka mau mendengar pikiran-pikirannya.

Selasa, 27 November 2007

Kami mampir di sebuah factory outlet di Bintaro, sekedar lihat-lihat. Norman membeli sebuah kaos polo warna hitam-merah serta sebuah bola kecil. Dia mendorong aku beli sesuatu tapi aku tak mau. Aku merasa sudah punya pakaian serta sepatu banyak. Kami juga mampir ATM BCA untuk ambil uang Rp 300,000 guna membayar uang pelajaran tambahan Norman di sekolah.

Rabu, 28 November 2007

Pagi ini, ketika aku jemput, Norman langsung cerita bagaimana Retno hendak memakai uang Rp 300,000 yang ada di dompet Norman guna beli bensin. Retno beralasan dia lagi tak pegang uang kontan dan harus harus beli bensin. Norman menolak meminjamkan uang sekolahnya. Dia bilang ini untuk bayaran sekolah. Kalau mogok, Retno mengatakan, artinya Norman harus bertanggungjawab. Norman menangis dalam mobil aku. Aku bisa merasakan kesedihan dia.

Norman tak pernah keberatan untuk membayari makanan atau minuman aku. Namun dia keberatan meminjamkan uang ke Retno. Aku kira ini disebabkan pengalaman buruk Norman dengan kebiasaan Retno memeriksa isi dompet Norman serta meminjam uang tanpa bilang.

Kami makan siang soto di Jl. RC Veteran. Kini sudah mulai jadi kebiasaan, bila pulang agak awal, Norman minta diantar makan atau belanja sesuatu. Ini kami lakukan sejak Retno membawa polisi untuk menjemput Norman dari apartemen kami. Norman merasa ingin bersama aku lebih lama, tak langsung pulang ke rumah dimana mereka menumpang di Bintaro.

Malamnya, Rudy Parasdio bangga cerita via telepon bagaimana Retno sudah membalas surat Komisi Anak. Rudy bilang Retno menawarkan "kompromi" dimana Retno bersedia menjemput Norman dari sekolah setiap siang. Ini untuk meringankan beban aku. Retno juga usul sekolah Norman dipindahkan dari Kemayoran ke sebuah sekolah nasional di Bintaro.

Rudy juga mengatakan Retno keberatan aku minta Taufik Wijaya "membohongi" ibunya di Baturaja. Retno bilang Taufik mengatakan Komisi Anak memanggil M.Th. Koesmiharti tiga kali.

Aku bilang sama Rudy apakah dia sudah membaca surat aku ke Komisi Anak? Disana sudah ada tawaran Retno agar dia yang menjemput Norman asal aku bersedia membayar bensin, tol dan parkir. Ujung-ujungnya duit juga. Bedanya, dulu Retno juga minta aku membiayai sopir untuk bekerja di tempat dia. Soal pindah sekolah, aku kira, Rudy perlu mendengar dari Norman dulu. Katanya, Komisi Anak harus melihat the best interesto of the children. Kenapa tak tanya anak dulu? Apakah cocok anak di tengah semester dipindah sekolahnya? Lantas siapa yang membayar uang pangkal dan uang sekolah Norman?

Sesudah bicara dengan Rudy Parasdio selama dua minggu, aku mulai merasa capek. Aku sudah mengadukan soal Norman kepada Komisi Anak sejak 20 Agustus. Sudah tiga bulan lebih, mereka belum menunjukkan kemajuan pekerjaan mereka untuk melindungi Norman. Mereka juga belum melakukan kunjungan rumah. Norman masih setiap hari mengeluh soal jarak Bintaro-Kemayoran.

Kamis, 29 November 2007

Norman senang sekali pagi ini karena siangnya akan tidur di Senayan. Sri Maryani mengirim SMS dan bilang dia hendak mundur dari pekerjaan mengasuh Norman. Dia merasa tidak nyaman lagi kerja di Bintaro. Aku minta dia bertahan lebih dulu. Ini sudah kesekian kalinya Yani hendak mundur dalam dua tahun terakhir. Aku kira Norman akan terpukul bila Yani keluar dari pekerjaannya. Aku bisa mengerti kesulitan gadis ini. Dia terjepit di tengah dua orang tua, sekaligus majikan, yang berantem terus. Aku bilang bila dia tak bisa bertahan, ya aku akan menyediakan uang pesangon sesuai hukum.

Thursday, November 29, 2007

Food Monster Cards

Norman created a new card game, calling it the Food Monster one. It basically has eight cards. He named them Chili Flame, Ice Golem, Biscuit Monster, Carrot Twister etc. Each card has a set of "weapons" and points. It is played by two people. It could also be played by three or four if Norman, the creator, is to draw more pictures.


Norman drew these pictures with the Window Paint program at his computer. I helped to print these cards in my color printer this Thusday afternoon after school. We used very sharp cutter to cut the cards and later laminated the cards in a photocopy shop near our house.

Each card has a name. Each card has a certain point. Unidentified Flying Pies has the highest score of 200. "I spend one night to draw a card," he said, adding that his idea to draw these cards originate from the Pokemon card with its own characters.

The game is to begin with the players throwing respectively a card. They will do the scissor-paper-stone to decide who will attack first. This is the most crucial part of the game. If you could always attack, which is nearly impossible, you could deduct the number of point's of your opponent's card. When your opponent's score is drained, he should draw another card. The one who loses the cards first is the lose.

Norman said he would like to show the cards to Badar Khan, his classmate at Gandhi Memorial International School. Both Badar and Norman have passions for this card gaming. I enjoyed playing the cards with Norman. He also told me the ideas behind each picture. He used carrots, pies, ice cream, chocolate, biscuits and other food to inspire his drawings.

The black Scream card was inspired by the characters of Dementors in Harry Potter's series. Norman collects the American edition of the series. They have pictures drawn by Mary GrandPre. Norman obviously admires the illustrations in the series. He also finished reading of J.K. Rowling's books.

Wednesday, November 28, 2007

Providing Clean Water or Dirty Business?

By Andreas Harsono*

BANDUNG, Indonesia (IPS) - Annur Sukarya takes tap water from his house and sells it, in 30-litre jerry cans, at a price more than six times what he pays to the Bandung Public Water Co, known locally by its Indonesian acronym PDAM.

Sukarya lives in Cicadas, one of Bandung’s oldest and most crowded working-class areas. He sells a jerry can of water at 500 rupiah (six US cents). Those who bring the water to consumers subsequently sell the water at 1,000 rupiah per jerry can.

Cicadas consumers, like Harry Harsono, pay 5,000 rupiah (60 cents) for a cart of five jerry cans. "We obviously also need to tip the delivery man," he said wryly.

Cicadas is one of the areas where PDAM rates very poorly. Many houses have tap water albeit no running water. "Sometimes we joke that we pay only for the wind going through our (water) pipes," quipped Harsono. Water flows through his tap only every other day. "It’s only one hour, between 5:30 and 6:30 in the morning," he said. His neighbours use water from their wells to bathe, but buy Sukarya’s water for drinking and cooking.

