Friday, January 31, 2020

Indonesia’s Silence over Xinjiang

One million Muslims detained. Mass surveillance. Political indoctrination. Separation of children.

By Maya Wang and Andreas Harsono
New Naratif

If human rights violations of this scope and scale were taking place in Europe or the United States, one would expect Muslim-majority countries, including Indonesia, to have erupted in protest. But so far, there has been little to no response. Why? Because these abuses are taking place in China.

Since 2014, the Chinese government has imposed a harsh “Strike Hard Campaign” in Xinjiang, in the northwest region of China, to “eradicate the ideological viruses” of “Islamic extremism” from the Turkic Muslim population. This campaign dramatically escalates Beijing’s longstanding conflation of Uyghur and other Muslims’ distinct cultural, linguistic, and religious identity with political disloyalty or “separatism”. The Chinese government considers a wide variety of religious behaviour to be “extremist”—such as giving babies certain religious names such as Medina, or wearing a veil.

Over the past two years, rights activists, journalists and academics have revealed the suffering of Xinjiang’s Muslims, who are being forced to shed their ethnic and religious identity. They are being transformed, through mass arbitrary detention in “political education” camps and other measures, into a new people loyal only to the Chinese Communist Party.

Over the past two years, rights activists, journalists and academics have revealed the suffering of Xinjiang’s Muslims, who are being forced to shed their ethnic and religious identity.

Despite overwhelming evidence from satellite imagery, official documents, and policing apps that demonstrate severe repression in Xinjiang, the Chinese government claims that these are malicious and false allegations. It lamely contends that people there are “voluntarily” attending “training centres,” that they have now “graduated,” and that that everyone in Xinjiang enjoys religious freedom.

The Chinese government has made an apparent bid to win the support of governments, religious figures, and civil society groups in Muslim-majority nations, including Indonesia, for its policies in Xinjiang. The relationships Chinese authorities have cultivated over the years in Indonesia—including through donations and other financial support, according to a December Wall Street Journal report—have proved useful.

The Chinese government invited top clerics from Nahdlatul Ulama, the Muhammadiyah, the Indonesian Ulama Council, and some Islamic political parties to China and Xinjiang on guided tours of the camps, following which many of the invitees sang the praises of the Chinese government for its version of what is happening in Xinjiang. Many also criticised “American media” or “Western organisations” for mischaracterising problems there. In the meantime, the Indonesian government has largely stayed silent on Xinjiang, insisting it is a domestic matter for the Chinese authorities.

Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah responded to the Wall Street Journal allegations that China manipulated them to ensure their silence by issuing a strongly worded statement on Xinjiang, calling on the Chinese government to “stop all violations of human rights especially against the Uyghur community, under whatever pretext.”

Last week, the Jakarta-based Narasi TV aired a ground-breaking investigative report on Xinjiang. Using satellite imagery, it showed how the Chinese government had manipulated those guided tours by removing barbed wires and other incriminating evidence prior to the visits, and by showing the Indonesian delegations only limited sections of Xinjiang’s political education camps.

Meanwhile, some Muslim and other nongovernmental groups, including the militant Islamic Defenders Front, expressed strong concerns. In December, there were protests against China’s treatment of Muslims outside China’s embassy in Jakarta. But many of these groups have also rallied against Indonesia’s religious minorities such as Christians and Ahmadiyya, so their actions seem more self-interested than principled.

Indonesia—which has played a positive role in the Rohingya refugee crisis—has shown its commitment to promoting rights elsewhere in the region. It should do no less for China’s Muslims.

The Indonesian government, along with the Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah, should speak out against China’s treatment of Xinjiang’s Muslims and call for a fact-finding mission to the region, as the United Nations high commissioner for human rights has urged. They should demand information and the release of wrongfully detained Islamic scholars Hebibulla Tohti and Mohammed Salih Hajim, and Salih’s family members and associates. Some media reported Salih’s death in 2018, but a close family member says he is still alive. Such steps would be most effective if taken with other Muslim-majority countries, such as Malaysia, or members of the Organisation of Islamic Cooperation.

All governments dealing with China need to consider economic and security issues along with human rights concerns. But Indonesia—which has played a positive role in the Rohingya refugee crisis—has shown its commitment to promoting rights elsewhere in the region. It should do no less for China’s Muslims.

