Friday, November 02, 2007

Blogger, Pluralisme dan Negara Indonesia

Sebuah blog bisa menamatkan karir seorang politikus. Apa yang terjadi bila sekitar 400 blogger berkumpul di Jakarta?

Oleh IMAM SHOFWAN


SABTU itu lebih dari 400 orang, kebanyakan lelaki umur 20an atau 30an tahun, memadati Mega Blitz, sebuah teater di daerah Kebon Kacang, Jakarta. Kebanyakan dari mereka mengenakan blue jeans dan kaos, tapi ada juga beberapa oom-oom dengan rambut memutih, ikut datang. Acaranya, "pesta blogger" dengan talk show, diskusi, cekikik-cekakak plus makan siang. Antrian panjang tapi rapi serta diskusi muncul sana-sini. Para blogger ini juga saling sapa, ambil foto, ingin tahu siapa-siapa, yang mereka kenal dari blog walking.

Anehnya, dan ini biasa dalam peradaban masyarakat Jakarta, acara ini diberi label “pertemuan nasional." Pesertanya, diklaim datang dari Kuala Lumpur, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Mataram plus dua orang dari Poso. Slogannya, lebih kemlinti lagi, "Suara Baru Indonesia." Peserta terjauh, datang dari Poso, seorang wartawan, yang pernah dituduh ikut makan uang dana pengungsi Poso bersama Bupati Poso Andi Asikin Suyuti!

Wimar Witoelar, seorang kolumnis-cum-blogger-cum-pemandu talk show-cum-mantan juru bicara presiden Abdurahman Wahid, boleh dibilang jadi pusat perhatian kerapatan ini. Bukan hanya berkat ukuran badan besar, atau baju warna jingga, lengan pendek longgar, serta berat suara tawa dia, tapi juga kelihaian Witoelar memandu perbincangan. Dia buat celetukan lucu, ringan tapi serius. Dia bikin acara ini bernas, tak slogan melulu. Witoelar duduk di panggung dengan empat tamu.

Pembukaan, Witoelar bilang dia merasa mendapat kehormatan bisa diundang anak-anak muda. "Tidak banyak orang tua diundang acara beginian," katanya. Grrrrrr. Witoelar bilang ada 482 blogger yang bergabung dalam acara di Mega Blitz pagi itu. Lawan bicaranya tiga blogger—Andrianto Gani, Enda Nasution, Budi Putra—serta politikus: Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh.

Witoelar santai saja. “Pak Menteri belakangan,” katanya.

Suasana begini mungkin luput dari pemberitaan suratkabar Jakarta. Kebanyakan wartawan Jakarta, yang belum bisa menghilangkan gaya pemberitaan warisan Orde Baru, tentu saja, mengutip pejabat dan pejabat. Maka Muhammad Nuh dikutip dengan mengatakan pemerintah tak akan membredel blogger. “Sudah bukan zamannya,” kata Nuh. Kedua, Muhammad Nuh juga dikutip menyatakan hari Sabtu itu, 27 Oktober, sebagai "hari blogger nasional … milik kita bersama." Nuh juga memberi hadiah laptop.

Sebut saja Koran Tempo, The Jakarta Post dan Bisnis Indonesia, ramai-ramai menaruh omongan Nuh dalam headline mereka. Tak ada yang kritis bertanya: apa pula blogger nasional itu? Tak ada yang usul agar para blogger, misalnya, dari Lhokseumawe, Singkawang, Tomohon, Maumere, Sorong atau Niki-niki, diajak bicara dulu sebelum main klaim “blogger nasional.” Soalnya, peradaban Jakarta, dari zaman Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, dari konglomerat media hingga blogger amatir, belum punya kebiasaan berpikir kritis soal label “nasional”.

"Blogger itu majemuk, ada yang serius, ada yang nggak serius. Ada yang bermutu, ada yang nggak bermutu,” begitu tutur Wimar Witoelar. Para blogger pun bertepuk tangan.

Lalu dia mengajak tiga blogger bicara. “Pak Menteri, takut macet, silahkan kalau mau pergi dulu. Ini nggak ngusir lho!” kata Witoelar. Muhammad Nuh izin pergi dulu. Dia harus mengejar pesawat. Maka Nasution, Budi dan Gani dapat giliran bercerita. Intinya, mereka ingin blogger bisa jadi media ekspresi baru, yang mampu menyuarakan pikiran, pendapat dan perasaan para blogger di Indonesia, dengan lebih bebas dan lebih jujur dari media mainstream—Nasution kemudian menyebut nama harian Kompas. Budi bilang bagaimana pun bagus hosting-nya, tapi content yang menentukan bagus tidaknya suatu blog.