Bandung is Indonesia’s fourth largest city about two hours drive up the mountains from Jakarta. Its population has increased from one million in 1961 to more than three million today, bringing with it chronic problems of waste disposal, floods, chaotic traffic system and a water crisis.

Today, PDAM serves not more than half of Bandung’s population. Officially, it cannot install new water taps, but residents say corrupt officials can always benefit from new installations at marked-up prices.

"Almost all houses in Kopo Permai have no tap water," pointed out Rufina Handayani, a homemaker in the Kopo Permai area. Handayani buys eight to nine gallons of water for drinking and cooking at 4,000 rupiah (48 cents) per gallon. She spends 1.3 million rupiah (150 dollars) per month on water.

Mulyani Hasan, a young journalist who lives by herself, pays 800 rupiah (less than 10 cents) per jerry can in her Ciwastra neighborhood. "I can’t even use my well water to brush my teeth. It’s so murky," she said.

Her home is located behind a complex of shopping malls, office buildings and upmarket hotels, so residents suspect that they use powerful pumps to suck up water from deep artesian wells. "The water vendors sell water from their PDAM taps. If I want to install my own tap, I have to pay five million rupiah (575 dollars)," she said.

Fitriadi Alibasah, a broadcaster at radio Mara FM, said that water complaints reach his station everyday. Most callers complain about taps that stop running, erroneous bills or vanishing water meters.

"Some people also complain when seeing that their neighbors have a new installation when officially PDAM, for many years, has been saying no more new installations due to the lack of water sources," said Alibasah.

"Suddenly I received a bill, stating that I have not paid for tap water for some years. It totalled 800,000 rupiah (96 dollars) when I usually pay only 30,000 (3.6 dollars) a month," recalled Ati Kusmiati, a homemaker in Turangga area.

She had not kept all her water receipts, and had to pay up. "Later it happened again, but this time I kept all my bills. I showed them the receipts. PDAM just decided that it was a mistake. That’s all," she said.

PDAM spokeswoman Melliana Saptarini routinely addresses the concerns of the public with her daily routine reply: "We apologise for the inconvenience. We will send our officials to investigate the problem." Sometimes, something happens. But most of the time, nothing does.

In 2002, the Bandung government had plans to privatise PDAM. The Adelaide-based South Australia Water submitted a proposal to take over PDAM. It also offered to pay the water utility’s debts to international creditors.

But PDAM president Soenitiyoso Pratikto rejected the plan and mobilised his workers to rally against it on nationalist grounds. The plan was shelved. Ironically, a few months later, police questioned Pratikto on corruption charges. His collaborator was found guilty of embezzlement in connection with a pipe laying project.

In October, Pratikto’s successor Jaja Sutardja publicly said that the company plans to ask Indonesia’s Ministry of Finance and the House of Representatives in Jakarta to write off PDAM’s debt, which now totals 300 billion rupiah (33 million dollars).

Not everyone in Bandung is happy with this idea. "It means that they want to wash their hands (of the problem)," said Harry Harsono. His colleague, Fauzi Zulkarnain, added that PDAM is run like a mafia network. "Everybody knows it has many thieves and robbers," he said.

Dadan Junaedi, an activist with the Working Group for Water Community, argues that the problem is one of management. "It’s not transparent. We don’t know for sure how they manage PDAM," he said. According to an Eco Asia survey, PDAM is among 44 water companies whose prices and expenses are considered reasonable.

Bandung residents have been living with water woes for more than 50 years, and find that they have few options these days. They can either bribe PDAM officials to install expensive water taps or set up a deep and costly artesian well.

But poor people like those living in Cicadas or Kiara Condong cannot afford these and have to rely on water vendors like Sukarya.

Pointed out Junaedi: "The government should solve this problem. Water is a human right."


* This story is being distributed by IPS Asia-Pacific under a communication agreement with the Asian Media Information and Communication Centre, in Singapore, which produced it. (FIN/2007)

Monday, November 26, 2007

Tahuna revisited


By Edwin G. Espejo
Sun Star Philippines

THIS time the ride was fast and easy. Touching down Tahuna airport at 12 minutes past 10 in the morning Wednesday last week was a breeze.

It was a clear sunny day and the weather was excellent.

As soon as we disembarked from the Fokker 50 plane of the Philippine Air Force, we were met by a full brass, nay bamboo, band from our host Sanghirees.

For Eastern Mindanao Command chief Lt. Gen. Cardozo Luna, it was his first ever trip to the island city of Tahuna, part of the Sanghire Regency of the province of North Sulawesi. So was it for General Santos City mayor Pedro Acharon.

It was the second visit this year for Sarangani Governor Miguel Rene Dominguez.

The North Sulawesi province of Indonesia is Mindanao's nearest neighbor in this part of Southeast Asia with the Marore Island just a little over 40 nautical miles from the town of Balut Island in Davao del Sur. So near is Tahuna that traveling to Cebu from Davao takes longer by 12 minutes.

Okay, the Tahuna airport looks more like an airstrip but Sanghire Regent Winsulangi Salindeho said our aircraft was the first-ever international flight that landed in the island, which early this year celebrated its 548th foundation anniversary.

A former Dutch colony, Tahuna Island looks every bit like any province in Mindanao except for the chinkee trees which leaves are major ingredients to the distinctively aromatic Indonesian cigarettes Filipinos here in the Socsksargen area either love to puff or hate to smell.

On our way to a 17-kilometer winding ascent and descent ride from the airport to the city proper, rows of aged coconut, nutmeg and chinkee trees lined up the road and deep into the mountains.

With a population of just over 100,000, Tahuna is relatively prosperous and life is laid back. Policemen carry no guns and Christians and Muslims in the island live in peace and harmony.

It is strategically located along the migratory path of major tropical tuna fish specie and thus serves as an important forward post for the Indonesia government.

Its proximate location to Mindanao, however, also makes Tahuna a potential trading and fishing industry partner for businessmen in the Socsksargen area.

It is no coincident that many Filipino fishermen have been arrested and detained in Tahuna for going astray into and fishing in Indonesian waters.

When we made a stopover at the Tahuna port, six Filipino fishing boats were still moored there, confiscated by the Indonesian authorities and their crew detained.

A week earlier, 20 Filipino fishermen were repatriated and 10 more were scheduled to finally go home aboard a Philippine Navy ship that docked at the port to end a three-day joint border patrol exercise with its counterpart in the Indonesian Naval Forces.

The Sangihe regency of Indonesia shares historical and trading ties with the island of Mindanao.

Sarangani province and its bay, where more than 4,000 Sanghire residents are registered, and the nearby Sarangani Island of Davao del Sur in fact derived their name from the Malay dialect meaning 'come here'.

North Sulawesi governor S. M. Sarundajang said some the Philippines and Indonesia have more than 5,000 root Malay word that they share in common.

The Marore and Miangas islands of North Sulawesi were historically part of the Philippine territory under the Treaty of Paris, just as Sabah was once part of the Sultanate of Sulu.