Dua wartawan muda dari Medan raih penghargaan jurnalisme

Penghargaan Oktovianus Pogau 2020 untuk keberanian dalam jurnalisme

JAKARTA, 31 Januari 2019 — Yael Sinaga dan Widiya Hastuti, dua wartawan muda dari Medan, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

Sinaga dan Hastuti berani lakukan gugatan hukum terhadap rektor Universitas Sumatera Utara Runtung Sitepu, yang memberhentikan semua awak redaksi, thus membredel media mahasiswa Suara USU pada Maret 2019. Mereka kalah di pengadilan tata usaha negara Medan. Namun upaya hukum tersebut sebuah langkah monumental buat kebebasan pers mahasiswa di Indonesia.

“Menang atau kalah soal biasa tapi perjuangan buat menegakkan kebebasan pers, kebebasan akademik serta hak individu LGBT adalah sumbangan yang penting buat masyarakat Medan,” kata Andreas Harsono, ketua dewan juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau.

Widiya Hastuti dan Yael Sinaga, dengan seragam
Suara USU, lakukan gugatan hukum
.
Mulanya, Sinaga menulis sebuah cerita fiksi soal perempuan lesbian jatuh cinta, Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya,” yang diterbitkan website Suara USU, tempat mereka bekerja, pada 12 Maret 2019. Suara USU mengangkat cerita tersebut dalam Instagram mereka pada 18 Maret.

Rektor USU Runtung Sitepu memanggil awak redaksi Suara USU pada 25 Maret. Sitepu menuduh cerita tersebut mengandung “pornografi” dan “homoseksualitas.” Sitepu mengatakan dua hal tersebut bertentangan dengan “nilai-nilai” kampus. Dia minta dihapus dari website Suara USU.

Para wartawan membantah tuduhan Sitepu. Mereka menolak hapus. Sinaga mengatakan pihak universitas lebih khawatir cerita itu akan memicu diskusi tentang diskriminasi dan intimidasi yang meluas terhadap individu lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) di Indonesia. Hasilnya, Sitepu memecat semua, total 18 orang, awak redaksi Suara USU.

Sinaga dan Hastuti menyurati Sitepu namun tak ada jawaban. Pada 22 Juni 2019, Rektorat Universitas Sumatera Utara membongkar sekretariat Suara USU dengan alasan renovasi. Pembongkaran dilakukan tanpa pemberitahuan. Ini membuat petugas keamanan dan pekerja melempar barang-barang milik redaksi Suara USU.  

Pada 22 Juni 2019, ruang redaksi Suara USU dibongkar dengan alasan renovasi. Barang-barang dikeluarkan, dari berbagai cetakan sampai komputer dan dokumen.
Kepanikan terhadap LGBT muncul sejak akhir 2015 ketika provinsi Aceh, yang berdekatan dengan Sumatera Utara, mulai jalankan hukum pidana berdasarkan “syariah Islam” dimana homoseksualitas bisa dihukum cambuk. Pada 2016, berbagai pernyataan anti-LGBT dilontarkan pejabat pemerintah di Jakarta. Ia berkembang menjadi ancaman, kebencian dan diskriminasi terhadap individu LGBT. Ratusan razia terjadi. Puluhan individu dihukum.

Sinaga dan Hastuti melayangkan gugatan pembredelan Suara USU pada 14 Agustus 2019 dengan bantuan Perhimpunan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara di PTUN Medan.

Selama sidang berlangsung, berbagai aksi protes mewarnai gugatan tersebut. Bukan saja di Medan namun juga di berbagai kota di Pulau Jawa dan Sumatera.

Pada 14 November 2019, PTUN Medan menolak gugatan mereka. Hakim mengatakan manajemen kampus “… memiliki tugas dan wewenang melaksanakan penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat … dapat melakukan tindakan berupa mengeluarkan kebijakan dalam terjadinya pro dan kontra terkait cerpen tersebut."

Sinaga dan Hastuti menerima keputusan pengadilan. Mereka tak banding dengan pertimbangan mereka masih kuliah. Mereka berpendapat perjuangan dilanjutkan dengan cara-cara baru. 

Andreas Harsono mengatakan, “Kami hormat pada pergulatan serta kesulitan Sinaga dan Hastuti dalam melawan pembredelan media mereka. Mereka kehilangan Suara USU. Mereka merasa pahit kebebasan pers dan kemerdekaan akademik dibungkam di Medan namun ia takkan mati.”

Yael Sinaga dan Widiya Hastuti 

Yael Sinaga, kelahiran Medan pada Oktober 1997, adalah mahasiswa USU jurusan antropologi. Sinaga bergabung dengan Suara USU pada 2017. Saat pembredelan Suara USU, Sinaga adalah pemimpin umumnya.