Talk show riuh-rendah. Banyak yang tanya, banyak yang komentar. Tapi juga banyak yang plok plok plok. Witoelar senyum terus. Suasana enak. Apalagi ketika mendekati acara makan siang.

Blog atau weblog mulai masuk dalam kesadaran khalayak media pada 1999 ketika sebuah perusahaan California, Pyra Labs, meluncurkan Blogger.com. Ia dirancang sebagai sebuah sistem publikasi internet. Mekanisme kerjanya dirancang untuk orang yang secara teknologi kurang melek. Ia berkembang cepat. Pada 2002, orang sudah bisa menerbitkan teks, gambar, suara maupun video dalam blog mereka. Politikus korban pertama blog adalah Trent Lott, ketua Partai Republik di Senat Amerika, ketika ucapannya yang rasialis, menjalar dalam berbagai blog dan mailing list. Lott akhirnya mundur. Blogger juga membuat Howard Dean jadi kuda hitam dalam pencalonan kandidat presiden Partai Demokrat pada 2004. Ironisnya, media mainstream praktis tak memperhitungkan blog.

Blogger jadi mencuat dan bersinergi dengan media mainstream ketika tiga bom meledak di London pada 7 Juli 2005. BBC minta bantuan blogger untuk memberikan informasi, gambar maupun video. BBC bahkan menyediakan ruang, baik dalam versi radio, televisi mapun situs web, buat informasi yang datang dari warga.

Singkatnya, “blogger Indonesia” mungkin harus ditanya, apa arti kata ‘indonesia’ yang menjadi predikat mereka? Acara blogger ini sendiri digagas, satu setengah bulan sebelumnya, oleh bukan hanya warga Indonesia. Memang ada Enda Nasution, Budi Putra dan Gani. Tapi satunya lagi adalah Ong Hock Chuan dari perusahaan public relations Maverick. Ong mantan wartawan harian Asia Times (Bangkok) dan warga negara Malaysia. Ong lama tinggal di Jakarta. Pertemuan pertama panitia pertemuan ini berlangsung di kantor Maverick di Jl. Belitung, Jakarta. Ong juga blogger rajin.

Witoelar ringan saja bilang, “Kita bukannya mau menyaingi Sumpah Pemuda ha ha ha….”

Ong pula yang bantu mencarikan tempat, sponsor dan sebagainya. Beberapa sponsor besar berhasil dirangkul: Microsoft, Nokia dan XL. Masing-masing membantu sebesar Rp 50 juta. "Tigapuluh juta cash dan 20 juta barang," tutur Enda Nasution. Selain itu, muncul dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Nasution getol bilang terima kasih untuk para sponsor. Wajar saja. Tanpa Rp 90 juta itu, para undangan tak bisa makan siang. Demokratisnya, setiap kali nama Microsoft disebut, tanggapan dari khalayak di Mega Blitz adalah … hu hu huuuuu. Microsoft tampaknya tak punya banyak teman di kalangan blogger Mega Blitz.

Lebih dari itu semua, dari slogan hingga nasionalisme, banyak peserta yang puas dengan acara ini. Misalnya, Tiara Ischwara, pemilik www.lolipops.multiply.com, menganggap blog sebagai media alternatif. Tiara sehari-hari bekerja di Brisbane, Australia. Dia menggunakan blog untuk berbagi cerita dengan keluarganya di Jakarta. "Lebih bebas mengeluarkan pendapat, lebih pribadi," tuturnya. Tiara sedang berlibur di Jakarta saat datang di pesta blogger.

Blogger macam Tiara, mungkin sulit dibayangkan akan bikin Muhammad Nuh dan establishment Jakarta, dag dig dug. Tapi blogger macam Witoelar, yang langganan dibredel program televisinya, baik zaman Soeharto maupun zaman Yudhoyono, yang harusnya bisa mengikuti jejak blogger asli di California sono dan bikin dag dig dug media mainstream serta para penguasa.***


Imam Shofwan adalah kontributor sindikasi Pantau dan tinggal di Jakarta.

1 comment:

Anonymous said...

wah koq gak ada yg komen siy? aq aja dey;p

nice posting. aq masukin ke skripsi ku boleh yah mas?;p