But for some political blunders, the Marore and Miangas islands were ceded, by default, to Indonesia during an assembly meeting of the United Nations more than 50 years ago.

Indonesian journalist Andreas Harsono even listed the Miangas Island as the one Mindanao area he had gone to during a workshop of Southeast Asian journalists held in Eden Nature Park early this month.

Harsono said the Indonesian government is planning to build an airstrip in Miangas Island. This was confirmed Sarundajang during our brief visit last November 21.

When I went to Tahuna for my first travel abroad in January this year, our party had to endure the rough seas during a 12-hour trip on board a private yacht where 76 of us were cramped in a space comfortable only for 25 people.

The trip was a reciprocal visit organized by the provincial government of Sarangani and the Sarangani Chamber of Commerce and Industry.

Looking forward to increased trade and commercial ties, the delegation then headed by Sarangani governor Miguel Rene Dominguez signed a memorandum of understanding with the local government and chamber of commerce of Tahuna City.

The memorandum includes border crossing, trade and educational agreements and cultural and educational exchanges.

By then, Tahuna traders have already been exporting copra products to Cargill Philippines in General Santos.

Most of Tahuna City's consumer products, particularly kitchen wares and fishing accessories, are imported from the cities of Davao and General Santos.

Why, there is even a small place named after the famous Gaisano chain of department stores in the heart of Tahuna's business district. At the store, owned by Chinese Indon nationals, you could swap your peso for the rupiah as banks in the island don't offer foreign exchange other than the American dollar and Japanese yen.

Tahuna residents are hospitable and friendly. They always look forward to getting hold of our Philippine peso for remembrance.

They are also agog over Coca-Cola products costing over P100 in Indonesian rupiahs for a one-liter bottle. Our famous rum product, Tanduay Rhum, is very much sought after by Indon residents in the island. And vinegar is a valued commodity. Although the island is literally littered with coconut trees, Indonesians don't share the Filipinos' passion for coconut wine.

Local residents there, however, said some Filipinos who had married and had been assimilated in the community are tapping coconut trees for coconut wine for personal consumption.

Animal lovers would surely frown on Tahuna residents as dog meats are regular fares in restaurants and cafeteria. Of course, they came in hot and spicy.

But for Filipinos who love tropical fruits, Tahuna is the island for you. When in season, a three-kilo basket of lanzones (longko in Sangihe) costs just a little over P10, mangosteen at P15 for the same basket size and durian sells per piece at P10. Yes, Tahuna residents still are not used to selling their fruits by the kilo and the bamboo baskets that go along with them are for free.

Tahuna residents are very protective of their island. It is prohibited to bring out fruits from the island to other parts in the region except in Indonesia.

The island's beauty, however, lies not on top of the island but underneath its seas where a live volcano spews hot bubbles into the water. The corral reefs surrounding the island are a paradise for underwater enthusiasts.

So are the pelagic and deep-sea marine life in the waters shared by Mindanao and the northernmost islands of the Sangihe region.

There, according to fishing tycoon Marfenio Tan, fishes die of old age.

These historical and cultural affinities and trade relations between the Sanghire Regency of North Sulawesi and the Socsksacrgen region in Mindanao are the core issues that local governments from both sides are now trying to renew and strengthen.

When it was time to leave, the feeling I had was one who just visited a neighboring province of Mindanao.

The sun was still above the horizon but when we touched down at the General Santos City airport it was already dusk.

Wednesday, November 14, 2007

Messages from Norman


I kept some messages from my son Norman in my handphone. Everytime I miss him, I open his messages, trying to figure out how he is doing. I love my son so much. He also loves me as much. Norman basically expressed his feeling and his sadness in these messages.

My Nokia mobile, however, is an old one. It does not have enough memory to store all these messages. I am writing them here so that I could use the telephone inbox in these difficult days.

4 Nov 20:28 - Have a speedy recovery from norman ps I miss u like bloody hell
Norman sent this message when I was having cold in Davao City.

6 Nov 18:27 - Pa so sad without u
Norman was staying with his mother, we just met each other this morning when I picked him up for school.

6 Nov 19:09 - Want 2 b with u
Norman often says that he wants to live with me rather than with his mother. The current arrangement is five days with his mother and two days with me. Norman wants to change that. He wants to be able to decide where he lives.

7 Nov 6:49 - Pa got detention for not bringing the form
His mother wrote a wrong address in a school form. I asked Norman to ask another form. But his teacher detained him during the school break.

10 Nov 18:57 - Love u 2, I'll ft

11 Nov 2007 18:44 - Hope we win
It seems to me that we have to file a lawsuit on Norman's custody. We have to go to court. Waiting the Children Protection Commission to produce a progress is too long. We have been filing a petition since August.

11 Nov 2007 20:11 - Hope court work fast, dont want u 2 sacrifice
I told Norman that if we love someone, we will sacrifice ourselves for him or her. Love is anmeasureable. But there are some things that we could measure i.e time, money, energy. I love Norman that I could use my time, my money and my energy to help him out.

11 Nov 2007 20:47 - Then I'll wake up at 5 or 4
When he knows that I wake up very early everyday, prior to picking him up for school, Norman also decided to wake up early.

13 Nov 2007 14:23 - Want 2 go 2 senayan, traffic bintaro 2 far
Norman sent this message when facing a traffic jam going to Bintaro from school. He usually spend at least two hours going back from school.

Sunday, November 11, 2007

Retno Menuduh 'Pembohong'


Malam ini Retno Wardani tiba-tiba kirim SMS dan menuduh aku "pembohong." SMS dikirim pukul 18:29. Isinya, "Waktuku kamu ambil dan km pembohong. Bbrp menit yg ll km msh di bogor!"

Ini satu contoh lagi kengawuran Retno. Ceritanya, Retno menjemput Norman sekitar pukul 17:45. Sri Maryani, pengasuh Norman, naik ke apartemen kami pukul 17:50 ketika Norman masih menonton televisi. Sapariah dan aku sedang melayani dua mahasiswa komunikasi Universitas Padjadjaran. Mereka lagi bikin skripsi. Kami membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Aku minta tolong Yani dan Erni Pasar, pembantu kami, guna mengambil komputer dan layar monitor Norman guna dipindahkan ke mobil Daihatsu Taruna milik Retno. Dia menunggu di tempat parkir. Aku memang sebelumnya minta Retno menjemput Norman dari tempat kami di Senayan. Aku mengambil komputer Norman, yang diperbaiki Microsoft-nya, dari satu toko komputer di Ratu Plaza hari Kamis. Tapi kami sudah ada di rumah ketika dia datang.

Mengapa Retno menyebut aku ada di Bogor?

Pagi ini, sekitar pukul 8:00, bersama beberapa rekan Yayasan Pantau, kami pergi ke rumah pengarang Remy Sylado di Bogor. Norman dan Sapariah ikut. Tujuannya, menyampaikan persiapan diskusi dengan Remy soal penulisan bulan depan.