Widiya Hastuti, kelahiran Takengon, Aceh, pada Maret 1998, adalah mahasiswa USU jurusan ilmu sejarah. Hastuti bergabung dengan Suara USU pada 2016. Saat pembredelan Suara USU, Hastuti adalah pemimpin redaksinya.

Menurut Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, pada 2017-2019 terjadi 18 kasus pelanggaran terhadap berbagai ruang redaksi mahasiswa di Indonesia. Paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali termasuk Runtung Sitepu di Medan.

Pembredelan pers mahasiswa merusak kebebasan pers
dan kebebasan akademik kampus Universitas
Sumatera Utara di Medan
Tabloid Suara USU terbit pertama pada 1995. Pada 2008, mereka mulai merambah internet dengan domain suarausu.co. Penerbitan tabloid bisa terbit tiga atau empat kali setahun sejak 2011. Tabloid berhenti cetak pada 2016. Website praktis tutup sejak 2019.

“Demokrasi lahir bersama jurnalisme. Ia juga akan mati bersama-sama. Salah satu hambatan demokrasi Indonesia adalah terlalu sering terjadi pembredelan. Jarang ada media, baik media umum maupun kampus, berumur panjang di Indonesia. Bandingkan dengan Harvard Crimson, sesama pers mahasiswa dari Universitas Harvard, terbit tanpa putus sejak 1873,” kata Harsono.

Yayasan Pantau memandang gugatan hukum Sinaga dan Hastuti sejalan dengan visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin terus merawat keberanian dalam jurnalisme seiring dengan tujuan Yayasan Pantau guna meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia.

Tentang Penghargaan Pogau 

Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang wartawan-cum-aktivis Papua, lahir di Sugapa, kelahiran 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura.

Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar. 

Oktovianus Pogau bersama Andreas Harsono di sebuah
kedai kopi di Jakarta pada Agustus 2015
.
Dia dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.

Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono.

Made Ali dan Andreas Harsono, ketika mahasiswa, juga terlibat dengan pers mahasiswa, masing-masing di Bahana Mahasiswa (Universitas Riau, Pekanbaru) serta Imbas (Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga). Harsono juga pernah jadi Nieman Fellow untuk Jurnalisme di Harvard. 

Saturday, January 04, 2020

PEN Malaysia


Saya bertemu dengan Bernice Chauly, direktur Kuala Lumpur Writers Workshop, di Hotel Alila Bangsar. Bernice bulan lalu dipilih sebagai presiden PEN Malaysia sekaligus satu dari enam orang pengurus PEN Malaysia. 

PEN Malaysia adalah anggota jaringan PEN International. Ini salah satu organisasi hak asasi manusia tertua di dunia, berdiri pada 1921 di London. PEN singkatan dari poet (penyair), playwright (penulis sandiwara), editor, esais dan novelis. Tujuannya, menggalang perkawanan di kalangan penulis serta menjalin kerja sama intelektual, termasuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. 

Bernice bilang dia berusaha mendirikan PEN Malaysia selama 11 tahun. Ia baru berhasil sekitar dua tahun lalu sesudah menulis lebih dari 300 email dengan PEN International, bikin anggaran dasar (revisi sampai enam kali) serta mendapatkan total 20 orang dari Penang dan Kuala Lumpur buat jadi pendiri. 

Iuran tahunan 150 ringgit per anggota. Pengurus yang enam orang itulah yang berhak merekomendasikan seorang penulis menjadi anggota PEN Malaysia. 

Bernice bilang solidaritas di kalangan PEN di puluhan negara di dunia sehat sekali. Ia akan membantu para penulis buat mendapatkan pembelaan bila ditangkap atau diadili. Di Malaysia, mereka bantu kartunis Zunar serta dua penulis yang mengalami kriminalisasi karena karya mereka. 

Kini mereka sedang usaha agar bisa terdaftar sebagai organisasi nirlaba di Malaysia sehingga mereka bisa buka rekening bank. 

Jakarta pernah punya PEN Indonesia yang berdiri pada 1951. Namun ia dinyatakan tak aktif pada pertemuan international di Rheims, Perancis, 1963. Ia dihidupkan lagi dalam pertemuan di Lyons 1981 namun dinyatakan “dormant” di Dakar 2007 dan resmi ditutup pada 2008 saat kongress PEN International di Bogotá.