Sekitar sejam di rumah Remy, kami cari makan di Bogor lalu kembali ke Jakarta. Jarak tempuh Bogor-Jakarta hanya sekitar satu jam setengah. Namun Bogor macet sekali. Kami baru kembali ke Senayan pukul 14:00. Aku sempat tidur siang di kamar Norman. Norman bermain sendiri dan nonton televisi.

Pukul 15:00, aku bangun ketika dua mahasiswi itu sudah tiba di lobby apartemen. Aku kirim SMS kepada Retno. Aku beritahu Retno kalau aku tak bisa mengantar Norman ke Bintaro. Malamnya, sesudah menemui dua mahasiswa ini, aku ada janji makan malam dengan George Junus Aditjondro. Aku janji menjemput Aditjondro di hotelnya pukul 19:00 di Menteng.

Ada banyak saksi, dari rekan Yayasan Pantau, termasuk Eva Danayanti, Dayu Pratiwi, Rina Erayanti, Siti Nurrofiqoh, Linda Christanty dan Mas Udin, hingga Sapariah dan Norman hingga mertua aku, hingga dua mahasiswa, yang menemui aku di rumah. Semuanya menyaksikan aku sudah tidur siang dan menemui mahasiswa. Tidak benar bahwa aku "beberapa menit lalu" baru tiba dari Bogor.

Tapi begitulah Retno! Pikirannya sering kemana-mana.

Di mobil, ketika komputer sudah masuk dan aku mengantar Norman menemui Retno, Sri Maryani menyampaikan perintah Retno agar mulai Senin besok, sopir kami menjemput Norman pagi hari di rumah Bintaro. Sejak Agustus lalu, ketika Retno secara sepihak memindahkan Norman ke Bintaro, dia setiap pagi mengantar Norman ke Pondok Indah. Kami menjemputnya di Pondok Indah dan diantar ke sekolah. Sorenya, kami mengantar Norman hingga tiba di Bintaro.

Kini Retno maju selangkah lagi. Dia memerintahkan aku menjemput Norman pagi hari hingga ke Bintaro. Artinya, kalau sekarang aku harus berangkat dari Senayan ke Pondok Indah setiap pagi pukul 5:30, maka berikutnya aku harus berangkat pukul 5:00 ke Bintaro. Aku menolak perintah ini.

Wednesday, November 07, 2007

Mindanews in Davao City


This Monday I visited the office of Minda News, an alternative news service based in Davao City, at 19 Leo cor. 17 Venus Sts., GSIS Heights. It is a housing neighborhood in the Matina area. The office occupies a two-floor wooden structure.

"This is our Mindanao!" said editor Carolyn Arguillas

Mindanao News and Information Cooperative Center (MNICC) is a cooperative composed of independent, professional journalists who believe and practice people empowerment through media. It is the organization of Mindanews.

They said in their website, "We believe that Mindanao is not all bad news and that our responsibility as journalists and information providers is to ensure a mixed balance of reports beyond the usual fare published in national newspapers or aired on radio and TV."

Anil Netto (striped shirt), Carolyn Arguillas (in blue shirt), BJ Patinio (beside the computer), Myra T. Miraflores (in stripe shirt) and John Louie de la Victoria in Mindanews office.

Photos by Frolan Gallardo

Sunday, November 04, 2007

Workshop in Eden Nature Garden, Davao


Selama tiga hari aku ikut sebuah workshop jurnalisme di Eden Nature Garden, sebuah tempat peristirahatan, masih berhutan, banyak burung berkicau, pakis raksasa, serta permukaan tanah dengan lumut tebal, sekitar satu jam naik mobil dari Davao City.

Aku tiba di Davao City Jumat siang, sesudah transit semalam di Singapura. Di airport Changi, bertemu dengan rekan-rekan lama, Prangtip Daorueng (Kuala Lumpur), Anil Netto (Penang) dan Teh Gek Lan (Penang). Mereka terbang dari Malaysia, aku dari Jakarta. 

Kami terbang dengan Silk Air, sekitar dua jam lebih. Kami dijemput di airport Davao City, Pulau Mindanao. Udara panas. Makan siang di tengah jalan. Lalu menempuh perjalanan satu jam menuju Eden Resort, daerah Toril. Udara sejuk. Ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut.

Acaranya, Sensitivities and Challenges in Covering Conflict: A Seminar-Workshop for Mindanao Media Practitioners. Kami baru mulai Sabtu pagi.

Ini kesempatan belajar tentang pergolakan di Mindanao. Dari Moro National Liberation Front pimpinan Nur Misuari hingga Moro Islamic Liberation Front, yang berbendera Islam. Rufa Cagoco-Guiam, profesor dari Mindanao State University, adalah organizer acara ini. Dia cerita banyak soal bagaimana media Manila sering memakai istilah dan frasa yang keliru soal pergolakan ini.

Ada juga Carol Arguillas, editor Minda News, memaparkan soal capeknya wartawan di Mindanao dengan segala acara yang berbendera "jurnalisme damai." Ada banyak yang rumit, yang tak bisa diterangkan hanya dengan memakai slogan tersebut.

Glenda M. Gloria dari Newsbreak juga bicara soal bagaimana media Manila mencitrakan kalangan minoritas di Mindanao. Di Mindanao ada beberapa kelompok etnik: Tausug, Maguidanao, Sama dan lainnya. Orang-orang ini kebanyakan beragama Islam. Dulu, mereka dikuasai oleh kesultanan Sulu dan Maguidanao hingga Spanyol datang.

Sejak 1898, Amerika Serikat yang mengalahkan Spanyol, mengambil alih koloni Spanyol ini. Mereka mendorong orang-orang Kristen datang ke Mindanao. Kebanyakan pendatang ini datang dari pulau-pulau Luzon dan Visayas. Mereka  diberi tanah. Mereka didorong untuk tinggal di Mindanao. Inilah cikal bakal pertikaian hari ini. Ada diskriminasi. Ada sengketa lahan.

Aku ikut sebuah diskusi kelompok tentang apa yang bisa dikerjakan wartawan dan akademisi Mindanao guna meningkatkan mutu jurnalisme disini. Mereka tertarik untuk belajar tentang narrative reporting yang diadakan Yayasan Pantau di Jakarta dan Banda Aceh. Kami bicara tentang kemungkinan membawa beberapa instruktur Pantau ke Davao City.

Ada sekitar 20an peserta. Diskusi-diskusinya menarik sekali. Eden Garden menyediakan kamar-kamar yang sejuk. Malam hari sangat gelap. Kami makan dari kebun organik. Ada rusa dan buruk merak dipelihara bebas. Ini sangat mendukung acara diskusi. Tempat yang ideal untuk belajar dan menulis.

Resort ini praktis ada di dalam hutan. Aku tidur di sebuah cottage, terletak di atas sungai, airnya deras. Kamarnya standar. Ada double bed, meja, televisi, rak baju dan kamar mandi. Ada air panasnya. Namun indahnya, kamar ini terletak di atas tebing sungai. Tingginya dari sungai sekitar 15 meter. 

Tempat workshop sekitar 1 kilometer dari cottage. Saking gelap dan luasnya, aku kesasar beberapa kali, pagi maupun malam.

Sinyal telepon jelek. Kadang ada, kadang tidak. Kalau agak tinggi, bisa dapat sinyal. Tapi di cottage, tak ada sinyal. Namun pihak resort menyediakan wi-fi di ruang workshop dan lobby mereka. Aku tinggal bawa laptop dan internet sambung. 

Malam hari langit gelap, bisa melihat bintang. Ini sebuah kebiasaan masa kecil aku, yang tentu saja, tak bisa dilakukan lagi di langit Jakarta, yang penuh polusi cahaya lampu.

Friday, November 02, 2007

Blogger, Pluralisme dan Negara Indonesia

Sebuah blog bisa menamatkan karir seorang politikus. Apa yang terjadi bila sekitar 400 blogger berkumpul di Jakarta?

Oleh IMAM SHOFWAN


SABTU itu lebih dari 400 orang, kebanyakan lelaki umur 20an atau 30an tahun, memadati Mega Blitz, sebuah teater di daerah Kebon Kacang, Jakarta. Kebanyakan dari mereka mengenakan blue jeans dan kaos, tapi ada juga beberapa oom-oom dengan rambut memutih, ikut datang. Acaranya, "pesta blogger" dengan talk show, diskusi, cekikik-cekakak plus makan siang. Antrian panjang tapi rapi serta diskusi muncul sana-sini. Para blogger ini juga saling sapa, ambil foto, ingin tahu siapa-siapa, yang mereka kenal dari blog walking.

Anehnya, dan ini biasa dalam peradaban masyarakat Jakarta, acara ini diberi label “pertemuan nasional." Pesertanya, diklaim datang dari Kuala Lumpur, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Mataram plus dua orang dari Poso. Slogannya, lebih kemlinti lagi, "Suara Baru Indonesia." Peserta terjauh, datang dari Poso, seorang wartawan, yang pernah dituduh ikut makan uang dana pengungsi Poso bersama Bupati Poso Andi Asikin Suyuti!

Wimar Witoelar, seorang kolumnis-cum-blogger-cum-pemandu talk show-cum-mantan juru bicara presiden Abdurahman Wahid, boleh dibilang jadi pusat perhatian kerapatan ini. Bukan hanya berkat ukuran badan besar, atau baju warna jingga, lengan pendek longgar, serta berat suara tawa dia, tapi juga kelihaian Witoelar memandu perbincangan. Dia buat celetukan lucu, ringan tapi serius. Dia bikin acara ini bernas, tak slogan melulu. Witoelar duduk di panggung dengan empat tamu.

Pembukaan, Witoelar bilang dia merasa mendapat kehormatan bisa diundang anak-anak muda. "Tidak banyak orang tua diundang acara beginian," katanya. Grrrrrr. Witoelar bilang ada 482 blogger yang bergabung dalam acara di Mega Blitz pagi itu. Lawan bicaranya tiga blogger—Andrianto Gani, Enda Nasution, Budi Putra—serta politikus: Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh.

Witoelar santai saja. “Pak Menteri belakangan,” katanya.

Suasana begini mungkin luput dari pemberitaan suratkabar Jakarta. Kebanyakan wartawan Jakarta, yang belum bisa menghilangkan gaya pemberitaan warisan Orde Baru, tentu saja, mengutip pejabat dan pejabat. Maka Muhammad Nuh dikutip dengan mengatakan pemerintah tak akan membredel blogger. “Sudah bukan zamannya,” kata Nuh. Kedua, Muhammad Nuh juga dikutip menyatakan hari Sabtu itu, 27 Oktober, sebagai "hari blogger nasional … milik kita bersama." Nuh juga memberi hadiah laptop.

Sebut saja Koran Tempo, The Jakarta Post dan Bisnis Indonesia, ramai-ramai menaruh omongan Nuh dalam headline mereka. Tak ada yang kritis bertanya: apa pula blogger nasional itu? Tak ada yang usul agar para blogger, misalnya, dari Lhokseumawe, Singkawang, Tomohon, Maumere, Sorong atau Niki-niki, diajak bicara dulu sebelum main klaim “blogger nasional.” Soalnya, peradaban Jakarta, dari zaman Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, dari konglomerat media hingga blogger amatir, belum punya kebiasaan berpikir kritis soal label “nasional”.

"Blogger itu majemuk, ada yang serius, ada yang nggak serius. Ada yang bermutu, ada yang nggak bermutu,” begitu tutur Wimar Witoelar. Para blogger pun bertepuk tangan.

Lalu dia mengajak tiga blogger bicara. “Pak Menteri, takut macet, silahkan kalau mau pergi dulu. Ini nggak ngusir lho!” kata Witoelar. Muhammad Nuh izin pergi dulu. Dia harus mengejar pesawat. Maka Nasution, Budi dan Gani dapat giliran bercerita. Intinya, mereka ingin blogger bisa jadi media ekspresi baru, yang mampu menyuarakan pikiran, pendapat dan perasaan para blogger di Indonesia, dengan lebih bebas dan lebih jujur dari media mainstream—Nasution kemudian menyebut nama harian Kompas. Budi bilang bagaimana pun bagus hosting-nya, tapi content yang menentukan bagus tidaknya suatu blog.

Talk show riuh-rendah. Banyak yang tanya, banyak yang komentar. Tapi juga banyak yang plok plok plok. Witoelar senyum terus. Suasana enak. Apalagi ketika mendekati acara makan siang.

Blog atau weblog mulai masuk dalam kesadaran khalayak media pada 1999 ketika sebuah perusahaan California, Pyra Labs, meluncurkan Blogger.com. Ia dirancang sebagai sebuah sistem publikasi internet. Mekanisme kerjanya dirancang untuk orang yang secara teknologi kurang melek. Ia berkembang cepat. Pada 2002, orang sudah bisa menerbitkan teks, gambar, suara maupun video dalam blog mereka. Politikus korban pertama blog adalah Trent Lott, ketua Partai Republik di Senat Amerika, ketika ucapannya yang rasialis, menjalar dalam berbagai blog dan mailing list. Lott akhirnya mundur. Blogger juga membuat Howard Dean jadi kuda hitam dalam pencalonan kandidat presiden Partai Demokrat pada 2004. Ironisnya, media mainstream praktis tak memperhitungkan blog.

Blogger jadi mencuat dan bersinergi dengan media mainstream ketika tiga bom meledak di London pada 7 Juli 2005. BBC minta bantuan blogger untuk memberikan informasi, gambar maupun video. BBC bahkan menyediakan ruang, baik dalam versi radio, televisi mapun situs web, buat informasi yang datang dari warga.

Singkatnya, “blogger Indonesia” mungkin harus ditanya, apa arti kata ‘indonesia’ yang menjadi predikat mereka? Acara blogger ini sendiri digagas, satu setengah bulan sebelumnya, oleh bukan hanya warga Indonesia. Memang ada Enda Nasution, Budi Putra dan Gani. Tapi satunya lagi adalah Ong Hock Chuan dari perusahaan public relations Maverick. Ong mantan wartawan harian Asia Times (Bangkok) dan warga negara Malaysia. Ong lama tinggal di Jakarta. Pertemuan pertama panitia pertemuan ini berlangsung di kantor Maverick di Jl. Belitung, Jakarta. Ong juga blogger rajin.

Witoelar ringan saja bilang, “Kita bukannya mau menyaingi Sumpah Pemuda ha ha ha….”

Ong pula yang bantu mencarikan tempat, sponsor dan sebagainya. Beberapa sponsor besar berhasil dirangkul: Microsoft, Nokia dan XL. Masing-masing membantu sebesar Rp 50 juta. "Tigapuluh juta cash dan 20 juta barang," tutur Enda Nasution. Selain itu, muncul dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Nasution getol bilang terima kasih untuk para sponsor. Wajar saja. Tanpa Rp 90 juta itu, para undangan tak bisa makan siang. Demokratisnya, setiap kali nama Microsoft disebut, tanggapan dari khalayak di Mega Blitz adalah … hu hu huuuuu. Microsoft tampaknya tak punya banyak teman di kalangan blogger Mega Blitz.

Lebih dari itu semua, dari slogan hingga nasionalisme, banyak peserta yang puas dengan acara ini. Misalnya, Tiara Ischwara, pemilik www.lolipops.multiply.com, menganggap blog sebagai media alternatif. Tiara sehari-hari bekerja di Brisbane, Australia. Dia menggunakan blog untuk berbagi cerita dengan keluarganya di Jakarta. "Lebih bebas mengeluarkan pendapat, lebih pribadi," tuturnya. Tiara sedang berlibur di Jakarta saat datang di pesta blogger.

Blogger macam Tiara, mungkin sulit dibayangkan akan bikin Muhammad Nuh dan establishment Jakarta, dag dig dug. Tapi blogger macam Witoelar, yang langganan dibredel program televisinya, baik zaman Soeharto maupun zaman Yudhoyono, yang harusnya bisa mengikuti jejak blogger asli di California sono dan bikin dag dig dug media mainstream serta para penguasa.***


Imam Shofwan adalah kontributor sindikasi Pantau dan tinggal di Jakarta.

Thursday, November 01, 2007

Geylang, 1 November 2007


Kamis pagi aku menjemput Norman di persimpangan Pondok Indah guna pergi ke sekolah. Badannya agak hangat. Rabu sore, dia datang ke apartemen untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dia harus belajar bikin link antara presentasi Power Point dan lagu-lagu. Namun suhu badannya hangat. Dia tidur di sofa ruang televisi.

Malamnya, dia dijemput Retno untuk pergi ke Bintaro. Retno mulanya minta aku mengantar Norman ke Bintaro. Tapi Norman masih tidur. Retno menyatakan ketidaksenangannya Norman tidak langsung pulang ke Bintaro. Begitu bangun, Norman langsung cuci muka, mengemasi barang-barangnya dan turun ke lobby menemui Retno.

Pagi ini, aku merasa badan Norman masih belum fit benar. Sesudah Norman ke sekolah, diantar sopir, aku siap-siap pergi ke Cengkareng. Naik pesawat Singapore Airlines, dari Cengkareng menuju Changi Airport. Hanya sekitar 75 menit. Penerbangan mulus. Aku dalam perjalanan menuju ke Davao City, Pulau Mindanao, namun harus transit semalam di Singapura.

Di Changi, mulai terima SMS dari Norman. Dia sedang istirahat makan siang. Kami tukar-tukaran pesan. Aku ingatkan dia untuk makan banyak. Norman kebetulan suka dengan makanan di kantin sekolah.

Aku bilang aku masih di Changi, ambil uang dari ATM, lalu booking hotel, cari yang termurah, lalu naik kereta api ke stasiun Aljunied. Norman minta dicarikan serial komik Asterix Operation Getafix. Aku janji akan carikan di Orchard Road. Sapariah dan aku sudah pernah cari serial ini di seluruh toko Jakarta, Kuala Lumpur dan Roma, tapi tak ketemu.

Aku menginap di Frangrance Hotel Ruby di daerah Geylang. Kamar kecil. Ia juga terletak di red light area serta tempat-tempat makan. Anthony Bordain pernah makan disini dalam acara No Reservation. Ada beberapa lusin rumah tua, arsitektur Cina, di daerah ini. Sebagian jadi tempat makan, namun ada juga hotel-hotel kecil. Rumah-rumah ini, ada yang dua tingkat, ada yang tiga, berdiri di antara gedung-gedung tinggi.

Ketika sudah sampai di Orchard Road, Norman kirim SMS lagi, dia ternyata masih ada di jalan. Kasihan sekali. Dia harus ikut pelajaran tambahan. Dia bilang ingin tak masuk sekolah besok.

"I is sun set still in p i what hf no school tomarrow still sick," kata Norman (17:38).

"Too weak to think cant even jump" (17:48).

Aku bilang kalau sakit, jangan masuk sekolah. Aku minta dia kasih tahu Sapariah agar bisa diteleponkan sekolah.

Sapariah juga kirim kabar. "Kek, hari ini jam 5:30 norm masih di jalan. Pasti capek. Td yani telp, dia masih demam. Mungkin bsk ga masuk sekolah. Biar dia rehat ya ga apa." (18:11)

Di Orchard Road, aku menuju toko buku Kinokuniya di Takashimaya. Ini sebuah mall besar. Aku menghabiskan waktu sekitar tiga jam, cari-cari buku. Menurut petugasnya, serial Asterix itu baru akan cetak lagi Mei 2008 untuk hardcover, sedang paperback tahun 2009. Aku belikan diary Anne Frank untuk gantinya. Aku kira Norman akan suka buku klasik ini.

Dari Orchard Road, kembali naik kereta api ke stasiun Aljunied, makan malam di satu warung. Saat itulah masuk pesan, "Slmt mlm P Andreas, tlng tlp 702xxxxx saya oleh B Susi/KPAI ditunjuk tim permasalahan bpk, tk salam (RUDY Parasdio)." (19:11) Kehidupan malam Geylang muncul. Pelacuran sebenarnya illegal di Singapura.

Aku minta Sapariah untuk menelepon Rudy. Aku harus hemat dengan urusan telepon. Aku harap Komisi Perlindungan Anak Indonesia lebih cepat bekerja, melakukan kunjungan rumah. Sudah hampir tiga bulan, proses pengaduan ini berjalan, mereka belum melihat keadaan di lapangan. Kini ada petugas baru masuk. Aku harap prosesnya tak diulang dari awal lagi.

Closure dan Perceraian


Dear Mas Andreas,

Saya mulai membaca blog ini waktu libur Lebaran kemarin. Rasanya seperti mengenal sepenggal dari siapa Anda, secara profesional dan personal. Saya tak tahan untuk tak berkomentar, setelah sekian minggu membaca episode kehidupan Anda.

Latar belakang saya adalah psikologi. Saya bekerja di bagian SDM selama lebih dari 20 tahun, di berbagai perusahaan, dan juga berbagai negara. Saya berhadapan dengan manusia, dari berbagai lapisan, golongan, kelompok usia, day in day out.

Saya sangat berempati dengan kejadian yang menimpa Anda, Mbak Sapariah, Norman dan mantan isteri Anda, Mbak Retno. Bukan hal yang mudah untuk dijalani. Terutama bagi Norman.

Saya sendiri mempunyai dua anak laki-laki, usia 19 dan 16 tahun; dan tak pernah membayangkan bahwa anak laki-laki mempunyai “radar” sensitivitas yang sama tingginya dengan perempuan (saya membandingkan dengan diri saya sendiri tentunya). Ketika saya sedih kehilangan ayah saya, di kala saya marah, dan sedikit perubahan di air muka saya, maka anak-anak dapat langsung mendeteksi.

Tidak bisa saya membayangkan apa yang dialami oleh Norman secara beban psikologis; dan trauma atau pengaruh apa yang membekas nantinya di perjalanannya menjadi tumbuh dewasa. Yang pasti, pada saat ini, dia belum siap untuk menghadapi deraan psikologis seperti yang dialami. Baik dari sisi mantan istri Anda, maupun melihat kesedihan mendalam yang Anda jalani. Ini juga yang mempengaruhi Norman menjadi seorang anak yang cenderung introvert (dari apa yang saya baca) dan salah satu channeling reaksi fisiknya adalah asma yang diderita, atau menurunnya prestasi di sekolah.

Dan saya fikir hal ini tidak fair, menjadikan Norman sebagai “tumbal” atau punching bag yang tidak berdaya, dari kekesalan Mbak Retno dan kesedihan mendalam/rasa frustrasi Anda, langsung maupun tak langsung.

Yang terlintas dalam benak saya setelah membaca apa yang terjadi selama ini adalah bahwa belum adanya “closure” antara Anda dan mbak Retno. closure ini dalam artian penyelesaian perasaan, emosi antara Anda berdua; lebih dari sekedar pembagian harta, penentuan hak dan kewajiban, atau hal lain yang sifatnya memenuhi persyaratan hukum. Saya masih membaca rasa tak terima, rasa marah dan rasa ingin balas dendam atau “getting even” dari Mbak Retno. Meski di lain sisi, Anda berusaha sebaik mungkin untuk mencukupi dari apa yang diwajibkan.

Closure pertama berupa perceraian adalah sebuah milestone besar yang memberikan batasan antara status menikah dan tidak menikah. Tetapi yang terlibat di dalamnya adalah dua orang, yang selama enam tahun atau lebih, telah bergelut secara emosi, perasaan, perjalanan hidup bersama dsb.

Di pihak Anda sendiri, Anda menjadi sangat frustrasi, sangat helpless karena tak tahu harus berbuat apa, selain mencoba mengikuti apa yang sudah diputuskan di pengadilan, serta secara logika sehat apa yang harus dilakukan. Kenyataannya hal ini semua berada di luar logika sehat dan ticking the box dari apa yang sudah menjadi keputusan pengadilan.

Ada satu tingkatan emosi yang lebih dalam lagi dari Mbak Retno yang belum terselesaikan. Mungkin juga sama dari sisi Anda. Poin saya adalah, sebaiknya Anda dan Mbak Retno mencari closure melalui fasilitasi divorce/marriage counsellor yang dapat mengurai “undercurrent feelings” yang masih alive and kicking secara sadar dan bawah sadar.

Apabila “closure” ini tak segera tercapai, saya khawatir perilaku Mbak Retno akan semakin menjadi-jadi. Menjadi sangat irrasional, teror, histerikal dan membahayakan secara fisik dan mental pada dirinya, orang-orang yang secara alami seharusnya dicintainya, dan tentunya orang disekelilingnya.

Oleh sebab itu, mencapai suatu titik pemahaman pada diri Mbak Retno bahwa hubungan Anda berdua sudah berakhir, bahwa dia harus mampu untuk melepas Anda sebagai kekasih, suami, tumpuan emosi dan perasaannya. Bahwa anda adalah ayah anaknya, yang mempunyai tugas dan kewajiban yang sama besarnya dalam membesarkan Norman.

Yang terutama sekarang adalah memfokuskan pada “chapter” baru dalam hidupnya, membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang kepada Norman, serta memberikan yang terbaik agar bisa menjadi bagian dari “ingredient” nilai hidup Norman. Penting pula dipahami oleh Mbak Retno bahwa dia tetap dapat mengandalkan Anda menjadi partner dalam mendidik Norman, menjadi tempat bertanya atau kroscek, tetap menjadi separuh dari bagian tumbuh berkembangnya Norman.

Dalam episode terakhir baru saya baca bahwa pernah ada kasus Anda memukul Mbak Retno. Tentu saja ini menjadi tak dapat diterima apabila hanya dilihat secara fakta dan kasat mata. Yang tak dapat dilihat dan tak dapat dibuktikan adalah apa yang terjadi sebelum Anda sampai memukul Mbak Retno. Kemungkinan saja kalau melihat track record perilakunya secara konsisten, Anda menjadi kalap karena dia sudah menjadi begitu histerikal dan abusive secara verbal, sehingga sudah melampaui ambang batas nilai-nilai Anda sebagai individu. Menurut saya masih banyak tanda-tanya dan open-ended questions disini.

Penting pula untuk tetap mengingatkan dan memberikan pengertian kepada Norman, bahwa dirinya bukan menjadi penyebab berpisahnya Anda berdua. Bahwa ibu dan bapaknya tetap dan akan selalu mencintai dia. Bahwa ibu dan bapaknya sudah tak punya kecocokan lagi.

Bahwa ada perilaku ibunya, yang dirasa dan dialami kurang tepat, ini adalah letupan atau cetusan dalam rangka masa transisi yang terjadi pada diri ibunya. Bahwa masa transisi ini bersifat temporer dan satu saat akan membaik.

Kurang lebihnya begitu Mas, poin-poin yang ingin saya sampaikan. Sekali lagi, mohon maaf, apabila dianggap lancang atau sok mengomentari tanpa kenal atau tahu siapa Anda. You have got to stay strong!

All the best,



Janti Wignjopranoto


Catatan Ini mulanya berupa email kepada saya. Isinya, menarik. Saya minta izin dimuat dan diizinkan. (andreas harsono)

Clean Water, Dirty Business

Andreas Harsono in Bandung


What kind of investment
that yields a 500-percent profit? Annur Sukarya, a water vendor in Bandung, might provide one example. Water trade! It is not difficult. It sells a highly needed commodity.

Sukarya simply took tap water from his house and sold them, in 30-litre jerry cans, at a price more than six times than the one he pays the Bandung Public Water Company, or locally known as PDAM. “I’m just trying to help my neighbors,” he argued.

Sukarya lives in Cicadas, one of Bandung’s oldest and most crowded working class areas. He sells a jerry can of water at 500 rupiah, or around US$ 6 cents. The deliverymen, who bring the water to consumers, subsequently sell the water at 1,000 rupiah per jerry can.

Cicadas consumers, like Harry Harsono, pay 5,000 rupiah for a cart of five jerry cans. “We obviously also need to tip the deliveryman,” said Harsono .

Annur Sukarya with his water cart and the jerry cans

Welcome to Cicadas! It is one of the areas where PDAM serves poorly. Many Cicadas houses have tap water albeit no running. “Sometimes we joke that we pay only for the wind inside our pipes,” quipped Harsono. His tap only delivers water every other day, “It is only one hour, between 5:30 and 6:30 in the morning,” he said. His neighbors used water from their wells, for shower, but bought Sukarya’s water for drinking and cooking.

Bandung is Indonesia’s fourth largest city, dominated by the Sundanese ethnic group and located only two hours driving from Jakarta. Sundanese is the second largest ethnic group in Indonesia after the Javanese. During the colonial period, the Dutch built tree-lined boulevards, art deco villas, gardens, and fountains, earning Bandung the nickname of “Parijs van Java.” It was a beautiful, greenish and flowery town. When the Dutch left Java in the late 1940s, Bandung experienced massive urbanization.

The population skyrocketed from 230,000 in 1940 to one million by 1961. It created social tension. In 1963, an anti-Chinese riot broke out in Cicadas, spreading to many other parts of Bandung. In the 1970s, oil boom in Indonesia pushed this population further to two million. Now it is a living space for more than three million people, with chronic problems such as waste disposal, floods, chaotic traffic system and water crisis. Today PDAM could serve not more than half of the Bandung population. Officially it cannot install new water tap but corrupt officials could always benefit from new installations at marked up prices.

Rufina Handayani, a homemaker in Kopo Permai area, said, “Almost all houses in Kopo Permai have no tap water.” Handayani buys eight to nine gallons of water for drinking and cooking at 4,000 rupiah per gallon. She spends 130,000 (US$150) per month on water.

Mulyani Hasan, a young journalist living by herself, pays 800 rupiah per jerry can in her Ciwastra neighborhood. She said, “I can’t even use my well water to brush my teeth. It is so murky.” Her house is located behind a complex of shopping malls, including a Carrefour, office buildings and star hotels, which very probably used powerful pumps to suck up water from deep artesian wells. “The water vendors sell water from their PDAM taps. If I want to install my own tap, I have to pay five millions,” she said.

Fitriadi Alibasah, a broadcaster at radio Mara FM, said that everyday his station receives a water complain. Most callers complained about their tap waters stop running, erroneous bills or vanishing water meters. “Some people also complained when seeing their neighbors could have a new installation when officially PDAM, for many years, says no more new installation due to the lack of water sources,” said Alibasah. It is a common suspicion that PDAM workers themselves steal the water meters for new installations.

Ati Kusmiati, a homemaker in Turangga area, said, “Suddenly I received a bill, stating that I have not paid the tap water for some years. It was totaled at 800,000 rupiahs when I usually paid only 30,000 per month.” Kusmiati did not keep all his water receipts. She had no option but paid. “Later it happened once again but this time I collected all my bills. I showed them the receipts. PDAM just decided that it was a mistake. That’s all,” she said.

PDAM spokeswoman Melliana Saptarini routinely addressed the public concern by repeating her daily ritual, “We apologize for the inconvenience. We will send our officials to investigate the problem.” Sometimes something happened. But mostly nothing happened.

The Bandung administration, which owned PDAM, tried to solve these problems. In 1974, the Asian Development Bank helped PDAM with a US$11.5 million loan. It was extended again in 1979 with another US$8 million credit. But PDAM could not return the bank credit as well as its interests.

In 2002, the Bandung government planned to privatize PDAM. The Adelaide-based South Australia Water submitted a proposal to take over PDAM. It also offered to pay the ADB loan, then amounted to 298 billion rupiahs.

PDAM president Soenitiyoso Pratikto rejected the plan. Pratikto mobilized his workers to rally against the plan from their head office on Badak Singa street. They visited Gedung Sate, or the Bandung government office, with 12 water trucks, yelling and watering its compound. Politicians supported such a call on nationalist grounds. The plan was finally shelved.

Ironically, a few months later police questioned Pratikto on corruption charges. His collaborator was found guilty for embezzling a piping project. Pratikto claimed his innocence. Bandung mayor Dada Rosada replaced Pratikto despite his refusal to hand over his job to a successor. Today his legal case is still hanging in the air. “Journalists rarely see him now. We heard that he moved to Jakarta, working with Jakarta party bosses,” said radio broadcaster Fitriadi Alibasah.

Pratikto’s saga also revealed another dimension of PDAM’s management. Its workers are mostly members of the notorious militia organizations, Angkatan Muda Siliwangi and Pemuda Pancasila. Pratikto himself is a member of the Angkatan Muda Siliwangi. Indonesian Army officers established the militias in the 1960s to fight communism. Now these organizations controlled many semi illegal businesses, including the water installation. Their members also regularly support competing politicians and generals.

This October, Pratikto’s succesor, Jaja Sutardja publicly said that the company plans to ask Indonesia’s Ministry of Finance and the House of Representatives in Jakarta to write off the ADB loan, totaled at 300 billion rupiah, or around US$33 million. “The interest is too high, the loan had grown from 190 billion to 300 billion rupiahs,” said Sutardja.

Not everyone in Bandung is happy with such an idea. “It means that they want to wash their hands,” said Harry Harsono. His colleague, Fauzi Zulkarnain, said that PDAM is run like a mafia network. “Everybody knows that it has many thieves and robbers,” he said.

Dadan Junaedi, an activist of the Working Group for Water Community, questioned such a policy, saying that the problems did not originate from the ADB loan. Junaedi questioned the PDAM management. “It’s not transparent. We don’t know for sure how they manage PDAM,” he said.

Junaedi cited an Eco Asia survey that concluded that the PDAM problems laid on the water distribution and the water management sectors. PDAM is also among 110 troubled water companies in Indonesia. But it is also among 44 water companies whose prices and expenses are considered to be reasonable. “The government should solve this problem. Water is a human rights,” said Junaedi.

Many Bandung residents, however, are getting indifferent with this water crisis. They have been living with this problem for more than 50 years. They give up hope that their government can solve the problem. There is no sense of crisis.

Now their options are quite limited. They could either bribe PDAM officials to install expensive water tap or set up a deep and costly artesian well. Unfortunately, the poor people, like those living in Cicadas or Kiara Condong, cannot afford these options. They have to rely on water vendors like Annur Sukarya.

In September, Sukarya’s water bill showed that he used 40 cubic meters of tap water totally priced at 102,000 rupiah. It means that in average Sukarya paid 2,550 rupiahs per meter cubic. If he sells the water at 500 rupiah every 30 liters, it meant that he sell them at 16,700 rupiah per meter cubic. Just make a small calculation: 2,550 divide 16,700. The result is 6.5 or a 550 percent profit. A good investment, no?

Inter Press Service Version